zondag, juni 29, 2008

Tidak Ada Nabi dari Kalangan Wanita dan Jin

AHLAN WA SAHLAN


Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak Ata

Iman kepada para rasul merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani seorang mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ketika ditanya tentang masalah iman oleh Jibril ‘alaihissalam:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
”Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta mengimani qadar yang baik dan jeleknya.” (HR. Muslim no. 1)

Pengertian Rasul
Rasul adalah seorang laki-laki yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa risalah kepada orang-orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Faedah
Seluruh rasul adalah nabi. Namun para ulama menjelaskan perbedaan nabi dengan rasul:
1. Sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi adalah laki-laki yang diberi wahyu dan tidak diperintah untuk berdakwah. Adapun rasul, diperintah untuk berdakwah.
2. Sebagian ulama menjelaskan bahwa rasul diutus dengan risalah yang baru, sedangkan nabi melanjutkan syariat rasul sebelumnya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Alusi dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t.
3. Syaikhul Islam rahimahullahu menyebutkan bahwa rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diutus kepada orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun jika mengamalkan syariat rasul sebelumnya dan tidak diutus kepada kaum tertentu, maka dia adalah nabi bukan rasul.
Kesimpulannya adalah apa yang diucapkan Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu: “Rasul lebih khusus dari nabi. Semua rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, hal 180, Tanbihat Saniyah, hal. 9)

Makna Iman kepada Rasul
Iman kepada rasul mencakup beberapa perkara:
1. Beriman bahwa risalah mereka adalah haq, benar datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang mengingkari risalah salah seorang dari mereka berarti dia telah kufur kepada seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحٍ الْمُرْسَلِيْنَ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy-Syu’ara`: 105)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal tidak ada nabi ketika itu selain Nuh ‘alaihissalam. Demikian pula kaum Nasrani yang telah mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakikatnya mereka telah mendustakan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Apalagi Nabi ‘Isa ‘alaihissalam telah mengabarkan berita gembira akan kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun rasul yang kita tidak tahu namanya, maka kita mengimaninya secara global. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu.” (Ghafir: 78)
2. Mengimani nama-nama para rasul yang telah kita ketahui namanya, seperti Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alaihimussalam.
3. Membenarkan berita-berita yang benar dari mereka.
4. Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
[Lihat Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, hal. 97-98]

Hikmah Diutusnya Para Rasul
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, hikmah diutusnya para rasul adalah:
1. Menegakkan hujjah.
2. Sebagai rahmat bagi alam ini.
3. Menjelaskan jalan yang akan menyampaikan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitab At-Tauhid)

Beberapa Masalah Penting
Seluruh rasul adalah manusia, tidak ada rasul dari kalangan jin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al-Kitab. Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik.” (Al-Hadid: 26)
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Para rasul adalah dari kalangan manusia saja. Demikian yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu dan lainnya dari kalangan salaf dan khalaf.” (Lihat Syarh Ath-Thahawiyah hal. 191)

Semua Rasul adalah Laki-laki
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maknanya, engkau bukanlah rasul yang baru (pertama). Kami tidak pernah mengutus sebelummu malaikat, namun yang Kami utus adalah laki-laki sempurna, bukan dari kalangan wanita.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah –dan ini dinukilkan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dari mereka– bahwa tidak ada nabi dari kalangan perempuan. Yang ada di kalangan mereka adalah shiddiqah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang wanita yang paling mulia, Maryam bintu ‘Imran:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai shiddiqah (seorang yang sangat benar) dalam kedudukan yang paling mulia. Kalau seandainya dia adalah nabi, niscaya akan disebutkan dalam rangka memuliakan dan mengagungkannya. Dia adalah shiddiqah berdasarkan nash Al-Qur`an.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Beliau rahimahullahu berkata: “Ini adalah dalil bahwa Maryam bukanlah nabi. Bahkan derajat tertinggi baginya adalah shiddiqah. Cukuplah hal ini sebagai kemuliaan dan keutamaan. Demikian pula seluruh wanita, tidak ada seorangpun dari mereka yang menjadi seorang nabi. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kenabian adalah dari jenis yang paling sempurna yaitu kaum pria. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di hal. 240)
Ijma’ tentang masalah ini telah dinukil oleh Al-Qadhi Abu Bakr, Al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’ali, dan Al-Kirmani serta selain mereka. (Lihat tahqiq Yasin terhadap Syarh Al-Wasithiyyah)

Tidak Ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Aqidah ini (yakni Muhammad adalah nabi terakhir) telah ditetapkan dalam hadits yang masyhur diterima oleh umat.” (Ta’liq Ath-Thahawiyyah)
Di antara hadits yang beliau isyaratkan adalah:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku diberi keutamaan atas nabi selainku dengan enam hal: aku diberi jawami’ul kalim, ditolong dengan rasa takut, dihalalkan bagiku ghanimah, dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan alat bersuci, aku diutus kepada semua makhluk, dan kenabian ditutup olehku.” (HR. Muslim no. 523)
2. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Akan ada setelahku 30 orang pendusta, semuanya mengaku sebagai nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” (HR. Abu Dawud no. 4252, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Di antara para dajjal tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, yang mengaku sebagai nabi.” (lihat Ta’liqat Ath-Thahawiyyah)
Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu berkata: “Semua pengakuan kenabian setelah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesesatan dan hawa nafsu semata.”

Sebab-sebab Penyimpangan Aqidah
Masalah aqidah merupakan perkara terpenting yang harus dipelajari, dipahami dan dijaga oleh setiap muslim. Kemungkaran terbesar yang harus diingkari adalah penyimpangan aqidah. Namun sangat disayangkan, munculnya penyimpangan-penyimpangan aqidah di kalangan muslimin bukannya diingkari, namun malah diikuti dan ‘dipelihara’.
Di antara sekian panyimpangan aqidah adalah ucapan yang menyatakan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti diserukan oleh Ahmadiyah Qadiyaniyyah, juga Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ucapan mereka jelas sesat dan menyesatkan, bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah yang sebagiannya telah kita sebutkan.
Yang perlu kita cermati adalah, apakah sebab penyimpangan-penyimpangan aqidah? Mengapa sebagian orang tertipu dan terjerumus dalam penyimpangan tersebut?
Penyimpangan dalam aqidah banyak sebabnya. Di antaranya:
1. Kebodohan seseorang akan aqidah yang benar karena tidak mau belajar dan mengajarkannya, serta kurang mementingkan perkara aqidah.
2. Ta’ashub (fanatik) kepada nenek moyang dan orang yang dianggap sesepuh walaupun ajaran mereka adalah batil. Ini adalah penyakit kaum musyrikin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatupun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
3. Taqlid buta, membebek dan mengambil perkataan orang dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meneliti kebenarannya.
4. Kosongnya rumah-rumah kaum muslimin dari pendidikan Islami dan pengajaran aqidah yang benar. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
5. Kurangnya pendidikan aqidah yang benar di sarana-sarana pendidikan dan informasi. Sarana informasi sekarang ini lebih cenderung kepada masalah duniawi, bahkan kebanyakan menjadi alat perusak.
(Lihat Kitab At-Tauhid li shafil awwal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 14,)

Jalan untuk Menjaga Diri dari Penyimpangan
Seorang muslim wajib berusaha menyelamatkan dirinya dari penyimpangan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan:
“Cara-cara untuk menjaga diri dari penyimpangan adalah sebagai berikut:
- Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam menerima masalah aqidah sebagaimana dilakukan para salaf kita yang shalih, karena mereka telah mengambil aqidah dari keduanya. Tidak akan bagus keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membaguskan generasi awalnya. Hal ini disertai dengan pengetahuan terhadap berbagai keyakinan kelompok-kelompok sesat serta syubhat mereka untuk dibantah, dan agar umat diperingatkan dari mereka. Karena seorang yang tidak tahu kejelekan dikhawatirkan dia akan terjatuh padanya
- Mementingkan pengajaran aqidah shahihah –aqidah shalafus shalih– dalam berbagai jenjang pendidikan serta memberikan alokasi waktu yang cukup untuknya.
- Memasukkan pelajaran kitab-kitab salafiyah yang murni dan menjauhkan kitab-kitab kelompok yang menyimpang.
- Dakwah para dai yang memperbaiki dan memperbarui aqidah, yang mengajari aqidah salaf kepada manusia serta membantah kesesatan orang menyimpang.” (Kitab At-Tauhid lishaffil awal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.14-15, dengan sedikit perubahan)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita menuju shirathal mustaqim dan istiqamah di atasnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Jazakumullah

Kisah Ashabus Sabti, Orang-orang yang Melanggar Larangan Hari Sabtu

AHLAN WA SAHLAN
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Kategori : Ibrah

Sepenggal kisah perjalanan bangsa Yahudi yang terkenal dengan tipu muslihat dan makarnya. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.

Negeri Aylah1
Kota yang terletak di tepi laut antara negeri Mesir dan Makkah. Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Al-Bidayah wan Nihayah menambahkan, antara Madyan dan Thur. Negeri yang subur dengan kurma dan hasil laut berupa ikan yang berlimpah. Kota ini merupakan batas pertama wilayah Hijaz. Penduduknya terdiri dari berbagai ras. Kota ini termasuk batas kerajaan Romawi zaman dahulu. Negeri ini pula yang diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ لاَ تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf 163)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Nabi-Nya menanyai orang-orang Yahudi di Madinah, tentang saudara-saudara mereka yang dahulu menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka diterpa azab tiba-tiba karena perbuatan dan tipu muslihat (hiyal) mereka dalam menyelisihi, serta men-tahdzir mereka agar jangan menyembunyikan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum dalam kitab mereka, agar mereka tidak terkena apa yang telah dialami oleh para pendahulu mereka.
Mereka adalah penduduk Aylah. Demikian uraian Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya.
Dahulu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk hari Jum’at. Tapi mereka mengatakan: “Kami akan berusaha untuk hari Sabtu, karena Allah selesai mencipta pada hari Sabtu.”
Akhirnya ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu.
Konon, mereka masih berpegang dengan ajaran Taurat dalam menghormati hari Sabtu di masa itu. Waktu itu, mereka diharamkan melakukan usaha dalam bentuk apapun. Sementara ikan-ikan banyak berenang dari laut ke tempat mereka dengan tenang dan aman tanpa diganggu sedikitpun. Tapi pada selain hari Sabtu, ikan-ikan itu tidak pernah datang lagi.
Melihat hal ini, merekapun melakukan tipu muslihat agar dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Mereka memasang tali, jaring dan perangkap serta menggali lubang ke arah tempat air yang sudah mereka buat untuk menampung ikan-ikan yang dihanyutkan oleh air laut. Sehingga kalau ikan-ikan itu sudah berada di dalam lubang itu, mereka tidak dapat keluar lagi untuk kembali ke laut.
Mereka pun memasangnya pada hari Jum’at. Ketika ikan-ikan datang dan terperangkap pada hari Sabtu, mereka menutup jalur menuju laut sehingga ikan-ikan itu terperangkap. Setelah lewat hari Sabtu, mereka mengambil ikan-ikan tersebut.
Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala murka dan melaknat mereka karena perbuatan yang mereka lakukan untuk melanggar perintah-Nya serta apa yang diharamkan-Nya dengan sebuah tipu muslihat (hiyal). Secara kasat mata, seolah-olah mereka tidak berbuat apa-apa, padahal mereka telah melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan kejadian tersebut: ﮫ (Dan tanyakanlah kepada mereka), yakni Bani Israil, عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ (tentang negeri yang terletak di dekat laut); di tepi pantai, tentang pelanggaran yang mereka lakukan serta hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditimpakan atas mereka, إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ (ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu), padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan mereka agar mengagungkan dan menghormati hari tersebut dan jangan berburu apapun juga. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala uji mereka dengan datangnya ikan-ikan kepada mereka يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا (terapung-apung di permukaan air di hari Sabtu itu), demikian berlimpah, terapung di permukaan laut. وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ ﯠ (dan di hari-hari yang bukan Sabtu), لاَ تَأْتِيهِمْ ﯣ (ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka), mereka berenang di dalam laut hingga tidak terlihat seekor ikanpun. كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik). Jadi, kefasikan merekalah yang menyebabkan mereka diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya mereka tidak melanggar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala maafkan mereka, tidak menghadapkan mereka kepada bala dan kejelekan.
Akhirnya, mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkapnya.
Setelah ada sebagian dari mereka menangkap ikan-ikan tersebut, terpecahlah mereka menjadi tiga; sebagian melakukannya, sebagian lagi mengingkari perbuatan mereka itu, dan yang lain tidak mengerjakan, tidak pula mencegah, tapi mereka mengingkari perbuatan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” (Al-A’raf: 164)
Seolah-olah mereka hendak menyampaikan kepada orang-orang yang mencegah itu: “Apa gunanya nasihat/peringatan buat orang yang melanggar apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mau memerhatikan (nasihat) orang yang memberi nasihat? Bahkan terus-menerus dalam pelanggaran serta sikap melampaui batasnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu mengazab mereka, apakah dengan membinasakan mereka atau dengan siksaan yang berat.”
Orang-orang yang mencegah perbuatan tersebut berkata: “Kami menasihati dan melarang mereka itu:
مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (Al-A’raf: 164)
Yaitu terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada kami dalam ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, karena takut akan azab-Nya. وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (Dan supaya mereka bertakwa), yakni agar mereka mau meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan tersebut sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi mereka dari azab-Nya dan memaafkan mereka kalau mereka bertaubat, serta menunjuki mereka lalu beramal sesuai dengan perintah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-A’raf: 165)
Yakni tatkala mereka tidak mau memerhatikan orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran,
أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar; Kami selamatkan dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim.” Yaitu mereka yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut.
بِعَذَابٍ بَئِيسٍ
“Siksaan yang keras,” yang menyakitkan.
بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya:
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (Al-A’raf: 166)
Adapun kelompok lain yang menegur orang-orang yang mencegah/melarang perbuatan itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?’.”
Para ulama berbeda pendapat tentang kelompok ini, apakah mereka selamat atau juga ikut binasa. Ada yang mengatakan mereka termasuk yang selamat dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapula yang mengatakan mereka juga menerima azab. Secara lahiriah, mereka selamat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kebinasaan itu hanya menimpa orang-orang yang zalim, dan Dia tidak menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim. Sehingga ini menegaskan bahwa hukuman itu hanya khusus menimpa orang-orang yang melanggar larangan di hari Sabtu. Di samping itu, karena amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah; jika sudah ada yang menjalankan maka gugurlah dari yang lain. Jadi, mereka mencukupkan diri karena sudah adanya peringatan dan nasihat dari yang lain. Bahkan ternyata, mereka juga mengingkari perbuatan tersebut, melalui ucapan mereka dalam ayat ini:
لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”
Mereka tampakkan kemarahan terhadap para pelaku maksiat itu, di mana sikap ini menegaskan betapa besar kebencian mereka terhadap perbuatan orang-orang itu, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghukum mereka dengan hukuman yang sangat berat.
Demikian pula menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, yang benar adalah pendapat pertama, bahwa kelompok yang hanya mengingkari saja, juga selamat. Kepada pendapat inilah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma rujuk, setelah dia berdiskusi dengan maula-nya, ‘Ikrimah rahimahullahu.
Ceritanya, ketika ‘Ikrimah menemui Ibnu ‘Abbas, dia melihat Ibnu ‘Abbas sedang menangis. Lalu dia bertanya apa yang menyebabkannya menangis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan ayat-ayat ini kepadanya seraya berkata: “Tahukah engkau negeri Aylah?”
“Ya,”kata ‘Ikrimah.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Ada segolongan Yahudi di sana, datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk. Tapi di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan susah payah. Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain.”
Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini, dan yang lain melarang dan mencegah: “Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya pada hari Sabtu.”
Setelah itu Ibnu Katsir rahimahullahu menguraikan kisah seputar tipu muslihat yang mereka lakukan lalu berkata: “Kemudian Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumamembaca ayat ini:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras.” (Al-A’raf: 165)
Lalu beliau radhiyallahu ‘anhumaberkata: “Saya lihat, orang-orang yang melarang itu selamat, tapi saya tidak melihat yang lain disebut-sebut. Sementara kita juga melihat banyak hal yang kita ingkari dan tidak mengatakan apa-apa.”
Sayapun berkata: “Semoga Allah jadikan aku tebusanmu. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka juga membenci dan menyelisihi apa yang dilakukan orang-orang yang melanggar tersebut? Bahkan mereka mengatakan (sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut):
لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?”
Kemudian, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumamemberinya dua helai kain tebal. Demikian pula riwayat Mujahid dari beliau. Sekian uraian Ibnu Katsir rahimahullahu.
(Bersambung, insya Allah)

1 Inilah yang masyhur, meskipun sebagian ulama ada yang tidak memastikan bahwa nama negeri itu adalah Aylah. Yang jelas, dia adalah sebuah kota pantai (di Laut Merah). Sekarang lebih dikenal dengan nama Teluk Aqabah. Wallahu a’lam.

SUMBER MAJALAH SYARIAH
jazakumullah

MUHAMMADA NABI TERAKHIR

AHLAN WA SAHLAN
Kenabian dan Kerasulan Berakhir dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad bin Abdillah Al-Hasyimi

Telah menjadi keyakinan yang asasi dalam Islam, bahwa Muhammad bin Abdillah adalah nabi sekaligus rasul terakhir. Maka sebagai bagian dari prinsip keimanan, tak ada tawar-menawar dalam perkara ini. Tidak ada pula kemungkinan bagi datangnya “kebenaran baru”, sebagaimana diistilahkan para pembela ajaran nabi palsu.

Merupakan aqidah yang paten, keyakinan yang kokoh melebihi kekokohan gunung-gunung yang tinggi menjulang, bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi kita Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib Al-Hasyimi (dari Bani Hasyim) Al-Qurasyi (dari Quraisy) Al-Arabi (dari bangsa Arab), sehingga dialah Nabi dan Rasul terakhir.
Keyakinan demikian merupakan penegasan dari atas tujuh langit, dari Allah Rabb semesta alam, Yang menguasai kerajaan langit dan bumi serta dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terbesar atas umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka. Sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain agama mereka. Tidak butuh pula kepada nabi selain Nabi mereka. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para Nabi serta Allah Subhanahu wa Ta’ala utus dia kepada manusia dan jin.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
(ﯱ ﯲ) artinya adalah penutup para Nabi. Demikian disebutkan oleh para mufassir -baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun selainnya- seperti ditegaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, Al-Qurthubi, Al-Baghawi, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Al-Khazin, An-Nasafi, Fakhruddin Ar-Razi, Az-Zamakhsyari, dan kalangan ahli tafsir selain mereka rahimahumullah. Tidak ada yang menyelisihi mereka kecuali orang-orang belakangan, dan yang tidak memahami bahasa Arab yang dengan bahasa ini Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan Al-Qur`an.
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini merupakan penegasan bahwa tiada nabi setelahnya. Dan bila tiada Nabi setelahnya, tentu lebih-lebih tiada rasul (setelahnya)… Dengan itulah datang keterangan berupa hadits-hadits yang mutawatir dari rasul.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 3/501)
Ya, Nabi kita yang mulia yang tidak berbicara dari hawa nafsunya melainkan dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dialah ash-shadiqul mashduq, yang jujur lagi dibenarkan. Beliau telah menegaskan dalam hadits yang cukup banyak jumlahnya, bahkan sampai derajat mutawatir –sebagaimana penegasan Ibnu Katsir rahimahullahu di atas– bahwa kerasulan dan kenabian telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan beliau. Sehingga beliaulah Nabi dan Rasul yang terakhir, tiada nabi dan rasul setelahnya. Berikut ini sebagian hadits tersebut:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ، الْأَنْبِيَاءُ أَوْلادُ عَلَّاتٍ وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ. قَالَ: فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ قَصْرٍ أُحْسِنَ بُنْيَانُهُ وَتُرِكَ مِنْهُ مَوْضِعُ لَبِنَةٍ فَطَافَ بِهِ نُظَّارٌ فَتَعَجَّبُوا مِنْ حُسْنِ بُنْيَانِهِ إِِلاَّ مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ لاَ يَعِيبُونَ غَيْرَهَا فَكُنْتُ أَنَا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ خُتِمَ بِيَ الرُّسُلُ
“Aku adalah orang yang paling dekat dengan Ibnu Maryam. Para Nabi itu adalah anak-anak seibu, dan tidak ada nabi antara aku dan dia.” Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan aku dengan para Nabi yang lain adalah bagaikan sebuah istana yang bangunannya diperindah lalu dibiarkan dari bangunan itu satu tempat untuk satu batu bata. Maka orang-orang yang memandangnya berkeliling sehingga merekapun terheran -heran dengan keindahan bangunannya, kecuali satu tempat batu bata tersebut. Mereka tidak mencacat selainnya. Maka akulah yang menduduki tempat batu bata tersebut, ditutup denganku para Rasul.” (HR. Ibnu Hibban, bab Dzikru Tamtsilil Mushthafa ma’al Anbiya` bil Qashril Mabni, 14/361)
Dalam lafadz Al-Bukhari dan Muslim (وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ) “Dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR. Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab Khataminnabiyyin; Muslim Kitabul Fadha`il, Bab Dzikru Kaunihi Khatamannabiyyin)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ...
“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Anbiya`, Bab Ma Dzukira ‘an Bani Isra`il, no. 3268; Muslim Kitabul Imarah Bab Wujubul Wafa` bi Bai’atil Khulafa` Al-Awwal fal Awwal)
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus sehingga tidak ada Rasul sepeninggalku dan tidak ada Nabi.” (HR. At-Tirmidzi 4/533 no. 2272, beliau berkata: “Hasan Shahih,” Kitab Ar-Ru`ya, Bab Dzahabatin Nubuwwah wa Baqiyat Al-Mubasyirat; Ahmad 3/267, Al-Hakim 4/433, beliau mengatakan: “Sanadnya shahih menurut syarat Muslim.”)
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلىَ الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ؛ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْـخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku diberi kelebihan atas para nabi dengan enam perkara, aku diberi jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas namun padat), aku diberi kemenangan dengan rasa takut dalam diri musuh, dihalalkan untukku rampasan perang, dijadikannya tanah untukku sebagai alat bersuci dan tempat shalat, serta aku diutus kepada makhluk seluruhnya, dan para nabi ditutup denganku.” (Shahih, HR. Muslim Kitabul Masajid wa Mawadhi’ Ash-Shalah)
Demikian beberapa hadits dari Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih terdapat banyak lagi hadits yang lain.
Para sahabat Nabi, orang-orang yang ridha terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-pun ridha terhadap mereka, juga bersepakat bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka serentak memerangi Musailamah Al-Kadzdzab dan nabi-nabi palsu yang lain di masa mereka.
Sehingga para ulama pun berjalan di atas jalur ini. Jalur keselamatan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan yang para sahabat beliau berjalan mengikutinya.
Berikut adalah beberapa kutipan pernyataan dari ulama tersebut:
 Seseorang mengaku nabi di masa Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu (wafat 150 H) dan mengatakan, ‘Beri aku waktu sehingga aku akan mendatangkan tanda-tandanya.” Maka Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa meminta tanda dari orang itu maka dia telah kafir, berdasarkan sabda Nabi: ‘Tiada Nabi setelahku’.”
 Ath-Thahawi rahimahullahu (wafat 321 H) berkata dalam bukunya Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah: “Dan bahwa beliau (Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penutup para Nabi, imam orang-orang yang bertaqwa, pemimpin para Rasul, kekasih Rabbul alamin. Dan seluruh pengakuan kenabian setelahnya adalah kesesatan dan hawa nafsu.”
 Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu (wafat 456 H) berkata: “Sesungguhnya wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai bukti akan hal itu adalah bahwa wahyu tidak diberikan kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40) [Al-Muhalla, 1/26]
 Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengakui adanya kenabian pada seseorang bersamaan dengan Nabi kita atau setelahnya, semacam kelompok ‘Isawiyyah dari kalangan Yahudi yang menganggap bahwa kerasulan Muhammad hanya kepada orang Arab, atau seperti kelompok Al-Khurramiyyah yang beranggapan bahwa para rasul itu terus berkesinambungan, maka mereka semuanya itu adalah kafir, tidak memercayai Nabi (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ia adalah penutup para Nabi dan tiada Nabi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan bahwa ia diutus kepada manusia seluruhnya. Umat pun bersepakat (ijma’) bahwa pernyataan ini dipahami apa adanya, dan apa yang terpahami darinya itulah yang dimaukan, tanpa perlu diselewengkan atau di-takhshish. Maka tidak diragukan akan kafirnya mereka secara pasti, dengan kekafiran yang disepakati dan berdasarkan dalil.” (Asy-Syifa`)
 Ulama-ulama besar di India pada abad 12 H menuangkan dalam fatwa mereka: “Bila seseorang tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai akhir para Nabi maka dia bukan seorang muslim. Seandainya dia mengatakan ‘Aku adalah rasul Allah’ atau dengan bahasa Persia (yang artinya) ‘Aku adalah Nabi’, dan ia maksudkan ‘Aku datang dengan kerasulan’ maka dia kafir.” (Al-Fatawa Al-Alamkiriyyah, 2/263)

Penyelewengan Ahmadiyah terhadap Makna Ayat
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih bahkan mutawatir demikian tegas dan secara pasti menunjukkan bahwa tiada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, orang-orang Ahmadiyah tetap berusaha menakwilkan, menyelewengkan dari makna aslinya, agar dapat menemukan celah bagi mereka untuk melegitimasi aqidah sesat mereka, sehingga dengan mudah dapat mengelabui masyarakat awam. Di antara bentuk penyelewengan makna ayat adalah:
1. Mereka mengartikan (خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) yang berarti penutup atau akhir para Nabi dengan makna (أَفْضَلُ النَّبِيِّينَ) yang paling utama dari para Nabi.
2. Atau mengartikannya dengan mahar para Nabi.
3. Kata (النَّبِيِّينَ) yang berarti para Nabi yakni seluruhnya, mereka artikan dengan sebagian para Nabi.
Dengan penyelewengan makna ayat tersebut, tentu ayat tersebut bukan lagi merupakan nash yang tidak menerima tawar-menawar dalam hal berakhirnya kenabian dan kerasulan dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk itu sangat perlu dilakukan pencerahan, agar manipulasi makna ayat tersebut terkuak, sehingga ayat tetap diartikan dengan makna yang sesungguhnya.
Adapun penyelewengan yang pertama, yaitu pengartian (خَاتَمُ النَّبِيِّينَ) dengan arti yang paling utama dari para nabi. Perlu diketahui bahwa pengartian tersebut sama sekali tidak didukung oleh bahasa Arab yang Al-Qur`an turun dengannya. Di mana tidak satupun para pakar bahasa Arab dan para ahli tafsir yang mengartikannya semacam pengartian mereka. Sebagai contoh:
 Dalam Majma’ Biharil Anwar, penulisnya Muhammad bin Thahir Al-Hindi mengatakan: Al-Khatim (dengan kasrah huruf ta’) dan Al-Khatam (dengan fathah huruf ta’) keduanya adalah termasuk Nama Nabi (Muhammad bin Abdillah). Yang dengan fathah berarti isim (artinya, yang terakhir dari para Nabi). Adapun yang dengan kasrah berarti isim fa’il (artinya, yang mengakhiri para nabi).
 Az-Zabidi dalam kamus Tajul ‘Arus mengatakan: “Di antara nama-nama Nabi adalah Al-Khatim dan Al-Khatam, artinya yang menutup kenabian dengan kedatangannya.”
 Ibnu Faris mengatakan: “(Kata kerja) Kha-ta-ma, artinya mencapai akhir sesuatu. Dan Nabi itu (disebut) Khatimul anbiya, karena beliau adalah akhir para Nabi.”
Penjelasan semakna disebutkan juga oleh ahli bahasa yang lain, semisal Raghib Al-Ashfahani, Al-Jauhari, Abul Baqa’, dan Al-Fairuzabadi.
Seorang ulama Pakistan terkemuka, Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan setelah menukilkan ucapan para ahli bahasa tersebut: “Inilah yang dikatakan para imam dalam bahasa Arab, orang-orang yang ahli di bidangnya. Kami nukilkan dari kamus-kamus yang terpenting dalam bahasa Arab, dan masing-masing menyebutkan bahwa makna khatam adalah akhir. Sehingga saya tidak mengerti bagaimana orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab sedikitpun menganggap bahwa makna Khatam bukanlah akhir, namun maknanya adalah yang paling utama. Kemudian dengan makna (penutup) ini juga para imam tafsir menafsirkannya.”
Lalu beliau mengutip tafsir mereka, yang telah kami sebut nama-nama sebagian mereka pada halaman yang telah lewat.
Di samping penafsiran ala Ahmadiyah tersebut tidak sejalan dengan bahasa Arab, tentu juga tidak sesuai dengan kandungan ayat Al-Qur`an yang lain serta tidak sesuai dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir, serta menyelisihi ijma’ para sahabat dan para imam setelah mereka.
Adapun penyelewengan yang kedua, di mana Khatam diartikan mahar, mahar para nabi. Menurut mereka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mahar kepada orang-orang, yang dengan mahar itu seseorang bisa menjadi nabi.
Tentang hal ini Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Tidak lain ini adalah omongan rendahan, (pengartian yang) tidak dikenali oleh orang Arab… Tidak pernah didengar oleh bangsa Arab dan tidak didapati dalam bahasa-bahasa mereka, bahkan sampaipun dalam bahasa-bahasa lain.”
Adapun penyelewengan yang ketiga, yakni ‘para nabi’ diartikan oleh mereka dengan ‘sebagian para nabi’ sehingga arti ayat tersebut menjadi ‘penutup sebagian dari para nabi’, yakni nabi yang memiliki syariat tersendiri (ash-habusy-syari’ah). Yang mereka maukan adalah Nabi yang tidak memiliki syariat tersendiri, namun menginduk kepada Nabi yang sebelumnya (Nabiyyun Muttabi’). Kesempatan munculnya Nabi yang seperti ini belum ditutup, bahkan masih terbuka.
Menanggapi syubhat ini, Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Ucapan mereka bahwa yang dimaksud dengan kata ‘para Nabi’ (dalam ayat) adalah para Nabi yang memiliki syariat tersendiri, adalah ucapan yang batil, tidak berdasarkan dalil. Karena (pada ayat tersebut) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan antara para Nabi yang membawa syariat tersendiri dengan yang tidak membawa syariat tersendiri. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mengatakan ‘Nabiyyin’ artinya ‘para Nabi’ dengan bentuk kata yang umum dan mutlak. Dan yang dikenal dalam ilmu ushul bahwa sebuah kata dalam bentuk yang umum maka berlaku sesuai keumumannya, dan yang dalam bentuk mutlak maka berlaku sesuai kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengikatnya. Dan dalam hal ini tidak terdapat suatu indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah nabi-nabi tertentu. Berbeda dengan nash-nash shahih yang justru menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kenabian secara umum, sebagaimana yang telah lewat.
Andaipun ayat dipahami menurut versi mereka yakni dalam tafsir yang menyeleweng, yakni ‘penutup nabi-nabi yang membawa syariat tersendiri’, pada kenyataannya mereka tetap menyalahinya. Karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa dirinya adalah Shahibusy-syari’ah, pemilik syariat tersendiri sebagaimana dalam buku Arba’in karya Ghulam no. 4 hal. 7.” (dinukil dari Al-Qadiyaniyyah wa ‘Aqa`iduha, hal. 337)
Walaupun di saat yang lain ia juga mengaku bahwa dirinya hanya menginduk kepada syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat pembahasan: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah)
Ya, begitulah. Plin-plan, bahkan dusta. Karena kenyataannya ajaran yang Mirza Ghulam Ahmad bawa sangat bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang semacam ini menjadi ciri khas nabi palsu. Wallahu a’lam.



jazakumullah

SEJARAH KODIFIKASI HADITS NABI

AHLAN WA SAHLAN

Ainul Yaqin


Pendahuluan


Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.



Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.


Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.


Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini.


Tulisan ini selanjutnya akan membahas berkaitan dengan proses kodifikasi al-Hadits. Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas al-Hadits patut diragukan mengingat kodifikasi al-Hadits baru dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam tulisan ini akan disinggung tentang keberadaan al-Hadits sebelum masa kodifikasi khususnya berkaitan dengan adanya penulisan al-Hadits sebelum kodifikasi resmi. Selain itu disingung pula pembahasan tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. Tentang Penulisan al-Hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits.


Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.


Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya; “Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”, Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.? (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321)


Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”. Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39) Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: “Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: ?Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ?apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak “ (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)


Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw”.(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)


Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.


Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: “Bersabda Rasulullah saw, “tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah “ (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31)


Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri “Dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya” (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)


Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.


Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.


Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.


Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"


Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.


Proses Kodifikasi al-Hadits


Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.


Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”. (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29)


Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq


Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).


Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.


Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya. Sungguh aneh karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu tentang hadits.


Dalam bukunya “Studies In Early Hadith Literature” yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’in kecil dan tabi’ttabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib.


Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.


Kesimpulan


Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt


Azami, Muhammad Musthafa., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994


Al-Bukhari, al-Imam, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr, Bairut, tt


Al-Darimi, Abu Muhammad, Sunan al-Darimi, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1987


Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya, 1998


Ibnu Hanbal, al-Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut, tt


Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (tejemahan Endang Sutari dan Mujio), Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994


Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis, Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004


Muslim, al-Imam, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, tt.


al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993


al-Tirmidzi, al-Imam, Sunan al-Tirmidzi Juz V, Dar al-Fikr, Bairut, tt.



jazakumullah

vrijdag, juni 27, 2008

AGAR RIZKI MENDAPAT KEBERKAHAN

AHLAN WA SAHLAN

EUROMOSLEM ONLINE tahun ke sembilan no. 384.

Media Dakwah PPME AMSTERDAM. Terbit Setiap Hari Jum’at

AGAR RIZKI MENDAPAT KEBERKAHAN:

Dua Syarat Meraih Keberkahan
Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri



MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?

Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?

Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]

DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.

“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun”

[Saba : 15]

Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.

Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]

Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan” [4]

Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?

DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.

Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba- Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.

Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.

Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]

Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.

“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]

Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]

Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.

Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]

Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]

Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” [Al-kahfi : 82]

Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]

Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]

Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun ‘alaih]

Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]

Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
___________
Footnotes
[1]. Al-Misbahul- Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236. Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59 Fathul Bari 6/411

jazakumullah

Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran

AHLAN WA SAHLAN





Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu,121 menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas.122 Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.

Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.123

Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an.124 Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?

Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka."125 Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.

Al-Quran dan Alam Raya

Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut:

(1) Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk --mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah SWT.

Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).

(2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.

Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:

(a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.

(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).

(3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.

Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah

(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.

(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.

(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini.

(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir --khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.

Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah

Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.

Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.126 Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."127 Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."128

Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.

Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.129

Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.

Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."130

Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran.131 Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan).132 Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.

Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya

Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.

Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan), ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.

Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.

Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit ..."133 Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.

Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan hujan. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.

Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ...134

Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahaesa itu.

Catatan kaki

121 Jumlah ini adalah yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo 1957, jilid I, h. 249.

122 Lihat, antara lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an, Kairo, 1350 H, jilid I, h. 3.

123 Lihat Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Dar Al-Qalam, Mesir, Cetakan II, t.t., h. 13, dan seterusnya.

124 Al-Ghazali, Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I, t.t., h. 31.

125 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t., jilid 1, h. 46.

126 Muhammad Ridha Al-Hakimi, Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits, Dar Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.

127 Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar Al-I'thisham, Kairo, 1976, h. 12.

128 Muhammad Ridha Al-Hakimi, loc cit.

129 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 182.

130 Ibid.

131 Bint Al-Syathi', Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Dar Al-Ilmu li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 313.

132 Muhammad Husain Al-Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h. 6.

133 Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.

134 Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah, Dar Al-Ma'arif Mesir, 1960, h. 363, dan seterusnya