maandag, april 28, 2008

MURTADNYA AJARAN AHMADIYAH (lanjutan waspadai ahmadiyah)

AHLAN WA SAHLAN

Mirza Ghulam Ahmad adalah tokoh pendiri Jemaat Ahmadiyah. Dalam ajarannya, selain mengklaim dirinya sebagai nabi dan rasul, dia juga mengklaim dirinya sebagai
Al-Masih Mau'ud
"Al-Masih yang dijanjikan. Siapa yang menjanjikannya? Tidak ada satu dalil/nash pun yang meramalkan bahwa Al-Masih yang akan turun nanti adalah seseorang dari bangsa lain, kecuali bahwa orang itu hanyalah Al-Masih Isa putra Maryam, salah seorang nabi dan rasul bagi Bani Israel.
Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad tersebut jelas mengada-ada dan tanpa dasar sama sekali. Al-Masih yang dijanjikan turun tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah Al-Masih Isa putra Maryam, bukan putra yang lain, apalagi dari bangsa lain seperti India.

Selain pengakuan Mirza Ghulam Ahmad itu, Jemaat Ahmadiyah juga mempunyai syariat baru berupa ibadah haji di Qadian, sebagaimana pernyataan mereka berikut ini: "Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam
haji akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar".Syariat baru berupa ibadah haji di Qadian tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬ا‌ۚ

...Pada hari ini telah untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam itu menjadi agama bagimu... (QS.5:3)
إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٍ۬ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكً۬ا وَهُدً۬ى لِّلۡعَـٰلَمِينَ (٩٦) فِيهِ ءَايَـٰتُۢ بَيِّنَـٰتٌ۬ مَّقَامُ إِبۡرَٲهِيمَ‌ۖ وَمَن دَخَلَهُ ۥ كَانَ ءَامِنً۬ا‌ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلاً۬‌ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٩٧)

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Baka (Mekah)yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah diamengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajibanhaji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. ((QS.3:96-97)

قُلۡ مَآ أَسۡـَٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍ۬ وَمَآ أَنَا۟ مِنَ ٱلۡمُتَكَلِّفِينَ (٨٦) إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٌ۬ لِّلۡعَـٰلَمِينَ (٨٧)
Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur'an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam(QS. 38:86-87)

KEBOHONGAN MIRZA GHULAM AHMAD SEBAGAI AL-MASIH MAU'UD Konon, Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Jemaat Ahmadiyah, menurut pengakuannya, adalah dari Nabi Muhammad saw, dia juga mengklaim dirinya sebagai Al-Masih Mau'udAl-Masih yang dijanjikan oleh Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Selain itu, dia juga konon menerima wahyu dari Allah layaknya seorang nabi dan rasul. Pengakuan ini sebenarnya merupakan pernyataannya yang membesarkan diri-sendiri dengan berupaya menafsirkan sendiri atas ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa Hadits dengan mempengaruhi orang lain untuk memperoleh pengakuan.

Misalnya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa Nabi Isa as benar-benar disalib di tiang salib oleh orang-orang Yahudi, namun tidak sampai wafat, hanya mengalami luka-luka dan pingsan saja. Ajaran ini tentu saja lebih dekat dengan kepercayaan orang-orang Kristen daripada pernyataan Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Nabi Isa as tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang diserupakan dengan Nabi Isa Sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـٰكِن شُبِّهَ لَهُمۡ‌ۚ

...padahal mereka tidak membunuhnya (Isa) dan tidak menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.... (QS. 4:157)

Ayat tersebut, oleh Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya, diterjemahkan menyimpang sebagai berikut:

..padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mematikannya di atas salib akan tetapi ia disamarkan kepada mereka seperti yang mati di atas salib.

.Berkenaan dengan penyaliban itu, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya berkeyakinan bahwa Nabi Isa as diangkat ke langit dan kini telah wafat sebagaimana manusia lainnya. Konon, menurut klaim Mirza Ghulam Ahmad, makam nabi Isa as ditemukan di desa Mohalla Khan Yar, Srinagar, Kashmir.Selanjutnya, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya juga berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad saw adalah rasul yang paling mulia dan paling sempurna dibandingkan dengan rasul-rasul lainnya,hal ini dimaksudkan agar "kenabian" Mirza Ghulam Ahmad dapat diterima oleh umat Islam, sebagaimana tersirat dalam pernyataan Mirza Ghulam Ahmad berikut ini:
""Saya tidak ada artinya dibandingkan Rasulullah. Bahkan, saya lebih rendah dari debu sepatu beliau."
Padahal, seorang muslim tidak memiliki kebebasan religius maupun pengetahuan yang pasti untuk mengunggulkan seorang rasul di atas rasul-rasul lainnya, meskipun mungkin seorang rasul memiliki keunggulan tertentu dibandingkan dengan rasul-rasul lainnya. Seorang muslim wajib menghormati seluruh nabi dan rasul Allah secara sama, tidak mengunggulkan atau membeda-bedakan seorang rasul dengan rasul-rasul lainnya seperti kebiasaan buruk orang-orang Yahudi dan Kristen yang mengunggulkan Nabi Musa as dan Nabi Isa as di atas rasul-rasul lainnya. Perintah ini ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur'an dan beberapa Hadits, antara lain:
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُ ۥ مُسۡلِمُونَ (١٣٦)
artinya
Katakanlah [hai orang-orang mu’min]: "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ’Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS. 2:136)

dan juga
تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬‌ۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ‌ۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ وَءَاتَيۡنَا عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَأَيَّدۡنَـٰهُ بِرُوحِ ٱلۡقُدُسِ‌ۗ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ وَلَـٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ فَمِنۡہُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡہُم مَّن كَفَرَ‌ۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ (٢٥٣)
artinya
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata [langsung dengan dia] dan sebagiannya Allah meninggikannya [1] beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada ’Isa putera Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus [2]. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang [yang datang] sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada [pula] di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS. 2:253;)


dan dua Hadits berikut ini:
...."Janganlah engkau melebihkan di antara nabi-nabi Allah!" (H.R. Bukhari)
"Tidak layak bagi seorang hamba untuk mengatakan: Aku lebih baik daripada Yunus bin Mata!" (H.R. Bukhari)

Adapun ayat Al-Qur'an dan beberapa Hadits yang dimanfaatkan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai kendaraan "kenabian" dan "ke-almasih-an"-nya adalah sebagai berikut:


وَإِذۡ قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ يَـٰبَنِىٓ إِسۡرَٲٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُم مُّصَدِّقً۬ا لِّمَا بَيۡنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوۡرَٮٰةِ وَمُبَشِّرَۢا بِرَسُولٍ۬ يَأۡتِى مِنۢ بَعۡدِى ٱسۡمُهُ ۥۤ أَحۡمَدُ‌ۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ قَالُواْ هَـٰذَا سِحۡرٌ۬ مُّبِينٌ۬ (٦)

Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS. 61:6)

Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya,putra Maryam, 'Isa,akan turun dalam waktu singkat di antara kamu orang-orang beriman (Muslimin) sebagai seorang penguasa yang adil (HR. Bukhari) Hari Akhir tidak akan datang hinggaputra Maryam turun di antara kamu sebagai seorang penguasa yang adil. (HR. Bukhari)Isa AS, putra Maryam, akan menjadi seorang hakim yang adil dan penguasa yang adil (dalam umatku), mematahkan dan meremukkan kayu salib dan membunuh babi... Bumi ini akan dipenuhi dengan kedamaian seperti sebuah bejana diisi dengan air. Seluruh dunia akan mengumandangkan dan mengikuti satu kata yang sama dan tidak satu pun akan disembah selain Allah. (HR. Ibnu Majah)

Mirza Ghulam Ahmad telah memelintir ayat Al-Qur'an dan beberapa Hadits tersebut dengan menafsirkannya seolah-olah nama Ahmad dan Isa putra Maryam adalah dirinya
. Padahal, menurut kaidah tafsir sebagaimana tersebut dalam

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَايَـٰتٌ۬ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ۬‌ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ۬ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦ‌ۗ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُ ۥۤ إِلَّا ٱللَّهُ‌ۗ وَٱلرَّٲسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا‌ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (٧)
artinya
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab [Al Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [3] itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyaabihaat [4]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran [daripadanya] melainkan orang-orang yang berakal.
QS.3:7,

ayat Al-Qur'an dan beberapa Hadits tersebut maknanya sangat jelas sehingga terlalu dibuat-buat kalau ada orang yang menafsirkan macam-macam.
Bahwa ia adalah Ahmad (Muhammad) yang datang kepada Bani Israel sesudah masa Isa dengan membawa bukti-bukti yang nyata (Al-Qur'an), dan bahwa ia adalah Isa putra Maryam, nabi Allah yang lahir dari perut ibundanya, Maryam.

Seperti dijelaskan Hadits-hadits tersebut, Nabi Isa as akan turun kembali ke bumi mendekati hari kiamat tiba. Hadits-hadits tersebut sangat relevan dengan ayat-ayat Al-Qur'an berikut:
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِ‌ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمً۬ا

tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat 'Isa Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS.4:158)

وَإِن مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَـٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦ‌ۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ يَكُونُ عَلَيۡہِمۡ شَہِيدً۬ا
Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali beriman kepadanya ('Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti 'Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS.4:159)

Untuk apa Isa putra Maryam diangkat ke langit kalau tidak untuk diturunkan kembali ke muka bumi. Cukup masuk akal, dan Hadits-hadits tersebut sebenarnya merupakan penjelasan dari kedua ayat Al-Qur'an ini.

kedua ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa sesungguhnya Nabi Isa as masih hidup yang kini masih berada di langit dan akan diturunkan kembali ke muka bumi menjelang hari kiamat tiba. Dijelaskan dalam QS.4:159 bahwa tidak ada seorang pun dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) kecuali akan beriman kepada Nabi Isa as (masuk Islam) sebelum kematiannya. Maksudnya tidak ada ahli kitab yang tidak beriman kepada nabi Isa as ketika beliau diturunkan kembali ke muka bumi untuk mengemban misi Islam menjelang hari kiamat nanti, tetapi ketika beliau sudah wafat, maka tidak menutup kemungkinan banyak manusia yang kembali kafir kepadanya. Ayat tersebut merupakan janji Allah swt yang belum terwujud. Jadi, yakinlah, bahwa Nabi Isa as benar-benar masih hidup!Jika Mirza Ghulam Ahmad merupakan duplikat dari Nabi Isa as (sebagai Al-Masih Mau'ud), maka apakah ahli kitab (Yahudi dan Kristen) pada waktu dia masih hidup beriman semua kepadanya? Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, baik orang-orang Yahudi maupun Kristen tetap menjalankan agama mereka masing-masing, orang-orang Yahudi tetap tidak mengakui Nabi Isa as sebagai Rasul Allah, dan orang-orang Kristen pun tetap saja menuhankan Nabi Isa as, bahkan sebagian ahli kitab malah mencemooh dan mencaci maki Mirza Ghulam Ahmad. Dengan demikian, maka syarat-syarat "Al-Masih Mau'ud" yang tersebut dalam QS.4:159 tidak terpenuhi pada Mirza Ghulam Ahmad.

Adapun ayat
مَا قُلۡتُ لَهُمۡ إِلَّا مَآ أَمَرۡتَنِى بِهِۦۤ أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ رَبِّى وَرَبَّكُمۡ‌ۚ وَكُنتُ عَلَيۡہِمۡ شَہِيدً۬ا مَّا دُمۡتُ فِيہِمۡ‌ۖ فَلَمَّا تَوَفَّيۡتَنِى كُنتَ أَنتَ ٱلرَّقِيبَ عَلَيۡہِمۡ‌ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ شَہِيدٌ


QS.5:117
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku [mengatakan]nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan [angkat] aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (117)
yang selalu dijadikan sandaran oleh kelompok Ahmadiyah dengan menafsirkannya seolah-olah nabi Isa as sudah wafat

sebenarnya merupakan akal-akalan mereka saja untuk mencari-cari pembenaran demi kepentingan agama mereka. QS.5:117 konteks pembicaraannya adalah kata-kata nabi Isa as kepada Allah swt ketika beliau masih berada di tengah-tengah Bani Israel, sama sekali bukan pengumuman Allah swt tentang wafatnya nabi Isa as. Kenyataannya, sebagaimana dijelaskan di atas, nabi Isa as masih hidup dan dialah Al-Masih yang sebenar-benarnya yang dijanjikan akan turun nanti mendekati hari kiamat tiba.Beberapa penafsir muslim menyatakan bahwa Nabi Isa as sudah diwafatkan terlebih dahulu sebelum diangkat ke langit, hal ini didasarkan pada keterangan firman Allah dalam
إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَـٰعِيسَىٰٓ إِنِّى مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَىَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ ڪَفَرُواْ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوۡقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۖ ثُمَّ إِلَىَّ مَرۡجِعُڪُمۡ فَأَحۡڪُمُ بَيۡنَكُمۡ فِيمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

[Ingatlah], ketika Allah berfirman: "Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya". (QS.3:55

yang mereka tafsirkan secara harfiah
Namun demikian, mereka tetap berkeyakinan bahwa Nabi Isa as akan dihidupkan kembali dan diturunkan ke muka bumi menjelang hari kiamat nanti, sebagaimana keterangan beberapa firman Allah dan hadits shahih di atas. Sementara itu, beberapa penafsir modern dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Isa AS telah wafat, namun tidak diketahui dimana kuburannya hingga hari ini. Mereka mendasarkan argumennya pada ayat-ayat Al-Qur'an yang sama tapi dengan penafsiran yang berbeda atau sebaliknya. Mereka juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Isa AS akan turun kembali menjelang hari kiamat.
sesungguhnya, persoalan bahwa Nabi Isa AS telah wafat atau masih hidup, ini mungkin tidak penting untuk dipersoalkan, karena bagi Allah tidak ada yang mustahil terjadi. Sebagaimana kita ketahui, Nabi Isa AS sendiri memiliki mukjizat yang bisa menghidupkan orang mati. Jadi, meski Nabi Isa AS sudah wafat, terlalu mudah bagi Allah untuk menghidupkannya kembali ke tengah-tengah umat cukup hanya dengan berkata: "Jadilah!", maka jadilah Nabi Isa as hidup. Dan, sekali lagi, QS.4:158-159 sebagaimana dikutipkan ayat-ayatnya di atas, adalah golongan ayat-ayat atau mudah dipahami dengan akal sehat. Ini berarti bahwa

"Al-Masih yang akan turun nanti mendekati hari kiamat adalah Nabi Isa as yang lahir dari perut ibundanya, Maryam, di tanah Palestina, sama sekali bukan orang lain dari bangsa manapun!Dari perbedaan tafsir inilah tampaknya Mirza Ghulam Ahmad mengambil kesempatan untuk menyampaikan klaim-klaimnya yang antara lain mengatakan bahwa Nabi Isa as telah wafat dan dialah almasih yang diramalkan akan turun kembali oleh Nabi Muhammad saw.

Lebih lanjut, isyarat turunnya Nabi Isa AS mendekati hari kiamat dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut:
'
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ‌ۖ خَلَقَهُ ۥ مِن تُرَابٍ۬ ثُمَّ قَالَ لَهُ ۥ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya misal [penciptaan] ’Isa di sisi Allah, adalah seperti [penciptaan] Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" [seorang manusia], maka jadilah dia. (59)

hari kiamat.
Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS.43:61)

Sebagaimana diketahui, bahwa baik Adam maupun Isa sama-sama tidak memiliki ayah, dan ayat tersebut (QS.3:59) seolah memberi isyarat bahwa Isa akan turun ke bumi dari langit seperti turunnya Adam dari surga.

Dari uraian singkat di atas, dapatlah diketahui dengan jelas, sejelas siang, bahwa pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Mau'ud
Al-Masih yang dijanjikan tidak lain hanyalah pengakuan yang membesarkan diri-sendiri, tidak berdasar, dan bertentangan dengan akal sehat.Mungkin ramalan dalam dua Hadits berikut ini sangat cocok dengan sosok Mirza Ghulam Ahmad:
Akan muncul pada hari akhir seseorang yang akan memperoleh keuntungan dunia dengan
menjual agama. (HR Tirmidzi)

Hari akhir tidak akan datang sebelum datangnya tiga puluh Dajjal, masing-masing mengaku dirinya sebagai seorang utusan Allah. (HR Abu Daud)

Islam adalah agama yang mengedepankan dan meletakkan akal sehat di atas kepala, bukan sebaliknya, kita melihat Ahmadiyah adalah agama yang membelakangi dan meletakkan akal sehat di bawah telapak kaki. Mereka mengaku sebagai pengikut Al-Qur'an, tetapi mereka mengingkari setidaknya

ayat Al-Qur'an, yaitu QS. 2:136,285; 3:84; 4:152 (tidak membeda-bedakan para rasul), QS. 4:157 (tidak disalibnya nabi Isa as), QS. 4:158 (diangkatnya nabi Isa as ke langit), QS.4:159 (turunnya Al-Masih Isa nanti), dan QS.33:40 (Muhammad penutup para nabi). Pengingkaran terhadap kedelapan ayat Al-Qur'an ini bermula dari klaim Mirza Ghulam Ahmad (pemimpin Ahmadiyah) yang mengaku dirinya sebagai


Sebagaimana diketahui, pengingkaran terhadap sebagian ayat Al-Qur'an adalah kafir dan mereka senantiasa mendapat kenistaan di dunia dan akan disiksa Allah swt pada hari kiamat kelak dengan siksa yang amat berat, sebagaimana firman Allah swt berikut ini:
فَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٍ۬‌ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٲلِكَ مِنڪُمۡ إِلَّا خِزۡىٌ۬ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِ‌ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ
...Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat... (QS.2:85)

Akhirnya, sangat mungkin uraian singkat di atas khususnya yang berkenaan dengan Nabi Isa AS adalah keliru di mata Allah, namun demikian, kekeliruan ini tidaklah membuat seseorang yang meyakininya menjadi kafir atau murtad, karena memang Al-Qur'an tidak menjelaskannya secara tegas. Ini berarti bahwa persoalan Nabi Isa AS bukanlah hal yang prinsip dalam agama Islam. Tetapi, jika ada orang yang berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dan seorang almasih mau'ud, maka sudah barang tentu keyakinan seperti ini membuatnya menjadi kafir atau murtad, karena hal itu bertentangan dengan nash tegas Al-Qur'an berikut ini:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan

Keterangan:
. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan:
"Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin-i-Ahmadiyya, Tuhan Mahakuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, Aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya'kub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi (Haqiqatul Wahyi hal. 72) .
Pada akhir tahun 1890, Mirza Ghulam Ahmad konon menerima wahyu yang menyatakan bahwa nabi Isa as telah wafat danAl-Masih yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman itu dialah orangnya. (Bunyi wahyu:
"Masih Ibnu Maryam Rasulullah faot hocuka he, aor uske rangg me ho kar wa'dah ke muwafiq tu aya he."

Artinya: Al-Masih putra Maryam, Rasul Allah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang dengan menyandang warnanya
( Lihat: Tazkirah, bahasa Urdu, Al-Syirkatul Islamiyah, Rabwah, 1969, hal. 183;)
Mirza Ghulam Ahmad, jld 2, hal. 561-562;
Rohani Khazain, Add. Nazir Ishaat, London, jld 3, hal. 402).
Dan pada awal tahun 1891 Mirza Ghulam Ahmad menda'wakan diri sebagai
Al-Masih Mau'ud dan Imam Mahd(Da'watul Amir, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, terjemahan Bahasa Indonesia, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1989, hal. xii).

. Mirza Ghulam Ahmad konon menerima wahyu: "Oh, pemimpin sempurna, engkau (wahai Mirza Ghulam Ahmad) seorang dari Rasul yang menempuh jalan betul, Yang Mahakuasa, Yang Rahim." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 658-659)
Penjelasan lengkap dan ilmiah dapat dibaca pada buku: Salib di Bulan Sabit (The Cross and The Crescent)karya: DR. Jerald F. Dirks, 2003, hal. 108-153.
. H. Mahmud Ahmad Cheema H.A., Buku Saku Ahmadiyah: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadian),
Muhammad Abu Zahrah, (Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah, vol. I, (Daril-Fikril, 'Arabi tt), hal. Khatam al-Nabiyyin dalam QS. 33:40, oleh Ahmadiyah Qadiani diartikan sebagai
nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi, bukan sebagai penutup para nabi. (Muhammad Shadiq H.A.,Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984, hal. 12). Hal ini dimaksudkan agar ke-almahdi-an dan ke-almasih-an Mirza Ghulam Ahmad dapat teradopsi. Mereka berpendapat bahwa Isa PUTRA MARYAM yang akan turun itu adalah nabi atau nabi yang tidak mandiri, sehingga ia bisa disubstitusikan dengan sosok Mirza Ghulam Ahmad.. Abdul Musawir, Ketua Pemuda Ahmadiyah


jazakumullah

WASPADAI GERAKAN PEMURTADAN OLEH AHMADIYAH

AHLAN WA SAHLAN



Jika anda seorang muslim, yang menemukan ciri-ciri berdakwah seperti tersebut di bawah ini, hukumnya WAJIB melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diselidiki, dan jika mereka terbukti menyebarkan ajaran sesat Ahmadiyah, mereka patut diproses secara hukum karena ajaran mereka sangat meresahkan masyarakat.

1. Menyebut istilah Ahmadiyah dalam dakwahnya. Islam, dari semenjak nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw tidak pernah mengenal istilah Ahmadiyah. Islam ya Islam, tidak pernah mengenal konsepsi kelompok apapun.

2. Menyebut istilah Al-Masih mau'ud atau Al-Masih yang dijanjikan. Islam tidak pernah mengenal istilah itu. Islam hanya mengenal Al-Masih Isa PUTRA MARYAM, tidak ada Al-Masih lain selain Al-Masih Isa PUTRA MARYAM, yang diramalkan oleh Al-Qur'an dan Hadits akan turun kembali menjelang hari kiamat tiba..

3. Menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang mengklaim dirinya sebagai rasul Allah dan Al-Masih yang dijanjikan. Dalam Islam, tidak ada rasul lagi setelah nabi Muhammad saw, dan rasul yang akan turun lagi itu adalah Al-Masih Isa PUTRA MARYAM, yang lahir di Palestina.

4. Memakai istilah Hazrat ketika menyebut nama tokoh tertentu. Istilah ini adalah istilah Ahmadiyah yang tidak pernah ada dalam kamus Islam.

Keempat ciri-ciri dakwah di atas, adalah ciri-ciri dakwah Ahmadiyah untuk memurtadkan kaum muslimin. Sesungguhnya, gerakan pemurtadan oleh Ahmadiyah ini jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan gerakan pemurtadan oleh Kristen. Hal ini disebabkan cara-cara dakwah Ahmadiyah sangat mirip dengan cara-cara dakwah Islam, karena memang Ahmadiyah berkedok Islam ketika menyebarkan ajaran sesatnya.

SEKILAS TENTANG FAHAM AHMADIYAH


Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern Ahmadiyah, maka secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah RasuBullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini.

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai golongan Qadiani.

Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.1

Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat. Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious Gems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.2

Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.

AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI

1. MASALAH WAHYU

Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.

Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri. Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq. Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut:

a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa), atau kaum laki-laki lain.sebagimana dalam

وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَرۡضِعِيهِ‌ۖ فَإِذَا خِفۡتِ عَلَيۡهِ فَأَلۡقِيهِ فِى ٱلۡيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحۡزَنِىٓ‌ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيۡكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah [pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul. (QS alqhoshos:7)

dan firmanya
وَإِذۡ أَوۡحَيۡتُ إِلَى ٱلۡحَوَارِيِّـۧنَ أَنۡ ءَامِنُواْ بِى وَبِرَسُولِى قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَٱشۡہَدۡ بِأَنَّنَا مُسۡلِمُونَ


Dan [ingatlah], ketika Aku ilhamkan kepada pengikut ’Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab: "Kami telah beriman dan saksikanlah [wahai rasul] bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh [kepada seruanmu]". (Qs almaidah:111)

dan juga
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالاً۬ نُّوحِىٓ إِلَيۡہِمۡ‌ۖ فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّڪۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu [Muhammad], melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (al anbiya:7)

b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi:
Pertama, dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar. Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُ‌ۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬ (٥١)
artinya
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir [2] atau dengan mengutus seorang utusan [malaikat] lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (51)
(Lihat QS. asshura:51).
Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril,
وَلَوۡ جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَانًا أَعۡجَمِيًّ۬ا لَّقَالُواْ لَوۡلَا فُصِّلَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥۤ‌ۖ ءَا۠عۡجَمِىٌّ۬ وَعَرَبِىٌّ۬‌ۗ قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدً۬ى وَشِفَآءٌ۬‌ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٌ۬ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًى‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۭ بَعِيدٍ۬ (٤٤)
Dan jikalau Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah [patut Al Qur’an] dalam bahasa asing, sedang [rasul adalah orang] Arab? Katakanlah: "Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka [1]. Mereka itu adalah [seperti] orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh". (44)
(Lihat S. fuschilat: 44).

Ketiga dengan jalan ilham.

c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.

Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih. atau al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi oleh sekte Qadiani. Dan secara implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja term yang mereka pakai adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi 'Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping itu, berita kehadiran al-Masihjuga disebutkan dalam hadis-hadis sahih, kemudian mereka mencoba menguatkan keyakinan tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.

Al-Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri', wahyu gair tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah dan lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran, juga menggunakan hadis-hadis Nabi seperti:

"Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel, yaitu orang-orang yang (dapat) berdialog dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan para nabi. Maka jika sekiranya ada salah seorang diantara ummatku (termasuk golongan itu), tentulah 'Umar orangnya." (H.R. Bukhari).

Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah rusak, telah dihimpunnya sendiri menjadi 80 buah kitab lebih, yang kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah yang isi kandungannya adalah merupakan penjelasan maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap teiah menyimpang dari prinsip Islam.

Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan di awal kegiatannya,5 artinya tidak tenggelam dalam anggapan pengikutnya yang menilai petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima oleh masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa 'Isa a.s., benar-benar disalib di tiang salib, sekalipun Nabi 'Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat dengan kepercayaan orang Nasrani daripada pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi 'Isa tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang diserupakan dengan 'Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah:
وَقَوۡلِهِمۡ إِنَّا قَتَلۡنَا ٱلۡمَسِيحَ عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ رَسُولَ ٱللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـٰكِن شُبِّهَ لَهُمۡ‌ۚ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ لَفِى شَكٍّ۬ مِّنۡهُ‌ۚ مَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍ إِلَّا ٱتِّبَاعَ ٱلظَّنِّ‌ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينَۢا (١٥٧)
"
dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, ’Isa putera Maryam, Rasul Allah" [2], padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak [pula] menyalibnya, tetapi [yang mereka bunuh ialah] orang yang diserupakan dengan ’Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang [pembunuhan] ’Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak [pula] yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ’Isa. (QS. annisa: 157).

Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa a.s., telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan terutama sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan dari kaum propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan kemunduran ummat Islam di berbagai bidang, di pihak lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang penyaliban 'Isa a.s., atau Yesus Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan al-Quran tampaknya pendirian ini didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nasrani dengan paham Islam, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima paham kemahdiannya.

2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA'

Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri, adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW., dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari'at akan tetap berlangsung.

Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka istilahkan dengan nabi mustaqil.Oleh karena itu, kata "nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah paham Lahore.

Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.7 Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki.

Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW., untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian, paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.

Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمً۬ا

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi ..."

Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:

"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku." (H.R. Bukhari)

Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza (al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah, untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.

Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka. Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab: 40, sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan hadis-hadis Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah (argumen) mereka

Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab, apabila kata [kata-kata Arab] dirangkai dengan kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.8 Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali ibn Abi Talib:

"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."

Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab], artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah 'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami. Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan "akhir para nabi."9

Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana dalam pernyataannya:

"Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah, kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah) telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza) telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."10

Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:

"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku ..."11

Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya, ia mengatakan:

"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah Nasrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya, dan dia tergolong penghuni neraka."12

Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya, seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas Muslim, dan menjadikan mereka sebagai kaum minontas non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal, berjudui Islam and Ahmadisme.13 Demikian al-Maududi.

3. MASALAH JIHAD

Masalah yang ketiga ini, merupakan salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan misi kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut, untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar atau jihad kecil,yaitu berperang melawan musuh. Kedua, Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.

Selain dua macam jihad di atas, menurut paham Mahdi Ahmadiyah, masih ada satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan Jihadul-Kabir atau jihad besar, seperti: tablig dan dakwah. Jihad besar dan jihad yang paling besar terus berjalan sepanjang masa, sedangkan jihad kecil, memiliki beberapa syarat dan berlakunya secara insidentil.14

Dalam hubungan ini, pendiri aliran tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta dalam mencapai tujuan, yaitu menghidupkan ajaran Islam dan mengembangkannya guna meraih kembali kejayaan dan wibawa Islam di seantero dunia. Adapun cara serta jalan yang ditempuh untuk mencapai maksud tersebut, adalah dengan jalan damai, bukan dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara seperti ini, bagi kaum Ahmadiyah adalah mencontoh cara-cara Nabi 'Isa. Oleh karena itu, berjihad dalam berperang di jalan Allah, untuk mempertahankan Islam bagi kaum Ahmadiyah, sudah tidak diperlukan atau tidak relevan lagi untuk masa-masa sekarang ini. Mereka beralasan bahwa cara tersebut, hanyalah merupakan jihad kecil semata, sedangkan jihad besar dan yang paling besar banyak dilupakan orang. Dan sebagai gantinya -jihad kecil- dapat digunakan media cetak, dengan menerbitkan berbagai karya tulis untuk memahamkan Islam kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di saat seperti sekarang ini, masyarakat memiliki kebebasan berbicara, beragama, dan Islam pun tidak membenarkan para pengikutnya memaksakan keyakinan atau agamanya pada orang lain. Dalam kaitan ini Nazir Ahmad menyatakan:

"Sungguh Allah telah mewajibkan kepada ummat Islam suatu kewajiban yang lebih besar daripada berperang, yang karenanya syari'at itu diturunkan, yaitu jihad besar dan yang paling besar ialah mendamaikan jiwa dan mempropagandakan agama serta dakwah di jalan Allah, di tengah-tengah masyarakat dunia."15

Adanya pemahaman seperti di atas, pendiri Ahmadiyah menolak berjihad melawan kaum kolonial Inggris di India saat itu sebagaimana ia menyatakan:

"... oleh karena itu, aku menolak jihad. Aku bukan orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan sesungguhnya yang benar, adalah bahwa pemerintah Inggris tidak melakukan sesuatu (tindakan) terhadap Islam dan syi'ar agama. Dia pun tidak pula secara terang-terangan menyebarkan agamanya dengan pedang. Perang atas nama agama yang seperti itu, haram dalam tuntunan al-Quran. Demikian pula pemerintah Inggris tidak menyebabkan perang agama."16

Kehadiran al-Mahdi ke dunia untuk menyebarkan Islam dengan pedang, dalam pandangan Ahmadiyah adalah sangat keliru, bahkan harus diberantas. Sebab cara demikian tidak cocok dengan nama Islam itu sendiri, sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan kemenangan spiritualnya. Dan oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) merasa telah menerima keterangan dari Tuhan, bahwa kehadiran al-Mahdi yang menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka masuk Islam, sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang diterimanya.

Pembaharuan tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza, tampaknya justru menambah keyakinan Muslim non-Ahmadiyah, bahwa kaum Qadiani telah menjadi alat pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan ummat Islam. Oleh karena itu, pemerintah Inggris di India tetap memberi hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.

Akhirnya tiga persoalan -masalah kewahyuan, kenabian, dan masalah jihad- di atas, disamping ia merupakan identitas misi Mahdiisme Ahmadiyah, juga merupakan salah satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan yang hebat antar sesama ummat Islam. Sehingga tidak mustahil dampak negatif ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India.

Membongkar kesesatan dan kedustaan Ahmadiyah
Saat ini di Indonesia baru diramaikan tentang kasus penyerbuan markas Ahmadiah di Bogor. Mungkin ada banyak pembaca yang ingin tahu juga, Apa sih Ahmadiah itu? Smoga artikel berikut bisa membantu:

1.Aliran Ahmadiyah-Qadiyani itu berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul, kemudian barangsiapa yang tidak mempercayainya adalah kafir murtad

2. Ahmadiyah-Qadiyani memang mempunyai Nabi dan Rasul sendiri yaitu Mirza Ghulam Ahmad dari India

3. Ahmadiyah-Qadiyan mempunyai kitab suci sendiri yaitu kitab suci "Tadzkirah"

4. Kitab suci "Tadzkirah" tersebut adalah kumpulan wahyu yang diturunkan "tuhan" kepada Mirza Ghulam Ahmad yang kesuciannya sama dengan kitab suci Al-Qur'an, karena sama-sama wahyu dari Tuhan, tebalnya lebih tebal dari Al-Qur'an, dan kitab suci Ahmadiyah tersebut ada di kantor LPPI

5. Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qadiyan di India. Mereka mengatakan: "Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar". Dan selama hidupnya "nabi" Mirza tidak pernah pergi haji ke Makkah

6. Kalau dalam keyakinan umat Islam, (nama-nama) para Nabi dan Rasul yang wajib dipercayai hanya 25 orang (sebagian Nabi dan Rasul tidak dikisahkan dalam Al-Qur'an), dalam ajaran Ahmadiyah Nabi dan Rasul yang wajib dipercayai harus 26 orang, dan Nabi dan Rasul yang ke-26 tersebut adalah "Nabi Mirza Ghulam Ahmad"

7. Dalam ajaran Islam, kitab samawi yang dipercayai ada 4 buah yaitu: Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur'an (mungkin lebih dari itu, tetapi tidak disebutkan dalam Al-Qur'an). Tetapi bagi ajaran Ahmadiyah Qadiyan bahwa kitab suci yang wajib dipercayai harus 5 buah dan kitab suci yang ke-5 adalah kitab suci "Tadzkirah" yang diturunkan kepada "Nabi Mirza Ghulam Ahmad"

8. Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama bulan Ahmadiyah adalah:
1. Suluh
2. Tabligh
3. Aman
4. Syahadah
5. Hijrah
6. Ihsan
7. Wafa
8. Zuhur
9. Tabuk
10. Ikha'
11. Nubuwah
12. Fatah.

Sedang tahunnya adalah Hijri Syamsi yang biasa mereka singkat dengan H.S. Dan tahun Ahmadiyah saat ini adalah tahun 1373 H.S (1994 M atau 1414 H). Kewajiban menggunakan tanggal, bulan dan tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua yaitu Basyiruddin Mahmud Ahmad

9. Berdasarkan firman "tuhan" yang diterima oleh "nabi" dan "rasul" Ahmadiyah yang terdapat dalam kitab suci "Tadzkirah" yang artinya: "Dialah tuhan yang mengutus rasulnya 'Mirza Ghulam Ahmad' dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 621)

Berdasarkan keterangan yang ada dalam kitab suci Ahmadiyah di atas :

BAHWA AHMADIYAH BUKAN SUATU ALIRAN DALAM ISLAM, TETAPI MERUPAKAN SUATU AGAMA YANG HARUS DIMENANGKAN TERHADAP SEMUA AGAMA-AGAMA LAINNYA TERMASUK AGAMA ISLAM

10. Ahmadiyah mempunyai nabi dan rasul sendiri, kitab suci sendiri, tanggal, bulan dan tahun sendiri, tempat untuk haji sendiri serta khalifah sendiri yang sekarang khalifah yang ke-4 yang bermarkas di Inggris bernama: Thahir Ahmad. Semua anggota Ahmadiyah di seluruh dunia wajib tunduk dan taat tanpa reserve pada perintah dia. Orang di luar Ahmadiyah adalah kafir dan wanita Ahmadiyah haram kawin dengan laki-laki di luar Ahmadiyah. Jika tidak mau menerima Ahmadiyah tentu mengalami kehancuran

11. Berdasarkan "ayat" kitab suci Ahmadiyah "Tadzkirah" bahwa tugas dan fungsi Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul yang dijelaskan oleh kitab suci umat Islam Al-Qur'an, dibatalkan dan diganti oleh "nabi" orang Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad

11.1. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab suci'Tadzkirah" ini dekat dengan Qadiyan-India. Dan dengan kebenaran Kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun." ("kitab suci" Tadzkirah hal.637.)

11.2. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Katakanlah-wahai Mirza Ghulam Ahmad-jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 630)

11.3. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah Artinya: "Dan Kami tidak mengutus engkau -wahai Mirza Ghulam Ahmad- kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." ("kitab suci " Tadzkirah hal. 634)

11.4. Firman "tuhan" dalam kitab suci "Tadzkirah": Artinya: "Katakan -wahai Mirza Ghulam Ahmad- sesungguhnya aku ini manusia biasa seperi kamu, hanya diberi wahyu kepadaku." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 633)

11.5. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu -wahai Mirza Ghulam Ahmad- kebaikan yang banyak." ("kitab suci" Tadzkirah hal.652)

11.6. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau -wahai Mirza Ghulam Ahmad- imam bagi seluruh manusia." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 630)

11.7. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" "Tadzkirah": Artinya: "Oh, pemimpin sempurna, engkau -wahai Mirza Ghulam Ahmad- seorang dari rasul, yang menempuh jalan betul, diutus oleh Yang Maha Kuasa, Yang Rahim." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 658-659)

11.8. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ("kitab suci" Tadzkirah) pada malam lailatul qadr." ("kitab suci" Tadzkirah hal. 519)

11.9. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah-lah yang melempar. (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur'an." ("kitab suci" Tadzkirah hal.620)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang dibajaknya. Ayat-ayat "kitab suci" Ahmadiyah Tadzkirah yang dikutip di atas, adalah penodaan dan bajakan-bajakan dari kitab suci Umat Islam Al-Qur'an. Dan Mirza Ghulam Ahmad mengaku pada umatnya -orang Ahmadiyah- bahwa ayat-ayat tersebut adalah wahyu yang dia terima dari "tuhan"-nya di INDIA.


12. PENODAAN AGAMA DAN HUKUMNYA

12.1 Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sbb: PASAL 56 a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pokoknya bersifat permusuhan. Penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.

12.2 Surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984, a.l.: 2. Pengkajian terhadap aliran Ahmadiyah menghasilkan bahwa Ahmadiyah-Qadiyan dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, sehingga mereka percaya bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir.

13. AHMADIAH DI BERBAGAI NEGARA (red)

13.1. Malaysia telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak tanggal 18 Juni 1975.
13.2. Brunei Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Brunei Darussalam.

13.3. Rabithah `Alam Islami yang berkedudukan di Makkah telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR dan KELUAR DARI ISLAM.

13.4. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR dan TIDAK BOLEH pergi haji ke Makkah.

13.5. Pemerintah Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah golongan MINORITAS NON MUSLIM.

14. K E S I M P U L A N
a. Ahmadiyah sebagai perkumpulan atau jemaat didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadiyan - I N D I A (sekarang Pakistan) tahun 1889, yang karena perbedaan pandangan tentang penerus kepemimpinan dalam Ahmadiyah dan ketokohan pendirinya berkembang dua aliran, yaitu Anjuman Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadiyan) dan Anjuman Ishaat Islam Lahore (Ahmadiyah Lahore). Kedua aliran tersebut mengakui kepemimpinan dan mengikuti ajaran serta paham yang bersumber pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad.

b. Jemaat Ahmadiyah masuk dan berkembang di Indonesia sejak tahun 1920-an dengan menamakan diri Anjuman Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia dan kemudian dinamakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikenal dengan Ahmadiyah Qadiyan, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GIA) yang dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.

c. Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah menerima wahyu, dan dengan wahyu itu dia diangkat sebagai nabi, rasul, al-Masih Mau`ud dan Imam Mahdi. Ajaran dan faham yang dikembangkan oleh pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya terdapat penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menjadi keyakinan umat Islam umumnya, antara lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah saw. (BALITBANG DEPAG RI, Jakarta, 1995 hal. 19, 20,21)
P E N U T U P
Sebagai penutup artikel ini, kami kutipkan ayat Al-Qur`an yang mengancam orang yang mengaku menerima wahyu serta menulis kitab dengan tangannya sendiri, kemudian dikatakannya dari Allah swt dengan dusta yang amat keji seperti yang dilakukan oleh "nabi" Mirza di atas. Allah swt berfirman:
"Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri lalu dikataknnya: 'Ini dari Allah', (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِأَيۡدِيہِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنً۬ا قَلِيلاً۬‌ۖ فَوَيۡلٌ۬ لَّهُم مِّمَّا ڪَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٌ۬ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ (٧٩)

Maka kecelakaanlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan." (Q.S. Al-Baqarah: 79)

Allah swt juga telah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi, sehingga dugaan adanya "nabi" Mirza Ghulam Ahmad sesudahnya adalah mustahil. Berikut firman Allah swt:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمً۬ا
"Muhammad, sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi." (Q.S. Al-Ahzab: 40)
Catatan : Apabila PB Ahmadiyah berkeberatan dengan artikel ini, alangkah baiknya diselesaikan melalui debat terbuka yang disaksikan oleh umat.

Sumber: Buletin LPPI. Masjid Al-Ihsan Lt.III Proyek Pasar Rumput Jakarta 12970 Telp/Fax. (021)8281606







Keterangan:

1. Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 21-22.
2. H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E.J. Brill, 1947), hal. 310.
3. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 66.
4. S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 35-36.
5. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha'i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 29-30.
6. Susmoyo Joyosugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hal. 4.
7. Tim Dakwah PB GAI, Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tabligh dan Tarbiyah, 1984), hal. 9.
8. Muhammad Shadiq, H.A., Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984), hal. 12.
9. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 195.
10. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha'i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 313.
11. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 32.
12. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 115.
13. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 116.
14. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 69-70.
15. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
16. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.


Dikutip dari buku: Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif

insya allah berlanjut
jazakumullah

zaterdag, april 26, 2008

menikah dengan aturan islam(lanjutan)

AHLAN WA SAHLAN

Proses Syar'i Sebuah Pernikahan
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidupSebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

:فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikanAda beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

1Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

:تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ“

Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

2 Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

3 Wanita tersebut masih gadis
1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟“
Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ“

Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.”
(HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)2.
Nazhar (melihat calon pasangan hidup)Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata

:ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ
نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ“

Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)

Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihatinya

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ

“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“

Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu 'anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا“

Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

:إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ‘

Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)

Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar

Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ“

Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanitaKetika nazhar

boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya.
Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

:إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ“

Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan

.Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ“

Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ“

Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).

”Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah.

Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh waliKetika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

1 Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa.
Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ“

Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.

Lafadznya sebagai berikut

:إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71).

5Walimatul ‘urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu 'anhu disebutkan

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ“

Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin.
Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ“

Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

:فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ


Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu 'anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata

:أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ“

Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. Setelah akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.

Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu 'anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

:إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ“

Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu 'anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu 'anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah x.3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:

Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.

Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.

Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.

PERHATIAN:
Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:

Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78) Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)

4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.

jazakumullah