zondag, juli 25, 2010

Siapakah Ahlul-Kitaab ?

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG



Abu Al-Jauzaa' :, 05 Juli 2010

Pembahasan mengenai Ahlul-Kitab sangatlah penting karena terdapat beberapa hukum Islam yang terkait dengan mereka. Allah ta’ala telah memberikan satu kekhususan bagi mereka yang tidak didapatkan oleh kaum yang lain, seperti : kebolehan menikahi wanita mereka, kebolehan memakan sembelihan mereka, dan yang lainnya. Oleh karena itu, di sini akan saya tuliskan beberapa point penting yang terkait dengan mereka.
Ahlul-Kitab Termasuk Orang-Orang Kafir
Meskipun Islam memberikan beberapa kekhususan bagi mereka, namun hal itu tidak menjadikan mereka masuk dalam lingkaran iman dan Islam. Bara’ah kita kepada mereka tetap berlaku sebagaimana bara’ah itu juga berlaku kepada orang-orang kafir secara umum. Itu harus menjadi keyakinan segenap orang yang mengaku Rabb-nya adalah Allah dan Nabinya adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.


Allah ta’ala berfirman :
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” [QS. Al-Bayyinah : 1].
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar” [QS. Al-Baqarah : 105].
Yahudi dan Nashrani Termasuk Ahlul-Kitaab
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Yahudi dan Nashrani termasuk Ahlul-Kitaab.
Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 146].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يقول جل ثناؤه: وإنّ طائفةً من الذين أوتوا الكتاب -وهُمُ اليهود والنصارى. وكان مجاهد يقول: هم أهل الكتاب.
“Allah yang Maha Agung dan Terpuji berfirman : ‘Dan sesungguhnya golongan yang telah diberikan Al-Kitaab’ – mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Mujaahid berkata : ‘Mereka (Yahudi dan Nashrani) adalah Ahlul-Kitaab” [Tafsir Ath-Thabariy, 3/188, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأهل الكتاب الذين هذا حكمهم، هم أهل التوراة والإنجيل. قال الله تعالى : (أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا). فأهل التوراة اليهود والسامرة، وأهل الإنجيل النصارى، ومن وافقهم في أصل دينهم من الإِفْرِنْج والأَرْمَن وغيرهم
“Dan yang dimaksud dengan Ahlul-Kitab adalah ahlut-taurah dan ahlul-injiil. Allah ta’ala berfirman : ‘(Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami’ (QS. Al-An’aam : 156). Maka, ahlut-taurah adalah Yahudi dan Saamirah, sedangkan ahlul-injiil adalah Nashaara dan yang berkesesuaian dengan pokok agama mereka, seperti kelompok Ifrij, Arman, dan yang lainnya” [Al-Mugniy, 9/546, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul-Muhsin At-Turkiy & Dr. ‘Abdul-Fattaah bin Muhammad Al-Huluw; Daar ‘Aalamil-Kutub, 3/1417].
Apakah Majusi Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai mereka. Jumhur ulama mengatakan mereka bukan termasuk Ahlul-Kitaab. Ibnu Qudaamah rahimahullah kembali berkata :
وليس للمجوس كتاب، ولا تحل ذبائحهم، ولا نكاح نسائهم. نص عليه أحمد. وهو قول عامة العلماء، إلا أبا ثور، فإنه أباح ذلك؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ((سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ)). ولأنه يُرْوى أن حذيفة تزوج مجوسية. ولأنهم يقرون بالجزية. فأشبهوا اليهود والنصارى. ولنا، قول الله تعالى : (وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ). وقوله : (وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ). فرخص من ذلك في أهل الكتاب...
“Orang-orang Majusi tidaklah mempunyai Kitaab (sehingga bisa disebut Ahlul-Kitaab). Tidak halal sembelihan dan wanita mereka. Hal itu telah dikatakan oleh Ahmad, dan itulah pendapat jumhur ulama – kecuali Abu Tsaur. Ia (Abu Tsaur) telah membolehkan hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab’. Juga karena telah diriwayatkan bahwasannya Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi. Juga karena telah ditetapkan pungutan jizyah pada mereka dimana hal ini menyerupai Yahudi dan Nashrani. Adapun kami, (berdalil dengan) firman Allah ta’ala : ‘Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik’ dan juga firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir’. Maka Allah memberikan keringanan atas hal itu pada wanita Ahlul-Kitaab ….” [Al-Mughniy, 9/547].
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Hadits yang dimaksudkan oleh Abu Tsaur adalah sebagai berikut :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ذَكَرَ الْمَجُوسَ فَقَالَ مَا أَدْرِي كَيْفَ أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab menyebut-nyebut tentang orang Majusi. Ia berkata : "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap mereka". Lantas ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : "Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab".
Hadits ini hasan li-ghairihi.[1] Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini adalah khusus perlakuan dalam pemungutan jizyah – bukan selainnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ بَجَالَةَ التَّمِيمِيِّ قَالَ لَمْ يُرِدْ عُمَرُ أَنْ يَأْخُذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar, dari Bajaalah At-Tamiimiy, ia berkata : “’Umar tidak ingin memungut jizyah dari orang-orang Majusi, hingga ‘Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memungut jizyah dari orang-orang Majusi Hajar” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/194; shahih].[2]
Terdapat riwayat mursal shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memungut jizyah dari orang Majusi Hajar, namun melarang untuk menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka.[3] Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
هذا مرسل وإجماع أكثر المسلمين عليه يؤكده ولا يصح ما روى عن حذيفة في نكاح مجوسية.
“Hadits ini mursal, dan ijma’ kebanyakan kaum muslimin terhadapnya (haramnya memakan sembelihan dan menikahi wanita-wanita Majusi) menguatkannya. Tidak shahih riwayat pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusi” [As-Sunan Al-Kubraa, 9/192].
Ini menunjukkan orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahlul-Kitaab.
Perhatikan pula riwayat berikut :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ أَهْلَ فَارِسَ لَمَّا مَاتَ نَبِيُّهُمْ كَتَبَ لَهُمْ إِبْلِيسُ الْمَجُوسِيَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bilaal, dari ‘Imraan Al-Qaththaan, dari Abu Jamrah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk Persia ketika nabi mereka wafat, maka Iblis menuliskan untuk mereka agama Majusi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3042; dihasankan oleh Al-Albaaniy].[4]
Atsar Ibnu ‘Abbaas di atas menunjukkan bahwa agama Majusiy bukan agama samawiy yang turun melalui perantara seorang Nabi dan Rasul.
Mengenai pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusiy, Ibnu Qudaamah berkata :
ولم يثبت أن حذيفة تزوج مجوسية، وضعف أحمد رواية من روى عن حذيفة أنه تزوج مجوسية. وقال : أبو وائل يقول : تزوج يهودية. وهو أوثق ممن روى عنه أنه تزوج مجوسية. وقال ابن سيرين : كانت امرأة حذيفة نصرانية. ومع تعارض الروايات لا يثبت حكم إحداهن إلا بترجيح، على أنه لو يثبت ذلك عن حذيفة، فلا يجوز الاحتجاج به مع مخالفته الكتاب وقول سائر العلماء.
“Tidak shahih riwayat Hudzaifah menikahi wanita Majusi. Ahmad telah mendla’ifkan riwayat dari Hudzaifah bahwasannya ia menikahi wanita Majusi. Ia (Ahmad) berkata : Abu Waail berkata : ‘(Hudzaifah) menikahi wanita Yahudi’. Riwayat ini lebih shahih dari orang yang meriwayatkan darinya menikahi wanita Majusi’. Ibnu Siiriin berkata : ‘Istri Hudzaifah adalah seorang wanita Nashrani’. Dengan adanya pertentangan beberapa riwayat hal ini, maka tidak sah hukum salah satu di antaranya kecuali dengan jalan tarjih. Seandainya saja pernikahan dengan wanita Majusi itu shahih dari Hudzaifah, tetap tidak boleh berhujjah dengan karena menyelisihi Al-Qur’an dan perkataan seluruh ulama” [Al-Mughniy, 9/548].
Telah lewat perkataan Al-Baihaqiy atas kelemahan riwayat pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusi. Adapun riwayat pernikahannya dengan wanita Yahudi, maka ini shahih.
حدثنا عبد الله بن إدريس عن الصلت بن بهرام عن شقيق قال : تزوج حذيفة يهودية فكتب إليه عمر أن خل سبيلها ، فكتب إليه : إن كانت حراما خليت سبيلها ، فكتب إليه : إني لا أزعم أنها حرام ولكني أخاف أن يعاطوا المومسات منهن .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Ash-Shalt bin Bahraam, dari Syaqiiq, ia berkata : Hudzaifah pernah menikahi wanita Yahudi. (Mengetahui hal tersebut), ‘Umar menuliskan surat kepadanya agar ia menceraikannya. Hudzaifah membalas suratnya dengan berkata : ‘Apabila hal itu diharamkan, aku pasti akan menceraikannya’. ‘Umar kembali membalasnya : ‘Sesungguhnya aku tidak mengatakan hal itu diharamkan. Akan tetapi aku khawatir engkau akan wanita pelacur di antara mereka’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/85 no. 16417; sanadnya shahih].[5]
Apakah Shaabi’uun Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Para ulama pun berbeda pendapat mengenai mereka. Ibnu Qudaamah rahimahullaah berkata :
وأما الصابئون، فاختلف فيهم السلف كثيرا، فَرُوِيَ عن أحمد أنهم جنس من النصارى، ونص عليه الشافعي، وعلق القول فيهم موضع آخر. وعن أحمد أنه قال : بلغني أنهم يسبتون، فهؤلاء إذا يشبهون اليهود. الصحيح فيهم أنهم إن كانوا يوافقون النصارى أو اليهود في أصل دينهم، ويخالفون في فروعه، فهم ممن وافقوه، وإن خالفوهم في أصل الدين، فليس هم منهم. والله أعلم.
“Adapun golongan Shaabi’uun, salaf banyak berselisih pendapat tentangnya. Diriwayatkan dari Ahmad bahwasannya mereka termasuk golongan Nashara. Hal itu tegaskan oleh Asy-Syaafi’iy, dan ia memberikan komentar tentang mereka di tempat yang lain. Dari Ahmad bahwasannya ia berkata : ‘Telah sampai kepadaku mereka merayakan hari Sabtu. Jika demikian, maka mereka serupa dengan orang-orang Yahudi’. Yang benar, jika mereka berkesesuaian dengan Nashrani atau Yahudi dalam pokok (ushul) agama mereka namun menyelisihi dalam cabang (furu’), maka mereka termasuk golongan yang berkesesuaian dengannya (Yahudi atau Nashrani). Akan tetapi jika mereka menyelisihi Yahudi dan Nashrani dalam pokok agama mereka, maka bukan termasuk mereka, wallaahu a’lam” [Al-Mughniy, 9/547].
As-Suddiy menguatkan mereka termasuk Ahlul-Kitaab [Tafsir Ath-Thabariy, 2/147]. Namun Mujaahid, Al-Hasan, Abu Najiih, dan Ibnu Zaid berpendapat mereka bukan termasuk Yahudi, Nashrani, ataupun Ahlul-Kitaab. [idem, 2/146]. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat, sebab tidak ada nash yang shahih dan sharih menyatakan mereka termasuk golongan yang diberikan Al-Kitab. Wallaahu a’lam.
Al-Albaaniy berkata :
لا نعلم أهل الكتاب إلا اليهود والنصارى
“Kami tidak mengetahui tentang Ahlul-Kitaab kecuali Yahudi dan Nashrani” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Husain bin ‘Audah, 5/108; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1425].
Pendapat ini sangat kuat karena sejalan dengan firman Allah ta’ala :
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ * أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ
“Dan Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : ‘Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca" [QS. Al-An’aam : 155-156].
Hindu, Budha, Konghucu, dan yang Lainnya Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Agama-agama tersebut merupakan agama buatan manusia yang Allah ta’ala tidak pernah memberikan keterangan tentangnya. Allah ta’ala tidak pernah memberikan Kitab kepada mereka. Bahkan, mereka menyembah berhala dengan terang-terangan. Seandainya mereka termasuk Ahlul-Kitaab, niscaya Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menurunkan keterangan tentangnya.
Pendapat yang menyatakan mereka termasuk Ahlul-Kitaab adalah pendapat yang baathil.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ al-bogoriy – rajab 1431 – perumahan ciomas permai].


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Diriwayatkan oleh Maalik 2/669-670 no. 669, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 1773, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 11/169 no. 2751, ‘Abdurazzaaq no. 10025, Abu Ya’laa no. 862, Al-Baihaqiy 9/189-190, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 54/269; dari jalan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab. Sanad hadits ini munqathi’ karena Muhammad bin ‘Aliy tidak pernah bertemu ‘Umar dan juga ‘Abdurrahman bin ‘Auf [lihat : At-Tamhiid, 2/114].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad 3/264-265 no. 1056 dari jalan ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hanafiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Umar. Abu ‘Aliy Al-Hanafiy ini adalah : ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy, seorang yang tsiqah. Sanad hadits ini ma’lul. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diriwayatkan oleh Maalik; dari riwayat Abu ‘Aliy ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy darinya (Maalik bin Anas), dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Aliy bin Al-Husain. Ia telah diselisihi jama’ah ashhaabu Maalik dimana mereka tidak menyebutkan (dalam rantai sanadnya) : ‘dari kakeknya’. Begitu juga yang diriwayatkan oleh Ats-Tsauriy, Sulaimaan bin Bilaal, ‘Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats, Anas bin ‘Iyaadl, dan Abu ‘Aashim An-Nabiil; dari Ja’far bin Muhammad - Abu ‘Aashim tidak mendengar dari Ja’far bin Muhammad selain hadits tersebut. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdul-Wahhaab Ats-Tsaqafiy, Al-Qaasim bin Ma’n, Ibnu Juraij, ‘Aliy Ghiraab, dan yang lainnya; dari Ja’far, dari ayahnya secara mursal dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Aliy bin Al-Husain. Inilah yang benar” [Al-‘Ilal, 4/299, tahqiq : Dr. Mahfudhur-Rahmaan As-Salafiy; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1406]. Selain itu, ‘Aliy bin Al-Husain juga tidak pernah mendengar dari ‘Umar dan ‘Abdurahman bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Hajar.
Hadits ini mempunyai syaahid. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (3/375 no. 3442), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sahl : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim Al-Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya tentang status orang-orang Majusi. Lalu ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : Aku bersaksi bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
المجوس طائفة من أهل الكتاب، فاحملواهم على ما تحملون عليه أهل الكتاب
“Majusi adalah golongan dari Ahlul-Kitaab. Maka perlakukanlah/bebanilah mereka apa yang kalian perlakukan dengannya pada Ahlul-Kitaab (yaitu dalam penarikan jizyah – Abul-Jauzaa’)”.
Al-Hasan bin Sahl mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Abi ‘Aashim dan Al-Hasan bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Mujawwin : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Hajjaaj; selanjutnya seperti sanad di atas [lihat : Lisaanul-Miizaan, 3/487 dan Ma’rifatush-Shahaabah oleh Abu Nu’aim hal. 128 no. 497].
Sanad hadits ini dla’iif.
Abu Rajaa’ adalah Rauh bin Al-Musayyib At-Tamiimiy. Ibnu Ma’iin berkata : “Shuwailih”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/496 no. 2247]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya” [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 1/251 no. 1282]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (hal. 129 no. 350). Ibnu Hibbaan berkata : “Meriwayatkan dari orang-orang tsiqah hadits palsu, membolak-balikkan sanad, memarfu’kan sanad mauquf,… tidak halal riwayat yang berasal darinya” [Al-Majruuhiin, 1/370 no. 342]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid Ar-Raqqaasiy hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/58 no. 664]. Al-Bazzaar berkata : “Tsiqah” [Lisaanul-Miizaan, 3/486-487 no. 3175]. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, 1/289 no. 1251]. Begitu juga dengan Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy 1/358 no. 2149 dan Ad-Diiwaan hal. 140 no. 1436]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tidak kuat haditsnya, terutama jika bersendirian dalam periwayatan. Wallaahu a’lam.
Selain itu, Al-A’masy telah membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis.
Catatan : Lafadh : ‘Majusi adalah golongan dari Ahlul-Kitaab’ bukan termasuk lafadh yang dikuatkan oleh hadits sebelumnya, sehingga hukumnya tetap dla’iif.
[2] Riwayat Bajaalah At-Tamiimiy dari ‘Umar bin Al-Khaththaab melalui perantaraan surat ‘Umar yang datang kepadanya saat ia (Bajaalah) menjabat sekretaris Jaza’ bin Mu’aawiyyah.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ia berkata :
حدثنا وكيع عن سفيان عن قيس بن مسلم عن الحسن بن محمد أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى مجوس أهل هجر يعرض عليهم الاسلام فمن أسلم قبل منه ومن لم يسلم ضرب عليه الجزية غير ناكحي نسائهم ولا آكلي ذبائحهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Al-Hasan bin Muhammad : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis kepada orang-orang Majusi Hajar menawarkan pada mereka Islam. Barangsiapa yang masuk Islam, maka diterima. Dan barangsiapa yang tidak mau, maka dikenakan kewajiban membayar jizyah, kecuali jangan menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka” [Al-Mushannaf, 9/118-119 no. 16581 – tahqiq : Muhammad ‘Awwaamah].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10028, Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal no. 76, Al-Haarits bin Abi Usaamah dalam Zawaaid-nya no. 675, dan Al-Baihaqiy 9/284-285; semuanya dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Qais bin Muslim, selanjutnya seperti hadits di atas.
Para perawinya adalah tsiqaat, akan tetapi Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mursal.
[4] Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh.
Muhammad bin Bilaal Al-Kindiy, ia diperselisihkan para ulama. Abu Daawud berkata : “Tidaklah aku mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya tidak banyak, aku mengharap tidak mengapa dengannya”. Al-‘Uqailiy berkata : “Orang Bashrah, banyak keliru dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy mengomentarinya : “Shaduuq, keliru dalam hadits sebagaimana lumrahnya orang-orang berbuat keliru”. Kesimpulan yang benar atas dirinya adalah shaduuq hasanul-hadiits.
‘Imraan bin Daawar Al-‘Ammiy, ia diperselisihkan para ulama. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meriwayatkan darinya dimana ini sama dengan pentautsiqan darinya. Yahyaa Al-Qaththaan memujinya. Ahmad berkata : “Aku berharap ia seorang yang shaalihul-hadiits”. Di riwayat lain : “Laisa bi-dzaaka”. Di riwayat lain : “Syaikh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Banyak kekeliruan dan penyelisihan”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak kuat”. Al-Aajurriy berkata : “Yahyaa bin Sa’iid tidak meriwayatkan darinya, ia tidak ada apa-apanya”. Abu Daawud berkata : “Aku tidak mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Di riwayat lain ia berkata : “Lemah. Ia telah berfatwa di jaman Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan dengan satu fatwa yang keras yang padanya terdapat penumpahan darah”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Di riwayat lain : “Tidak kuat”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Al-Bukhaariy berkata : “Shaduuq yahimu”. Ia (Al-Bukhaariy) meriwayatkan haditsnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq”. ‘Affaan telah mentsiqahkannya. Al-Haakim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yahimu”. Al-Haitsamiy berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Albaaniy berkata : “Terdapat sedikit perbincangan padanya, dan haditsnya tidak turun dari tingkatan hasan”. Sebagian ulama menuduh ‘Imraan mempunyai pemikiran yang condong pada Khawarij, namun sebagian yang lain menolaknya (seperti Ibnu Hajar).
Abu Jamrah adalah Nashr bin ‘Imraan bin ‘Ishaam; seorang yang tsiqah lagi tsabt.
[5] ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahman Al-Aswad, seorang yang tsiqah, faqiih, lagi ahli ibadah.
Shalt bin Bahraam Al-Kuufiy At-Taimiy, seorang yang tsiqah. Al-Bukhaariy berkata : “Ia mendengar riwayat dari Abu Waail (Syaqiiq), shaduuq fil-hadiits”. Abu Zur’ah menyebutkannya dalam Asaamiyyudl-Dlu’afaa’. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan berkata : “Orang Kufah, kuat haditsnya (‘aziizul-hadiits)”. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang yang paling jujur dari penduduk Kuffah”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Orang Kuffah, tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, ia tidak mempunyai ‘aib, kecuali pemahaman irjaa’” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/438-439 no. 1920, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/400 no. 1904, dan Ats-Tsiqaat 6/no. 8637].
Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy, Abu Waail; seorang yang tsiqah
mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

dinsdag, juli 20, 2010

Mengolok-Olok Syari'at

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

Abu Al-Jauzaa'

Tanya : Seringkali didapatkan sebagian muslim mengatakan pada sebagian yang lain yang menjalankan sunnah memelihara jenggot dengan ”jenggot kambing”, atau orang yang menaikkan batas celananya di atas mata kaki dengan ”kebanjiran”. Apa hukum Islam dalam hal ini ?

Jawab : Di antara tanda orang yang beriman adalah menetapi syari’atnya dan mengagungkannya dalam setiap sendi kehidupan. Allah ta’ala telah berfirman :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

”Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS. Al-Hajj : 22].

Adalah sikap yang bertentangan dengan keimanan jika ada orang yang mengejek, mencemooh, dan memperolok syari’at atau orang yang melaksanakan syari’at. Para ulama menyebut sikap-sikap seperti itu dengan istilah : istihzaa’. Sikap istihzaa’ ini merupakan sikap asli yang berasal dari orang-orang kafir. Salah satu kaum yang selalu ber-istihzaa’ terhadap Islam dan kaum muslimin adalah Yahudi. Allah telah mengabadikan sikap orang Yahudi dalam Al-Qur’an ketika mereka membuat plesetan-plesetan untuk menghina Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina", tetapi katakanlah: "Undhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih [QS. Al-Baqarah : 104]. [1].

Istihzaa’ adalah sikap/perbuatan yang sangat berbahaya bagi seorang muslim jika melakukannya. Para ulama telah sepakat bahwa istihzaa’ merupakan dosa besar yang dapat menyebabkan kekafiran mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana sikap kaum munafiqiin yang mengolok-olok Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan kaum muslimin yang dengan itu menyebabkan kekafiran mereka,

sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS. At-Taubah : 64-66].

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir-nya dan Al-Imam Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat di atas dengan sanad tidak mengapa (la ba’sa) dari Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

قال رجل في غزوة تبوك، في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء؛ أرغب بطونا، ولا أكذب ألسنا، ولا أجبن عند اللقاء. فقال رجل في المجلس: كذبت، ولكنك منافق، لأخبرن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فبلغ ذلك النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر: فأنا رأيته متعلقا بحقب ناقة رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، تنكبه الحجارة، وهو يقول: يا رسول الله إنما كنا نخوض ونلعب. ورسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول: ( أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم )

Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki pada perang Tabuk : “Kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini; sangat mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam pertempuran/peperangan”. Maka berkatalah seseorang kepadanya : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau ucapkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat di atas. Ibnu Umar kemudian melanjutkan : “Maka aku lihat laki-laki tersebut bergantung di belakang unta Nabi, tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Ya Rasulullah, kami hanya main-main saja, tidak sungguh-sungguh”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” [selesai].

Al-Imam Abu Bakr Al-Jashshash rahimahullah berkata :

فيه الدلالة على أن اللاعب والجاد سواء في إظهار كلمة الكفر على غير وجه الإكراه. لأن هؤلاء المنافقين ذكروا أنهم قالوا ما قالوه لعبا، فأخبر الله عن كفرهم باللعب بذلك. وروى الحسن وقتادة أنهم قالوا في غزوة تبوك: أيرجو هذا الرجل أن يفتح قصور الشام وحصونها!! هيهات هيهات. فأطلع الله نبيه على ذلك. فأخبر أن هذا القول كفر منهم على أي وجه قالوا من جِد أو هزل، فدل على استواء حكم الجاد والهازل في إظهار كلمة الكفر. ودل ـ أيضا ـ على أن الاستهزاء بآيات الله، أو بشيء من شرائع دينه: كفر من فاعله

”Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu. Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk : ”Apakah laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh khayalan ini”. Maka Allah menampakkan perkataan mereka kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku” [selesai – Ahkaamul-Qur’an ju3 hal 142].

Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :

وقوله: {قَدْ كَفَرْتُمْ } أي: قد ظهر كفركم بعد إظهاركم الإيمان؛ وهذا يدل على أن الجد واللعب في إظهار كلمة الكفر سواء.

”Dan firman-Nya : ”Sungguh karena kamu telah kafir”; yaitu tampaknya kekafiranmu setelah keimananmu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengeluarkan kalimat kekufuran adalah sama” [Zaadul-Masiir 3/465].

Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil duduk; maka dijawab :

من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر

”Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah lisy-Syawaarifi hal. 141-142],

Memanjangkan jenggot dan menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) termasuk diantara syari’at Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam [2]. Maka tidak pantas bagi seseorang meninggalkannya, apalagi malah mengolok-oloknya. Hendaknya setiap kaum muslimin senantiasa menjaga lisannya agar tidak sampai digelincirkan oleh syaithan untuk mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran yang akan membuatnya menyesal di dunia dan di akhirat. Wallaahu a’lam.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Tentang syari’at memanjangkan jenggot :

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pangkaslah kumis, panjangkanlah jenggot, danm selisihilah kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].

Tentang syari’at mengangkat pakaian/celana/sarung di atas mata kaki :

عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi no. 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].

[2] ”Raa’inaa” artinya : sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Ketika para shahabat radliyallaahu ’anhum menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, orang-orang Yahudi pun latah meniru mereka namun dengan diplesetkan untuk menghina beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Orang Yahudi mengatakan : ”Ru’unah” yang artinya adalah : ketololan yang amat sangat. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan para shahabat agar mengatakan undhurnaa yang artinya sama dengan raa’inaa.




di 13:16

mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

Memperingati Upacara Perayaan Malam Nifsu Syaban

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz

Segala puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma ba’du :
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :

] اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).

] أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم وإن الظالمين لهم عذاب أليم [.

“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih” (QS. As syuro, 21).

Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ".

“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.

Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :

" من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ".

“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.

Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya :

" أما بعد, فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة ".

“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang diada adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR. Muslim).

Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan nikmatNya bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan.

Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang ditolak, meskipun niatnya baik.

Para Sahabat dan para Ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan As Syaamah dan lain lain.

Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya'ban, red), dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits-hadits yang menerangkan tentang fadlilah malam tersebut, tetapi hadits-hadits tersebut dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu /palsu.

Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.

Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits yang shoheh, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya baik.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ :

] يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا [

“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).

] وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله ذلكم الله ربي عليه توكلت وإليه أنيب [

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy syuro, 10).

] قل إن كنتـم تحـبون الله فاتبعـوني يحببكـم الله ويغفر لكـم ذنوبكـم [.

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali Imran, 31).

] فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلم تسليما [.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).

Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat ayat diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya. Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi iman, dan merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau di akherat nanti, dan akan mendapat balasan yang lebih baik.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” : para Tabi'in penduduk Syam (Syiria sekarang) seperti Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfi Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas penduduk Hijaz (Saudi Arabia sekarang), seperti Atho dan Ibnu Abi Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya ; mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat ulama Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan adanya dua pendapat :

1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamaah adalah mustahab (disukai Allah).

Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar kemenyan, memakai sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid, ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia berkata : "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara berjamaah tidak dibid’ahkan", keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al Karmaniy.

2- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh dilakukan jika menjalankan sholat khusus untuk dirinya sendiri.

Ini pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli fiqh dan ulama mereka, Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan pendapat Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.

Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in. Begitu pula tentang malam nisfu sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh (yuris prudensi) yang di Syam (syiria), demikian maksud dari Al Hafidz Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfi Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah keumuman hadits Nabi :

" من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ".

“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.

Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits wal bida” : diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang menghadiri perayaan malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam malam lainya.

Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata : "Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab : "Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah".

Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan :

" يا علي، من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله عشر مرات إلا قضى الله له كل حاجة ... إلخ.

“Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.

Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal), hadits ini diriwayatkan dari kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya tidak diketahui.

Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits yang menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu : jika datang malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.

Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : "Seratus rakaat pada malam Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali (pada setiap rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul (tidak diketahui) dan dloif (lemah).

Imam As Syaukani berkata : Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’ (palsu), dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudlu’ (tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqoha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu dengan hadits hadits diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian dari para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad, semuanya adalah bathil / tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’.

Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga lemah dasar hukumnya.

Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri Rasulallah”.

Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata : sholat yang sering kita kenal dengan sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua belas rakaat, dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku “Quutul qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red) sebab pada dasarnya hadits hadits tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita tidak boleh cepat mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka hukum kedua hadits itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena ia telah salah dalam hal ini.

Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah mengarang sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para ulama, jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam, bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati ayat Al Qur’an di bawah ini :

] البوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas, selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “.

“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

” لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي، ولا تخصوا يومها بالصيام من بين الأيام، إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم “. رواه مسلم.

“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)” (HR. Muslim).

Seandainya pengkhususan malam itu dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari pada malam malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari oleh matahari ? hal ini berdasarkan hadits hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika malam Lailatul Qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :

” من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “.

“Barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alaih).

Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan, dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau melaksanakannya sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita ; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling banyak memberi nasehat setelah para Nabi.

Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.

Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar, sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.

Hal ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu) diketahui, padahal yang benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu pada tanggal 27 Rajab adalah bathil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih, maka benar orang yang mengatakan :

وخير الأمور السالفات على الهدى * وشر الأمور المحدثات البدائع

“Sebaik-baik perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para Salaf, yang telah mendapatkan petunjuk dan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada adakan berupa bid’ah bid’ah”

Allahlah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha Mulia.

Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan RasulNya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya, Amien.

(Dikutip dari الحذر من البدع Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia dalam Majmu’ Fatawa Samahat al-Shaykh ‘Abdul-‘Aziz ibn Baz, 2/882. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia. Edisi Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”.)




mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

Hadits- Hadits Palsu Seputar Amalan Bulan Rajab:

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG




حديث : رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.

Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari.” Hadits ini “Maudhu`” (Palsu)

Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.

1. حديث : من صام ثلاثة أيام من رجب, كتب له صيام شهر, من صام سبعة أيام من رجب, أغلق الله عنه سبعة أبواب من النار, ومن صام ثمانية أيام من رجب, فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة, ومن صام نصف رجب حاسبه الله حسابا يسيرا.

Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh, barang siapa berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa Ta`ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab Allah Ta`ala akan membukakan baginya delapan pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”

Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu` : Hadits ini tidak Shohih, sebab Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan `Amru bin Al Azhar pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh dari jalan Ibnu `Ulwaan dari Abaan, adapun Ibnu `Ulwaan pemalsu hadits.

2. حديث : إن شهر رجب شهر عطيم. من صام منه يوما كتب له صوم ألف سنة – إلخ.

Artinya : “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan tersebut berarti sama nilainya dia berpuasa seribu tahun-dan seterusnya.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.

3. حديث : من صام يوما من رجب, عدل صيام شهر-إلخ

Artinya : “Barang siapa yang berpuasa di bulan Rajab satu hari sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh dan seterusnya”.

Diriwayatkan oleh Al Khathiib dari jalan Abi Dzarr Marfu`. Di sanadnya ada perawi : Al Furaat bin As Saaib, dia ini perawi yang ditinggalkan.

Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” : sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini lemah- Rusydiin bin Sa`ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah juga.

Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu`abul Iman” dari hadits Anas, yang artinya : “Siapapun yang berpuasa satu hari di bulan Rajab sama nilainya dia berpuasa satu tahun.” Di menyebutkan hadits yang sangat panjang, akan tetapi di sanad hadits ini juga ada perawi ; `Abdul Ghafuur Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.

4. حديث : من أحيا ليلة من رجب, وصام يوما. أطعمه الله من ثمار الجنة – إلخ.

Artinya : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam bulan Rajab dan berpuasa di siang harinya, Allah Ta`ala akan memberinya makanan dari buah buahan sorga- dan seterusnya.”

Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain bin `Ali Marfu`: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu` (palsu).

5. ديث : أكثروا من الاستغفار فى شهر رجب. فإن لله فى كل ساعة منه عتقاء من النار, وإن لله لا يدخلها إلا من صام رجب.

Artinya : “Perbanyaklah Istighfar di bulan Rajab. Sesungguhnya Allah Ta`ala membebaskan hamba hambanya setiap sa`at di bulan itu, dan Sesungguhnya Allah Ta`ala mempunyai kota kota di Jannah-Nya yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berpuasa di bulan itu.”

Dikatakan dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa dipercaya.

6. حديث : فى رجب يوم وليلة, من صام ذلك اليوم, وقام تلك الليلة. كان له من الأجر كمن صام مائة-إلخ.

Artinya : “Di bulan Rajab ada satu hari dan satu malam, siapapun yang berpuasa di hari itu, dan mendirikan malamnya. Maka sama nilainya dengan orang yang berpuasa seratus tahun dan seterusnya.

Dikatakatan dalam “Adz dzail” : Di dalam sanadnya ada nama rawi Hayyaj, dia adalah rawi yang ditinggalkan.

Dan demikian disebutkan tentang : “Berpuasa satu hari atau dua hari di bulan itu.”

Disebutkan juga dalam “Adz dzail : Sanad hadits ini penuh dengan kegelapan sebahagian atas sebahagian lainnya, di dalam sanadnya ada perawi perawi yang pendusta : Dan demikian diriwayatkan : “Bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari jum`at sepekan sebelum bulan Rajab. Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu bulan yang mulia. Rajab bulan adalah bulan Allah yang Mulian, dilipat gandakan kebaikan di dalamnya, do`a do`a dikabulkan, kesusahan kesusahan akan di hilangkan.” Ini adalah Hadist yang Munkar.

Dan dalam hadits yang lain : “Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, dan mendirikan satu malam dari malam malamnya, maka Allah Tabaraka wa Ta`ala akan membangkitkannya dalam keadaan aman nanti di hari Kiamat- dan seterusnya.”

Di dalam sanad hadits ini : Kadzaabun (para perawi pendusta).

Demikian juga hadits : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab, dan berpuasa di siang harinya: Allah akan memberikan makanan buatnya buah buahan dari Sorga- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi pembohong/pemalsu hadits.

Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah yang Mulia, dimana Allah mengkhususkan bulan itu buat diri-Nya. Maka barang siapa yang berpuasa satu hari di bulan itu dengan penuh keimanan dan mengharapkan Ridho Allah, dia akan dimasukan ke dalam Jannah Allah Ta`ala- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi yang ditinggalkan.

Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam, Ramadhan bulan ummat Saya.” Demikian juga hadits : “Keutamaan bulan Rajab di atas bulan bulan lainnya ialah : seperti keutamaan Al Quran atas seluruh perkataan perkataan lainnya- dan seterusnya.”

Berkata Al Imam Ibnu Hajar : Hadits ini Palsu.

Berkata `Ali bin Ibraahim Al `Atthor dalam satu risalahnya : “Sesungguhnya apa apa yang diriwayatkan tentang keutamaan tentang puasa di bulan Rajab, seluruhnya Palsu dan Lemah yang tidak ada ashol sama sekali. Berkata dia : “`Abdullah Al Anshoriy tidak pernah puasa di bulan Rajab, dan dia melarangnya, kemudian berkata : “Tidak ada yang shohih dari Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam satupun hadist mengenai keutamaan bulan Rajab.” Kemudian dia berkata : Dan demikian juga : “Tentang amalan amalan yang dikerjakan pada bulan ini : Seperti mengeluarkan Zakat di dalam bulan Rajab tidak di bulan lainnya.” Ini tidak ada ashol sama sekali.

Dan demikian juga, “Dimana penduduk Makkah memperbanyak `Umrah di bulan ini tidak seperti bulan lainnya.” Ini tidak ada asal sama sekali sepanjang pengetahuan saya. Dia berkata : “Diantara yang diada-adakan oleh orang yang `awwam ialah : “Berpuasa di awal kamis di bulan Rajab,” yang keseluruhannya ini adalah : Bid`ah.

Dan diantara yang mereka ada adakan juga di bulan Rajab dan Sya`ban ialah : “Mereka memperbanyak ketaatan kepada Allah melebihi dari bulan bulan lainnya.”

Adapun yang diriwayatkan tentang : “Bahwa Allah Ta`ala memerintahkan Nabi Nuh `Alaihi wa Sallam untuk membuat kapalnya di bulan Rajab ini, serta diperintahkan kamu Mu`minin yang bersama dia untuk berpuasa di bulan ini.” Ini Hadits Maudhu` (Palsu).

Diantara bid`ah-bid`ah yang menyebar di bulan ini adalah :

1. Sholat Ar Raghaaib.

Sholat Ar Raghaaib ini diamalkan di setiap awal Jum`at di bulan Rajab.

Ketahuilah semoga Allah Tabaraka wa Ta`ala merahmatimu- bahwa mengagungkan hari ini, malam ini sesungguhnya diadakan ke dalam Din Islam ini setelah abad keempat Hijriyah. (Lihat literatur berikut ini tentang bid`ahnya sholat Raghaib :

1. “Iqtida` As Shiratul Mustaqim” : hal.283. Dan “Tulisan Ilmiyah diantara dua orang Imam ; Al `Izz bin `Abdus Salam dan Ibnu As Sholah sekitar Sholat Raghaaib.”

2. “Al Ba`itsu `Ala Inkari Al Bida` wa Al Hawaadist” : hal. 39 dan seterusnya.

3. “Al Madkhal” oleh Ibnu Al Haaj : 1/293.

4. “As Sunan wal Mubtadi`aat” : hal. 140.

5. “Tabyiinul `Ujab bima warada fi Fadhli Rajab” : hal. 47.

6. “Fataawa An Nawawiy” : hal. 26.

7. “Majmu` Al Fataawa oleh Ibnu Taimiyah” : 2/2.

8. “Al Maudhuu`aat” : 2/124.

9. “Allaalaaiy Al mashnu`ah” : 2/57.

10. “Tanzihus Syari`ah” : 2/92.

11. “Al Mughni `anil Hifdzi wal Kitab” : hall. 297- serta bantahannya : Jannatul Murtaab.

12. “Safarus Sa`adah” : hal. 150.

Sepakat `Ulama tentang hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan bulan Rajab adalah palsu, sesungguhnya telah diterangkan oleh sekelompok Al Muhaditsin tentang palsunya hadits sholat Ar Raghaaib diantara mereka ialah : Al Haafidz Ibnu hajar, Adz Dzahabiy, Al `Iraaqiy, Ibnu Al Jauziy, Ibnu Taimiyah, An Nawawiy dan As Sayuthiy dan selain dari mereka. Kandungan dari hadits-hadits yang palsu itu ialraah mengenai keutamaan berpuasa pada hari itu, mendirikan malamnya, dinamakan “shalat Ar Raghaaib,” para ahli Tahqiiq dikalangan ahli ilmu telah melarang mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa, atau mendirikan malamnya melaksanakan sholat dengan cara yang bid`ah ini, demikian juga pengagungan hari tersebut dengan cara membuat makanan makanan yang enak-enak, mengishtiharkan bentuk bentuk yang indah indah dan selain yang demikian, dengan tujuan bahwa hari ini lebih utama dari hari hari yang lainnya.

2. Sholat Ummu Daawud di pertengahan bulan Rajab.

Demikian juga hari terakhir dipertengahan bulan Rajab, dilaksanakan sholat yang dinamakan sholat “Ummu Daawud” ini juga tidak ada asholnya sama sekali. “Iqtidaus Shiraatul Mustaqim” : hal. 293.

Berkata Al Imam Al Hafidz Abu Al Khatthaab : “Adapun sholat Ar Raghaaib, yang dituduh sebagai pemalsu hadits ini ialah : `Ali bin `Abdullah bin jahdham, dia memalsukan hadits ini dengan menampilkan rawi rawi yang tidak dikenal, tidak terdapat diseluruh kitab.” Pembahasan Abu Al Khatthaab ini terdapat dalam :

“Al Baa`its `Ala Inkaril Bida` wal Ahadist” : hal. 40.

Abul Hasan : `Ali bin `Abdullah bin Al Hasan bin Jahdham, As Shufiy, pengarang kitab : “Bahjatul Asraar fit Tashauf”. Berkata Abul Fadhal bin Khairuun : Dia pendusta.

Berkata selainnya : Dia dituduh sebagai pemalsu hadits sholat Ar Raghaaib.

Lihat terjemahannya dalam : “Al `Ibir fi Khabar min Ghubar.” : (3/116), “Al Mizan” : (3/142), “Al Lisaan” : (4/238), “Maraatul Jinaan” (3/28), “Al Muntadzim” : (8/14), “Al `Aqduts Tsamiin” : (6/179).

Asal daripada sholat ini sebagaimana diceritakan oleh : At Thurthuusyiy dalam “kitabnya” : “Telah mengkhabarkan kepada saya Abu Muhammad Al Maqdisiy, berkata Abu Syaamah dalam “Al Baa`its” : hal. 33 : “Saya berkata : Abu Muhammad ini perkiraan saya adalah `Abdul `Aziz bin Ahmad bin `Abdu `Umar bin Ibraahim Al Maqdisiy, telah meriwayatkan darinya Makkiy bin `Abdus Salam Ar Rumailiy As Syahiid, disifatkan dia sebagai As Syaikh yang dipercaya, Allahu A`lam.” Berkata dia: tidak pernah sama sekali dikalangan kami di Baitul Maqdis ini diamalkan sholat Ar Raghaaib, yaitu sholat yang dilaksanakan di bulan Rajab dan Sya`ban. Inilah bid`ah yang pertama kali muncul di sisi kami pada tahun 448 H, dimana ketika itu datang ke tempat kami di Baitil Maqdis seorang laki laki dari Naabilis dikenal dengan nama Ibnu Abil Hamraa`, suaranya sangat bagus sekali dalam membaca Al Quran, pada malam pertengahan (malam keenam belas) di bulan Sya`ban dia mendirikan sholat di Al Masjidil Aqsha dan sholat di belakangnya satu orang, lalu bergabung dengan orang ketiga dan keempat, tidaklah dia menamatkan bacaan Al Quran kecuali telah sholat bersamanya jama`ah yang banyak sekali, kemudian pada tahun selanjutnya, banyak sekali manusia sholat bersamanya, setelah itu menyebarlah di sekitar Al Masjidil Aqsha sholat tersebut, terus menyebar dan masuk ke rumah rumah manusia lainnya, kemudian tetaplah pada zaman itu diamalkan sholat tersebut yang seolah olah sudah menjadi satu sunnah di kalangan masyarakat sampai pada hari kita ini. Dikatakan kepada laki laki yang pertama kali mengada-adakan sholat itu setelah dia meninggalkannya, sesungguhnya kami melihat kamu mendirikan sholat ini dengan jama`ah. Dia menjawab dengan mudah : “Saya akan minta ampun kepada Allah Ta`ala.”

Kemudian berkata Abu Syaamah : “Adapun sholat Rajab, tidak muncul di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H, kami tidak pernah melihat dan mendengarnya sebelum ini.” (Al Baa`itsu : hal. 32-33).

Fatwa Ibnu As Sholaah tentang sholat Ar Raghaaib, Malam Nishfu Sya`ban

3. Sholat Al Alfiah.

Sesungguhnya As Syaikh Taqiyuddin Ibnu As Sholaah rahimahullah Ta`ala pernah dimintai fatwa tentang hal ini, lalu beliau menjawab :

“Adapun tentang sholat yang dikenal dengan sholat Ar Raghaaib adalah bid`ah, hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah palsu, dan tidaklah sholat ini dikenal kecuali setelah tahun 400 H, tidak ada keutamaan malamnya dari malam malam yang lainnya. Lihat Hadist hadist ini dalam kitab yang disebutkan di atas hal. 100-101, dan hal. 439-440.

Diterjemahkan dari kitab Al Fawaaid Al Majmu`ah, Al Ahadiits Al Maudhu`ah, karya Syaikhul Islam Muhammad Bin `Ali As Syaukaniy (Wafat : 1250 H)


mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah