maandag, maart 31, 2008

AHLAN WA SAHLAN


SUATU REFLEKSI KETIKA SANG ‘FITNAH ‘ITU MUNCUL

DISUSUN OLEH

WINARNA

MUQODDIMAH

Puji syukur alhamdulillah senantiasa aku hunjukkan ke hadhirotnya yang mana Allah telah melimpahkan nikmatNya kepada kita semuanya.dimana kita tetap berpegang teguh pada islam.


Sesuai dengan washiat Allah kepada kita untuk berpegang teguh kepada islam samapi kita mati sebagaimana firmanya

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ

artinya

Wahai orang orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar benarnya taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim(Qs aliimron :102.)

Maka sudah amat urgenlah kalau kita membahas sang fitna begitu judul sang film yang beberapa hari yang lalu disiarkan televise dan juga melalui youtube tersebut dalam pandangan islam dengan maksud supaya menjadikan bayan buat kita ummat muslim dan juga para pemirsa.Saya mencoba menjelaskan dari dasar dan apabila banyak kekeliruan maka luruskanlah saya.

Karena kita hanyalah bisa saling menasihati dan agama adalah nasehat

Sebagaimana rosul bersabda

عن أبي تميم بن أوس الـداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال

” الدين النصيحة قلنا لمن ؟ قال : لله ولرسوله وللأئمة المسلمين و عامتهم

Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu ‘anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim”

[Muslim no. 55] bisa juga lihat hadith no7 arbain oleh imam nawawi

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.

Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Imam al-Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

1. Nasihat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”

2. Nasihat untuk kitab-Nya à maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah

3. Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.

4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.

5. Nasihat untuk seluruh kaum muslim à maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam

Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini

PEMBAHASAN JUDUL

Kata ini berarti godaan atau ujian dan Kata فِتْنَةٌ berasal dari kata فَتَنَ ,فَتْنًا Yang berarti menggoda ,menarik Dan perluasan kata tersebut menjadi kata فاتِنٌ yang berarti orang yang menfitnah atau mencoba ,sedang korbanya disebut dengan مَفْتو ن

Makna cobaan ini pembaca bisa menengok

إِنَّمَاأَمۡوَٲلُكُمۡ وَأَوۡلَـٰدُكُمۡ فِتۡنَةٌ۬ ٓ

Artinya

Sesungguhnya harta kamu dan anak anak kamu adalah fitnah(ujian)QS attaghobun :14.

Dan makna kedua adalah membicarakan sesuatu yang mana orang yang dibicarakan tersebut tidak melakukan apapun atau tuduhan kosong ,pemahaman inilah yang sering kita dengar.sebagaimana dalam ayat

وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِ‌ۚ

Sehingga ada kata fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Menyikapi judul tersebut dan dilihat dari isi movie tersebut adalah merupakan ketakutan belaka kaum yang tak bertuhan terhadap perkembangan islam di dunia terutama di negri kincir angina yang mungkin ujian buat mereka terhadap islamistie.karena dalam film tersebut ditayangkan bagaimana prospek negri tersebut dengan perkembangan islam.Selain pengambilan potongan video untuk menjelekkan islam,hal tersbut diperlihatkan bagaimana wanita di berlakukan,pembunuhan ,dan kegiatan yang menagatasnamakan islam.

Untuk lebih jelas mari kita ikuti episode per episode

Potongan pertama adalah

Penghancuran gedung WTC di New York yang mana dia mengutip QS al anfaal ayat 60


dia memotong ayat ini yang dari segi terjemah dia pakai yang kurang tepat,dan juga kalau dilihat konteksya pun sama sekali tidak sesuai.

berikut ayat selengkapnya dan maksud dari ayat tersebut


وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّڪُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡ‌ۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ

Artinya

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [yang dengan persiapan itu] kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya [dirugikan]

Pertama kalau kita lihat ayat ini adalah dalam konteks peperangan,kita bersiap siap terhadap mereka karena mereka selalu berkhianat atau tak menepati janji setiap kali berjanji sebagaimana allah berfirman

ٱلَّذِينَ عَـٰهَدتَّ مِنۡہُمۡ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهۡدَهُمۡ فِى ڪُلِّ مَرَّةٍ۬ وَهُمۡ لَا يَتَّقُونَ

Artinya

Yaitu orang orang yang telah kamu angkat janjinya dan kemudian mereka mengingkari janjinya setiap kali dan mereka tidaklah takut.Qs al anfaal :56

Mereka setiap kali menegaskan perjanjian dan keimanan mereka dan mengabaikanya.

Dan kata يَتَّقُونَ لَا وَهُمۡ dimaksud adalah mereka tak takut siksa Allah dalam berbuat dosa(lihat tafsir ibnu katsir hal 66)


Dan masalah ini bisa diperkuat dengan

فَإِمَّا تَثۡقَفَنَّہُمۡ فِى ٱلۡحَرۡبِ فَشَرِّدۡ بِهِم مَّنۡ خَلۡفَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَذَّڪَّرُونَ

Artinya

Jika kamu menemui mereka dalam peperangan maka cerai beraikan orang orang dibelakang mereka ,supaya mereka mengambil pelajaran Qs al anfaal 57

Disitu ada kata ٱلۡحَرۡبِ berarti peperangan dan kata ini berasal dari حَارَبَ haaraba yang berarti memerangi

تَحَارَبُوْ

(tahaarabu) berarti saling memerangi,

.

dari peristiwa penghancuran gedung itu adalah scenario saja ,menurut suatu berita dari beberapa ahli dari belanda dan juga A.S teryata hal tersebut telah direncanakan .dan dalam dasar gedung telah dibangun sesuati yang mana dengan masa dan suhu tertentu akan meledak.

Coba kita lihat bagaimana gedung itu runtuh ,andaikata dari pesawat maka suatu yang mustahil dia runtuh secara teratur dan luluh semuanya dari atas ke bawah.hal ini hanya untuk mengumpulkan dana saja karena mereka malu sebagai negara besar minta bantuan negara lain dan juga untuk menanamkan citra muslim dengan mengkambing hitamkan Ibnu Laden.

Karena dalam Qs albaqoroh allah berfirman


وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَہُودُ وَلَا ٱلنَّصَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَہُمۡ
Artinya

Dan tidaklah orang orang yahudi dan Nashoro ridho kepadamu hingga engkau ikut millah mereka QS albaqoroh :120

Ada kata millah ini bukan hanya agama saja tetapi pemikiran pemikiran.

Pemikiran pemikran inilah yang ditanamkan sehingga orang melihat kalau islam adalah agama yang tak bermoral.

Hal ini juga terbukti dengan kejadian pemboman dari beberapa kota dan pembantain .Hal tersebut juga banyak di lakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab yang mengatas namakan islam dan bahkan menurut berita dibiayai juga oleh A.S .mereka tidak melihat berapa jumlah orang muslim yang dibantai A.S ,oleh israil.

Dan adanya suatu fatwa dari imam tersebut sampai cabut pedang karena adanya sebab yaitu karena melihat ummat muslim yang jadi korban.mereka tak melihat hal tersebut.

POTONGAN KE DUA

KETIKA SEORANG ANAK DITANYA SIAPA YAHUDI DIA MENJAWAB SEEKOR KERA

dalam menaggapi konteks ayat tersebut sangatlah perlu kita melihat peristiwa dan jalan cerita ayat. karena Allah murka pada mereka itu karena mereka melanggar perintah Allah di hari sabtu yang mana mereka harus berhenti dari aktivitas tetapi mereka menipu Allah

berikut bunyi ayat tersebut

وَلَقَدۡ عَلِمۡتُمُ ٱلَّذِينَ ٱعۡتَدَوۡاْ مِنكُمۡ فِى ٱلسَّبۡتِ فَقُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَـٰسِـِٔي

Artinya

Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang orang yang melanggar diantaramu pada hari sabtu .lalu kami berfirman kepada mereka”jadilah kamu kera” yang hina.Qs albaqoroh :65

disini terdapat pelanggaran mereka dihari sabtu (فِى ٱلسَّبۡتِ )

Orang Yahudi di zaman Rasul saw. telah mengetahui kisah nenek moyang mereka yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Taurat, yaitu agar mereka meninggalkan pekerjaan duniawi untuk melaksanakan amal ibadat pada hari Sabtu. Mereka tidak mau melaksanakan perintah Tuhan itu karena pada setiap hari Sabtu, ikan-ikan di laut bermunculan mudah ditangkap tapi selain hari Sabtu ikan-ikan itu menghilang. ini suatu ujian dari Allah kepada mereka karena mereka hidup di tepi pantai dan mata pencaharian mereka hanya menangkap ikan karena itu pergilah mereka ke laut menangkap ikan pada hari Sabtu itu dan meninggalkan amal ibadahnya. Perbuatan mereka tersebut suatu pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan, m

aka Tuhan menjatuhkan hukuman dengan menjadikan mereka kera sehingga mereka jauh dari kebaikan serta hina dan rendah.
Menurut Mujahid riwayat Ibnu Jarir, "Rupa mereka tidak ditukar menjadi rupa kera tetapi hati, jiwa dan sifat mereka dirubah menjadi seperti kera. Oleh sebab itu mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat memahami ancaman" (HR Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim dari Mujahid) Pada ayat ini mereka diserupakan dengan kera dan ayat-ayat yang lain mereka diserupakan dengan keledai, sesuai dengan firman Allah ,swt:
ُ


مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

Artinya:
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (Q.S Al Jum'ah: 5)
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mereka benar-benar bertukar rupa menjadi kera. Disebut di dalam riwayat lain bahwa mereka yang dirubah menjadi kera itu, tidak beranak, tidak makan, tidak minum dan tidak dapat hidup dari tiga hari.
Di dalam Alquran terdapat ayat yang maksudnya:

وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتِ

Artinya:
Dan antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orong-orang) menyembah tagut. (Q.S Al Ma'idah: 60)
Menurut "Al Manar" pendapat jumhur mufassirin bahwa mereka yang melanggar ketentuan hari Sabtu itu benar-benar menjadi kera dan babi sukarlah diterima walaupun Allah kuasa berbuat demikian. Merubah manusia menjadi hewan sebagai hukuman bagi orang yang berbuat maksiat, tidaklah sesuai dengan sunah Allah terhadap makhluk-Nya, terutama atas manusia makhluk yang dimuliakan Allah. Pendapat Mujahid lebih tepat bahwa yang berubah itu adalah mental mereka menjadi mental hewan karena nafsu duniawi yang besar pada mereka menyebabkan mereka lupa dan jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Berkata Ibnu Kasir, "Pendapat yang benar ialah perubahan maknawi sebagaimana pendapat

Mujahid. Jadi bukan perubahan bentuk (ujud) rupa seperti yang dikemukakan oleh Jumhur.".

(lihat tafsir jalalain departemen agama)

Alangkah lebih jelasnya silahkan merujuk juga tafsir ibnu katsir.

POTONGAN KE 3

QS MUHAMMAD AYAT 4

Dalam alquran surat muhammad yang dia sebut dengan surat 47 ayat 4 di mana pesan Allah tersebut adalah

Surah Muhammad 4

فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَضَرۡبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثۡخَنتُمُوهُمۡ فَشُدُّواْ ٱلۡوَثَاقَ فَإِمَّا مَنَّۢا بَعۡدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلۡحَرۡبُ أَوۡزَارَهَا‌ۚ ذَٲلِكَ وَلَوۡ يَشَآءُ ٱللَّهُ لَٱنتَصَرَ مِنۡہُمۡ وَلَـٰكِن لِّيَبۡلُوَاْ بَعۡضَڪُم بِبَعۡضٍ۬‌ۗ وَٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعۡمَـٰلَهُمۡ

Artinya

Apabila kamu bertemu dengan orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka .Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka,maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti ,demikianlah apa bila allah menghendaki ,niscaya allah akan membinasakan mereka ,tetapi allah ingin menguji sebagianmu dengan sebagian yang lain.dan orang orang yang gugur di jalan Allah ,Allah tidak akan menyia-siakan amalan mereka.

Ayat ini dia potong Cuma pada pancunglah leher mereka dan kata ٱلۡحَرۡبُ dia hialngkan maknaya.


Ayat ini menerangkan cara menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan. Allah SWT. menerangkan, "Apabila kamu, wahai kaum Muslimin, menghadapi orang-orang kafir dalama peperangan, maka curahkanlah kesanggupan dan kemampuanmu untuk menghancurkan musuh-musuhmu, penggallah leher mereka di mana saja kamu temui dalam peperangan itu. Utamakanlah kemenangan yang akan dicapai pada setiap medan pertempuran dan janganlah kamu mengutamakan penawanan dan harta rampasan dari pada mengalahkan mereka. Penawanan dilakukan setelah kamu mengalahkan mereka, karena orang-orang kafir itu setiap saat berkeinginan membunuh dan menghancurkan kamu dan mereka tidak dapat dipercaya. Mereka seakan-akan ingin berdamai dengan kamu, tetapi hati dan keyakinan mereka tetap untuk menghancurkan kamu dan agama Islam pada setiap kesempatan yang mungkin mereka lakukan. Setelah selesai peperangan yang kamu menangkan itu, kamu boleh memilih salah satu dari dua hal, mana yang paling baik bagimu dan bagi agamamu, yaitu apakah kamu akan membebaskan tawanan yang telah kamu tawan atau kamu akan membebaskannya dengan membayar tebusan oleh pihak musuh atau dengan cara pertukaran tawanan.
Dalam ayat yang lain diterangkan batas, sampai di mana kaum Muslimin harus memerangi orang-orang kafir Mekah itu, yaitu sampai tidak ada lagi fitnah

. Allah SWT. berfirman:

وَقَـٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ۬ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِ‌ۖ فَإِنِ ٱنتَہَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٲنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّـٰلِمِينَ

(193)
Artinya:
Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Q.S. Al Baqarah: 193)


Berkata Ibnu Abbas r.a, "Tatkala jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan kekuatannya semakin bertambah pula, Allah SWT. menurunkan ayat ini dan Rasulullah saw. bertindak sesuai dengan ayat ini, begitu pula para khalifah yang datang sesudahnya".
Dari ayat di atas dan perkataan Ibnu Abbas r.a. dapat dipahami hal-hal sebagai berikut

1 Ayat ini diturunkan setelah perang Badar karena pada perang Badar itu Rasulullah saw. lebih mengutamakan tebusan, seperti menebus dengan harta atau dengan menyuruh tawanan itu mengajarkan tulis baca kepada kaum Muslimin.

2. Ayat ini merupakan pegangan bagi Rasulullah saw. dan pam sahabat dalam menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan peperangan dun tawanan perang.

3. Perintah membunuh orang-orang kafir dalam ayat ini dilakukan dalam peperangan, bukan di luar peperangan. Karena itu, wajarlah Allah SWT. memerintahkan kepada kaum Muslimin membunuh musuh-musuh mereka dalam peperangan yang sedang berkecamuk karena musuh sendiri bertindak demikian pula terhadap mereka. Jika Allah tidak memerintahkan demikian, tentulah kaum Muslimin ragu-ragu menghadapi musuh yang akan membunuh mereka sehingga musuh berkesempatan menghancurkan mereka.

4. Allah SWT. tidak memerintahkan kaum Muslimin membunuh orang-orang kafir di mana saja mereka temui, tetapi Allah hanya memerintahkan kaum Muslimin memerangi orang-orang kafir yang bermaksud merusak, memfitnah dan menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, maka kaum Muslimin wajib pula bersikap memusuhi mereka. Terhadap orang kafir yang mempunyai sikap baik terhadap agama Islam dan kaum Muslim, maka kaum muslimin wajib pula bersikap baik terhadap mereka.

5. Kepala negara mempunyai peranan dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan peperangan dan tawanan perang. Ia harus mendasarkan keputusannya kepada kepentingan agama, kaum Muslimin dan kemanusiaan serta kemaslahatan pada umumnya.
Para ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa kepala negara boleh mengambil salah satu dari empat keputusan. Kepala negara boleh membunuh tawanan jika tawanan itu tidak mau memeluk agama Islam atau boleh membebaskannya tanpa tebusan atau dengan tebusan atau dengan penukaran tawanan perang, atau boleh menjadikannya budak. Mereka mendasarkan pendapat ini pada perbuatan Rasulullah saw. yang membebaskan Abu Izzah Al Jumahi dan Sumamah bin Usal. Pernah pula Rasulullah saw. membebaskan dua orang tawanan musyrikin sebagai tukaran seorang muslim yang ditawan dan pernah pula Rasulullah saw. membunuh sebagian tawanan seperti Nadar bin Haris dan Utbah bin Abu Mu'it.
Memaksa tawanan masuk agama Islam tidak dibolehkan karena tindakan itu bertentangan dengan firman Allah SWT. yang melarang kaum Muslimin memaksa orang lain memeluk agama Islam.
Allah SWT. berfirman:

لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِ‌ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّ
Artinya


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat (Q.S. Al Baqarah: 256)


Dalam hal Rasulullah saw. membu
nuh tawanan yang ditawan kaum Muslimin, tentu ada dasarnya, tentu saja tawanan yang dibunuh itu bukan tawanan biasa, melainkan tawanan yang merupakan penjahat perang yang telah banyak melakukan perbuatan-perbuatan mungkar, atau kematiannya diperlukan karena bila ia hidup, maka kejahatannya dalam peperangan akan berlangsung dalam waktu yang lama.
Menjadikan tawanan sebagai budak adalah tindakan yang biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia sebelum kedatangan Islam. Setelah datang agama Islam, maka musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslimin yang mereka tawan menjadi budak. Pada dasarnya perbudakan itu dilarang oleh agama Islam, tetapi sebagai imbangan dari tindakan orang kafir dan untuk menjaga hati kaum Muslimin, maka Rasulullah saw. membolehkan kaum Muslimin menjadikan budak orang-orang kafir yang ditawannya. Hal ini juga berarti jika orang-orang kafir tidak menjab1ikan kaum Muslimin yang ditawannya menjadi budak, tentulah kaum Muslimin tidak pula boleh menjadikan orang-orang kafir yang ditawannya menjadi budak. Dalam pada itu, seandainya terjadi perbudakan karena tawanan perang itu, maka dalam agama Islam banyak ketentuan hukum yang berhubungan dengan hal memerdekakan budak.
Agama Islam adalah agama perdamaian, bukan agama yang menganjurkan peperangan. Karena itu, seandainya-dalam sejarah Islam terdapat peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir, maka peperangan itu adalah peperangan yang tidak dapat dihindarkan terjadinya. Peperangan itu terjadi karena mempertahankan agama Islam yang hendak dimusnahkan orang-orang kafir itu, di samping mempertahankan diri dari kehancuran. Sejak Muhammad diangkat menjadi Rasul, sejak itu pula timbul reaksi dari orang-orang musyrik Mekah kepada beliau dan pengikut-pengikutnya. Berbagai cam yang mereka lakukan untuk menumpas agama Islam dan kaum Muslimin, sejak dari cara yang lunak sampai kepada cara yang paling keras. Puncak dari tindakan orang musyrik Mekah itu ialah mengadakan komplotan untuk membunuh Rasulullah saw. sehingga Allah SWT. memerintahkan Rasulullah agar berhijrah ke Madinah. Setelah Rasulullah saw. berada di Madinah tindakan-tindakan itu semakin keras, sehingga kaum Muslimin terpaksa memerangi mereka untuk mempertahankan agama dan diri mereka.
Sesampai Rasulullah saw. di Madinah, diadakan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi, tetapi perjanjian damai itu dilanggar oleh mereka, bahkan mereka melakukan percobaan untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Karena itu Rasulullah saw. terpaksa memerangi orang Yahudi di Madinah.
Amat banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan yang membuktikan bahwa agama Islam tidak disiarkan melalui peperangan tetapi melalui dakwah yang penuh hikmah dun kebijaksanaan.
Terhadap tawanan perang, sikap Rasulullah saw. baik sekali. Dalam hadis yang dlriwayatkan oleh Bukhari diterangkan sikap beliau itu. Abu Hurairah berkata, "Rasulullah saw. mengirimkan pasukan berkuda ke Nejed, maka pasukan berkuda itu menawan seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Sumamah bin Usal Ia diikat pada salah satu tiang mesjid. Maka Rasulullah saw datang kepadanya, lalu berkata, "Apa yang engkau punyai ya Sumamah Sumamah menjawab, "Aku mempunyai harta, jika engkau mau membunuhku, lakukanlah dan jika engkau mau membebaskanku maka aku berterima kasih kepadamu, jika engkau menghendaki harta, maka mintalah berapa engkau mau." Esok harinya Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, "Apakah yang engkau punyai ya Sumamah?". Ia menjawab: "Aku mempunyai apa yang telah kukatakan kepadamu" Berkata Rasulullah saw. "Lepaskanlah ikatan Sumamah." Maka Sumamah pergi ke dekat pohon kurma yang berada di dekat mesjid, lalu mandi kemudian ia masuk ke mesjid. lalu menyatakan, "Aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasul-Nya. Demi Allah, dahulu tidak ada orang yang paling aku benci di dunia ini selain engkau, sekarang jadilah engkau orang yang paling aku cintai, demi Allah, dahulu tidak ada agama yang paling aku benci selain agama engkau, maka jadilah sekarang agama engkau adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu negeri yang paling aku benci adalah negerimu, maka jadilah negerimu itu negeri yang paling aku cintai. Sesungguhnya pasukan berku4a telah menangkapku, sedang aku bermaksud umrah, apa pendapatmu?". Maka Rasulullah memberi kabar gembira kepadanya dan menyuruhnya melakukan umrah. Tatkala ia sampai di Mekah, seorang mengatakan kepadanya: "Engkau merasa rindu?" Sumamah menjawab "Tidak, tetapi aku telah masuk Islam bersama Muhammad saw".
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah lembut kepada Sumamah, seorang tawanan perang. Beliau memberi kebebasan kepadanya, sehingga ia tertarik kepada Rasulullah dan agama Islam, karena itu dia menyatakan dirinya masuk Islam.
Seandainya Rasulullah bersikap kasar kepadanya, tentulah dia tidak akan menyatakan seperti tersebut di dalam hadis itu, Ia akin menyimpan dendam kepada Rasulullah saw. dan pada setiap kesempatan ia akan berusaha membalaskan dendamnya itu.
Agama Islam datang untuk menegakkan prinsip-prinsip pokok yang harus ada dalam hidup dan kehidupan manusia, baik ia sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Prinsip-prinsip itu ialah ketauhidan, keadilan. kemanusiaan dan musyawarah sehingga dengan menegakkan prinsip-prinsip itu manusia akan berhasil dalam tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Atas dasar semuanya itulah segala persoalan diselesaikan, termasuk persoalan-persoalan peperangan dan tawanan perang.
Di samping itu, manusia adalah makhluk Allah yang paling dimuliakan-Nya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Karena itu manusia harus pula memuliakan manusia yang lain apakah ia seorang muslim atau orang kafir. Tentu saja orang muslim adalah orang yang paling mulia di sisi Allah dan seorang muslim harus pula menyesuaikan dirinya dengan penilaian Allah itu. Allah SWT. berfirman:



وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Artinya
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.
Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. Al Isra: 70)

Di samping itu Allah SWT. menganugerahkan kepada manusia akal pikiran untuk mengetahui, menyelidiki, memahami segala sesuatu dan mempertimbangkan apa yang paling baik bagi dirinya dan bagi orang lain. Demikian pula perasaan sebagai pelengkap bagi manusia dalam menilai segala sesuatu. Kemudian Allah SWT. mengutus Rasul-rasul-Nya untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Petunjuk itu harus disampaikan dengan hikmah dan kebijaksanaan dan dengan cara yang baik, tidak dengan paksaan dan peperangan. Karena manusia telah mempunyai akal dan perasaan, maka ia dapat memilih apakah ia akan mengikuti petunjuk itu atau tidak, terserah kepada mereka sendiri. Jika mereka mengikuti petunjuk Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya; berarti mereka telah menentukan pilihan yang paling baik. Jika mereka tidak menerimanya, mereka tetap dihormati sebagai manusia, selama mereka tidak mempunyai maksud untuk menghalangi orang lain mengikuti petunjuk Allah. Jika mereka menghalangi orang lain mengikuti petunjuk Allah, apalagi bermaksud menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, maka Allah memerintahkan untuk memerangi mereka sampai tidak ada fitnah lagi.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perintah-perintah untuk melaksanakan perang dalam Alquran, bukanlah maksudnya untuk memaksa orang lain memeluk agama Islam, melainkan untuk mempertahankan agama dan dari maksud-maksud buruk orang-orang kafir itu. Peperangan tidak akan ada selama maksud-maksud buruk itu juga tidak ada.
Mengenai orang musyrikin Arab, terutama penduduk Mekah, Agama Islam membedakannya dengan orang musyrik yang lain. Orang musyrik Mekah sejak agama Islam lahir telah bertindak di luar batas dan menganiaya orang-orang beriman sehingga Rasulullah saw. diperintahkan Allah hijrah ke Madinah. Setelah Rasulullah dan para sahabat sampai di Madinah, orang-orang musyrik itu masih tetap berusaha melaksanakan niat jahatnya, itu pun akan tetap dilaksanakannya pada setiap kesempatan dan keadaan yang memungkinkan. Karena itu, bagi mereka berlaku ketentuan Diperangi atau masuk Islam. Kaum musyrik Mekah inilah yang dimaksud dengan "manusia" dalam hadis Rasulullah yang bunyinya sebagai berikut, "Aku diperintahkan memerangi manusia sehingga ia mengucapkan "laa ilaaha illallah." Artinya ialah "Aku diperintahkan memerangi orang musyrik Mekah sampai ia mengucapkan Kalimat Syahadat.

Sekalipun demikian, dalam kenyataannya Rasulullah saw. tidak pernah memaksa orang-orang musyrik Arab memeluk agama Islam. Pada penaklukan Mekah, Rasulullah melindungi mereka dengan memerintahkan agar mereka berlindung di rumah Abu Sofyan. Setelah penaklukan selesai, Rasulullah saw tidak menawan mereka tetapi membiarkan mereka bebas sebagaimana biasa. Kemudian mereka masuk Islam dengan penuh kesadaran tanpa ada paksaan.
Itulah yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang beriman, yaitu membunuh setiap orang kafir yang dijumpai dalam peperangan, atau menawan mereka dan membebaskan mereka tanpa tebusan atau dengan tebusan sampai perang selesai. Itulah sunah Allah yang berlaku bagi hamba-hamba-Nya untuk menjaga agama-Nya, menegakkan keadilan dan mencari kemaslahatan.
Allah SWT. menyatakan bahwa sunah-Nya itu ditetapkan untuk menguji manusia dan sebagai cobaan bagi orang-orang yang beriman. Sebenarnya jika Dia menghendaki, tidaklah sukar bagi-Nya untuk menghancurkan orang-orang musyrik itu dengan menimpakan malapetaka kepadanya atau Dia menjadikan seluruh manusia menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Tetapi Allah ingin membedakan siapa yang benar-benar beriman dan berjihad, siapa yang setengah-setengah imannya dan siapa pula yang kafir dan berbuat maksiat. Dengan demikian, maka Allah SWT. menetapkan balasan amal dan perbuatannya berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan, baik balasan itu berupa pahala maupun berupa siksaan yang sangat pedih.
Pada akhir ayat ini Allah SWT. menerangkan balasan apa yang akan diterima oleh orang-orang. yang beriman dan berjihad di jalan Allah dengan mengatakan: "Bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah untuk membela agama Islam. sekali-kali Allah tidak akin mengurangi pahala mereka sedikit pun, bahkan Dia akan mengganjarnya dengan pahala yang berlipat ganda. Mengenai pahala berjihad di jalan Allah disebutkan dalam suatu hadis sebagai berikut

Rasul bersabda


يعطى الشهيد ست خصال عند أول قطرة من دمه تكفر عنه كل خطيئة ويري مقعده من الجنة ويزوج من الحور العين ويأمن من الفزع الأكبر ومن عذاب القبر ويحلى حلة الإيمان


Allah menganugerahkan kepada orang-6rang yang mati syahid enam perkara: pada waktu keluar tetesan darahnya yang pertama, Allah mengampuni segala kesalahannya, diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga, dikawinkan dengan bidadari yang cantik rupawan, tidak mengalami ketakutan pada guncangan Hari Kiamat, terpelihara dari azab kubur dan diletakkan padanya pakaian iman. (H.R. Ahmad)


Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Hatim dari Qaatadah, ia berkata, "Disampaikan kepada kami bahwa ayat ini turun pada perang Uhud dan Rasulullah saw. berada di sela-sela bukit berlindung. Waktu itu di antara kaum Muslimin banyak yang luka dan terbunuh dalam peperangan itu. Orang musyrikin menyerukan dengan suara keras, "Maha tinggi hubal" (nama patung mereka yang paling besar). Dan kaum Muslimin menyerukan, "Maha Tinggi Allah lagi Maha Mulia", berkata orang musyrikin, "Hari kekalahan kami pada perang Badar telah kami tebus dengan kemenangan kami hari ini. Perang itu silih berganti antara menang dan kalah." Maka berkatalah Rasulullah saw, "Katakanlah kepada mereka, tidak sama kamu dengan kami, kami terbunuh berarti hidup di sisi Allah dan diberi karunia, sedang kamu terbunuh akan diazab di dalam neraka. Berkata lagi orang-orang musyrikin, "Kami mempunyai tuhan uzza sedang kamu tidak mempunyainya." Berkata kaum Muslimin, "Allah pelindung kami, sedang kamu tidak mempunyai pelindung"(lihat tafsir jalalain departemen agama).

Dan kata أَوۡزَارَهَاۚ berarti perang bearkhir yaitu dengan maksud sampai datangnya Isa ibnu sebagimana rasul bersabda

لاَ تزالُ طاءِفة من اُمَّتِي ظَا هرينَ على الحقِّ ُ حَتَّي قاتِلَ أخِرُهُمُ الدَّجالَ

artinya

akan senantiasa ada satu golongan dari ummatku yang menjunjung tinggi kebenaran sehingga orang orang terakhir dari mereka membunuh dajjal(riwayat abu Dawud)

(lihat tafsir ibnu katsir hal 395.)

Insya Allah bersmbung........................................................












jazakumullah

vrijdag, maart 28, 2008

Kedudukan Niat Dalam Amal

AHLAN WA SAHLAN


- Penjelasan Hadits Arbain Pertama



بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين

، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ

: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسْولِهِ،

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

"Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju." (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, "Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما الأعمال بالنيات, hadits 'Aisyah من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد, dan hadits An Nu'man bin Basyir الحلال بين والحرام بين." Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah 'Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits 'Aisyah di atas.

Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa 'Alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya"

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau إنما الأعمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.

Seperti firman Allah,

لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

"Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya." (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)

إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى

"Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi." (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa jalla.

Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.


Sabda Nabi shallallahu 'Alaihi wa sallam "

فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Setiap Orang Akan Mendapatkan Ganjaran Sesuai Dengan Apa Yang Diniatkannya"

Di dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] mengandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya. Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang salih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang rusak dan buruk. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)

Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az Zumar: 3)

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

"Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim nomor 5300)

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terletak di rukun yang satu namun tidak di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya' atau sum'ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

من صلى يرائي فقد أشرك، ومن صام يرائي فقد أشرك، ومن تصدق يرائي فقد أشرك

"Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya' maka dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya' dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya' hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya' model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

"Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An NIsaa': 142)

Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya' atau sum'ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

Kondisi pertama,

orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian menujukan ibadah tersebut kepada makhluk.

Kondisi kedua,

seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian membaguskan ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya' dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan Syirik Ashghar-wal 'iyadzu billah.

Kondisi ketiga,

seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah Ta'ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

تلك عاجل بشرى المؤمن

"Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak menginginkannya." (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal

Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan." (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)

Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

من قتل قتيلا فله سلبه

"Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)

Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.

Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah 'Azza wa Jalla,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." (QS. Huud: 15)

Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.

Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa' (الفاء)dalam sabda beliau فمن كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (الهجرة) bermakna meninggalkan (الترك). Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrahnya tersebut. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid'ahan dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.

Kedua, golongan yang berhijrah karena motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, [Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju]. Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah karena ingin mendapatkan harta atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrah yang dia lakukan tidak mendatangkan pahala baginya dan terkadang dia memperoleh dosa.

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Syarah Hadits Wali

AHLAN WA SAHLAN




Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ. (رواه البخاري)

Terjemahan Hadits

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,: "Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya". (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no. 6137)

Hadits ini disebut juga hadits kudsi, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits kudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits kudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa, lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits kudsi dengan Al-Qur'an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al-Qur'an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits kudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. WAllahu a'lam bisshawaab.

Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang Khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th. 57 H.

Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?

Pertama, berkat doa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.

Kedua, ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi, adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, "seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasulullah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu di pintu rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: "Aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya ke rumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau".

Kandungan Hadits

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

Pertama: Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri)

Dalam potongan awal dari hadits di atas disebutkan: "Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya". Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi di kalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang Ahlu bid'ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar di kalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi'ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.

Imam As Sya'bi mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: "bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: Sahabat Muhammad."

Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, "sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Qur'an dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi'ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindik."

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar di setiap tempat dan di setiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini.

Pengertian Wali

Wali secara etimologi berarti dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul 'azmi, yang paling utama di antara Ulul 'azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:

Golongan petama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya".

Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.

Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya".Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya: "Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan". (QS. Al Waaqi'ah, ayat: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan di antara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur'an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid'ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.

Ciri-ciri Wali Allah

Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya, "Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa". (QS. Yunus, ayat: 62-63).

Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.

Ciri kedua, Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-ciri Wali Setan

Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan, mulai dari melakukan syirik dan bid'ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya di antaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta di kuburan wali, setan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.

Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka: "Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.

Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid'ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at.

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i: "Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah".

Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi 'Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: "Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa ". (Asy Syu'araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, "Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Karena nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat". (HR. A t Tirmizy no. 2988)

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: "Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah."

Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:

1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.

Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat". (HR. At Tirmizy no. 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang ke dalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi'ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.

Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).

Bentuk kedua dari kesalahpahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar di sisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu 'Ali Al Jurjaany berpesan: "Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah".

Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain.

3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib.

Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah, "Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)". (QS. Al An'aam, ayat : 59). Dan firman Allah, "Katakanlah" :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah". (QS. An Naml, ayat: 65).

Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, "Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib". (QS. Al An'aam, ayat: 50).

Dan firman Allah: "Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan". (QS. Al A'raaf, ayat: 188).

Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh 'alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: "Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Az Zumar, ayat: 3).

Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Manhaj yang Benar dalam Beribadah

Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib di atas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan di tengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjamaah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh di pagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: "Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan".

Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid'ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur'an atau Isra' mi'raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid'ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan shalat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan fondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tanpa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dakwah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: "Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generasi sebelum Mereka."

Beberapa Kesalahan dalam Melakukan Ibadah

Di antara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tanpa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid'ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: "Orang beramal tanpa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya". Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikut sana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah pesankan kepada kita: "Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu." (QS. An Nahl, ayat: 43)

Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca Al-Fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tahu dari mana rimbanya. Allah telah berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. Al Israa: 36).

Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya". Na'uzubillah min hadza haal. Allah telah berfirman: "Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya". (QS. Al Baqarah: 44).

Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.

"Ya Allah tunjukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat." (QS. Al Fatihah: 6-7)

Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.

Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian di antara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. "Bila seseorang telah dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si Fulan, maka Allah menyuruh Jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberi tahu para malaikat bahwa Allah mencintai si Fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah menjadikannya orang yang diterima di bumi." (HR. Bukhari no. 3037, dan Muslim no. 2637)

Kemudian di antara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al-Qur'an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka di sini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.

Ketiga: Tentang sifat Allah Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta)

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Kaidah Umum dalam Beriman kepada Nama dan Sifat-Sifat Allah

Dalam mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaidah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits:

1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.

Penjelasan Kaidah-Kaidah tersebut sebagai berikut:

Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al-Qur'an dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al-Qur'an atau berita yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah di antara yang demikian." (QS. An Nisaa: 150)

Dan firman Allah lagi: "Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan." (QS. Al Baqarah: 85)

Kaidah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya nash dari Al-Qur'an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.

Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Allah dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Allah dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Allah dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).

Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satu pun makhluk yang menyerupai Allah. Sebagaimana firman Allah: "Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya." (QS. Asy Syura: 11)

Dan firman Allah: "Maka janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah." (QS. An Nahl: 74)

Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifat-Nya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat dengannya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.

Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan dituntut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayap burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayap burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarannya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengan zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengaran Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara.

Ada orang yang memahami kalau begitu, Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia menyerupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula bahwa Allah tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tanpa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti di akhirat tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan mereka tanpa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.

Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan."

Kata-kata "senantiasa" menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesinambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar'i "Istiqomah" dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan: "Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit." Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.

Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat peringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufik dan 'inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan ketaatan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno dan sebagainya, tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermanfaat baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al-Qur'an atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, teknik, pertanian dan seterusnya. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakannya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasihat agama atau pelajaran di kampus dan di sekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan di sini bahwa amal saleh dapat menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari keterjerumusan kepada kemaksiatan.

Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut. Sebagaimana firman Allah: "Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka." (QS. Ash shaaf: 5)

Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukkan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu menunjukkan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang paling bohong." (HR. Bukhari no. 5743, dan Muslim no. 2607)

Dalam hadits lain: "Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri". Maka jika amalannya baik, maka balasannya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannya pun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal saleh adalah amal saleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang diiringi oleh ketaatan.

Kekeliruan Orang Sufi dalam Memahami Makna Hadits Ini

Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok ekstrim dari orang-orang sufi. Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al-Qur'an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terjepit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau pendengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang mereka prediksi, tentu tidak ada di sana lagi istilah hamba dan khaliq. Berarti makhluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.

Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdoa adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaannya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliq. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:

Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Jadi jelas ada di sana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenankan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kepadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang berdalil untuk kebatilannya dengan Al-Qur'an atau hadits shahih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.

Manhaj Uama dalam Memahami Nash-Nash yang Mutsyabih (meragukan)

Perlu pula kita ingatkan di sini, bila salah seorang di antara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah "Raddul Al Mutasyaabih ilaa Al Bayyinaat, wa Al Mujmal ilaa Al Mufashshal" (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).

Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat di sisi Allah bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret mereka berbuat syirik kepada Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Allah dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh 'alaihis salam yang telah menjadikan orang-orang saleh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Allah.

Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahwa Allah selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadang kala para wali Allah itu juga ditimpa kejelekan dan penyakit seperti Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit, begitu pula Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik di tingkat para nabi dan rasul maupun di tingkat para sahabat dan Tabi'in?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:

  1. Di antara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
  2. Di antara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya: "Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya." (HR. At Tirmizy no. 2398)
    Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
  3. Di antara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, dan tidak ada sedikit pun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.

Kekeliruan Sebagian Orang dalam Masalah Berdo'a

Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi di kalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdoa dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya... sudah pasrah saja sama takdir. Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali di antaranya:

Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.

Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.

Ketiga: Berdoa di samping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau: "Doa adalah ibadah." Dalam riwayat lain: "Doa adalah otaknya ibadah." (HR. At Tirmizy no. 2969, 3247, 3371)

Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Allah ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar'iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:

Takdir kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun takdir syar'iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Allah. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar'iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khaththab: "Kita lari dari takdir Allah kepada Takdir Allah". Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?.

Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barang siapa yang meninggalkan sebab berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata adalah syirik.

Kemudian di antara kesalahan lain dalam berdoa adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka di antara sikap wali Allah adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.

Ringkasan kandungan hadits wali:

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

  1. Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri).
  2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Tentang sifat Allah; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
  4. Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim
  5. Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
  6. Hadits di atas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah yang hak.
  7. Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Allah karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Allah sebagai wali karena ia mencintai apa yang di benci Allah. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.

WAllahu A'lam bisshawaab

Shalawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpartisipasi dalam menyebarkannya.















jazakumullah