dinsdag, oktober 14, 2008

PENYEBAB MUNCULNYA RAGAM BACAAN

AHLAN WA SAHLAN

oleh Prof .DR.azhami .MA


Salah satu pintu gerbang masuknya serangan pihak Orientalis terhadap Al-Qur’an adalah membuat kekacauan terhadap naskah teks Al-Qur’an itu sendiri. Menurut perkiraan saya, terdapat lebih dari 250,000 naskah AI-Qur’an dalam bentuk manuskrip, secara lengkap maupun sebagian-sebagian, sejak abad pertama hijrah hingga hari ini. Kesalahan-kesalahan telah diklasifikasikan dalam lingkungan akademik pada dua kelompok disengaja maupun tidak, dan dalam koleksi manuskrip yang banyak ini sudah pasti dalam sekejap mata para penulis boleh melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Ilmuwan yang membahas subjek itu tahu dan paham betul bagaimana susahnya kesalahan konsentrasi sesaat dapat membahayakan, sebagaimana dibicarakan secara gamblang dalam beberapa karya tulis berikut ini: (1) Ernst Wurthwein, The Text of the Old Testament, edisi kedua yang telah direvisi dan diperluas, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1995; (2) Bart D. Ehrman, The Orthodox Corruption of Scripture, Oxford Univ. Press, 1993; dan (3) Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, Edisi ketiga, Oxford Univ. Press, 1992.
Buku pertama mengupas PL (Perjanjian Lama) dan yang lainnya tentang PB (Perjanjian Baru). Semua karya tulis tersebut mengelompokkan kesalahan dengan memakai istilah seperti transposisi, haplografi, dan dittografi yang kadang-kadang ditujukan pada penulis yang sudah meninggal dunia guna mengalihkan perhatian yang ada dalam pikirannya di mana ia melakukan ke­salahan sejak ribuan tahun yang silam.1 Hanya saja perlakuan seperti itu tidak mungkin dapat diterapkan terhadap Al-Qur’an, di mana terjadinya banyak kesalahan-yang jelas ada akibat keletihan dalam penulisan-dianggap sebagai variasi yang betul-betul terjadi, sebagai bukti yang dianggap dapat merusak kitab suci kaum Muslimin.
Betul bahwa ini sangat susah dalam menentukan apakah kesalahan ini disengaja atau tidak; untuk marilah kita selesaikan dua kemungkinan yang dapat mengakibatkan kerusakan teks Al-Qur’an.
Sebagaimana kita maklumi, Mushaf ‘Uthmani betul-betul minus tanda titik. Goldziher yakin bahwa perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an adalah akibat kekeliruan dalam penulisan bahasa Arab (palaeografi) zaman dulu, tidak ada titik dan tidak ada tanda diakritikal. Oleh karena itu, bentuk kata fil saat dibuang tanda titiknya memungkinkan lahirnya ragam bacaan seperti: ,
Ini berarti: dia telah dibunuh seekor gajah sebelum mencium tubuh bagian depan seperti yang telah disebut.2 Dalam bab ini saya akan mencoba menolak anggapan tentang palaeografi Arab yang tidak mempunyai tanda titik sebagai sumber kerusakan, distorsi, dan penyelewengan terhadap Al-Qur’ an.
1. Sistem Bacaan (Qira’at) Sebagai Sunnah
Ilmu qira’at yang benar (ilmu seni baca AI-Qur’an secara tepat) diper­kenalkan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri, suatu praktik (sunnah) yang me­nunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan AI-Qur’an: Teks Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad saw. secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya. Kedua-duanya haram untuk bercerai.
‘Umar dan Hisham bin Hakim ketika berselisih bacaan tentang sepotong ayat dalam Surah al-Furqan walaupun pernah sama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad saw., ‘Umar bertanya pada Hisham siapa yang telah mengajarnya. Dia menjawab, “Nabi Muhammad 3 Kejadian serupa dialami oleh Ubayy bin Ka’b.4 Tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad .
Kita juga menemukan seorang ahli tata bahasa5 yang menyatakan bahwa bacaan kata-kata tertentu, menurutnya, lebih disukai jika mengikuti tata cara aturan bahasa karena perubahan dalam tanda diakritikal tidak membawa makna yang berarti. Walau demikian, ilmuwan-ilmuwan tetap memegang teguh sistem bacaan yang diperkenalkan melalui saluran atau sumber yang sah guna menolak usaha mengada-ada serta tetap mempertahankan pandangan bahwa qira’at hukumnya sunnah yang tidak ada seorang pun memiliki wewenang untuk mengubah seenaknya.
Kita perlu mencatat, biasanya orang-orang tidak mau membeli Mushaf di pasar murahan setelah selesai belanja waktu pagi dari penjual ikan dan sayuran lalu pulang menghafal surah secara pribadi.6 Belajar secara lisan melalui seorang instruktur yang memiliki otoritas keilmuan sangat diperlukan, biasa­nya rata-rata lima ayat per hari. Tradisi ini terjadi di akhir seperempat pertama abad pertama hijrah ketika Abu Bakr bin ‘Ayyash (w. 193 H.) belajar Al­Qur an dari Ibn Abi an-Najud (w. 127 H.) sewaktu masih muda.7 Artinya, tidak ada bacaan bermula dari kevakuman atau hasil tebakan seorang penggubah yang dilakukan secara pribadi di mana ketika mulai muncul lebih banyak bacaan orang-orang yang memiliki otoritas, semua sumber dapat dilacak sampai kepada Nabi Muhammad Pada zaman sahabat muncul sebuah buku tentang subjek ragam bacaan yang dibuat untuk kepentingan masa depan dalam skala kecil.8 Dengan waktu yang telah menyaksikan perkembangan buku yang semakin banyak untuk membandingkan bacaan ilmuwan yang terkenal dari beberapa pusat keilmuan, ujung tombak terdapat dalam buku Ibn Mujahid.
2. Perlu Banyak Ragam Sistem Bacaan:Penyederhanaan Bacaan bagi Mereka yang tak Biasa (Non Arab)
Kesatuan dialek yang sudah Nabi biasa dengannya sewaktu masih di Mekah mulai sirna setibanya di Madinah. Dengan meluasnya ekspansi Islam melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa dan dialek baru, berarti berakhirnya dialek kaum Quraish yang dirasa sulit untuk dipertahankan. Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip hadith berikut ini:
Ubayy bin Ka’b melaporkan bahwa ketika Nabi berada dekat lokasi banu Ghifar Malaikat Jibril datang dan berkata, “Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Al-Qur’an kepada kaummu dalam satu dialek,” lalu Nabi bersabda, “Saya mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu” lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu agar membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam dua dialek,” Nabi Muhammad lalu menjawab, “Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak akan mampu melakukannya,” Jibril datang ketiga kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam tiga dialek,” dan lagi-lagi Nabi Muhammad %% berkata, “Saya mohon arnpunan Allah, Kaumku tidak akan mampu melakukannya,” Lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan, “Allah telah mengizinkanmu membacakan Al-Qui an kepada kaummu dalam tujuh dialek, dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah saja.”9
Ubayy (bin Ka’b) juga melaporkan.
Rasulullah bertemu Malaikat jibril di Batu Mira’ (di pinggiran Madinah, dekat Quba) dan berkata kepadanya, ” Saya telah diutus kepada suatu bangsa buta huruf, di antaranya, orang tua miskin, nenek-nenek, dan juga anak-anak,” Jibril menjawab, “Jadi suruh saja mereka membaca Al-Qur’an dalam tujuh dialek (ahruf).”
Lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkan hadith yang mengukuhkan bahwa Al-Qur’an telah diturunkan dalam tujuh dialek ( ).11 Di sini kita tambahkan bahwa ada empat puluh pendapat ilmuwan tentang makna ahruf (secara literal: huruf-huruf). Beberapa dari kalangan mereka mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Al-Qur’an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek orang Quraish. Konsesi diberikan melalui anugerah Allah
Sebelumnya telah kita lihat bagaimana dialek yang berlainan telah memicu perselisihan pada dasawarsa berikutnya, di mana mempercepat langkah ‘Uthman menyiapkan sebuah Mushaf dalam dialek orang Quraish. Akhirnya, jumlah semua ragam bacaan yang terdapat dalam kerangka lima Mushaf resmi tidak lebih dari empat.puluh karakter, dan seluruh pembaca yang ditugaskan mengajar Al-Qur an wajib mengikuti teks Mushaf tersebut clan agar meneliti sumber otoritas dari mana mereka mempelajari bacaan sebelumnya. Zaid bin Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur’an, menyatakan bahwa ( )12 (”Seni bacaan (qira’at) Al-Qur’an merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh”). Penjelasan akan hal ini telah kita masukan ke dalam bab-bab sebelumnya.Variasi adalah suatu istilah yang saya sebenarnya kurang begitu sreg memakainya. Dalam masalah tertentu, istilah itu secara definitif dapat memberi nuansa akan ketidakpastian. Jika pengarang ash menulis satu kalimat dengan caranya sendiri, kemudian rusak akibat kesalahan dalam menulis lalu kita perkenalkan prinsip ketidakpastian; akhirnya penyunting yang tak dapat mem­bedakan mana yang betul dan mana yang salah, akan meletakkan apa yang ia sangka sesuka hatinya ke dalam teks, sedangkan lainnya dimasukkan ke dalam catatan pinggir. Demikian halnya dengan masalah variasi (ragam bacaan). Akan tetapi masalah Al-Qur’an jelas berlainan karena Nabi Muhammad , satu-satunya khalifah Allah sebagai penerima wahyu dan transmisinya, secara pribadi mengajarkan ayat-ayat dalam banyak cara. Di sini tak ada dasar keragu­raguan, tak terdapat istilah kabut hitam maupun kebimbangan, clan kata `varian’tampak gagal dalam memberi arti yang masuk akal. Kata multiple jauh dapat memberi penjelasan akurat, oleh karena itu, di sini saya hendak meng­giring mereka pada pemakaian “multiple reading’ (banyak bacaan). Salah satu alasan yang melatarbelakangi fenomena ini adalah adanya perbedaan dialek dalam bahasa Arab yang perlu diberi tempat selekas mungkin, seperti telah kita bicarakan di atas. Alasan kedua dapat jadi merupakan sebuah upaya mem­perjelas masalah dengan cara yang lebih baik, beberapa makna yang tersirat dalam ayat tertentu dengan menggunakan dua kata, yang semuanya muncul resmi dari perintah Allah Contoh yang sangat jelas dalam hal ini adalah Surah al-Fatihah, di mana ayat ke empat dibaca malik (Pemilik) atau malik (Raja) di hari pembalasan. Kedua-dua kata tadi diajarkan oleh Nabi Muhammad , dan oleh karena itu menjadikannya bacaan yang banyak (multiple), bukan beragam (variant).
Tidak heran jika para orientalis menolak keterangan yang diberikan oleh pihak Muslim dan ingin coba-coba merekayasa teori sendiri. Sebagai ke­panjangan upaya membuat Al-Qur’an edisi kritikal, tujuannya ingin menyoroti variasi bacaan. Pada tahun 1926 Arthur Jeffery menyepakati bekerja sama dengan Prof Bergstrasser dalam menyiapkan sebuah arsip materi (potongan ayat-ayat Al-Qur’an) agar di suatu masa memungkinkan menulis sejarah perkembangan teks Al-Qur’an.13 Dalam pencariannya dia meneliti kurang lebih 170 jilid-beberapa sumber masih dapat dipercaya, namun banyak bernilai kelas murahan. Koleksinya tentang varian sampai 300 halaman dalam bentuk cetak, mencakup Mushaf pribadi yang dihasilkan oleh sekitar tiga puluh orang ilmuwan. Dalam bab ini saya akan membatasi diri melakukan kajian kritis pada satu aspek jerih payah yang dilakukan Jeffery, hasil karyanya tentang variants. Sedang aspek lain kita akan jabarkan kemudian.
3. Penyebab Utama Munculnya Banyak (Multiple) Bacaan(Variants, beragam): Pandangan Orientalis
Menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.14 Jika ia menemukan kata tanpa tanda titik boleh saja dibaca: atau sesuai dengan pilihan karakternya. Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna menye­suaikan pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman Jeffery, Goldziher dan lainnya berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.15
Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik. Tiga contoh mungkin cukup:.a. dapat dibaca: 16b. dapat dibaca: 17c. dapat dibaca: 18
Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal
Bagi yang tidak begitu mengenal sejarah seni baca Al-Qur’an (qira’at), contoh seperti itu mungkin dianggap sah. Tetapi walau bagaimanapun semua teori harus berhadapan pada ujian terlebih dulu sebelum dipertimbangkan sebagai teori yang sah, dan kajian Islam sayangnya berkembang dengan satu cara yang slap pakai tanpa memerlukan ujian segala. Jadi marilah kita evaluasi pernyataan-pernyataan mereka.
Tampaknya Jeffery dan Golziher benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital, tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap mengacu pada Mushaf ‘Uthmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.19 Atas dasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat nyleneh ingin memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau mempertimbangkan jumlah pem­baca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324 H.) menghitung, seluruh Mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.20 Membandingkan teori dengan kenyataan ini hanya untuk menunjukkan kesalahan hipotesis mereka.
Beberapa contoh konkret untuk membantu memperkuat pendapat saya:
Contoh pertama (dalam kolom pertama, kata yang diragukan diberi tanda dengan warna yang berbeda; kolom tengah adalah rujukan surah: ayat):
Kata yang berwarna dalam tiga ayat dapat dibaca menurut konteksnya seperti khat atau khat
Contoh kedua:
Secara kosakata (leksikografi) kedua-dua bentuk adalah sah pada setiap kasus.
Contoh ketiga
Sekali lagi, Menurut leksikografi kedua-dua bentuk ini adalah sah pada setiap ayat.21
Saya dapat menggoreskan tinta pena lebih kuat dengan mengangkat contoh lebih banyak lagi, tetapi contoh di atas sudah dirasa cukup untuk membuktikan pendapat saya. Secara literal ada ribuan contoh di mana kedua-dua bentuk kata secara kontekstual adalah sah tetapi hanya satu yang dipakai secara kolektif; jadi sebenarnya banyak lagi contoh yang sama dengan yang mereka kemukakan dan malahan mengungguli teori Jeffery dan Goldziher.
Sekarang mari kita bertanya: memasukkan tanda titik kepada teks yang minus titik, kapan kesalahan tekstual yang mengakibatkan kerusakan dan menjadi bahaya? Ketika kita tidak memiliki alat ukur dalam membedakan mana yang benar dan yang salah, ini sebagai penyebab yang membahayakan. Seandainya kita mempunyai dua manuskrip, masing-masing mengandung berikut ini: “Dia mencium perempuan dan kemudian melarikan diri” dan “Dia membunuh perempuan dan kemudian melarikan diri”. Sekarang dalam keadaan ketiadaan konteks yang kita jadikan indikasi, untuk memutuskan yang benar menjadi sangat tidak mungkin: jelas sekali kita menghadapi problem tekstual. Andaikan kemudian kita mempunyai sepuluh manuskrip dengan mata rantai transmisi yang berbeda, sembilan di antaranya memuat kalimat: “Dia mencium perempuan, kemudian melari­kan diri” sedangkan yang kesepuluh memuat kalimat : “Gajah perempuan kemudian dia melarikan diri” Selain tidak jelas, kalimat ini juga bertentangan dengan sembilan manuskrip yang lain, yang semuanya setuju pada makna yang masuk akal, jadi jelas membuang kata gajah menjadi satu-satunya jawaban yang dapat dipahami. Sama halnya dengan masalah manuskrip Al-Qur’an. Jika kita pilih seratus Mushaf, yang berasal dari beberapa tempat dan masing-masing memuat tulisan tangan dan tanggal yang berbeda, dan jika keseluruhannya sama kecuali satu Mushaf-lagi-lagi, jika kesalahannya tidak masuk akal-maka semua orang yang berakal akan menyifatkannya keganjilan yang sebagai salah tulis.
Jeffery menuduh kaum Muslimin memalsukan kitab mereka sendiri,
Ketika kita membuka Al-Qur’an, kita menemukan bahwa manuskrip zaman klasik tidak ada yang mempunyai tanda huruf hidup (vowels) dan semuanya ditulis dalam skrip Kufi yang sangat berbeda dengan skrip yang dipakai pada naskah zaman kita sekarang. Memodernkan skrip dan ortografi, dengan memberikan tanda huruf hidup dan tanda titik pada teks, yang itu telah benar-benar terjadi, merupakan sesuatu yang di­sengaja, akan tetapi usaha mereka itu melibatkan pemalsuan teks. Itulah masalah kita sekarang.22
Dia melakukan perkara yang bodoh dengan mengklaim bahwa yang ter­dahulu dinamakan Mushaf dan ditulis dalam skrip Kufi, karena sebenarnya teks itu ditulis dalam skrip Hejazi berbentuk miring sebagai mana terlihat pada gambar 7.1.23 Tambah lagi, dia mengakui skrip Kufi sangat berbeda dari skrip yang digunakan hari ini, dan bahkan menganggap pembaruan skrip sebagai bentuk pemalsuan. Andaikan saya menulis artikel seluruhnya dengan tangan dan mengirimkannya kepada penerbit, haruskah saya anggap bahwa dia ber­salah karena memalsukan artikel saya ketika saya melihat artikel saya dalam bentuk huruf Helvetika atau Time New Roman? Apakah bahasa Arab dianggap bahasa mati, seperti halnya huruf Hieroglyphic, dan apakah AI-Qur’an sudah hilang beratus-ratus tahun, seperti Taurat, lalu pemalsuan teks terjadi jauh ke belakang setelah itu; karena kita coba berusaha meraba-raba membaca buku yang sudah lama hilang dalam bentuk skrip yang tidak dapat dibaca, memaksakan sangkaan kita pada keseluruhan teks. Kenyataannya, walaupun skrip Kufi masih dapat dibaca hari ini, dan tradisi pengalihan (transmisi) Al-Qur’an secara lisan telah menjiwai kaum Muslimin, menjadikan persoalan yang ada semakin terang, maka Jeffery tidak mempunyai masalah lagi yang perlu dipertahankan mati-matian.24
4. Penyebab Kedua yang Mengakibatkan Banyak (Multiple) Bacaan (varian, Beragam)
Dalam pengumpulan materi untuk keperluan penelitian ini, Jeffery meng­gunakan metodologi orientalis dan menolak cara kritis kaum Muslimin dalam menganalisis isnad.25 Dia menjelaskan kriterianya:
Dan orang-orang yang dianalisis, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan Injil sama caranya dengan pembuatan teks puisi Homer atau surat Aristotle, yang ahli filsafat.26
Sudah tentu kita tidak dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat sebagian yang ada melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut metodologi penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan amanah sejajar tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi Jeffery memberikan pengakuan anggapan pembohong sama seperti seorang yang jujur;27 Selama tujuan mereka terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima material yang berbeda-beda seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn Mas’ud atau siapa saja, terlepas sumber yang ada dapat dipercaya atau tidak, dan memandang rendah kekayaan bacaan yang begitu terkenal.
Dia beralasan bahwa selain dari tidak ada tanda titik (yang saya telah menjawabnya), perbedaan juga muncul karena beberapa pembaca meng­gunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf ‘Uthmani, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Uthmani dan yang tidak dimusnahkan walaupun ada perintah dari khalifah.28 Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa ada bukti yang kukuh. Contohnya, koleksi Jeffery tentang varian dari Mushaf Ibn Mas’ud dianggap tidak sah karena sejak awal lagi tidak ada satu pun dalam daftar bacaannya yang menyebut Mushaf Ibn Mas’ud. Kebanyakan bukti yang ada hanya menyatakan bahwa Ibn Mas’ud menyebut ayat ini dengan cara begitu tanpa ada bukti mata rantai riwayat. Ini tidak lebih dari cerita omong kosong, sekadar kabar burung dan supaya dia dapat meningkatkan anggapan yang bernilai murahan sebagai argumentasi melawan bacaan yang terbukti betul guna membantah metode yang membedakan antara periwayat yang jujur dan yang gadungan.29
Tuduhan Jeffery melebar tidak hanya Mushaf Ibn Mas’ud, oleh karena itu saya di sini akan menjawab dengan ringkas tentang riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah ‘Ali membaca satu ayat yang bertentangan dengan Mushaf ‘Uthmanl. Bacaan: (menambahkan dua kata pada ayat 103:1).30 Pengarang buku al-Mabani31 mengecam bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
‘Asim bin Abi an-Najud, salah seorang mahasiswa cemerlang as-Sulami, yang kemudian jadi salah seorang mahasiswa ‘Ali yang dihormati, mengaitkan bahwa ‘Ali membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf ‘Uthmani.
‘Ali menjadi khalifah setelah terbunuhnya ‘Uthman. Apakah dia percaya bahwa pendahulunya bersalah karena menghilangkan kata-kata terterrtu, tentunya ini merupakan kewajiban ‘Ali untuk membetulkan kesalah­annya. Jika tidak maka akan dituduh mengkhianati kepercayaannya.
Usaha ‘Uthman mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; ‘Ali sendiri berkata bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia merasa tidak suka, tentu ia naik pitam.32
Pandangan ini hanya satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad yang bersemangat menyaksikan pecahan Al-Qur’an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur’an. Tidak ada tambahan, pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat ini dan mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks sebelum ‘Uthmani yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah buat para sahabat yang sangat kuat imannya. Ibn Mas’ud sendiri, pengarang al-Masahif dan yang melengkapi bermacam-macam qira’at yang tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak untuk mengategorikan nilai mereka seperti Al-Qur’an. Dia berkata, “Kita tidak mengakui bacaan Al­Qur’an kecuali membaca apa yang tertulis dalam Mushaf `Uthmani. Jika ada seseorang yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan Mushaf ini dalam shalat, maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat kembali.”33
Tahap pembentukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku ke­jahatan ini ke dalam teks Al-Qur’an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam dengan penuh prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan keraguan di dalamnya.34 Sedang rasa was-was terhadap ke­benaran pada variasi materi yang menghantui pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak pernah mencantumkan dalam bukunya.
Beberapa varian kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa… Beberapa kalangan berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan hasil ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)… Hanya saja, sebagian besar menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak sebelum zaman teks ‘Uthmani, kendati hanya setelah melewati pencarian kajian kritis keilmuan modern … apakah kita mesti bebas menggunakannya dalam rekonstruksi yang dituju tentang sejarah teks Al­Qur’ an.35
Jasa ini dan pencarian kritis terhadap keilmuan modern yang dilakukan Jeffery, sayangnya, tidak lebih dari slogan gaya baru yang tak berarti.
5. Mengubab Sebuah Kata Karena Kesamaannya dalam Waktu Membaca
Goldziher, Blachere dan yang lainnya menganggap bahwa di zaman masyarakat Muslim terdahulu, mengubah sebuah kata dalam ayat Al-Qur’ an untuk mencari kesamaan adalah sangat dibolehkan.36 Alasan yang melandasi anggapan mereka ada dua faktor:
At-Tabari melaporkan melalui `Umar bahwa Nabi berkata, “Oh ‘Umar, semua AI-Qur’an adalah betul (contohnya AI-Qur’an akan tetap sah walau secara tak sengaja anda terlewat dari ayat ke ayat yang lain), kecuali anda tak sengaja tergelincir dari satu ayat yang mendukung rahmat Allah pada seseorang mengabarkan tentang murka-Nya, atau sebaliknya”.37Hadith ini membuktikan dirinya sebagai dasar yang kuat mem­bolehkan khayalan aktif imaginasi bagi mereka yang tetap memaksakan pendapat bahwa persamaan kata dapat dipakai sebebas mungkin selama ruh kata-kata itu tetap dipertahankan. Adakah masalah seperti ini pernah terjadi? Kita tahu dari hukum perjanjian kita bahwa tidak ada seorang pengarang yang akan memberi persetujuan mengganti kalimatnya dengan kata-kata persamaan (synonyms), walaupun kata-kata itu dipilih secara teliti. Dalam masalah Al-Qur’an, yang bukan buatan penduduk bumi ini, Nabi Muhammad saw. sendiri tidak memiliki wewenang mengubah ayat­ayatnya. Jadi bagaimana mungkin ia akan membolehkan orang lain melakukannya?38 Jika seseorang salah mengutip pekerja kantor secara tak sengaja, mungkin pengaruhnya sangat kecil, tetapi salah kutip seorang hakim akan dapat menghasut sikap bertolak belakang yang lebih besar; lantas bagaimana jika seseorang dengan sengaja salah dalam mengutip Kitab Allah?Seseorang yang sudah biasa membaca dari hapalan tahu persis bagai­mana otak akan mudah tergelincir, lompat ke surah lain dan setengahnya lagi ditinggalkan sedangkan la sendiri tidak begitu sadar. Karena merasa takut akan membuat kesalahan seperti ini, orang-orang memilih untuk tidak membaca seluruhnya hanya dari hafalan saja. Walaupun Nabi Muhammad selalu menganjurkan sahabatnya untuk menghafal dan membaca sebanyak mungkin, pernyataannya sangat menolong atau meringankan rasa kecemasan yang dirasakan oleh masyarakat dalam hal ini.
Alasan kedua yang melandasi anggapan para orientalis ini adalah, di dalam banyak hal, qira’at Ibn Mas’ud dan yang lainnya dibumbui ulasan tafsir ( ) Al-Bukhari mendokumentasikan seperti berikut ini:
Nafi meriwayatkan, “Apabila Ibn ‘Umar membaca Al-Qur’an dia tak akan ngomong dengan siapa pun sampai dia selesai membacanya. Suatu ketika saya memegang AI-Qur’an saat ia membaca Surah al-Baqarah melalui hafalannya; tiba-tiba dia berhenti pada ayat tertentu dan bertanya, “Tahukah anda, dalam keadaan apa ayat ini telah diturunkan?” Saya menjawab, “Tidak”. Dia berkata, “Ayat ini diturunkan dalam keadaan ini dan itu.” Lalu ia meneruskan bacaannya.39
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa beberapa ilmuwan mengajukan catatan penjelasan pada pendengarnya sewaktu ia membacakan Al-Qur’an.40 Ini tidak dapat kita dianggap sebagai variant reading (bacaan yang berbeda­beda) yang sah dan tidak pula dapat menganggapnya sebagai bagian dari Al-Qur’an. Beberapa kalangan Orientalis menyatakan bahwa ilmuwan ini bermaksud mengembangkan teks Al-Qur’an; anggapan seperti ini adalah sebagai hinaan terhadap tuhan, menyindir secara tak langsung bahwa sahabat merasa lebih pandai dari Allah yang Mahatahu dan Mahabijaksana.
6. Kesimpulan
Setelah meneliti hipotesis Jeffery dan Goldziher, dan menganggap bukti yang tepat, tampaknya tak ada cara lain kecuali meletakkan teori mereka ke pinggiran. Perbedaan yang mereka prediksi sekarang telah diketahui, dalam contoh yang banyak (tidak terkira) di mana sebuah kerangka huruf dapat menerima lebih dari satu set tanda titik dan diakritikal sesuai dengan konteksnya; masalah yang jarang terjadi di mana perbedaan yang diakui dalam qira’at tidak akan membawa pengaruh terhadap makna teks.41 Goldziher sendiri mengakui ini,42 sebagaimana pula Margoliouth:
Dalam banyak masalah ketidakjelasan skrip yang mengakibatkan bacaan ragam bacaan sangat sedikit sekali konsekuensinya.43
Keinginan mereka untuk membuktikan adanya kerusakan teks Al-Qur’an dengan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), para orientalis tidak menghiraukan kondisi politik agama (religio political condition) negara Muslim yang baru lahir, dan bagaimana berbeda dari krisis yang menimpa masyarakat Yahudi-Kristen pada awal pertumbuhannya. Perbedaannya sebenarnya sangat jauh sekali dan tidak lebih menarik seperti seorang anak jelas keturunannya dibandingkan dengan seorang anak yang diabaikan sebelum jadi yatim piatu, dan yang ironisnya adalah cara menentukan orang tua anak yang jelas keturunannya, menggunakan prosedur yang telah ditentukan untuk anak yang diabaikan. Saya telah berusaha menunjukkan kesalahan dalam logika orientalis tetapi, sebagaimana pengalaman telah mengajarkan saya,44 saya hanya berharap bahwa semua observasi ini tidak sekaligus diabaikan oleh kelompok mereka. Di sini saya hanya menunjukkan kesalahan pendekatan mereka, tetapi saya sangat sadar bahwa debat kusir seperti ini di mana pun harus ada ujungnya; kalau tidak ilmuwan Muslim akan terus sibuk perang tulisan yang tidak akan ada habisnya.
Bagi Muslim yang saleh tidak ragu-ragu lagi bahwa Allah berjanji akan memelihara Kitab-Nya, tidak akan memilih bahasa atau skrip yang lemah guna menyampaikan wahyu-Nya yang terakhir. Dalam kapasitas sastra, ekspresi yang mendalam, gaya puitis, tulisan ejaannya bahasa Arab adalah bahasa yang cukup maju yang telah diberkati dan pilihan Allah melebihi bahasa-bahasa lain. Oleh karena itu, ini merupakan keistimewaan bagi masyarakat Muslim untuk terus membaca dalam bentuknya yang asli, dan memasukkan tanda-tanda ke dalamnya adalah sebuah usaha agar orang non-Arab juga mampu membaca yang asli secara mudah.
Sudah lama saya menyinggung tentang metodologi Islam dan peranannya yang penting dalam memelihara seni baca Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad agar bebas dari pemalsuan dari abad ke abad. Penelitian tentang metodologi ini secara terperinci akan dibahas dalam bab berikutnya.
1. Lihat hlm 272 dan hlm. 320-23.
2. Untuk diskusi tentang teks seperti di atas, tidak ada titik, yang mengakibatkan kerusakan dan kapan tidak mengakibatkan, lihat kembali bagian 3 dalam bab ini.
3. Al-Bukhari, Sahih, Fada’il Al-Our’an: 5.4. Muslim, Sahih, Musafirin, hadith no. 205.
5. Ibn Shanbudh (meninggal 328 Hijrah). Lihat buku ini hlm. 222-3.
6. Sebagaimana disebutkan pada hlm. 118-120, Jual beli Mushaf muncul pada pertengahan abad pertama hijrah. Cara pendidikan Islam adalah untuk mendidik murid-murid mendapatkan skill literasi (kemampuan membaca dan menulis), kemudian diikuti dengan membaca kitab suci Al-Qur’an dari awal sampai akhir di bawah bimbingan yang benar. Al-Qur’an adalah buku pertama yang mereka pelajari dan kalau selesai sudah pasti mereka telah mcnguasai bahasa Arab. Kebiasaannya setelah itu mercka memerlukan naskah Mushaf pribadi, baik untuk mengulang kaji hafalan mereka atau untuk digunakan mengajar yang lain, dan oleh karena itu pembeli Mushaf dari pasar setempat telah pintar dalam seni bacaan (qira’at), dan sudah kenal dengan surah di dalamnya sejak hari persekolahan mereka. Sayangnya, hanya baru-baru saja Al-Qur’ an digunakan sebagai alat bantu pengajaran dan agak sedikit santai.7. Ibn Mujahid, Kitab as-Sab`ah, hlm. 71.8. Lihat Arthur Jeffery (ed.) Muqaddimatan fi `ulum Al-Qur’an (Dua pendahuluan kepada ilmu­ilmu Al-Qur’an), Kairo, 1954, hlm. 276. Sangat penting untuk dicatat bahwa sebelum kepada Ibn Mujahid, sekitar empat puluh buku telah ditulis tentang subjek ini (Dr. `Abdul Hadi al-Fadli, Qira’at Ibn Kathir wa Atharuha fi ad-Dirasat an-Nahawiyyah (Ph.D. Thesis), Universitas Kairo, 1975, hlm. 60-65, sebagaimana dikutip oleh Ghanim Qadduri, Rasm al-Mushaf, hlm. 659)9. Muslim, Sahih, Kitab as-Salat, hadith no. 1789, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.Siddiqi’ dengan beberapa perubahan’.
10. lbn Hanbal, Musnad, v:132, hadith no. 21242.
11. Lihat as-Suyuti, al-Itqan, i: 131 -141.12. As-Suyuti, al-Itqan, i: 211.
13. A. Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an, E.J. Brill, Leiden, 1937. Saya mungkin menambahkan bahwa Jeffery menggunakan jargon Judeo-Christian dalam menyusun arsip ini, “Canonization by Ibn Mujahid,” hlm. 11; “Muslim Massora,” hlm. 3, 5 (catatan kaki); dan menggunakan t untuk mcnunjukkan mati dan bukan disalib seperti jiwa kristus yang kerdil!) hlm. 14, dst.
14. A. Jeffery, “The Textual History of the Qui an”, in A Jeffcry, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Co., New York, 1952, hlm. 97.
15. ‘Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsiral-Islami, Kairo, 1955, hlm. 9-16. Ini terjemahan bahasa Arab bukunya Goldziher.
16. Qur’an 7:48. Ini contoh yang. salah, lihat Ibn Mujahid, Kitab as-Sab’ah, hlm. 281-2.17. Qur’an 4:94.
18. Qur’an 7:57.
19. Masyarakat Muslim tidak ada masalah dengan isnad atau riwayat ketika menghafal Al-Qur’an, karena ini tidak praktis dan tidak perlu untuk orang biasa setelah kita tahu bahwa Al-Qur’an ada di mana-mana di setiap rumah dan setiap mulut. Bagaimanapun pembaca yang professional dan Ilmuwan mengikuti isnads, sebagai penjaga yang dipercayai untuk memastikan bahwa teks yang sampai pada masyarakat adalah tepat dan tidak ada kerusakan. Saya juga sama, walaupun menulis pada abad 15 H. / 21 M., saya bisa memberikan isnad untuk bacaan Al-Qur’an.20. Ilmuwan yang meneliti naskah resmi Mushaf ‘Uthmani, mencatat perbedaan hanya empat puluh karakter; ini berdasarkan pada perbedaan dalam kerangka itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujahid itu dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda pada kata­kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf.
21. Untuk kajian yang lebih detail tentang topik ini, lihat ‘Abdul-Fattah al-Qadi, “al-Qira’at fi Nazar al-Mustashriqin wa al-Mulhidin”, Majallai al-Azhar, Ramadan 1390/1970 dan seterusnya.
22. A. Jeffery, “The Textual History of the Qur’an”, in A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, hlm.
89-90.
23. Skrip Kuf telah terkenal setelah itu, pada pertengahan abad pertama Hijrah. Lihat inskripsi Kufi dalam gambar 9.12-9.14 (masing-masing bertanggalkan 40, 80 dan 84 Hijrah).
24. Di sini kita bisa menyebutkan bahasa kebanyakan odentalis percaya pada skrip perjanjian lama, walaupun skrip Hebrew sudah diubah dua kali dan tanda diakritikal tidak diberikan pada teks konsonan sehingga abad 10 Masehi, jarab waktu 25 abad. Sudah pasti kesenjangan yang lama ini telah memberikan pengaruh yang tidak bisa dibetulkan pada teks Hebrew yang digunakan sekarang. (lihat buku ini hlm. 238-56).25. Rantai saksi yang terlibat dalam periwayatan kejadian. Lihat bab yang akan datang.26. Lihat Arthur Jeffery (ed) al Masahif, Pendahuluan (dalam bahasa Arab), hlm..427. Kasus ini sama dengan kasus seseorang yang memiliki sebuah rumah sejak beberapa generasi dan mempunyai bukti yang diperlukan untuk mendukung klaimnya, tiba-tiba suatu waktu ada orang yang kelihatannya asing tidak tahu dari mana ia datang mengklaim bahwa rumah itu kepunyaannya. Dengan menggunakan metodologi Jeffery kita harus menerima klaim orang asing itu dan mengusir orang yang tinggal di rumah sebab cerita si orang asing ini salah, sensasi dan bertentangan dengan perkataan semua orang.
28. Lihat Jeffery (ed.), al-Masahif, Pendahuluan, hlm. 7-8
29. Mushaf Ibn Mas’ud, dan Analisis Jeffery adalah topik yang sangat penting. Oleh karena itu, saya diskusikan dengan panjang lebar di bab 13.
30. A. Jeffery, Materials, hlm. 192
31. A. Jeffery (ed.) , Muqaddimatan, hlm. 103-104
32 Lihat buku ini hlm. 106.33. lbn Abi Dawud, al-Masahif, hlm. 53-54.34. Baru-baru ini saya membaca kembali jilid luar karangan Juynboll, Muslim Tradition, yang gambar luarnya diambil dari manuskrip Arab tertua tentang dokumen yang ditulis di atas kertas. Catatan itu dibaca (ditegaskan oleh penulis), “Manuskrip ini telah dituduhkan ditulis pada tahun 252 H. / 866 M.” Berapa kali kita bisa mengharapkan untuk melihat yang sama pada Perjanjian Lama dan Baru atau literature yang lainnya?
35. A, Jeffery, Materials, pendahuluan, hlm. x, Lebih menekankan.36. R, glachere, Introduction au Coran, 1947, hlm. 69-70; lihat juga ‘Abdus-Sabnr Shahin, Tarikh Al-Qur’an, hlm. 84-85.
37. At-Tabari, Tafsir, i:13
38. Qur’an 10:15: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang­ orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah (oh Muhammad), “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai tuhanku kepada siksa hari yang besar (Kiamat).”39. Al-Bukhari, Sahih, vi:38, hadith no. 50.40. ‘Abdus-Sabur Shahin, Tarikh Al-Qur’an, hlm. 15-16. Di sini Golziher mengakui bahwa beberapa tambahan adalah merupakan tafsir (penjelasannya).41. Sangat jauh berbeda dengan perbedaan yang terdapat di Injil yang ditemukan dalam manuskrip, seperti Yohanes 1:18 ( Yang hanya satu satunya, Tuhan” dan “Yang hanya mempunyai satu anak”), yang mengandung dunia yang berbeda. Dan menurut P.W. Comfort, terjemahan literal adalah “satu Tuhan yang unik’ (Early Manuscript & Modern Translations of the New Testament, Baker Books, 1990, hlm. 105. Untuk lebih detailnya lihat diskusi tentang manuskrip hlm. 75 (Bodmer Papyrus xiv-xv) dalam hlm. 286-7.42. ‘Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsir al-lslami, hlm. 12-13.43. D.S. Margoliouth, “Textual Variations,” The Moslem World, Oktober, 1925. Vol. 14 no. 4, hlm. 340.
44. Kebanyakkan karya saya terdahulu, seperti Studies in Early Hadith Literature, Kritikan saya terhadap Goldziher dan On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence (sebuah karya untuk menolak Schacht) adalah semua merupakan buku-buku akademik yang serius yang Prof. John Burton memberikan label sebagai “Islamic perspective’ (An Introduction to the Hadith, Edinburgh Univ. Press, 1994, hlm. 206) dan yang telah diabaikan dalam lingkungan akademik.












jazakumullah

METODE PENDIDIKAN MUSLIM

AHLAN WA SAHLAN



Prof .DR.AZHAMI
Kitab suci agama Yahudi dan Kristen nyaris telantar oleh tangan orang­orang yang semestinya diharapkan jadi pembela setia. Jika dalam bab-bab sebelumnya kita bermaksud hendak membiasakan sikap kaum muslimin terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, karena penghargaannya, mungkin mereka kurang mampu menikmati kepuasaan melainkan setelah membandingkan dengan Kitab Injil. Pembahasan secara mendasar mengenai metode pendidikan umat Islam dirasa perlu-sebuah ilmu unik dan tak ada yang menyaingi hingga hari ini serta amat penting dalam pemeliharaan Al-Qur’an dan Sunnah berlandaskan iman sesuai dengan kehendak Allah
“Sesungguhnya Kami telah turunkan Al-Qur’an, dan Kami akan memeliharanya”2
Karena Al-Qur’an secara tegas menyebut adanya kerusakan kitab-kitab itu dari dalam, maka komunitas Muslim merasakan betapa pentingnya memagari AI-Qur’an dari segala pengaruh yang meragukan. Sepanjang sejarah Islam para penghafal Al-Qur’an, huffaz, memiliki keutuhan tekad menyimpan isi kitab Al-Qur’an sepenuhnya ke dalam hati yang jumlahnya mencapai jutaan sejak kelompok remaja hingga orang tua, jadi tulang punggung dalam peme­liharaan ini; suatu keadaan yang tak pernah terjadi pada Kitab Taurah dan Injil dan bahkan sikap kehati-hatian tidak terhenti sebatas itu.
Menulis sebuah buku dengan nama samaran adalah teramat mudah, apa lagi dalam dunia literatur penggunaan nama pena sudah jadi masalah yang lumrah. Demikian pula, suatu hal yang mungkin terjadi mengubah karya orang lain yang kemudian diterbitkan kembali atas nama pengarang sesungguhnya.Masalahnya, bagaimana kejahatan perbuatan seperti itu dapat dicegah? Dalam mencari jawaban, kaum Muslimin telah merancang solusi sejak dahulu, membuat satu sistem yang tahan uji dan telah beroperasi selama delapan atau sembilan abad; hanya karena melemahnya Islam di pentas politik, sistem itu terhenti dan bahkan cenderung terabaikan. Mengkaji ulang sistem ini berarti memasuki wilayah sentral tentang proses belajar dan mengajar tentang ilmu Islam.
1. Kehausan Sumber Informasi
Sebelum Islam muncul, tak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di semenanjung Arabia. Sebenarnya Al-Qur’an merupakan buku pertama berbahasa Arab di mana iqra’ (berarti: bacalah!) merupakan pembuka kata yang diwahyukan. Dengan silabe ungkapan itu menandai bahwa pencarian ilmu telah menjadi satu kemestian: menghafal sekurang-kurangnya beberapa surah terlepas apakah ia orang Arab atau bukan guna melaksanakan shalat sehari semalam. Sejarah juga mencatat, saat Rasulullah sampai di Madinah, beliau segera memenuhi keperluan ini mengatur persekolahan3 dan minta setiap yang berilmu walau masih minim (ballighu `anni walaw ayah) agar menyampaikan pada yang lain. Enam puluh penulis wahyu yang bekerja di bawah pengawasan Nabi Muhammad saw. dijadikan upeti dalam memerangi kej ahilan.4
Di zaman kekuasaan para Khalifah, terutama tiga orang pertama se­hingga tahun 35 hijrah, Madinah berfungsi sebagai pusat agama, militer, ekonomi, dan administrasi negara Islam yang pengaruhnya merebak hingga menembus sejak dari Afghanistan ke Tunisia, Turki selatan hingga Yaman, dan Muscat hingga ke Mesir. Arsip-arsip yang begitu banyak mengenai segi-segi pemerintahan dibangun, dikelompokkan, dan disimpan di Bayt al-Qaratis (rumah arsip)5 pada masa pemerintahan `Uthman. Ilmu administrasi, hukum keagamaan, strategi politik dan kemiliteran, serta semua hadith Nabi di­sampaikan pada generasi penerus melalui sistem yang sedemikian unik.6
2. Hubungan Ptibadi: Unsur Penting dalam Sistem Pengajaran
Waktu merupakan referensi penting dalam semua kejadian: dahulu, kini, dan mendatang. Waktu sekarang secara otomatis akan menjadi bagian dari masa lampau; yang balk saja berlalu, la akan hilang begitu saja. Kebanyakan peristiwa masa lampau akan lepas dari genggaman dan bahkan tak mungkin dapat diraba, dan jika peristiwa itu mendekat pada kita secara tidak langsung (seperti melalui bahan tertulis), maka akurasi berita akan jadi puncak perhatian kita. Saat Rasulullah memasuki episode sejarah, pemeliharaan Kitab Al-Qur’an dan Sunnah menjadi tanggung jawab para sahabat, di mana komunitas Muslim mampu membuat satu konstruksi keilmuan yang begitu njelimet dalam me­ngurangi ketidakpastian yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu pengetahuan. Sistem ini didasarkan pada hukum kesaksian.
Pikirkanlah pernyataan sederhana ini: A meneguk air dari cangkir saat ia berdiri. Walaupun kita tahu keberadaan orang tersebut namun guna mengesahkan kebenarannya, hanya dengan mengandalkan penalaran otak dirasa tidak memungkinkan. Barangkali A tidak minum air sama sekali, atau mungkin minum dengan menelengkupkan tangan, bahkan mungkin melakukannya sewaktu la duduk; semua kemungkinan itu tidak dapat dimasukkan sekadar melalui kesimpulan. Maka, permasalahan yang ada tergantung pada sikap kejujuran pembawa berita serta ketelitian seorang yang mengamati. Oleh sebab itu, C, seorang pendatang baru yang tidak tahu duduk masalahnya, untuk melacak berita itu ia akan berpijak pada cerita saksi mata B. Guna melaporkan kejadian itu pada pihak lain, C harus menentukan sumber berita sehingga kejujuran pernyataan di atas akan bergantung pada:
Ketelitian B dalam mengamati kejadian, dan kebenarannya dalam membuat laporan.
Ketelitian C dalam memahami informasi serta kebenarannya dalam men­ceritakan pada yang lain.
Membuat spekulasi kehidupan pribadi B dan C pada umumnya tidak me­narik minat para pakar kritik dan sejarah, namun para ilmuwan Muslim melihat permasalahan yang ada dari sisi pandangan yang berbeda. Menurut pendapat mereka, seseorang yang membuat pernyataan mengenai A sebenarnya sedang membuat kesaksian terhadap apa yang telah dilakukannya. Demikian juga, C sebenarnya membuat kesaksian terhadap perilaku B, dan seterusnya, di mana setiap orang membuat kesaksian terhadap pendahulu yang tergabung dalam jaringan mata rantai riwayat. Dengan memberi pengesahan terhadap laporan tersebut berarti membuat kajian kritis terhadap semua pihak yang tergabung dalam rangkaian riwayat.
3. Permulaan dan Perkembangan Sistem Isnad.
Metode ini merupakan genetika lahirnya sistem isnad. la bermula sejak zaman Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad pertama hijrah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat dalam transmisi hadith di kalangan mereka. Sebagian mereka membuat kesepakatan menghadiri majelis Rasulullah secara bergiliran, memberi tahu apa yang telah mereka dengar dan saksikan;7 dalam memberitakan tentunya mereka harus menyebut, “Rasulullah melakukan ini dan itu” atau “Rasulullah mengatakan ini dan itu.” Dan, tentunya wajar jika orang itu mendapat informasi dari tangan ke dua, ketika ia menceritakan pada orang ke tiga, la akan menjelaskan sumber aslinya mencakup semua cerita yang terjadi.
Pada dasawarsa ke empat kalender Islam, ungkapan-ungkapan yang belum sempurna dirasa penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu (pemberontakan terhadap Khalifah Uthman yang terbunuh pada tahun 35 hijrah). Ungkapan itu sebagai langkah awal sikap kehati-hatian para ilmu­wan yang mulai sadar dan tetap ingin menyelidiki setiap sumber informasi.8 Ibn Sirin (w. 110 H.), misalnya, mengatakan, “Para ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas mereka menuntut, ‘Sebutkan nama orang-orang kalian [para pembawa riwayat hadith] pada kami.’ Bagi yang termasuk ahlus sunnah, hadith mereka diterima, sedang yang tergolong tukang mengada-ada, hadith mereka dicampakkan ke pinggiran.”9
Menjelang abad pertama, kebiasaan ini mulai mekar yang akhirnya men­jadi cabang ilmu tersendiri. Kemestian mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah memberi arti bahwa sejak beberapa abad perkataan `ilm (ilmu), hanya diterap­kan pada kajian di bidang keagamaan,10 dan dalam masa yang penuh ghirah mempelajari ilmu hadith telah melahirkan tradisi al-rihlah (piknik pencarian ilmu). Karena dianggap sebagai salah satu syarat utama di bidang keilmuan, kita dapat menyimak makna penting dari ucapan Ibnu Ma’in (w. 233 H) yang menyebut bahwa siapa saja yang mengurung diri belajar ilmu di negeri sendiri dan enggan berpikir ke luar, ia tidak akan mencapai kematangan ilmu.11
Bukti adanya pengalihan ‘ilm melalui cara seperti ini datang dari ribuan hadith yang memiliki ungkapan-ungkapan yang sama tetapi bersumber dari belahan dunia Islam yang berlainan, yang masing-masing melacak kembali asal-usulnya yang bermuara pada sumber yang sama, yaitu Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in. Kesamaan isi kandungan yang menyebar melintasi jarak jauh, di suatu zaman yang minus alat komunikasi canggih, memberi kesaksian kebenaran akan kiat sistem isnad.12
i. Fenomena Isnad dan Pemekarannya
Pemekaran sistem isnad pada permulaan abad Islam begitu menggiurkan. Anggaplah bahwa pada generasi pertama seorang sahabat saja yang secara pribadi mendengar pernyataan Rasulullah. Pada generasi kedua kemungkinan terdapat dua atau tiga dan bahkan mungkin sepuluh orang, murid-murid pertama dalam mengalihkan kejadian, sehingga apabila sampai pada generasi ke lima (yaitu periode para penyusunan kitab-kitab hadith klasik) kita mungkin dapat menyingkap tiga puluh atau empat puluh orang meriwayatkan berita yang sama melalui saluran yang berlainan melintasi ke seluruh dunia Islam, dengan sedikit di antara mereka yang meriwayatkan berita itu melalui lebih dari satu sumber. Bentuk penyebaran seperti itu tidak selalu tetap pada semua hadith: di mana dalam masalah seperti ini mungkin hanya ada satu orang yang memiliki wewenang meriwayatkan pada tiap generasi, walaupun hal itu sangat jarang.13 Di sini kita dapat lihat satu contoh hadith mengenai shalat:14
Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Imam harus­lah diikuti. Bacalah takbir apabila ia mengucap takbir, rukulah apabila ia ruku. Dan apabila ia mengucapkan sami ‘allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memujiNya), bacalah rabbana wa laka al-hamd (Ya Allah ya Tuhan kami, segala pujian hanyalah untuk-Mu). Lalu apa­bila ia sujud, hendaklah anda bersujud. Dan apabila ia bangkit berdiri, hendaklah kamu juga bangkit, tapi jangan sekali-kali mendahului sebelum ia berdiri sempurna. Jika ia shalat duduk, hendaklah kamu juga duduk semuanya.”
Gambar 12:1
Hadith ini, tercatat sekurangnya 124 kali dan diriwayatkan oleh 26 pakar generasi ketiga yang semuanya melacak keaslian hadith itu sampai kepada para Sahabat Nabi Muhammad Dalam bentuk hadith serupa, atau yang memiliki makna yang sama, hadith ini ditemukan di sepuluh tempat secara serentak: Madinah, Mekah, Mesir, Basrah, Hims, Yaman, Kufah, Suriah, Wasit (Irak) dan Thaif. Tiga dari 26 ulama mendapat riwayat itu lebih dari satu sumber. Dokumentasi yang masih ada menunjukkan bahwa hadith ini diriwayatkan oleh sekurangnya sepuluh orang Sahabat; perincian jaringan transmisi, tujuh dari sepuluh ulama yang ada, yang pernah tinggal di Madinah, Suriah dan Irak, ada pada kita. Harap dilihat gambar 12.1.
Dengan kita batasi pada seorang Sahabat, Abu Hurairah, kita temukan sekurang-kurangnya tujuh orang muridnya yang meriwayatkan hadith tersebut; empat di antaranya menetap di Madinah, dua di Mesir, dan satu di Yaman. Pada gilirannya mereka juga menyampaikan kepada sekurang-kurangnya dua puluh orang lain: lima dari Madinah, dua dari Mekah, masing-masing seorang dari Suriah, Kufah, Thaif, Mesir, dan Yaman. Contoh serupa dari sahabat lain yang juga menunjukkan bahwa hadith tersebut keberadaannya ditemukan di belahan tempat lain (Basrah, Hims, dan Wasit) walau dapat bertemu kembali di Madinah, Mekah, Kufah, Mesir, dan Suriah. Gambar berikut ini menggambarkan banyaknya jaringan riwayat tersebut sudah tentu hanya satu dari puluhan ribu hadith yang ada.
1. Bab ini sifatnya rada khusus; tujuan utamanya adalah memberikan gambaran bagaimana ilmuwan Muslim membangun konstruksi sistem yang unik dalam meriwayatkan ilmu, yang ber­manfaat dalam mcnilai ketelitian informasi dan memagarinya dari faktor yang merusak baik dari dalam maupun dan luar. Ini sebcnarnya hanyalah satu diskusi ringkas, dan siapa yang tertarik dengan topik ini disarankan agar membaca buku saya yang akan terbit, Islamic Studies: What Methodology? (Studi Islam: Apa Metodologinya?). Sudah tentu ada di antara pembaca yang melihat bab ini sebagai hal yang membosankan dan bagi yang bcrminat, dapat memilih kesimpulan bab ini. Memang hal itu tidak menghalangi pemahaman bab-bab sclanjutnya.
2. Qur’an 15: 9.
3. Untuk detail lagi lihat M.M. al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature, hlm. 183-199; al­A’zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, American Trust Publication, Indianapolis, 1977, hlm. 9-31.4. Lihat M.M. al-A’zami, Kuttab an-Nabi, edisi ke 3, Riyad, 1401 (1981). Karya ini adalah kajian terperinei mengenai para penulis dan penyalin yang bekerja untuk Nabi.
5. Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, I: 22. Tampaknya tempat itu terletak bersebelahan dengan rumah `Uthman, di mana Marwan menyembunyikan diri ketika Khalifah itu terbunuh.
6. Lihat contohnya, Surat-surat Khalifah Kedua `Umar, `Abdur-Razzaq as-San’ani, Musannaf, contohnya: jld. 1, hlm. 206-291, 295-6, 535, 537; jld. 7, hlm. 94, 151, 175, 178, 187, 210,…d11. Untuk perincian seterusnya lihat al-A’zami, “Nash’at al-Kitabah al-Fiqhiyyah”, Dirasat, II/2: 13-24.7. Al-Bukhari, Sahih, Bab at-Tanawub fi al-’Ilm.8. Penelitian terbaru oleh Dr. `Umar bin Hasan Fallata menunjukkan bahwa bahkan sampai tahun 60 H. sangat sukar ditemukan hadith palsu atas nama otoritas Nabi [al-Wad’u ti aL-Hadith, Beirut, 1401 (1981)j.9. Muslim, Sahih, Mukadimah, hlm. 15; lihat juga al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature, him. 213.
10. Al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature, him. 183.
11 Al-Khatib, ar-Rihlah, Damaskus, 1395 (1975), him. 89.12. Al-A’Zami, Studies in Early Hadith Literature, him. 15, hadith no. 3 (Seksi Arab). Tidak semua hadith tersebar begitu cepat. Namun di sisi lain ribuan buku juga telah hilang yang mungkin bisa jadi saksi mengenai penyebaran informasi yang lebih luas lagi.
13. Untuk kajian yang lebih rinci mengenai 50 hadith , lihat Studies in Early Hadith Literature, hlm. 14-103 (Seksi Arab).
14. Ibid., hlm. 27-31.
jazakumullah

Awal Penetapan Sanad

AHLAN WA SAHLAN



DR. Daud Rasyid, M.A

Harun menuduh bahwa para sahabat menerima semua hadits sekalipun yang palsu, dan pada saat yang sama, menuduh mereka terlalu ketat dalam menerima hadits karena ragu terhadap integritas rawi. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Kita lihat keterangan berikut ini untuk menilai sejauh mana kebenaran dari tuduhan Harun tersebut. Awal Penetapan Sanad
Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu.
Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.
Pertama, membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat. Hadits yang selaras dengan hadits yang dihafal diterima dan yang bertentangan ditolak. Imem Muslim meriwayatkan dalam pengantar Shahih-nya dari Ibnu Abi Malikah, ia berkata, “Aku menulis permintaan pada Ibnu Abbas agar menuliskan untukku sebuah kitab dan menyembunyikannya dariku. Ia berkata, ‘Anak cerdas. Aku dimintanya untuk memilih beberapa masalah, lalu aku sembunyikan darinya’.” Ibnu Abi Malikah selanjutnya berkata, “Lalu Ibnu Abbas mencari dan mengumpulkan putusan hukum Ali dan menulisnya. Saat menemukan ada yang janggal dalam catatan itu, ia berkata, ‘Demi Allah, Ali tidak pernah memutuskan hal seperti itu, kecuali jika ia telah sesat’.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).
Kedua, menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi’in bernama Muhammad bin Sirin berkata, “Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami para perawi Anda.’ Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid’ah, haditsnya ditolak.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).
Ketiga, mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, awal pemalsuan hadits adalah akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sebagai respon terhadap situasi ini, lahir pula kritik terhadap matan dan isnad. Hal ini akhirnya tidak memberi kesempatan kepada pengikut bid’ah dan hawa nafsu untuk melempar tuduhan dan menjadikannya bagian dari agama dan syariat. (Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 44).
Dengan demikian, jelaslah bahwa para sahabat bersikap sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, misalnya tindakan Umar yang meminta saksi jika hatinya ragu atau sikap Ali yang menyuruh sebagian rawi bersumpah.
Dalam situasi ini, kita tidak bisa membayangkan tuduhan Harun bahwa sahabat menerima setiap hadits, sekalipun maudhu’ (palsu), akibat kesibukan mereka mencari solusi berbagai masalah umat. Di sisi lain, tuduhan ini juga kontradiksi dengan tuduhan Harun lainnya yang menyebutkan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Ali r.a. tidak mudah menerima sebuah hadits. Mereka meminta bukti penguat sehingga para sahabat seolah-olah saling meragukan. Pemahaman dan cara berpikir Harun tampak rancu dalam hal ini.
Pada bagian lain, Harun menuduh bahwa pascawafatnya Nabi saw., khususnya pada abad ketiga, sulit membedakan hadits shahih dan palsu karena jumlah hadits yang begitu banyak. Tampaknya Harun beralasan dengan pernyataan Bukhari yang menyaring 600.000 hadits menjadi 3.000 hadits. Lalu, Harun menyimpulkan bahwa hadits yang ditinggalkan Bukhari tidak shahih.
Benarkan demikian? Tuduhan ini hanya akan muncul dari orang yang tidak mengetahui kerja keras para ahli hadits di dalam menyaring sunnah, baik sanad maupun matannya. Sebelumnya telah dijelaskan perhatian ulama dalam menjaga sunnah sejak masa Rasulullah saw. Mereka mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid’ah dan batil dapat membuat-buat hadits. (Dr. Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 139).
Dalam hal ini, komentar Abdullah bin Mubarok menjadi sangat tepat, “Sanad termasuk bagian dari agama, tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa saja yang ia inginkan.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah).
Sanad mulai ditetapkan sejak timbulnya pemalsuan hadits, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. atau pada akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sehingga, para pengikut hawa nafsu dan bid’ah tidak punya kesempatan untuk menyerang sunnah.
Seorang ulama dari kalangan tabi’in yang bernama Mujahid menceritakan sikap hati-hati para ahli hadits. Begitu hati-hatinya sampai mereka tidak mau menerima hadits kecuali dari orang yang mereka kenal. Imam Muslim meriwayatkan dalam pengantar kitab Shahih-nya, dari Mujahid, bahwa Busyair al-Adawi datang kepada Ibnu Abbas r.a., lalu mulai menceritakan sebuah hadits. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda yang bunyinya begini dan begini.” Tetapi, Ibnu Abbas tidak memedulikan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya.
Busyair lalu berkata, “Hai Ibnu Abbas, mengapa Anda tidak mau mendengar hadits dariku? Aku menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah saw. dan Anda tidak mau mendengarkan!” Ibnu Abbas r.a. menjawab, “Dulu, jika mendengar seseorang mengatakan Rasulullah saw. bersabda, pandangan kami segera mengarah padanya dan segera kami memasang telinga. Akan tetapi, setelah orang dilanda fitnah dan kahinaan, kami hanya menerima hadits dari orang yang kami kenal.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, no. hadits 7).
Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, “Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu.” Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali. Anda akan mengetahui hal ini jika merujuk pada kitab Ar-Risalah al-Mustathrafah karya Syaikh al-Kitani. Contoh kitab lainnya adalah At-Tarikh oleh Yahya bin Ma’in, seorang pakar di bidang Jarh wa at-Ta’dil, At-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari, Jarh wa at-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, dan lainnya.
Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri.
Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, “Tanyakan kepada orang lain tentang beliau.” Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, “Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif).”
Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki’, guru Imam Syafi’i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, “Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta.” (Abdullah bin Sulaiman, wafat tahun 316 H. Lihat Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 9 hlm. 464).
Zaid bin Abi Unaisah (w. 124 H) berkata, “Janganlah kalian mengambil hadits dari saudaraku, yaitu Yahya.” Semakna dengan itu adalah komentar Adz-Dzahabi tentang anaknya yang bernama Abu Hurairah (w. 779 H), “Sesungguhnya ia dulu pernah menghafal Al-Qur’an, lalu ia sibuk hingga melupakannya.” (Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad as-Sakhawi (831-902 H), Al-I’lan bi at-Taubikh Liman Dzamma al-Tarkih, Tahqiq Frans Rosenthal, penerjemah Dr. Shaleh Ahmad al-’Ali, Mu’asasah ar-Risalah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1407, hlm. 112-113; Muqaddimah Shahih Muslim, juz 1, hlm. 27; Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 83; Dr. ‘Abd al-Muhdi, As-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 89).
Keempat, kritik matan dan makna hadits. Kritik yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas pada sanad, seperti anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadits. Hal ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan tumbuh berkembang pada era berikutnya.
Kelima, ilmu jarh wa at-ta’dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.
Dengan ilmu ini, kaum salaf (terdahulu ) dan khalaf (belakangan) berhasil menyingkap berbagai illat (penyakit) dalam setiap hadits yang diriwayatkan. Di antara orang-orang yang dikaruniai kemampuan dalam bidang ini adalah Asy-Sya’bi, Al-A’masi, Ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Abdur Rahman bin Mahdi, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Yahya bin Ma’in, dan lainnya. Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 100).
Keenam, penulisan kitab tentang hadits maudhu’ (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak. Sebagai contoh, Imam Ishaq bin Rahawaih menghafal 4.000 hadits palsu. (Al-Khatib, Tarkih Baghdad, juz 6, hlm. 352).
Para ulama menulis banyak kitab tentang hadits palsu, terpisah dari kitab tentang rawi yang lemah dan tercela. Mereka menjelaskan profil orang-orang yang biasa berdusta dan memalsukan hadits. Mereka menyingkap pribadi para pemalsu hadists dan menyertakan hadits-hadits palsu yang diriwayatkannya agar orang lain waspada.
Sebagai contoh adalah kitab Adh-Dhu’afa oleh Imam Bukhari, Adh-Dhu’afa oleh Imam Nasa’i, Adh-Dhu’afa oleh Imam Al-’Uqaili, dan Adh-Dhu’afa wa al-Matruukiin oleh Ibnu Hibban. Sebagian ulama juga menulis buku-buku khusus tentang orang-orang yang biasa memalsukan hadits, seperti kitab Al-Kasyf al-Hadits ‘Amman Rumiya bi Wadh’ al-Hadits oleh Hafidz Burhanuddin al-Halabi. (Muqaddimah Syaikh ‘Abdul Wahhab dalam kitab Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah, hlm. (ha) dan (ya).
Para pakar hadits mengidentifikasi hadits palsu dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui hadits palsu, di antaranya sebagai berikut.1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan hadits, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur’an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana.
2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi.
4. Indikasi yang berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan, seperti yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa ditafsirkan, bertentangan dengan makna Al-Qur’an yang qath’i, atau hadits mutawatir atau ijma’ (kesepakatan) yang sifatnya qath’i (punya kebenaran dan makna pasti). (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 5-8).
5. Kerancuan susunan bahasa hadits dari segi bahasa. Dalam masalah ini, Ibnu Daqiq al-Id berkomentar, “Banyak ulama yang menghukum palsu sebuah hadits karena faktor-faktor yang berkaitan dengan matan dan susunan bahasa hadits. Karena seringnya bergumul dengan hadits, mereka akhirnya memiliki kepekaan dan kemampuan membedakan redaksi Nabi dan bukan.” (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 6).
Di sini tampak kesungguhan para ulama di dalam mengawal sunnah dari kebohongan dan pemalsuan, sehingga para pembenci, perusak, dan pendengki sunnah tidak mampu mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip yang diletakkan para ulama membuat tiap ulama dan penuntut ilmu dapat membedakan antara hadits shahih dan maudhu’ (palsu). Mereka bisa mengetahui rawi yang jujur dan berbohong, yang benar dan yang salah, yang cermat dan ceroboh.
Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang kekhawatiran terhadap sunnah dari ulah kaum pendusta dan perusak, “Bagaimana dengan hadits-hadits palsu itu?” Ibnul Mubarak menjawab, “Para pakar telah menguasainya.” Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami juga yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9).
Bersambung …!
Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 77-85).

jazakumullah

Metode Berpikir Islami

AHLAN WA SAHLAN


Dr. Daud Rasyid, M.A

Berpikir adalah cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Di kalangan ahli mantiq sangat masyhur istilah yang mendefinisikan manusia sebagai hayawan-natiq (hewan yang berpikir). Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya), “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.” (Al-Israa’: 70). Bahkan, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Sebab, dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu. Mari kita simak ayat-ayat berikut.
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan’.” (Al-Baqarah: 31-33).
Penghargaan Allah kepada manusia demikian besarnya, sampai ke tingkat memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam. Bahkan, yang menolak perintah sujud itu dicap sebagai kafir. Adakah pemuliaan yang melebihi penghargaan yang luar biasa itu?
Berpikir dalam Islam
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur’an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, “Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti, semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya.” (Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur’an, orang-orang yang mendurhakai Allah itu karena disebabkan “cacat intelektual”. Betapapun mereka berpikir dan bahkan sebagian mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat “bertakwa”, maka selama itu pula mereka tetap berada dalam kategori orang-orang yang “tidak mengerti” atau meminjam istilah Al-Qur’an “laa yafgahuun”, “laa ya’lamuun”, “laa ya’qiluun”.
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan yang konsekuen dengan ilmunya. Siap mengubah pendirian, sikap, kepribadian, bahkan idiologi, sesuai dengan tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika seorang ilmuwan bersikap jujur dengan ilmunya, ia akan sampai pada konklusi bahwa ilmu apa pun–khususnya ilmu-ilmu empirik dan eksperimental–yang didalami seseorang akan sampai pada kesimpulan mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya. Sikap ilmiah sejati tidak hanya berhenti pada pengakuan pasif, tetapi menuntut keberanian untuk menyikapi keyakinan itu dan mempertahankannya dari segala bentuk serangan yang dapat mengganggu stabilitas dan eksistensinya.
Contoh yang spektakuler dalam sejarah mempertahankan kebenaran ialah sikap para tukang sihir Fir’aun yang berbalik memusuhi Fir’an setelah mereka percaya akan kenabian Musa a.s. melalui mukjizat yang ditampakkannya di hadapan para tukang sihir itu. Bahkan, mereka tidak hanya sebatas percaya dan menerima, tetapi siap menghadapi segala konsekuensi kebenaran tersebut. Fir’aun menghukum gantung dan menyalib mereka. Akan tetapi, sikap mereka tidak menunjukkan penyesalan, bahkan keberanian yang cukup menakjubkan. Jawaban mereka ketika mendengar ancaman Fir’aun seperti diceritakan di dalam Al-Qur’an, “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan dari Tuhan yang menciptakan kami. Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat menghukum kehidupan di dunia ini saja.” (Thaahaa: 72).
Sumber-Sumber Ilmu
Dalam Islam, sumber-sumber ilmu berasal dari: wahyu dan akal. Wahyu adalah informasi tentang sesuatu dari Yang Maha Mengetahui, Allah SWT. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ciri khas wahyu itu adalah mengandung kebenaran mutlak, yang tidak perlu didiskusikan kebenarannya. Fungsi manusia dalam kaitan ini adalah memahami wahyu dan mengoperasionalkannya. Manusia hendaknya tidak terjebak dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya. Sebab, hal itu hanya sekadar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu yang kedua, yaitu akal. Akal manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Sebab dalam Islam, akal adalah kunci penugasan manusia. Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan hukum-hukum syariat.
Metode akal dalam menangkap pengetahuan melalui tiga jalur: a. Melalui indera yang dapat berupa penglihatan dan pendengaran. Informasi itu diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara benar. b. Melalui logika, seperti tiga lebih besar daripada dua. c. Melalu berita yang disampaikan oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran nara sumbernya. Dalam kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu yang dapat menguji kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu hadits dengan nama “ilmu al-jarh wa at-ta’dil”.
Metode Berpikir Islami
Oleh karena berpikir adalah suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik muslim atau nonmuslim, yang akan menghasilkan kesimpulan yang beragam, sudah barang tentu diperlukan suatu kerangka yang dapat mengarahkan manusia dalam berpikir untuk mencapai sasarannya. Sebab, tanpa rumusan pola itu, manusia akan dapat terperangkap pada cara berpikir yang lepas kendali. Konsekuensinya tidak segampang yang dibayangkan manusia. Akan tetapi, tidak menemukan kebenaran itu dalam Islam identik dengan kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), “Adakah di luar kebenaran itu kalau bukan kesesatan?” (Yunus: 32).
Jika mengamati petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hadits Nabi, dan pengalaman sejarah intelektual dalam Islam, maka dapat dikemukakan beberapa metode–atau dapat disebut sebagai kaidah–berpikir dalam Islam, yang mengantarkan seseorang berpikir secara proporsional dan benar untuk selanjutnya keluar dengan pemikiran yang jernih, lurus, dan relefan dengan kehendak Allah SWT. Metode tersebut adalah sebagai berikut.
a. Wahyu adalah Satu-satunya Sumber Aqidah dan Ayari’ah Setiap peneliti muslim diminta agar menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber dalam konsep dan operasional sekaligus, tanpa memilah-milahnya, dalam arti bahwa kita sebagai muslim hendaknya mengajukan pertanyaan kepada Al-Qur’an, kemudian mendengar jawabannya dari Allah SWT. Akan tetapi, mencari jawaban itu hanya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, bukan dari sumber-sumber lainnya.
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai wahyu dari langit adalah hakikat yang sudah merupakan aksioma dan menjadi prinsip Islam. Akan tetapi, sayangnya banyak peneliti dan kaum intelektual melangkai prinsip ini, sengaja atau tidak. Mereka cenderung menggunakan sumber-sumber produk manusia, di samping sumber-sumber utama Islam. Mereka juga menyimpan seperangkat pemikiran, teori, dan hipotesa sebagai peninggalan peradaban kuno yang cenderung berlainan dengan konsep Islam. Kondisi seperti ini sudah tentu tidak sejalan dengan kaidah menempatkan wahyu sebagai satu-satunya sumber dalam jalur aqidah, hukum, dan maslaah metafisik.
Seharusnya sikap muslim pencari kebenaran ketika membaca Al-Qur’an mengosongkan pikirannya dari seluruh jenis teori dan konsep yang dihasilkan manusia tanpa dasar wahyu.
b. Hubungan antara Wahyu, Akal, dan Metode Interpretasi Rasional Kaidah ini berkaitan dengan penempatan posisi akal dan perannya dalam menangkap pesan (teks) Ilahi. Pada prinsipnya, Islam telah menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan manusia sebagi prasarat diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam ghaib dan alam nyata.
Spesifikasi alam ghaib ialah berada di luar batas ruang dan waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia. Alam ghaib seperti, Allah, malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia tidak bakal mengetahuinya secara rinci dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal di sini sekadar menerima informasi, memahami, dan membenarkan. Adapun alam nyata, objek dan komponennya berada dalam batas ruang dan waktu. Akal manusia bertugas menyelidikinya untuk sampai pada hakikat.
Atas dasar ini, kebenaran di sekitar alam ghaib tidak dapat didiskusikan secara rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui teks secara apa adanya. Peran akal berada pada batas pengklasifikasian, penempatan, dan penetapan, agar keluar dengan kesimpulan yang general dan sempurna serta tidak bertentangan dengan akal dan logika.
Dalam Islam dikenal dua kategori hakikat: hakikat tawqifiyah yang berskala ghaib dan didapatkan melalui informasi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Posisinya berada di atas akal manusia. Dan, hakikat tawfiqiyah yang sesungguhnya menjadi objek dan lapangan akal manusia.
Kekeliruan banyak orang, seperti perkembangan filsafat Yunani, mencampuradukkan dua kategori tersebut, sehingga membebankan kepada akal hal-hal yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Manusia juga sering tertipu ketika akal mampu memerankan fungsinya secara baik dan prima pada ruang “tawfiqiyah”, mengira bahwa akal juga mampu menembus wilayah “tawqifiyah”, atau setidak-tidaknya tergiur untuk menerobos ke kawasan itu.
Pada zaman modern ini, kita perhatikan akal manusia mampu menemukan hal-hal menakjubkan di alam materi. Lalu kita mengira bahwa akal yang selama ini mampu menciptakan pesawat, roket, menghancurkan atom, membuat bom hidrogen, menjelajah ruang angkasa, juga memiliki kemampuan untuk merumuskan peraturan yang menata hidup manusia. Kita lupa bahwa keberhasilan yang diraih akal selama ini ketika ia beroperasi pada jalurnya secara natural, karena memang ia dipersiapkan untuk itu. Akan tetapi, sekiranya akal beroperasi di jalur “alam manusia”, berarti ia beroperasi dalam alam yang tidak mengenal batas dan amat kabur. Akibatnya, akal menemukan jalan buntu dan keluar dengan konklusi yang keliru.
c. Mencari Kebenaran dengan Sikap Jernih
Yang dimaksud di sini ialah sikap objektif sebagai pencari kebenaran dari wahyu Al-Qur’an, bukan dengan tendensi tertentu, seperti mencari-cari dalil untuk melemahkan pendapat lawan. Hakikat Al-Qur’an adalah parameter untuk mengukur kebenaran suatu paham, teori, dan filsafat-filsafat yang ada, oleh karena itu harus diketahui secara utuh dan dengan cara langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, perjalanan yang ditempuh pemikiran manusia untuk sampai kepada kebenaran amat lamban, sebab ia tidak mampu menemukan kebenaran secara spontan tanpa bantuan kekuatan lain.
d. Kebenaran dalam Al-Qur’an Senantiasa Paralel
Yang dimaksud di sini ialah keharusan membandingkan antara kesimpulan yang didapat dari Al-Qur’an–melalui metode deduktif–dengan kebenaran-kebenaran Al-Qur’an yang mutlak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran dalam Al-Qur’an tidak akan mengalami kontradiksi dengan sesamanya, karena ia berasal dari sumber yang sama. Jika ditemukan adanya kelainan, secara otomatis kesimpulan yang diperoleh adalah keliru dan ditolak. Hal ini didasarkan pada dua ketentuan yang aksiomatik dan disepakati oleh kaum muslimin dan didukung oleh metodologi ilmiah dalam kritik sejarah, yaitu sebagai berikut. 1. Semua ayat-ayat Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, dan Allah menjanjikan pemeliharaan mutlak atas kesucian Al-Qur’an. 2. Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara sebagian dengan bagian lainnya bersesuaian dan tidak ditemui kontradiksi.
e. Bersikap Jujur, tanpa Prakonsepsi
Peneliti Al-Qur’an dituntut agar bersikap jujur dan ikhlas untuk mencri kebenaran murni. Peneliti hendaknya membebaskan dirinya dari pengaruh hawa nafsu, kepentingan, fanatisme kelompok, dan paham yang dianutnya.
Hal ini memang berkaitan kepada individu peneliti dan mentalitas serta moralitasnya. Akan tetapi, manusia adalah satu kesatuan. Memilah-milah antara sarana dan kemampuannya dalam memberi interpretasi atas aktivitas manusia adalah cara yang keliru. Tidaklah semua orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapat petunjuk. Bahkan, ada yang membacanya tetapi disesatkan oleh Allah. Lalu, siapa yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat? Jawabannya dari Al-Qur’an itu sendiri.
Menurut Al-Qur’an, motivasi juga memegang peran penting dalam menerima kebenaran atau menolaknya. Allah memberikan gambaran, perumpamaan, peringatan, dan janji-janji agar dipikirkan, tetapi orang-orang kafir justru semakin menyimpang dari jalan yang benar.
Pemikiran Islam di Tengah Pemikiran-Pemikiran Lainnya
Jika kita mencari perumpamaan antara pemikiran Islam dengan pemikiran produk manusia lainnya, ibarat bunga mawar yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam. Setidaknya ada dua filsafat yang saling kontradiktif dalam ajarannya, sementara posisi Islam berada di tengah dan berjalan secara seimbang. Kedua filsafat itu ialah materialisme dan spiritualisme.
a. Paham Materialisme
Jika kita memperhatikan sistem yang berlaku sekarang, kebanyakan berdiri di atas paham “materialisme”, suatu paham yang mengumandangkan “sekularisme” dan menyanjung-nyanjungnya. Memang penerapan paham ini di sebagian negeri masih memberikan ruang bagi “agama”, tetapi ia menempatkan agama pada posisi yang sangat terbatas. Sementara, di negara-negara tertentu agama benar-benar diperangi dan diharamkan.
Sesungguhnya materialisme adalah paham yang dasar dan akarnya sudah sangat jauh ditelan sejarah, tetapi muncul ke permukaan dengan nama dan simbol yang berbeda-beda, namun akarnya sama, yaitu mementingkan materi dan menjadikannya sebagai dasar dan pijakan, baik mengakui posisi agama ataupun mengingkarinya secara total.
Al-Qur’an sudah lama mengidentifikasi paham ini dengan mengatakan, “Kehidupan kami tidak ada lain dari kehidupan dunia, kami mengalami mati dan hidup dan kami tidak akan dibangkitkan lagi.” (Al-Mu’minun: 37).
Kehidupan yang didasarkan atas paham ini akan mengalami tantangan-tantangan yang cukup berat, karena tuntutan manusia yang cukup mendesak pada pemenuhan kebutuhan rohani dan alam ghaib, sebagaimana kebutuhan fisik dan materi. Kenyataan yang dialami umat manusia belakangan ini sebenarnya sudah cukup menjadi “jawaban” bagi mereka yang memandang hidup ini hanya materi, dan mereka membangun teori, sikap, dan kehidupannya atas dasar materi murni. Tidak ada kondisi di mana manusia dalam keadaan paling sengsara dari kondisi kehidupan materialis.
b. Tenggelam dalam Spiritualisme (Pola Hidup Kerahiban)
Paham ini kebalikan dari paham pertama, dan sama-sama tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi manusia. Bagi penganut paham ini, penyiksaan diri, menjauhi kehidupan materi adalah ukuran kebahagiaan seseorang.
Dalam sejarah umat manusia, filsafat ini ditampilkan oleh pemuka-pemuka agama Nasrani (rahib) yang cenderung hidup menyiksa dirinya untuk meraih ridha tuhannya. Sangat mengerikan jika kita mendengar gaya hidup para rahib itu. Ada di antara mereka yang tidak menyentuh air selama empat puluh tahun, karena menurut keyakinannya bahwa hidup bersih dan rapi dapat mengurangi penghambaan manusia kepada Tuhan. Ada pula yang hidup dan tidur di comberan hingga ulat-ulat menyantapi daging-daging tubuhnya. Ada lagi yang berdiri dengan kaki sebelah selama lima belas tahun. Banyak cerita-cerita aneh yang dilakukan para rahib untuk menjauhi kehidupan.
Dengan demikian, paham yang sesuai dengan fitrah manusia adalah Islam. Islam berada di tengah-tengah dari kedua keadaan yang ekstrem tersebut. Betapa indahnya hidup di bawah naungan Islam yang mencarikan bagi manusia jalan kehidupan yang seimbang di dunia dan selamat di akhirat.
Sumber: Diadaptasi dari Islam dalam Berbagai Dimensi, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 87-97


jazakumullah

zondag, oktober 12, 2008

Het Huwelijk in de Islam

AHLAN WA SAHLAN


En dit is onder Zijn tekenen, dat Hij uit uw midden echtgenoten voor u schiep, opdat gij er rust in moogt vinden, en Hij heeft liefde en tederheid onder u geplaatst. Daarin zijn zeker tekenen voor een volk, dat nadenkt.
(Heilige Koran 30:21).


De Boodschapper van Allah, vrede zij met hem, heeft gezegd:

"Er bestaat geen kloosterleven in de Islam." Hij, vrede zij met hem, schreef verder het volgende voor: "O gij jonge mannen! Een ieder die in staat is om te trouwen dient te trouwen, want dit zal hem helpen om zijn blik neer te slaan en zijn schaamte te bewaren."(Al-Boekhaarie).

Schaamte werd door de Profeet, vrede zij met hem, als een grote deugd gezien. Hij, vrede zij met hem, zei:

"Schaamte is een gedeelte van het geloof."(Al-Boekhaarie).

Het belang van het huwelijkswet wordt het sterkst benadrukt in de volgende hadith van de Profeet, vrede zij met hem:

"Trouwen is mijn Soennah. Een ieder die zich hiervan af houdt behoort niet tot mij."


In de islam zijn er duidelijke regels omtrent de betrekkingen van de mens met Allah, met de leider, met de familie, de ouders, de echtgenote, de zonen, de dochters en met andere mensen.


Het huwelijk is de enige toegestane vorm van relatie

De enige relatie tussen een man en een vrouw wat in de islam is toegestaan is het huwelijk. Het huwelijk is bijna verplicht voor elke moslim, tenzij hij hiertoe belemmerd wordt door bijvoorbeeld gezondheidsredenen. De islam raadt het huwelijk ten sterkste aan. De profeet Mohammed, vrede zij met hem, zegt dat de mens die trouwt daarmee de helft van zijn geloof uitvoert. Iedere moslim die een vrouw kan onderhouden moet trouwen, zodat hij door het huwelijk beschermd wordt tegen wangedrag.


Het instituut van het huwelijk is noodzakelijk

Het huwelijk is volgens de islam het basisinstituut met als doel een familie te stichten, het eerste onderdeel van de maatschappij. Daarom is het huwelijk een heilig instituut, dat beschermd hoort te worden tegen elke vorm van geweld. Het huwelijk in de islam heeft gedeeltelijk als doel het vermenigvuldigen van het menselijk ras. Verder weten we dat alle psychologen en sociologen het gezin beschouwen als de beste plaats voor een kind om in op te groeien. Daarom moedigt de islam het huwelijk aan en beschermt het gezin tegen elke vorm van geweld, opdat de geestelijke gezondheid van mannen en vrouwen en kinderen zich positief kan ontwikkelen. Zonder het huwelijk is er geen familie, zonder familie is er geen geestelijk, gebalanceerd menswaardig leven voor volwassenen en kinderen.


Geen man-vrouw relaties buiten het huwelijk

In de islam bestaan man-vrouw relaties alleen binnen het huwelijk, in feite, in de meeste huwelijken in de islamitische wereld ontstaat liefde pas na de consumering van het huwelijk. In de landen waar liefde zich voor het huwelijk ontwikkelt d.m.v. vrije seksuele omgang, vormt die seksuele vrijheid het grootste gevaar voor de blijvende liefde.

De islam ontwikkelt de eigenschappen van geduld, opoffering en trouw in de gelovige. De algemene regel voor de moslims is dat de man en zijn vrouw samenleven tot het einde van hun leven. Altijd durende trouw is de algemene regel. De man en de vrouw wijden zich allebei aan elkaar en de kinderen, en deze toewijding blijft tot het einde bestaan.


Liefde zonder verantwoordelijkheid is een sociale ziekte

In een aantal niet-islamitische landen neemt de ‘vrije-liefde' nu de plaats over van het huwelijk en in de meeste gevallen gaat ze samen met het huwelijk, De liefde zonder verantwoordelijkheid is tegen alle geopenbaarde godsdiensten, waaronder christendom, jodendom en islam. Het is enkel het overgeven aan de seksuele lust, zonder gehoorzaamheid aan Allah. Vrije liefde wordt gestimuleerd door de gemengde omgang van de seksen in scholen, bedrijven, clubs en op alle andere plaatsen.

Vrije liefde is gebaseerd op egoïsme, terwijl het huwelijk gebaseerd is op opoffering. Vrije liefde doelt alleen op tijdelijk genot, terwijl het huwelijk bedoeld is om altijddurend geluk te verwerven.

Als we kijken naar maatschappijen waarin liefde zonder verantwoordelijkheid gewoon is, zien we dat daardoor geen geluk wordt bereikt. Het aantal scheidingen in deze landen stijgt gestaag: het aantal kinderen zonder vader en moeder neemt toe; het aantal misdaden met seksuele motieven nemen toe: zelfmoordzaken nemen toe in aantal. Vrije liefde betekent niets anders dan overgave aan de seksuele lust en daarmee het kapot maken van het leven en het geluk van andere individuen en andere families. Het is niet zonder reden dat vrouwen, anders dan de dierlijke vrouwtjes een maagdenvlies hebben. Dit maagdenvlies is door Allah geschapen met een sociale funcie; namelijk de wettigheid van de seksuele omgang binnen de wettige institutie van het huwelijk.


Het huwelijk en het gezin

Het huwelijk in de islam is er niet alleen voor het seksuele genot. Het huwelijk in de islam is de enige oorzaak voor een familie. De familie is de enige gezonde leefstruktuur voor zowel kinderen als ouders. Als het huwelijk kapot is gemaakt, is de familie kapot. Als de familie kapot is, is de psychische veiligheid en het leven van de kinderen kapot. De kinderen van vandaag zijn de mannen en vrouwen van morgen. Met andere woorden: de islam beschouwt het huwelijk niet enkel als een relatie tussen man en vrouw, maar ook als een instituut dat een grote invloed heeft op de struktuur van de hele staat. Immers het huwelijk is het wezen van de familie en de familie is het wezen van de maatschappij.


De islam verbiedt vrije liefde

De islam is tegen de vrije liefde omdat de islam de mens oefent om zich te onderwerpen aan Allah en niet aan de lusten. Eén van de hoofddoelen van het gebed is het beheersen van de lusten. Eén van de hoofddoelen van het vasten is het beheersen van de lust voor voedsel, drinken en seks. De islam traint de gelovigen om de heersers over hun lusten te zijn en niet de slaven van hun lusten. In de islam gaat men er vanuit dat de mens een psychische eenheid vormt: als je je lust voor voedsel, water en seks tijdens de vastenmaand kunt beheersen, dan zul je geoefend zijn om andere lusten te beheersen, zoals lust naar geld of glorie met behulp van illegale middelen.


Wanneer is een daad goed of slecht?

De islam heeft als doel: het ware geluk voor ieder individu. Daarom is elke daad die dit geluk bedreigt, verboden door de islam. Bijvoorbeeld, vrije liefde veroorzaakt pijn aan de bedrogen echtgenoten en echtgenotes, het leidt tot scheuring in de familiestruktuur en daardoor ongeluk bij de kinderen. Uiteindelijk krijgen ook degenen die vrije liefde bedrijven een lading verdriet en ellende. Het plezier van de vrije liefde is dus tijdeijk en leidt tot ellende voor veel personen. Het huwelijk daarentegen verzekert het geluk voor de echtgenoot, de vrouwen en de kinderen en doet geen schade of pijn aan andere echtgenoten of vrouwen.


Verboden vormen van huwelijk

In de islam is het verboden voor een man om de volgende familieleden te huwen: zijn moeder, dochter, zus, tante van vader's en moeder's kant, dochter van zijn broer of zuster, halfzussen, de moeder van zijn vrouw, de vrouw van zijn zoon, zijn stiefdochter en stiefmoeder. Ook is het hem verboden om tegelijkertijd met twee zussen getrouwd te zijn of een vrouw en haar tante tegelijkertijd.


Kan een moslim trouwen met een niet-moslimvrouw?

Een moslim mag een niet-moslim vrouw trouwen die gelooft in een andere geopenbaarde godsdienst. Een moslim kan dus een christelijke of joodse vrouw trouwen. Een moslim-vrouw echter, mag geen niet-moslim trouwen. De man immers is de leider van de familie. De christelijke man zou zijn moslimvrouw direkt of indirekt leiden om niet-moslim te zijn. Een moslim gelooft in het ware christendom en het ware jodendom, maar een christen of jood gelooft niet in de islam.


Het huwelijk met een gescheiden vrouw

In de islam is het een man en vrouw toegestaan naar elkaar te kijken wanneer men de bedoeling heeft om met elkaar te trouwen. Als een man een zekere vrouw wil huwen, dan doet hij een verzoek aan haar of aan haar beschermer. Ondertussen is het verboden voor enig andere man om haar te vragen, totdat dezelfde man zijn verzoek zou intrekken of hij is afgewezen. Dit is zo gesteld om geen ruzie te laten ontstaan over het huwelijk met een zekere vrouw.


Wederzijdse instemmeing is een voorwaarde voor het huwelijk

In de islam moet het huwelijk gebaseerd zijn op de instemming van zowel de man als de vrouw. De echtgenoot geeft de vrouw een bruidsschat, die vastgelegd is in het huwelijkscontract. Dit is een zogenaamde ‘vrije gift' en wordt aan de vrouw betaald wanneer het huwelijkscontract wordt gesloten. De waarde van de bruidsschat is afhankelijk van de financiële omstandigheden van de man en van de sociale positie van de vrouw. In veel gevallen wordt de bruidsschat in de islam verdeeld in tweeën: een snelle bruidsschat en een uitgestelde bruidsschat. De snelle bruidsschat wordt bij het huwelijkscontract gegeven en de uitgestelde bruidsschat wordt bij de dood van de echtgenoot of gescheiden echtgenoot gegeven.


De bruidsschat is een huwelijksvoorwaarde

Er zijn meerdere redenen waarom de man een bruidsschat aan zijn vrouw moet betalen. Allereerst is de bruidsschat een teken van de oprechtheid van de echtgenoot bij het contract. Ten tweede is de bruidsschat een teken van de capaciteit van de man om een familie te stichten en de komende verantwoordelijkheid van behuizing en onderhoud van vrouw en kinderen te kunnen dragen. Ten derde staat de bruidsschat ten zeerste een scheiding in de weg en dwingt de echtgenoot om goed te overwegen voordat hij van zijn vrouw zou scheiden.


De openbaarheid van het huwelijk

De instemming van de man en de vrouw is noodzakelijk in de islam. Een andere voorwaarde in de islam is de bruidsschat die gegeven wordt door de echtgenoot aan zijn vrouw. De derde voorwaarde is de openbaarheid van het huwelijk. Het huwelijk moet in de islam openbaar bekend gemaakt worden; dit is om het huwelijk duidelijk te onderscheiden van overspel. Om deze openbaarheid te verzekeren moeten er getuigen zijn bij het huwelijkscontract. Er wordt daarbij in het openbaar een speciale toespraak gehouden om het huwelijk aan te kondigen en om aan de man en vrouw en het publiek de rechten en plichten van zowel de man als de vrouw duidelijk te maken.


De getuigen bij het huwelijk

In de islam is het een algemene principe om bij alle soorten overeenkomsten getuigen aan te stellen. Het huwelijk dat een contract is tussen mensen verlangt ook getuigen. Tegenwoordig echter laten moslims het huwelijk meestal registreren in het gemeentehuis, maar deze registratie is geen officiëele.


Voorwaarde voor het contract

In de islam is de man vrij om zijn vrouw te kiezen en is de vrouw vrij om haar man te kiezen. Natuurlijk heeft een jong meisje te weinig ervaring om de juiste man te kunnen kiezen; daarom is het advies van haar vader of beschermer gerechtvaardigd. Maar geen vader of beschermer heeft het recht een meisje te dwingen te trouwen met een man met wie ze niet wil trouwen. Dus, in de islam is de instemming van het meisje nodig om een zekere man te trouwen.


Het huwelijk als een gelijkmaker

In de islam kan een huwelijk gesloten worden met iedere man of vrouw, ongeacht rijkdom, aanzien, ras of kleur. De islam is gekomen om gelijkheid onder de mensen te brengen en de verschillen tussen individuele personen te verminderen. Ze is gekomen om liefde te verspreiden in plaats van haat; broederschap in plaats van vijandschap en gelijkheid in plaats van discriminatie.


Het huwelijk is een overeenkomst

Bij het sluiten van de huwelijksovereenkomst kunnen er allerlei soorten van wettelijke voorwaarden gesteld worden. De vrouw kan in het contract laten vastleggen om in een bepaalde stad of land te wonen. De vrouw kan het recht op scheiding vanwege een gestelde reden vast laten leggen. Zij kan er een notitie van laten maken om zich te verzekeren dat zij haar ouders mag bezoeken. De vrouw mag het recht eisen om te mogen scheiden van haar man, als hij naast haar een andere vrouw zou trouwen. Dit betekent twee dingen. Allereerst is het duidelijk dat het huwelijk een contract is waarin iedere kant (en dit is meestal de vrouw) het recht heeft om bepaalde voorwaarden te stellen. Ten tweede toont dit hoe de islam de rechten van de vrouw beschermt en haar een goede kans geeft om haar rechten te waarborgen in het huwelijkscontract.


Polygamie

In de islam heeft de man het recht om in totaal vier vrouwen te huwen. Hiervoor zijn er verschillende redenen.


Polygamie en oorlog

In veel landen over de hele wereld is het aantal vrouwen hoger dan het aantal mannen. Dit komt vooral voor in landen in oorlog. Als we terug kijken in de geschiedenis, zien we dat er nauwelijks een dag voorbij is gegaan zonder dat er ergens in de wereld oorlog heerste. En kijk naar onze wereld nu. Elke dag horen we over de dood van honderden mannen die hier en daar sterven bij militaire conflicten. Omdat dit de realiteit is, is het voor een meisje beter om een halve echtgenoot te hebben dan helemaal geen echtgenoot.


Polygamie en de weduwen

De dood van manen tijdens de oorlog maakt duizenden vrouwen weduwe en nog meer kinderen vaderloos. Het natuurlijke leven voor deze weduwen en vaderloze kinderen is toch het familieleven en dat is zeker beter dan dat ze sociaal niet meer meetellen. In deze gevallen is polygamie gerechtvaardigd.


Polygamie en mannen met sterke lustgevoelens

Er zijn gevallen van mannnen die sterke lustgevoelens hebben. Het is beter voor de maatschappij om deze mannen het recht te geven om nog een vrouw te huwen, beter dan dat zij zich gedwongen voelen om overspel te plegen. Dit is een derde rechtvaardiging van polygamie


Polygamie en een zieke echtgenote

Het gebeurt soms dat een man een chronisch zieke vrouw heeft. Het is beter dat deze man het recht heeft om een andere vrouw te trouwen dan dat hij gedwongen wordt om van zijn eerste vrouw te scheiden, opdat hij een andere vrouw kan trouwen.


Polygamie en de dood van mannen

Zelfs in vredestijd overlijden er vaker mannen tijdens ongelukken dan vrouwen. Dit komt meestal door de werkomstandigheden van de man. Zo zal het aantal vrouwen het aantal van de mannen overtreffen. Ook hier biedt polygamie een oplossing.


Polygamie en mogelijke omstandigheden

De islam als godsdienst voor alle tijden, plaatsen en volken, heeft een wetgeving die rekening houdt met alle mogelijke omstandigheden. Hoe kan een land zonder polygamie het probleem oplossen wanneer er twee miljoen mannen in de oorlog stierven en dus twee miljoen vrouwen geen kans hebben op echtgenoten? De islam legt een sterke nadruk op het gezinsleven en ziet het als de gezondste manier van leven.


Polygamie en een eerlijke behandeling van de vrouwen

De islam stelt een voorwaarde aan polygamie: de man moet de vrouwen eerlijk en gelijk behandelen wat betreft behuizing, uitgaven, kleding, voedsel en zijn manier van samenleven met hen.


Polygamie en de keuze van de vrouw

De islam waarborgt het recht van de vrouw, door haar het recht te geven om in het huwelijkscontract te laten vastleggen dat zij kan scheiden wanneer haar man een andere vrouw zou trouwen. De tweede vrouw hoort te weten dat hij getrouwd is en ze kan een vrije keus maken om met hem te trouwen als tweede vrouw. Dit betekent dat polygamie plaatsvindt met de instemming van alle betreffende personen, te weten de echtgenoot, de nieuwe vrouw en in sommige gevallen ook de eerste vrouw.


De Echtscheiding in de Islam

De islam erkent de noodzaak van de echtscheiding wanneer een huwelijk faalt in het behalen van haar doelen. Volgens de islam wordt het huwelijk zinloos wanneer er haat is tussen de man en de vrouw in de plaats van liefde.


Het recht op echtscheiding

De islam geeft de echtgenoot het recht om zijn vrouw te scheiden. De vrouw heeft het recht om, wanneer het huwelijksleven slechts een bron van ellende en ongeluk is, haar recht op echtscheiding op te eisen bij de rechter. In de islam is de echtscheiding de meest verafschuwde rechtmatige zaak. De echtscheiding hoort de laatste toevlucht te zijn, nadat alle andere pogingen tot verzoening tussen de echtgenoot en zijn vrouw zijn mislukt.


De beperkingen ten aanzien van de echtscheiding

Er worden in de islam beperkingen gesteld aan de echtscheiding, de islam heeft een voorkomende aanpak wat het gezinsleven betreft, en de islam regelt de relaties tussen de twee seksen met behoedzaamheid. Daarom vinden we het aantal echtscheidingen in de islamitische landen veel lager dan in Europa of Amerika. In de islamitische landen is echtscheiding een zeldzame maatregel, wat komt door de algemene opvatting over het huwelijk binnen de islam.

Bovendien voorkomt de islam de onnodige vermenging van de twee seksen. De onnodige vermenging resulteert namelijk in seksuele en sociale problematiek, die een direkt gevaar betekent voor het huwelijk.

Verder stelt de islam een zware straf op overspel of verkrachting. Onder bepaalde juiste voorwaarden reikt deze straf tot de dood wanneer het overspel door een getrouwd persoon is gepleegd. Bovendien benadrukt de islam de huishoudelijke rol en de moederrol van de vrouw, in tegenstelling tot andere samenlevingen, die de seksrol en de buitenshuis-rol van de vrouw benadrukken. Bovendien vereist de islam de respektabele kleding voor de vrouw en maakt zo een eind aan de voortdurende en overal aanwezige bron van seksuele opwinding en verleiding van de mannen.


Voorkomen is beter dan genezen

In sommige niet-islamitische samenlevingen maken de gebruiken in de samenleving zelf de weg vrij voor echtscheiding, bijvoorbeeld: gewoontes die vrije liefde voor en na het huwelijk toestaan, gewoontes die een onbeperkte vermenging van mannen en vrouwen bij alle gelegenheden toestaan, gewoontes om geen enkele controlle uit te oefenen over de tentoonstelling van het vrouwelijk lichaam, en gewoontes om het vrouwelijk lichaam te zien als een rechtmatig middel te gebruiken voor willekeurig welk doel. Zulke gewoontes maken van het huwelijk een wankele instelling en maken echtscheiding tot de algemene regel en het altijddurende huwelijk tot de uitzondering.

Zoals we allemaal wel weten is scheiding een zware klap voor de man en de vrouw en voor hun plannen en verwachtingen. De echtscheiding maakt ook het leven ven de kinderen kapot. Het ondermijnt de vrede en het geluk in het gezin. Daarom geeft de islam het huwelijk alle kansen en beschermt het tegen alle bedreigingen.


Pogingen tot verzoening voorafgaand aan de echtscheiding

In de islam is de scheiding niet toegestaan tenzij alle mogelijke manieren gebruikt zijn om de onenigheid tussen de man en de vrouw bij te leggen. De man moet een voorspreker zoeken die hij vertrouwt en de vrouw moet een voorspreker zoeken die zij vertrouwt. Meestal zijn dit familieleden. Deze twee voorsprekers doen hun best om de oorzaken van de onenigheid tussen man en vrouw te overwinnen om de harmonie tussen de echtgenoot en zijn vrouw te herstellen. Als deze rechters geen succes oogsten, dan pas mag de echtscheiding plaatsvinden.


Mogelijke redenen voor een echtscheiding

Een reden voor echtscheiding kan zijn dat de echtgenoot impotent is of ofwel de man of de vrouw zo ziek is dat er geen seksuele relatie mogelijk is. Ook levenslange gevangenschap of langdurige gevangenschap is een reden voor echtscheiding. Langdurige afwezigheid van de echtgenoot zonder enig bericht of onvermogen van de man om zijn vrouw te onderhouden zijn andere geldige redenen. Ook kan de scheiding voorkomen uit wangedrag of aanhoudend slecht humeur van de man of de vrouw.


Echtscheiding is de verafschuwdste zaak

De islam ontraadt de echtscheiding en noemt het de meest verafschuwde toegestane zaak. Verder worden er in de islam de nodige verzoeningsmaatregelen geëist, voordat er een echtscheiding mag plaatsvinden. In feite probeert een gelovige man alles om een scheiding van zijn vrouw te voorkomen. Wat de vrouw betreft, zij kan onder bepaalde voorwaarden een echtscheiding eisen bij de rechter.


Kansen op herroeping

Zoals we al gezegd hebben: omdat de scheiding slechte invloed heeft op de gezinsstructuur en op de kinderen, gelden er bepaalde beperkingen op scheiding en wordt er altijd een deur opengezet voor verzoening.

1) De islam verbiedt echtscheiding tijdens de menstruatie, omdat dan geslachtsgemeenschap verboden is. Dit betekent dat gedurende ongeveer één week per maand geen echtscheiding kan plaatsvinden. Dit is een manier om echtscheiding in de hand te houden. De mogelijkheid hier is er omdat afwezigheid van geslachtsgemeenschap een verkoeling van de relatie tussen man en vrouw als gevolg kan hebben. De echtscheiding mag dus niet plaatsvinden in deze uitzonderingsperiode.

2) Echtscheiding mag niet plaatsvinden tenzij een verzoeningspoging van twee voorsprekers gefaald heeft.

3) Echtscheiding moet gevolgd worden door een wachtperiode die drie maanden duurt, of die duurt tot de bevalling in het geval van een zwangerschap. Tijdens deze periode kan de vrouw niet met een andere man trouwen. De reden voor deze wachttijd is duidelijk: de islam geeft de echtgenoot en echtgenote de kans om de echtscheiding te herroepen en opnieuw met elkaar te trouwen.

4) De echtgenoot hoort zijn vrouw niet uit huis te zetten na de echtscheiding: hij moet haar in huis houden gedurende de wachtperiode om meer kansen aan elkaar te geven om opnieuw te trouwen.

5) De islam moedigt beide kanten tijdens en na de wachtperiode aan om te hertrouwen.

6) De islam geeft beide kanten de kans te hertrouwen na de eerste of tweede echtscheiding. Dit is een teken voor het feit dat de islam het huwelijk en de continuïteit van het huwelijk benadrukt in het belang van de geestelijke gezondheid van alle gezinsleden inclusief de kinderen.

7) Na de derde keer echtscheiding mag de vrouw niet meer terug naar haar echtgenoot tenzij zij was getrouwd met een andere man en dat huwelijk beëindigd is met een scheiding.

8) De reden waarom de derde keer scheiding onherroepbaar is, is eenvoudig. De islam geeft de echtgenoot en de vrouw tweee kansen op herroepbare scheiding. Dit betekent dat hun huwelijk mislukte en zij voor het eerst scheidden. Daarna hertrouwden zij en scheidden voor een tweede keer. Daarna hertrouwden zij en scheidden voor de derde keer. Na deze derde scheiding wordt inbegrepen dat deze man en vrouw niet meer met elkaar kunnen leven. Verder zijn het instituut van het huwelijk en de concessie van de echtscheding er niet voor het plezier.

In het kort wordt het huwelijk in de islam gezien als een heilig instituut en wordt dus beschermd tegen alle vormen van kwaad. Aan de andere kant wordt de echtscheiding gezien als de meest verafschuwde toegestane zaak; dit is om het aantal echtscheidingen minimaal te houden en de band van het huwelijk te sterken.


jazakumullah