vrijdag, mei 30, 2008

JALAN-JALAN SURGA

AHLAN WA SAHLAN



EUROMOSLEM ONLINE tahun ke sembilan no. 380.
Media Dakwah PPME AMSTERDAM. Terbit Setiap Hari Jum’at

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه، قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي اْلجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي عَنِ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ اْلخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ اْلخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ اْلمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ. ثُمَّ تَلاَ: (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ اْلمَضَاجِعِ) حَتَّى بَلَغَ (يَعْمَلُونَ). ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هذَا، قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ، فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ -أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ- إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
Dari Mu'adz bin Jabal RA, ia mengatakan, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang amalan yang akan mema-sukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.' Beliau bersabda, 'Sungguh kamu bertanya tentang suatu yang besar, dan sesungguhnya itu sangat mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah: yaitu kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.' Kemudian beliau bersabda, 'Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat yang dilakukan seseorang di tengah malam.' Kemudian beliau membaca:'Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya' hingga 'yang telah mereka kerjakan.' (as-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok urusan, tiangnya, dan puncaknya?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Pokok segala urusan ialah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya ialah jihad. Kemudian beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan kepadamu tentang inti semua itu?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah. Lantas beliau memegang lisannya, seraya bersabda, 'Tahanlah ini padamu.' Aku bertanya, 'Wahai Nabi SAWllah, apakah kami akan dihukum karena apa yang kami ucapkan?' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilangan kamu! (ung-kapan terkejut). Tidak ada yang menjatuhkan wajah manusia -atau beliau bersabda, 'Leher manusia,'- ke dalam neraka, melainkan hasil lisan mereka (yang buruk)." (HR. at-Tirmidzi, dan ia menilai se-bagai hadits hasan shahih).* SYARAH Imam an-Nawawi berkata: Sabdanya, "Dzirwatu sanamihi," yakni, yang tertingginya. Dan Milaku asy-Syai' dengan kasrah mim, artinya, tujuannya. Sabdanya, "Tsakilatka ummuka." Artinya, semoga ibumu kehilanganmu, dan Rasulullah SAW tidak memaksudkan doa yang sesungguhnya. Tetapi hal itu berlaku menurut kebiasaan bangsa Arab dalam percakapan. "Hasha'idu Alsinatihim" (hasil (keburukan) lisan mereka). Kejahat-an lisan terhadap manusia ialah dengan mengusik kehormatan mereka, pergi ke sana ke mari dengan membawa namimah (adu domba), dan sejenisnya. Kejahatan-kejahatan lisan ialah ghibah (menggunjing), namimah, dusta, tuduhan dusta, kata-kata kufur, mengolok-olok, dan mengingkari janji. Allah SWT berfirman," Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Ash-Shaff: 3). Imam Ibnu Daqiq berkata: Sabdanya, "Sungguh kamu bertanya tentang suatu yang besar, dan sesungguhnya itu sangat mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah." Yakni, bagi siapa yang diberi taufik oleh Allah. Kemudian Dia mem-bimbingnya untuk beribadah kepadaNya dengan mengikhlaskan ke-taatan kepadaNya, ia beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kemudian beliau bersabda, "Mendirikan shalat." Mendirikannya ialah mengerjakannya dengan sempurna. Kemudian beliau menyebutkan syariat-syariat Islam berupa zakat, puasa dan haji. Kemudian beliau bersabda, "Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebajikan: puasa adalah perisai." Yang dimaksud puasa di sini ialah selain puasa Ramadhan karena telah disebutkan. Maksudnya, ialah memperbanyak berpuasa. Junnah ialah perisai. Artinya, puasa adalah penutup bagimu dan melindungi dari api neraka. Kemudian beliau bersabda, "Sedekah menghapuskan kesalahan." Yang dimaksudkan dengan sedekah di sini ialah selain zakat. Kemudian beliau bersabda, "Dan shalat yang dilakukan seseorang di tengah malam." Kemudian beliau membaca, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (ber-macam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajdah: 16-17). Artinya, bahwa orang yang bangun tengah malam, meninggal-kan tidurnya dan kelezatannya, dan lebih mengutamakan apa yang diharapkannya dari Tuhannya dibandingkan hal itu, maka balasannya ialah apa yang disebutkan dalam firmanNya, "Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajadah: 17). Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Allah membangga-banggakan orang-orang yang bangun malam dalam gelap, dengan firmanNya, "Lihatlah hamba-hambaKu, mereka bangun dalam kegelapan malam di mana tiada seorang pun melihat mereka selainKu. Aku menjadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku telah perkenankan kepada mereka negeri kemurahanKu." Kemudian beliau bersabda, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok urusan" hingga akhirnya, beliau menjadikan perkara ini seperti pejantan unta. Beliau menjadikan Islam sebagai pokok urusan ini, dan hewan tidak akan hidup dengan tanpa kepala. Kemudian beliau bersabda, "Tiangnya adalah shalat." 'Amud asy-Syai' ialah suatu yang menegakkannya dari apa yang tidak dapat kukuh menurut kebiasaan dengan tanpa tiang. Sabdanya, "Dan puncaknya ialah jihad." Dzirwatu kulli Syai' ialah yang tertinggi. Dzirwatu sinam al-Ba'ir ialah ujung punuknya. Dan jihad tidak ada sesuatu pun yang membandinginya. Sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan, ia mengatakan, "Seseorang datang ke-pada Rasulullah SAW seraya mengatakan, 'Tunjukkan kepadaku ten-tang suatu amalan yang menyamai jihad?' Beliau menjawab, 'Aku tidak menjumpainya.' Kemudian beliau bertanya,
هَلْ تَسْتَطِيْعُ إِذَا خَرَجَ اْلمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُوْمَ وَلاَ تَفْتُرُ وَتَصُوْمُ وَلاَ تُفْطِرُ؟
'Apakah kamu mampu, ketika mujahid keluar, kamu masuk masjidmu lalu kamu mengerjakan shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa ber-buka?!' Ia menjawab, 'Siapa yang mampu melakukan demikian.'"** Sabdanya, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang inti semua itu?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Lantas beliau memegang lisannya, seraya bersabda, 'Tahanlah ini padamu…' hingga akhirnya. Beliau mengkhususkan pertama-tama berjihad melawan kekafiran (jihadul kufr), kemudian beliau mengalihkannya kepada jihad yang lebih besar, yaitu jihadun nafs dan mengekangnya dari berbicara mengenai suatu yang menyakitinya dan membahayakannya. Beliau menilai kebanyakan manusia masuk neraka disebabkan oleh lisan mereka, di mana beliau bersabda,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فيِ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ، -أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ- إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
"Semoga ibumu kehilangan kamu! Tidak ada yang menjatuhkan wajah manusia -atau beliau bersabda, 'Leher manusia,'- ke dalam neraka, kecuali akibat ucapan lisan mereka yang buruk." Telah disinggung sebelumnya dalam hadits muttafaq 'alaih,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka ber-kata-katalah yang baik atau diamlah." Dalam hadits yang lain,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ.
"Siapa yang memberi jaminan kepadaku apa yang berada di antara kedua tulang dagunya (lidahnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin surga baginya." (HR. al-Bukhari, no. 6474, 6807) Syaikh as-Sa'di berkata: Banyak hadits disinyalir mengenai prinsip besar yang ditunjuk-kan oleh hadits ini. Semua pengertiannya sama atau mirip, bahwa siapa yang menunaikan apa yang difardhukan Allah atasnya menu-rut fardhu-fardhu yang umum dan fardhu-fardhu yang dikhususkan dengan sebab-sebab yang barangsiapa diwajibkan di dalamnya, maka menjadi wajib atasnya. Siapa yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, maka ia berhak masuk surga dan selamat dari neraka. Siapa yang bersifatkan dengan ini, maka ia berhak dengan sebutan Islam dan Iman, serta menjadi golongan orang-orang yang bertakwa lagi beruntung, dan termasuk orang yang menempuh jalan yang lurus. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Dari Mu'adz bin Jabal RA, ia mengatakan, "Aku bertanya, wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka." Surga adalah negeri yang dijanjikan Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, yang di dalamnya terdapat apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan terlintas di hati manusia. Sedangkan neraka adalah negeri yang dijanjikan Allah buat orang-orang kafir, yang di dalamnya berisikan adzab yang pedih sebagaimana yang diketahui dalam al-Qur'an dan Sunnah. Ia bertanya tentang hal ini, karena ini suatu yang paling penting baginya. Dan semestinya bagi setiap muslim, ini menjadi suatu yang paling penting baginya, yaitu masuk surga dan jauh dari neraka. Inilah puncak keberuntungan, berdasarkan firmanNya, "Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Ali Imran: 185) Nabi SAW bersabda, "Sungguh kamu bertanya tentang suatu yang besar." Suatu yang besar, yaitu sukses dengan masuk surga dan jauh dari neraka. Tetapi beliau mengatakan, "Dan sesungguhnya itu sangat mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah." Bisa jadi, sabdanya "tentang suatu yang besar" bermakna tentang amal yang dapat memasuk-kan surga dan menjauhkan dari neraka. "Dan sesungguhnya amalan tersebut sangatlah mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah." Kemu-dian beliau memerincinya untuknya dengan sabdanya, "Kamu ber-ibadah kepada Allah dan tidak menyukutukanNya dengan sesuatu pun." Beribadah kepada Allah SWT ialah menaatiNya dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya dengan ikhlas karenaNya. "Kamu tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun." Yakni, baik malaikat yang paling dekat (kepada Allah) maupun nabi yang diutus; karena syarat beribadah ialah ikhlas karenaNya. Perkara kedua, di antara perbuatan yang dapat memasukkan surga dan menjauhkan dari neraka ialah mendirikan shalat, di mana beliau bersabda, "Dan mendirikan shalat." Makna mendirikan shalat ialah kamu mengerjakannya dengan lurus lagi sempurna rukun, kewajiban, dan syaratnya, serta menyempurnakannya dengan hal-hal yang dapat menyempurnakannya. Perkara ketiga, "Menunaikan zakat." Yaitu harta yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan manusia dari harta-harta tertentu de-ngan syarat-syarat tertentu yang sudah dikenal kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Ini sudah dikenal dalam kitab-kitab para ulama. "Berpuasa Ramadhan." Yakni, bulan Ramadhan, dan ini juga sudah dimaklumi. Puasa ialah beribadah kepada Allah SWT dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga ter-benam matahari. "Dan berhaji ke Baitullah." Yaitu, menuju al-Baitul Haram, Ka'bah, untuk menunaikan manasik haji. Inilah kelima rukun Islam itu, "Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan ber-haji ke Baitullah." Persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah masuk dalam persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, jika ia tidak disebutkan bersamanya. Karena persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, artinya tiada sem-bahan yang hak kecuali Allah. Dan termasuk beribadah kepada Allah ialah membenarkan RasulNya dan mengikutinya. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebajikan?" Yakni, tentang perkara yang mengan-tarkan kamu menuju pintu-pintu kebajikan. Seolah-olah ia menjawab, "Ya." Lalu Nabi SAW bersabda, "Puasa adalah perisai." Artinya, ia sebagai pelindung yang melindungi dari kemaksiatan pada saat berpuasa dan melindunginya dari api neraka pada hari Kiamat. Kemudian beliau bersabda, "Sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api." Sedekah adalah mendermakan harta untuk orang fakir dan orang yang membutuhkan dengan niat beribadah kepada Allah SWT, yang di-ungkapkan dengan beramal dan berbuat baik kepada orang fakir. Sedekah ini akan menghapuskan kesalahan, yakni kesalahan yang dilakukan manusia berupa meninggalkan kewajiban atau mengerjakan perkara yang diharamkan, sebagaimana air memadamkan api. Kita semua tahu bahwa air mampu memadamkan api sehingga tidak tersisa sedikit api pun. Demikian pula sedekah tidak meninggalkan suatu dosa pun. "Shalat yang dilakukan seseorang di tengah malam." Artinya, ia akan menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Jauf al-Lail ialah tengah malam, dan shalat malam yang paling utama ialah paruh yang kedua, atau sepertiga malam sesudah separuh ma-lam yang pertama. Adalah Nabi Daud j tidur separuh malam dan bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya. Kemudian Rasulullah SAW membaca, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata seba-gai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajadah: 16-17) Beliau membacanya sebagai dalil. Ayat ini, sebagaimana zha-hirnya, bahwa lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Yakni, untuk shalat di malam hari, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Allah berikan kepada mereka. Kedua perkara inilah, ya-itu sedekah dan shalat malam, yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. Kemudian beliau bersabda, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok urusan, tiangnya, dan puncaknya?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Pokok segala urusan ialah Islam." Urusan yang dimaksud ialah urusan yang terbesar. Pokok segala urusan ialah Islam; karena Islam tinggi dan tidak ada yang meng-unggulinya. Dengan Islam manusia terbebas dari kejahatan para hamba Allah dari kalangan kaum kafir, musyrik dan munafik. Tiangnya, yakni tiang Islam, adalah shalat; karena tiang sesu-atu ialah apa yang di atasnya sesuatu dibangun dan sesuatu menjadi lurus, serta tidak bisa lurus kecuali dengannya. Shalat hanyalah men-jadi tiang Islam; karena dengan meninggalkannya seseorang keluar dari Islam kepada kekafiran. Kita berlindung kepada Allah. Dan puncaknya ialah jihad fi sabilillah. Sinam ialah punuk un-ta, dan dzirwatuhu ialah yang paling atasnya. Puncak Islam adalah jihad fi sabilillah, tidak lain karena dengannyalah kaum muslimin mengungguli musuh-musuh mereka. Kemudian beliau bertanya, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang inti semua itu?" Yakni perkara yang menjadi semua urusan ini. "Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Lantas beliau memegang lisannya, seraya bersabda, 'Tahanlah ini padamu'." Yakni, jangan me-ngumbarnya dengan kata-kata karena berbahaya. "Aku bertanya, 'Wahai Nabi SAWllah, (apakah) kami akan dihukum ka-rena apa yang kami ucapkan?" Ini kalimat tanya (jumlah istifhamiyyah) . Artinya, apakah kami akan dihukum karena apa yang kami ucap-kan? Nabi SAW menjawab, ""Semoga ibumu kehilangan kamu!" "Yakni, ia kehilanganmu sehingga bersedih hati karena kehilanganmu. Kalimat ini bukan maknanya yang dituju, tetapi yang dituju ialah perintah supaya memahami apa yang diucapkan. Beliau bersabda, ""Semoga ibumu kehilangan kamu! Tidak ada yang menjatuhkan wajah manusia ke dalam neraka, kecuali akibat ucapan lisan mereka yang buruk—atau beliau bersabda: Tidak ada yang menjatuhkan leher manusia ke dalam neraka, ke-cuali akibat ucapan lisan mereka yang buruk." "Yakni, melainkan berasal dari ucapan yang dihasilkan oleh lisan mereka. Artinya, jika manu-sia mengumbar lisannya, maka itu menjadi sebab wajahnya dijatuh-kan di dalam neraka. Kita berlindung kepada Allah. Dalam hadits ini terdapat banyak faedah, di antaranya 1. Para sahabat sangat berkeinginan melakukan amalan-amalan yang akan memasukkan mereka ke dalam surga dan menjauh-kan mereka dari neraka. Ini adalah perkara yang terpenting bagi mereka. Karena itu, Mu'adz bin Jabal y bertanya kepada Nabi SAW tentang amalan yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. 2. Menetapkan surga dan neraka. Keduanya sekarang sudah ada, dan keduanya tidak akan fana selama-lamanya. 3. Penjelasan bahwa pertanyaan Mu'adz bin Jabal adalah per-tanyaan yang besar; karena imbalannya besar. Dan imbalan itu menurut kadar perbuatan yang diberi imbalan. Karena itu, Rasulullah bersabda, ""Sungguh kamu bertanya tentang suatu yang besar." "Yakni, kamu bertanya tentang amalan yang besar, berda-sarkan akibat yang diperolehnya berupa pahala. Kemudian Nabi SAW menjelaskan bahwa perkara yang besar ini sangat mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah. Dapat dipetik faedah dari sini bahwa manusia semestinya kembali ke-pada Allah dengan memohon agar dimudahkan segala urusan. Ia juga semestinya tahu bahwa salah satu sebab kemudahan yang diberikan Allah ialah bertakwa kepadaNya, berdasarkan firmanNya, ""Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menja-dikan baginya kemudahan dalam urusannya." " (Ath-Thalaq: 4). 4. Prioritas pertama dan yang terbesar ialah mentauhidkan Allah SWT dan ikhlas karenaNya berdasarkan dalil "'Sembahlah Allah dan jangan menyekutukannya'. " 5. Pentingnya arti shalat karena Rasulullah SAW menyebutkannya se-telah ikhlas jika seseorang bertanya, di manakah syahadat kedua? Persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kami jawab, persaksian ini sudah dimaklumi dari sabdanya, ""Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun." "Penjelasan mengenai hal itu telah disebutkan sebelumnya. 6. Zakat didahulukan atas puasa, karena ia lebih ditekankan.
7. Puasa didahulukan atas haji, karena ia berulang setiap tahun. Berbeda dengan haji, karena ia tidak wajib kecuali sekali dalam seumur hidup. 8. Dalam kalimat ini mengisyaratkan tentang kelima rukun Islam, "Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah."
9. Mengemukakan pertanyaan kepada murid dengan cara yang membuat murid ingin tahu, berdasarkan sabdanya, "Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebajikan?" 10. Kebajikan itu memiliki banyak pintu, dan pintu-pintu tersebut sebagai gerbangnya. Ini mirip dengan sabda Rasulullah SAW,
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً.
"Iman itu 70 cabang lebih." (HR. Muslim, no. 35) 11. Puasa itu perisai. Artinya, menghalangi orang yang berpuasa ter-jerumus dalam kesia-siaan, kekejian, ucapan dan perbuatan dusta, serta kebodohan. Ini juga perisai bagi orang yang berpuasa dari neraka, yang melindunginya dari neraka, berdasarkan firmanNya,

الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ.
“Puasa itu untukKu, dan Aku akan membalasnya." (Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 7492; dan Muslim, no. 1151) 12. Keutamaan bersedekah, berdasarkan sabdanya, "Sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api." 13. Shalat seseorang di tengah malam dapat menghapuskan kesa-lahan, berdasarkan sabda Nabi SAW,

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ اْلخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ اْلمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فيِ جَوْفِ اللَّيْلِ.
“"Sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan (juga) shalat yang dilakukan seseorang di tengah malam." 14. Nabi SAW berdalilkan dengan al-Qur'an, karena beliau membaca firmanNya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (ber-macam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." “(As-Sajadah: 16-17) 15. Nabi SAW mengemukakan berbagai permasalahan dalam bentuk pertanyaan untuk mengingatkan orang yang diajak berbicara, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini. 16. Urusan, yakni urusan manusia, memiliki pokok (pondasi), tiang, dan puncaknya. Pokok urusan ialah Islam, tiangnya ialah sha-lat; yakni tiang Islam ialah shalat, dan puncaknya ialah jihad fi sabilillah. 17. Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, sebagaimana sabdanya, "Dan tiangnya ialah shalat?" Seperti diketahui, jika tiang itu roboh maka bangunannya pun juga roboh. Pendapat inilah yang kuat dari berbagai pendapat ulama, berdasarkan dalil-dalil Kitab Allah dan Sunnah RasulNya serta pendapat para sahabat. Kami telah menjelaskan hal itu dalam risalah kami*** me-ngenai hal ini. 18. Dalam jihad terletak ketinggian dan kemuliaan Islam berdasarkan sabdanya, "Dan puncaknya ialah jihad fi sabilillah". 19. Inti dari semua ini ialah memelihara lisan, berdasarkan sabdanya, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang inti semua itu? Aku men-jawab, 'Tentu, wahai Rasulullah. Lantas beliau memegang lisannya, seraya bersabda, 'Tahanlah ini padamu'." 20. Boleh mengajarkan dengan isyarat, karena beliau memegang lisannya sendiri seraya bersabda, "Tahanlah ini padamu." 21. Bahayanya lisan atas manusia, berdasarkan sabdanya, "Tidak ada yang menjatuhkan wajah manusia—atau leher mereka—ke dalam neraka, melainkan karena hasil lisan mereka." 22. Teliti terhadap apa yang dinukil dalam hadits dari ucapan-ucapan Rasulullah SAW, di mana perawi mengungkapkan sabda Nabi dengan, "Wajah mereka—atau leher mereka." Ini menunjukkan amanat yang sempurna dalam menukil hadits, dan segala puji bagi Allah. NB: * Hadits hasan shahih, riwayat at-Tirmidzi, no. 2616; Ibnu Majah, no. 3973; Ahmad, 5/ 231, 234, 237; dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 5136 ** HR. an-Nasa'i, 6/ 19 dan dalam al-Kubra, 3/ 13; Ahmad, 2/ 344; dan al-Baihaqi dalam al-Kubra, 9/ 157 *** Yaitu risalah, Hukm Tarik ash-Shalah
Sumber: al sofwah.or.id
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

PPME AMSTERDAM BIDANG DAKWAH
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

jazakumullah

woensdag, mei 28, 2008

pakaian buat wanita

AHLAN WA SAHLAN

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api.

A. Sifat Pakaian yang Disyariatkan bagi Wanita Muslimah

1. Diwajibkan pakaian wanita muslimah itu menutupi seluruh badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya. Dan janganlah terbuka untuk mahram-mahramnya kecuali yang telah terbiasa terbuka seperti wajah, kedua telapak tangan dan kedua kakinya.

2. Agar pakaian itu menutupi apa yang ada di sebaliknya (yakni tubuhnya), janganlah terlalu tipis (transparan), sehingga dapat terlihat bentuk tubuhnya.

3.Tidaklah pakaian itu sempit yang mempertontonkan bentuk anggota badannya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bahwasanya beliau bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian (pada hakekatnya) ia telanjang, merayu-rayu dan menggoda. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (22/146) dalam menafsirkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam ini:

"Bahwa perempuan itu memakai pakaian yang tidak menutupinya. Dia berpakaian tapi sebenarnya telanjang. Seperti wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga menggambarkan postur tubuh (kewanitaan)-nya atau pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seperti pinggul, lengan dan yang sejenisnya. Akan tetapi, pakaian wanita ialah apa yang menutupi tubuhnya, tidak memperlihatkan bentuk tubuh, serta kerangka anggota badannya karena bentuknya yang tebal dan lebar."

4.Pakaian wanita itu tidak menyerupai pakaian laki-laki. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. Sedangkan untuk membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal berpakaian adalah pakaian yang dipakai dinilai dari karakter bentuk dan sifat menurut ketentuan adat istiadat setiap masyarakat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’Al-Fatawa (22/148-149/155):

"Maka (hal) yang membedakan antara pakaian laki-¬laki dan pakaian perempuan dikembalikan pada pakaian yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan, yaitu pakaian yang cocok sesuai dengan apa yang diperintahkan untuk lak-¬laki dan perempuan. Para wanita diperintahkan untuk menutup dan menghalangi tanpa ada rasa tabarruj (mempertontonkan) dan memperlihatkan. Untuk itu tidak dianjurkan bagi wanita mengangkat suara di dalam adzan, ¬(membaca) talbiyah, (berdzikir ketika) naik ke bukit Shafa dan Marwa dan tidaklah telanjang di dalam Ihram seperti ¬laki-laki. Karena laki-laki diperintahkan untuk membuka kepalanya dan tidak memakai pakaian yang melampaui batas (dilarang) yakni yang dibuat sesuai anggota badannya, tidak memakai baju, celana panjang dan kaos kaki."

Selanjutnya Syaikhul Islam mengatakan:

"Dan adapun wanita, sesungguhnya tidak dilarang sesuatupun dari pakaian karena ia diperintahkan untuk menutupi dan menghijabi (membalut) dan tidak dianjurkan kebalikannya. Akan tetapi dilarang memakai kerudung ¬dan memakai sarung tangan, karena keduanya merupakan_ pakaian yang terbuat sesuai dengan bentuk tubuh dan tidak ada kebutuhan bagi wanita padanya." Kemudian beliau menyebutkan, bahwa wanita itu menutup wajahnya tanpa keduanya dari laki-laki sampai beliau mengatakan di akhir: "Maka jelas, antara pakaian laki-laki dan perempuan itu sudah seharusnya berbeda. Yakni untuk membedakan laki-laki dari wanita. Pakaian wanita itu haruslah istitar (menutupi auratnya) dan istijab (menghalangi dari pandangan yang bukan mahramnya -pent.). Sebagaimana yang dimaksud dhahir.

Kemudian beliau menjelaskan, bahwa apabila pakaian itu lebih pantas dipakai oleh laki-laki sebagaimana umumnya, maka dilarang bagi wanita. Hingga beliau mengatakan: "Manakala pakaian itu bersifat qillatul istitar (hanya sekedar menutupi aurat -pent.) dan musyabahah (pakaian itu layak dipakai oleh laki-laki dan perempuan - pent.), maka dilarang pemakaiannya dari dua bentuk (baik laki-laki maupun perempuan -pent.). Allahu a’lam. "

5.Pakaian wanita tidaklah terhiasi oleh perhiasan yang menarik perhatian (orang lain) ketika keluar rumah, agar tidak termasuk golongan wanita-wanita yang bertabaruj (mempertontonkan) pada perhiasan.

Berhijab

Bahwa seorang wanita yang menutupi badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya disebut berhijab. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, putra-putra saudara perempuan mereka. " (An-Nur: 31)

Dalam firman-Nya yang lain:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

"Dan apabila kamu ada sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). " (Al-Ahzab: 53)

Dan yang dimaksud dengan hijab (dari ayat di atas) adalah sesuatu yang menutupi wanita termasuk di dalamnya dinding, pintu atau pakaian. Sedangkan kata-kata dalam ayat tersebut walaupun diperuntukkan kepada istri-istri Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, namun hukumnya adalah umum untuk semua wanita mukminah.

Karena `illat (landasan)-nya adalah berkaitan dengan firman ¬Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

"Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. " (Al-Ahzab: 53)

Dan `illat (landasan) ini adalah umum. Maka keumuman `illat menunjukkan bahwa hukum tersebut berlaku untuk umum. Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lain:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ". (Al-Ahzab: 59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam majmu’Al-Fatawa (22/110-111):

"Jilbab adalah kain penutup, sebagaimana Ibnu Mas’ud dan yang lainnya menamakan dengan sebutan rida’ (cadar) dan izar (sarung) sebagaimana umum menyebutnya, yakni kain sarung yang besar sebagai penutup kepala dan seluruh badan wanita. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah dan yang lainnya, bahwa wanita itu mengulurkan jilbab dari atas kepalanya sampai tidak terlihat (raut mukanya), kecuali matanya. Termasuk sejenis hijab adalah niqab (sarung kepala). Dan dalil-dalil sunnah nabawiyyah tentang kewajiban seorang wanita menutupi wajah dari selain mahramnya."

Barangkali yang dimaksud adalah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Ada beberapa pengendara (kendaraan) lewat di depan kami dan saat itu kami sedang ihram bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Jika mereka sejajar dengan kami, maka kami mengulurkan jilbab ke wajah kami, dan bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya kembali." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Lihat kitab Mas’uliyatul Mar’ati Al-Muslimati, bab Hijab wa Shufur oleh Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim AI-Jarullah

Dan dalil-dalil tentang kewajiban wanita untuk menutup wajah dari selain mahramnya menurut Al- Qur`an dan As Sunnah sangatlah banyak. Maka saya sarankan kepada anda wahai muslimah, (bacalah -pent.) mengenai hal tersebut di dalam Risalah Hijab dan Pakaian di dalam Shalat karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Risalah Hijab karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Risalatu Ash-Sharim Al Masyhur `ala Al-Maftunin bi As-Sufur karya Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri dan Risalah Hijab karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Semua risalah tersebut telah menjabarkan tentang permasalahan hijab beserta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Ketahuilah wahai muslimah!

Bahwa ulama-ulama yang membolehkan kamu membuka wajahmu dengan kata-kata yang menggiurkan (rayuan-rayuai gombal) sepertinya dapat menghindarkanmu dari fitnah. Padaha fitnah tidaklah dapat dihindari, khususnya pada zaman sekarang ini. Dimana sedikit sekali laki-laki dan perempuan yang menyerukan larangan agama. Sedikit sekali rasa malunya. Bahkan banyak sekali orang-orang yang mengumbar fitnah. Kemudian sangatlah terhina wanita yang menjadikan macam-macam perhiasan yang mengundang fitnah berada di wajahnya. Berhati-hatilah dari hal itu.

Wahai muslimah! Pakailah dan biasakanlah berhijab. Karena hijab dapat menjagamu dari fitnah dengan seizin Allah. Tidak ada seorang ulama -baik dahulu maupun sekarang- yang menyetujui (pendapat) para pengumbar fitnah. Dimana mereka (para wanita) terlibat di dalamnya.

Sebagian wanita muslimah ada yang berpura-pura dalam berhijab. Yakni manakala berada dalam masyarakat yang menerapkan hijab, merekapun memakainya. Dan ketika berada dalam masyarakat yang tidak menerapkan hijab, merekapun melepaskan hijabnya.

Sementara ada sebagian lainnya yang memakai hijab hanya ketika berada di tempat-tempat umum dan ketika memasuki tempat pemiagaan, rumah sakit, tempat pembuat perhiasan emas ataupun salah satu dari penjahit pakaian wanita, maka ia pun membuka wajah dan kedua lengannya, seakan-akan ia berada di samping suaminya atau salah satu mahramnya! Maka takutlah kamu kepada Allah, hai orang-orang yang melakukan hal tersebut!

Telah kami saksikan pula, beberapa wanita yang berada di dalam pesawat (yakni pesawat yang datang dari luar Arab Saudi), rnereka tidak memakai hijab, kecuali ketika pesawat mendarat di salah satu bandara di negara ini. Seolah-olah hijab itu berasal dari adat kebiasaan (bangsa Arab) dan bukan dari pokok-pokok ajaran agama.

Wahai muslimah!

Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api. Maka pakailah hijab. Berpeganglah pada hijab. Dan janganlah kamu tergoda oleh pengumbar fitnah yang bertujuan memerangi hijab atau mengecilkan dari bentuknya. Sebab ia ingin menjadikanmu jahat. Sebagaimana firman Allah:

Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh jauhnya (dari kebenaran). " (An-Nisaa’: 27)

Dikutip dari Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat, Edisi Indonesia “Panduan Fiqih Praktis Bagi Wanita” Penerbit Pustaka Sumayyah, Pekalongan.

apakah menutup wajah itu wajib bagi perempuanm

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada saudara yang terhormat, semoga Allah menunjukkinya kepada setiap kebaikan. Amin

Salamun ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, wa ba’d.

Surat anda, tanpa tanggal, telah sampai, semoga petunjuk Allah pun sampai kepada anda. Isinya sebagai berikut :

Saya mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjawab pertanyaan saya tentang urgensi penutup wajah wanita, apakah ini memang kewajiban yang diwajibkan dalam agama Islam ? Jika memang begitu, apa dalilnya ? Saya mendengar dari banyak sumber dan saya beranggapan bahwa penutup wajah itu telah umum digunakan di Jazirah Arab pada masa Turki, sejak saat itu ditegaskan penggunaannya sehingga semua orang menganggap bahwa itu diwajibkan kepada setiap wanita. Sebagaimana yang saya baca, bahwa pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa para sahabat, kaum wanita menyertai kaum laki-laki dalam berbagai pekerjaan, di antaranya membantu dalam peperangan. Apakah ini memang benar atau keliru dan tidak berdasar ? Saya menunggu jawaban dari yang mulia untuk bisa memahami hakikatnya dan menafikan keraguan. Selesai.

Jawaban.
Di masa awal Islam, hijab belum diwajibkan kepada wanita. Saat itu, wanita menampakkan wajah dan telapak tangannya pada kaum laki-laki, kemudian Allah mensyari’atlkan hijab kepada kaum kaum wanita dan mewajibkannya untuk menjaga dan memelihara wanita dari pandangan kaum laki-laki yang bukan mahram dan untuk mencegah timbulnya fitnah. Perintah ini berlaku setelah turunnya ayat hijab, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab.

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [Al-ahzab : 53]

Walaupun ayat ini diturunkan mengenai para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun maksudnya adalah mereka dan wanita lainnya karena keumuman alasan yang disebutkan itu dan cakupan maknanya. Dalam ayat lain Allah berfirman.

وَوَأَطِعْنَ اللَّهَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَرَسُولَهُ

“Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ta’atilah Allah dan RasulNya” [Al-Ahzab : 33]

Ayat ini mencakup para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita lainnya, seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lainnya.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min. ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 59]

Selain ini, Allah pun menurunkan dua ayat lainnya dalam surat An-Nur, yaitu :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepda laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya’. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka “ [An-Nur : 30-31]

Yang dimaksud dengan ‘perhiasan’ di sini adalah keindahan dan daya tarik, yang mana wajah adalah yang paling utamanya. Sedangkan yang dimaksud dengan : “kecuali yang (biasa) nampak dari mereka” [An-Nur : 31] adalah pakaian. Demikian pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [An-Nur : 60]

Segi pendalilan dari ayat ini menunjukkan kewajiban berhijabnya wanita, yaitu menutup wajah dan seluruh badannya dari laki-laki yang bukan mahram : Namun Allah tidak menganggap berdosa pada wanita-wanita tua yang telah menapouse yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi, asalkan tidak bersolek dengan perhiasan.

Dengan demikain dapat disimpulkan, bahwa para wanita muda wajib berhijab, dan mereka berdosa bila meninggalkan kewajiban ini. Begitu pula para wanita tua yang berdandan (bersolek) dengan perhiasan, mereka tetap harus berhijab karena mereka itu juga fitnah. Kemudian di akhir ayat tadi Allah menyatakan, bahwa berlaku sopannya para wanita tua dengan tidak berdandan adalah lebih baik bagi mereka. Demikian ini karena lebih menjauhkan mereka dari fitnah. Telah diriwayatkan secara pasti dari Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma, saudarinya, yang menunjukkan wajibnya wanita menutup wajah terhadap laki-laki yang bukan mahram, walaupun sedang melaksanakan ihram, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Ash-Shahihain, yang menunjukkan bahwa terbukanya wajah wanita hanya pada masa awal Islam kemudian dihapus dengan turunnya ayat hijab. Dengan demikian diketahui, bahwa berhijabnya wanita adalah perkara yang sudah lama ada, sejak nasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkannya, jadi bukan dari aturan masa Turki.

Adapun mengenai ikut sertanya kaum wanita di beberapa pekerjaan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ; mengobati orang-orang yang terluka dan yang sakit pada saat jihad, dan sebagainya, adalah benar, tetapi dengan tetap berhijab, memelihara diri dan jauh dari faktor-faktor yang menimbulkan karaguan, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha, “Kami berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami memberi minum orang-orang yang terluka, membawakan air dan mengobati yang sakit”. Begitulah pekerjaan mereka, tidak seperti pekerjaan kaum wanita zaman sekarang di banyak negara yang mengaku penduduknya Islam, sementara wanitanya bercampur baur dengan kaum laki-laki diberbagai bidang pekerjaan dengan berdandan dan bersolek.

Akibatnya merajalelanya kenistaan, hancurnya keluarga dan porak porandanya masyarakat. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Semoga Allah menunjuki semuanya kejalanNya yang lurus. Dan semoga Allah menunjuki kami dan anda serta semua saudara-saudara kita kepada ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya. Sesungguhnya Dialah sebaik-baik tempat meminta.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

[Majmu Al-Fatawa Syaikh Ibnu Baz, Juz 3, hal 354,]

jazakumullah

dinsdag, mei 27, 2008

Adab adab berfatwa dan ber ijtihad

AHLAN WA SAHLAN

oleh. : syeikh bin baz, syeikh utsaimin -rahimahumullahu ta’ala-

Memberikan fatwa adalah tugas yang sangat berat , yang tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang, tapi disayangkan adanya fenomena yang tidak sedap dipandang, yaitukecerobohan atau ketergesa gesaansebagian pemula dalam menunut ilmu untuk memberikan fatwa dalam dalammasalah agama dan, dan mulai mengeluarkan perndapatnya sendiri, sedangkan para salafus sholeh saling menghindar dan mendahulukan ulama lain untuk memberikan fatwakarena wara’ nya , agar terhindar dari kesalahan dan dosa

1. Hukum tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dari kalangan masyarakat umum

Pertanyaan : Tatkala persoalan agama dikemukakan, masyarakat umum saling berlomba -jika mereka berada dalam satu majlis- untuk berfatwa dan mengemukakan pendapatnya dalam masalah tersebut pada umumnya tidak dengan ilmu. Apa komentarmu hai Syeikh yang mulia terhadap fonomena ini ? Apa ini termasuk dalam perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya ?

Jawaban : Sebagaimana yang diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara pada agama Allah tanpa dengan ilmu, karena Allah Ta’ala berfirman : Artinya : “katakanlah : “Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S.7;33).
Dan wajib bagi seseorang untuk wara’ dan takut terhadap perbuatan berbicara tentang Allah tanpa dengan ilmu. Permasalahan ini bukan termasuk urusan dunia, yang mana akal memiliki posisi didalamnya, kalau seandainya urursan itu merupakan permasalahan dunia, yang mana akal memiliki posisi di dalamnya, sepatutnya manusia itu berhati-hati, dan tidak terburu-buru.


Mungkin saja, jawaban yang ada pada dirinya, dijawab oleh orang lain. Maka dia bagaikan hakim di antara dua jawaban. Dan perkatannya menjadi kata pemutus (penutup). Betapa banyak manusia berbicara dengan pendapatnya, yakni selain dalam masalah–masalah agama, jika dia tidak terburu-buru dan mundur sedikit, tampak baginya kebenaran yang belum pernah terlintas di pikirannya – karena banyaknya pendapat yang didengarkan–.

Oleh karena ini, maka saya menasehati setiap orang, agar dia mampu menjadi orang yang paling terakhir berbicara, supaya dia bisa menjadi penengah di antara pendapat yang banyak. Dan supaya dia mendapatkan dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, pandangan yang belum jelas, sebelum mendengarkan pendapat-pendapat tadi. Ini hal-hal yang berhubungan dengan urusan dunia. Adapun yang berhubungan dengan urusan agama, seseorang sama sekali tidak boleh berbicara, kecuali dengan ilmu yang ia ketahui dari Kitab Allah dan sunnah Rasul-nya atau dari perkataan ahli ilmu (para ulama).

Dijawab oleh : Syeikh Ibnu ‘Utsaimin di kitab : ” Alfaazh wa mafaahim fi mizaanis Syari’ah ” hal : 44-46.

2 . Kapan perbedaan pendapat itu bisa diakui.

Pertanyaan : Kapan perbedaan dalam perkara agama baru diakui ? Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah atau pada tempat-tempat tertentu ? Kami mengharapkan penjelasannya.

Jawaban : Sebelumnya, ketahuilah sesungguhnya persilisihan ulama ummat Islam ini, apabila timbul dari hasil ijtihad, maka hal itu tidak membahayakan orang yang belum menemukan kebenaran. Karena Nabi bersabda :

Artinya : “Apabila seorang hakim memutuskan, lalu dia berijtihad dan dia benar (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia salah (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan satu pahala. ” (H.R. Bukhari di kitab ‘Itishom, no : 7352).

Akan tetapi barang siapa yang jelas baginya kebenaran, maka dia wajib untuk mengikuti kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya. Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama ummat Islam ini, tidak boleh dijadikan sebagai penyebab persilisihan hati, karena perselisihan hati itu menimbulkan kerusakkan-kerusakkan yang besar sekali, sebagaimana firman Allah :

Artinya : ” Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah . Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S.8;46).

Perbedaan yang diakui kalangan ulama – yang selalu dinukil dan sebut-sebut – adalah perbedaan yang mempunyai kedudukan dalam pandangan. Oleh karena ini, masyarakat umum wajib merujuk kepada ahli ilmu (ulama) seperti yang difirmankan Allah :

Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(Q.S.16;43).

Adapun pernyataan penanya : ” Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah ?

Kenyataannya bukan seperti itu, perbedaan kadang-kadang terdapat pada sebahagian masalah, dan sebahagian yang lain telah disepakati, tidak ada perbedaan - Alhamdulillah –. Akan tetapi pada sebahagian masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan ijtihad, atau sebahagian orang lebih mengetahui daripada yang lain dalam meneliti nas-nas Al Kitab dan Sunnah, dalam hal seperti inilah terdapat perbedaan. Adapun masalah –masalah pokok (pokok-pokok agama), maka perbedaan di dalamnya sedikit.

Fatwa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

3. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar.

Pertanyaan : Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar di kalangan kelompok kelompok dan golongan-golongan ?

Jawaban : Seorang muslim wajib untuk berpegang teguh kepada kebenaran yang ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul , dan dia harus mencintai dan memusuhi karena kebenaran itu. Setiap kelompok atau mazhab yang menyalahi kebenaran, seseorang harus berlepas diri dari kelompok atau mazhab itu, serta tidak menyetujuinya.
Agama Allah ini satu, agama yang jalan yang lurus, agama yang mengibadati Allah semata, dan mengikuti Rasul-Nya .

Maka setiap orang muslim wajib berpegang teguh dan konsisten kepada kebenaran ini. Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang telah dibawa oleh nabi-Nya Muhammad , serta mengikhlaskannya hanya untuk Allah. Dan tidak memalingkan sedikitpun dari bentuk ibadah kepada selain daripada Allah . Setiap mazhab yang menyelisihi hal itu, dan setiap kelompok yang tidak berpegang dengan keyakinan ini, harus dijauhi, dan berlepas diri darinya serta mengajak pengikutnya kepada kebenaran dengan argumen-argumen yang syar’i dan dengan lemah lembut serta memilih cara yang bermanfaat, dan memahamkan mereka akan kebenaran.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab ” Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawi’ah ” (5/157-158).

4. Hukum berijtihad di dalam Islam serta syarat-syarat orang yang berijtihad

Pertanyaan : Apa hukum berijtihad dalam Islam dan Apa syarat syarat orang yang berijtihad ?

Jawaban : Berijtihad dalam Islam adalah mengeluarkan kemampuan untuk mengetahui suatu hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil yang syar’i. Berijtihad ini wajib hukumnya atas orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Karena Allah I berfirman :

Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(Q.S.16;43).

Orang yang mampu untuk berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui kebenaran dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dia itu harus orang yang luas ilmunya, yang luas penelitiannya terhadap nas-nas syar’iyah, yang luas penelitiannya terhadap pokok pokok dasar yang perlu diperhatikan (usul fiqih), terhadap pendapat-pendapat ulama; supaya dia itu tidak jatuh ke sesuatu yang menyalahi hal yang di atas.

Karena sebagian dari manusia – penuntut-penuntut ilmu- yang belum mendapatkan ilmu kecuali sedikit sekali, sudah memposisikan dirinya sebagai orang yang berijtihad (mujtahid). Anda menemukannya beramal dengan hadits-hadits yang umum, sedangkan hadits hadits tersebut ada yang mentakhsisnya. Atau beramal dengan hadits-hadits yang mansukh (hukumnya terhapus) sedangkan dia tidak tahu yang menasikhnya (yang menghapusnya). Atau beramal dengan hadits-hadits di mana ulama telah sepakat bahwa
hadits-hadits itu bukan atas zhohirnya. Dia tidak mengetahui kesepakatan ulama. Orang yang seperti ini berada dalam bahaya yang besar.

Seorang yang berijtihad harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dali syar’iyah. Dia harus memiliki pengetahuan tentang usul fiqih (pokok dasar fiqh) apabila dia mengetahuinya, dia mampu mengambil hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Dan dia harus memiliki pengetahuan tentang kesepakatan ulama, agar dia tidak menyalahi kesepakatan mereka sedangkan dia tidak menyadarinya.

Apa bila syarat-syarat ini sudah lengkap pada dirinya, maka dia adalah mujtahid (orang yang boleh berijtihad).

Ijtihad itu bisa dirincikan; jika seseorang berijtihad dalam satu masalah dari beberapa masalah ilmiah, lalu dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama. Maka dia menjadi mujtahid dalam masalah tersebut.

Atau dalam sub bahasan tertentu seperti sub bahasan thoharah (bersuci), kemudian dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama, maka dia itu mujtahid dalam sub bahasan tersebut.

Fatwa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

5. Adab-adab dalam berbeda pendapat

Pertanyaan : Syeikh yang mulia, kebanyakan persilisihan yang terjadi di antara dua orang da’i yang berkecimpung di ladang dakwah yang mengakibatkan kepada kegagalan dan hilangnya kekuatan, kebanyakannya disebabkan oleh kebodohan tentang adap-adap persilisihan. Apakah anda bisa memberikan sepatah kata dalam masalah ini.?

Jawaban : ” Ya. Saya sarankan kepada seluruh saudaraku dari kalangan orang yang memiliki ilmu dan para da’i, untuk memilih cara yang baik, dan lemah lembut dalam berdakwah dan dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di waktu berdiskusi dan belajar.

Dan hendaklah ghairah dan sikap keras tidak membawanya untuk berkata perkataan yang tidak pantas dikatakan, yang bisa menyebabkan perpecahan, persilisihan, saling berbencian serta saling berjauhan. Akan tetapi seorang da’i, seorang guru dan seorang pembimbing harus memilih metode–metode yang bermanfaat, harus berlemah-lembut dalam ucapannya, supaya ucapannya itu diterima, dan supaya hati-hati tidak berjauhan, sebagaimana Allah firman :

Artinya : ” Maka disebabkan rahmat dari Alah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka . Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Q.S. 3;159)

Dan Allah berfirman kepada Musa dan Harun tatkala Allah mengutus mereka berdua ke Fir’aun :

Artinya : ” Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S 20;44).

Dan Allah berfirman :

Artinya : ” Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(Q.S.16:125).

Dan berfirman :

Artinya : ” Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zolim di antara mereka.”
(Q.S.29;46).

Dan Rasulullah bersabda :

Artinya : ” Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesutau kecuali menghiasinya, dan tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya” (H.R.Muslim, no:2594).

Dan bersabda :

Artinya : “Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh kebaikan.” (H.R. Muslim, no: 2592).

Maka seorang da’i dan guru harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan yang keras serta perpecahan di antara teman. Tujuan dakwah adalah menjelaskan kebenaran dan berambisi supaya dia menerimanya dan mendapatkan faidah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan (memamerkan) keilmuan anda dan menampakkan bahwa anda-lah orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan anda yang berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini, hanya Allah–lah yang mengetahui isi hati yang tersembunyi. Hanya saja tujuan dari dakwah itu adalah anda menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfa’at dari ucapanmu, maka anda harus
mencari faktor-faktor diterimanya dakwah. Dan anda harus menjauhi faktor-faktor tertolak dan tidak diterimanya dakwah itu.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab ” Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawi’ah “
(5/155-156).

6. Hukum berfatwa dan syarat-syarat menjadi mufti


Pertanyaan : Sudah banyak fatwa tersebar, sampai-sampai anak kecil (umurnya yang muda) berfatwa, maka kami mengharapkan penjelasan tentang syarat-syarat fatwa dan orang yang memberikan fatwa?
Jawaban : Para salaf –rahimahumullah- selalu saling tolak menolak untuk berfatwa, karena besarnya permasalahan dan tanggungjawab fatwa itu, serta karena takut kepada perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu (pengetahuan). Karena seorang yang memberikan fatwa itu adalah sebagai penyambung berita (hukum) dari Allah dan menerangkan tentang syari’at Allah.

Apabila dia berbicara tentang Allah tanpa ilmu (pengetahuan), maka dia telah terjerumus dalam suatu perbuatan, yang mana perbuatan itu adalah saudara kandung syirik. Dengarlah firman Allah :

Artinya : “katakanlah : “Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S.7;33).

Maka Allah menggandengkan perbuatan berkata tentang Allah (mengada-ada terhadap Allah) tanpa dengan ilmu, dengan perbuatan syirik. Dan Allah berfirman :

Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yagn kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabanya “. (Q.S.17;36).

Maka seseorang itu tidak pantas untuk terburu-buru dalam berfatwa, akan tetapi dia menunggu, berfikir dan merevisi (pendangannya). Apabila waktu sempit, maka lontarkanlah masalah itu kepada orang yang lebih berilmu darimu agar kamu selamat dari perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu.

Apabila Allah mengetahui dari niatmu, keikhlasan dan keinginan yang baik, maka kamu akan sampai juga ke tingkat yang kamu inginkan dengan fatwamu itu.
Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan mengangkatnya.
Orang yang berfatwa tanpa dengan ilmu, dia lebih sesat daripada orang yang bodoh. Karena orang bodoh berkata : “Saya tidak tahu”. Orang bodoh itu mengetahui kemampuan (ukuran) dirinya. Konsisten terhadap kejujuran. Adapun orang yang membandingkan dirinya dengan ulama-ulama ternama, bahkan mungkin dia mendahulukan dirinya daripada para ulama tersebut, maka dia sesat dan menyesatkan serta salah pada masalah-masalah yang diketahui oleh penuntut ilmu yang masih kecil, maka perbuatan ini kerusakannya berat dan bahayanya besar.

Dijawab oleh Syeikh Ibnu ‘Utsaimin di kitab ” Majmu’atu durus wa fatawal
haram makki ” (3/354-355).

7. Fatwa dan ijtihad.

Pertanyaan : Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan berfatwa?

Jawaban : Sesungguhnya berijtihad dalam masalah-masalah ilmiyah mempunyai syarat-syarat tertentu. Tidak setiap orang berhak untuk berfatwa dan berbicara dalam masalah –masalah ilmiyah itu kecuali dengan ilmu dan keahlian serta kemampuan untuk mengetahui dalil-dalil, kemampuan untuk mengetahui mana yang menjadi nas atau menjadi zhohir dari dalil dalil tersebut.

Dan (mengetahui) shohih dan dho’if; (mengetahui) nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (yang terhapus); (mengetahui) manthuq dan mafhum; (mengetahui) khas dan ‘aam; (mengetahui) muthlaq dan muqayat; (mengetahui) mujmal dan mubayin, dan harus mempunyai pengalaman yang panjang, dan mengetahui pembagian-pembagian fiqih dan tempat tempat pembahasan; mengetahui pendapat-pendapat ulama dan ahli fiqih serta hafal nas-nas atau memahaminya.

Tidak diragukan, sikap berani untuk berfatwa yang bukan dari ahlinya adalah dosa besar dan berbicara tanpa dengan ilmu, sungguh Allah telah mengancam perbuatan tersebut (berbicara tanpa dengan ilmu), dengan firman-Nya :

Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan tetrhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “. (Q.S.16;116).

Dan dalam satu hadits :

Artinya : “Barang siapa yang berfatwa tidak dengan selektif (berhati-hati) maka dosanya ditanggung oleh orang memberi fatwa” (H.R. Ahmad (2/321), Abu Dawud (3657) dan Ibnu Majah (53)).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru untuk berfatwa, dan janganlah dia berbicara dalam satu masalah kecuali setelah mengetahui sumbernya, dalilnya dan siapa orang yang telah pernah mengatakan itu sebelumnya. Maka apabila dia bukan ahlinya (orang yang berhak) untuk itu, semestinya dia memberikan busur panah kepada perautnya (serahkan pekarjaan itu kepada ahlinya). Dan hendaklah dia itu membatasi dirinya sesuai yang dia ketahui, dan melakukan apa yang dia dapatkan serta melanjutkan pendidikan dan mempelajari ilmu fiqih sampai mendapatkan kondisi, yang mana dia sudah berhak untuk berijtihad. Hanya Allah –lah yang menujukkan kepada kebenaran.

Sumber fatwa : “Allukluk almakkin min fatawa syeikh Ibnu Jibrin” hal :
72-73
.

Alih bahasa :
Abu Abdilah Muhammad Elvi bin Syamsi


jazakumullah

Mengkompromikan Antara Hadits Hadits yang Dianggap Kontradiksi

AHLAN WA SAHLAN

Imam asy Syathibi rahimahullah berkata : “ Dalil dalil yang menjadi dasar syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling kontradiktif/ bertentangan, maka siapapun yang meneliti kaidah hukum dengan seksama pasti tidak mendapati kesamaran sama sekali didalamnya, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua dalil yang disepakati umat islam saling bertentangan yang mewajibkan seorang tawaqquf (tidak bisa mengamalkan), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nash nya tetapi dalam pemahamannya” (Al Muwafaqaat 4/244)

Faktor yang menjadi sebab adanya anggapan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lainnya secara zhahir antara lain :

  1. Diantara beberapa nash yang ada terdapat unsur tarik menarik antara nash yang khusus dengan nash yang umum, antara nash yang mutlak dengan nash yang muqayyad, dan antara nash yang mengecualikan dengan nash yang dikecualikan sehingga sebagian orang menyangka adanya pertentangan antara kedua nash tersebut padahal sebenarnya tidak demikian.

  2. Kurang mengerti tentang luasnya cakupan sastra Arab, sementara Al Qur’an dan As Sunnah iturun dengan bahasa arab yang sangat fasih dan bersastra tinggi

  1. Hadits yang dibenturkan dengan hadits lain yang berstatus lemah atau palsu yang dibuat oleh kaum zindiq.

  2. Tidak mengerti tentang nash nash yang naskh dan mansukh.

  3. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan suatu hadits, ada yang meriwayatkan secara lengkap, dan ada yang meriwayatkan secara ringkas karena suatu hal, bahkan ada pula yang meriwayatkan secara makna, kalau hal hal diatas telah diketahui dengan baik maka menjadi semaikin tidak benar bila ada anggapan kontradiksi antara nash nash tersebut.

Langkah dan sikap seorang muslim ketika mendapati nash nash yang dianggap kontradiksi :

  1. Mencari titik temu antara dua dalil yang diangap kontradiksi

  2. Mencar bukti bukti naskh.

  1. Mentarjih salah satu dalil yang ada dan yang rajih diamalkan.Jika tidak mungkin ditarjih maka kedua dalil tersebut gugur dan mencari dalil lain

Pada dasarnya antara nash nash hadits yang shahih satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan, yang membuat seseorang tidak bisa mengambil kesimpulan dari makna hadits.

Allah subhana wa ta’ala berfirman :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (An Nisaa :82)

Suatu contoh beberapa hadits yang nampak secara dzahir bertentangan adalah, hadits yang melarang menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara hadits lain membolehkan buang hajat menghadap kiblat, tetapi setelah dicarikan titik temu maka tidak ada unsur kontradiksi sebagaimana para ulama telah berusaha menyatukan beberapa hadits yang tampak bertentangan tersebut , bahwa hadits yang melarang berlaku ketika buang hajat ditempat terbuka, sedangkan hadits yang membolehkan berlaku ketika buang hajat disuatu tempat yang tertutup seperti buang hajat di WC berdasarkan hadits Ibnu Umar (HR. Al Bukhari 148, Muslim 266)

Wallahu ‘alam

( disadur dari Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, Zaenal Abidin Syamsudin,Lc, Penerbit Pustaka Imam Abu Hanifah Jakarta hal 107-108 )


jazakumullah

Definisi Tabdi

AHLAN WA SAHLAN


Tabdi’ adalah menvonis atau menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ atau ahlul bid’ah. Maka untuk itu harus difahami dulu apakah bid’ah itu.

Di dalam kamus al-Mu’tamad dikatakan :

بدع الشيء : اخترعه و أنشاه لا على مثال, ب دعه : نسبه إلى البدعه.

ابتدع الشيء : بدعه, وابتدع البدعة : أحدثها. البدعة : ما ُأحدث

على غير مثال سابق, عقيدة تخالف الدين, أو الحدث في الدين بعد

الإكمال, ما استحدث بعد النبي من الأهواء والأعماك.

Bada’a asy-Syai`a artinya adalah mengadakan dan membuatnya tanpa ada contohnya, badda’ahu artinya adalah menyandarkannya kepada bid’ah.
Ibtada’a asy- Syai`a artinya mengadakannya, ibtada’a al-Bid’ah artinya mengada-adakan bid’ah.
Bid’ah adalah perkara yang diada-adakan tanpa ada contohnya sebelumnya, atau aqidah yang menyelisihi agama, atau perkara baru di dalam agama setelah agama ini disempurnakan, atau segala hal yang diada-adakan setelah Nabi dari hawa nafsu dan perbuatan.

Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata :


“Asal kata Bid’ah adalah membuat/mengada-adakan sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Diantaranya adalah firman Alloh Ta’ala :

﴿بدِي ع ال سم واِت والأ رضِ

“(Dialah Alloh) Badi’ (yang menciptakan ) langit dan bumi”

Artinya yaitu (Alloh) yang mengadakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya dan firman-Nya Ta’ala :

ُق ْ ل ما ُ كن ت بِ دعًا مِن الر سل

Katakan(wahai Muhammad) Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para rasul.”

Artinya yaitu aku (Muhammad) bukanlah orang pertama yang datang dengan risalah dari Alloh kepada hambahamba- Nya, namun telah mendahuluiku banyak para rasul.Dikatakan : fulan mengada-adakan suatu bid’ah maknanya yaitu dia mendahului jalan yang belum pernah ada seorangpun sebelumnya mendahuluinya.”

Imam asy-Syathibi melanjutkan ucapan beliau :


فالبدعة إذن عبارة عن ((طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية
يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه))


“Maka kalau begitu, bid’ah adalah ungkapan dari suatu jalan di dalam agama yang diada-adakan yang menyerupai syariat, yang dimaksudkan untuk berjalan di atasnya secara berlebih-lebihan di dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.35”


Adapun mubtadi’ adalah fail (pelaku) dari amalan bid’ah. Namun tidaklah setiap orang yang melakukan amalan bid’ah dengan serta merta dia menjadi bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu di dalam Haqiqotul Bida’ wal Kufri :


ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه


Tidaklah setiap orang yang terjatuh ke dalam kebid’ahan maka dengan serta merta bid’ah jatuh kepadanya. ( Ceramah Haqiqotul Bida’ wal Kufri oleh Syaikh al-Albani. Lihat pula al- Manhajus Salafiy ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya Syaikh ‘Amru )

Tabdi’ adalah isim taf’iil dari kata badda’a yubaddi’u yang artinya adalah menyandarkan seseorang atau sesuatu kepada bid’ah.

Atau dengan kata lain menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ atau ahlul bid’ah.

Dikarenakan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah secara otomatis menjadi mubtadi’, oleh karena itu ada beberapa kaidah dan kriteria yang harus difahami sebelum menvonis seseorang sebagai mubtadi’.
Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di dalam nukilan terhadap ucapan ulama salafiyun tentang hal ini.

Ucapan Muhadditsul Ashr al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani


Samahatul Imam, Muhaddits al-Ashr, Muhammad Nashirudin al-Albany rahimahullahu berkata di dalam mendefinisikan siapakah mubtadi’ itu sebagai berikut :

أثر أبي هريرة رضي الله عنه يصلح أن يكون مثا ً لا عن أنَّ وقوع العالم

في بدعة لا يعني أنه مبتدع, وأنَّ وقوع العالم في ارتكاب محرم أي

القول في إباحة ما هو محرم اجتهادا منه لا يعني أنه ارتكب محرما.

فأقول : أثر أبي هريرة رضي الله عنه هذا الذي ين ص على أنه كان

يقوم يوم الجمعة قبل الصلاة يعظ الناس, يصلح بأن يكون مثا ً لا

صالحًا, كون البدعة قد تقع من عالم وليس مع ذلك أنه مبتدع.

“Atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu sesuai untuk dijadikan sebagai contoh dari permasalahan bahwa jatuhnya seorang alim ke dalam kebid’ahan tidak otomatis menjadikannya mubtadi’. Dan jatuhnya seorang alim ke dalam perbuatan haram yaitu dengan berpendapat tentang bolehnya sesuatu yang haram karena hasil ijtihadnya maka tidak otomatis menyebabkannya sebagai pelaku keharaman. Aku katakan, atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu ini yang menashkan/menunjukkan bahwa beliau berdiri pada hari Jum’at sebelum sholat, memberikan nasehat kepada manusia, merupakan contoh tepat yang sesuai, bahwasanya terkadang bid’ah itu dilakukan oleh seorang yang alim namun tidaklah menjadikannya sebagai mubtadi’ begitu saja.”

وقبل الخوض في تمام الجواب أقول : المبتدع هو أولا الذي من عادته

الابتداع في الدين, وليس الذي يبتدع بدعة ولو كان هو فعلا ليس

عن اجتهاد وإنما عن هوى, مع هذا لا يسمى مبتدعًا. وأوضه مثال

لتقريب هذا المثال, أن الحاكم الظالم قد يعدل في بعض أحكامه فلا

يقال فيه عادل, كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال

فيه ظالم, وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب

عليه من خير أو شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع.


”Sebelum masuk lebih mendalam kepada jawaban, aku katakan : pertama, mubtadi’ itu adalah orang yang kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama.
Dan tidaklah orang yang melakukan kebid’ahan walaupun ia melakukannya bukan dari ijtihadnya tetapi dari hawa nafsunya, namun walau demikian ia tidak dikatakan sebagai mubtadi’. Aku terangkan sebuah contoh yang mirip dengan contoh ini, seorang hakim yang zhalim, terkadang berlaku adil dalam sebagian keputusannya namun dia tidaklah dikatakan sebagai hakim yang adil, sebagaimana juga hakim yang adil terkadang melakukan kezhaliman pada sebagian keputusannya namun dia tidak dikatakan sebagai hakim yang zhalim. Hal ini menyokong suatu kaidah fikih islami bahwasanya seseorang itu dihukumi dari kebaikan dan keburukan yang dominan pada dirinya, apabila kita telah mengetahui realita ini niscaya kita mengetahui siapakah mubtadi’ itu.”

فيشترط إذن في المبتدع شرطان : أو ً لا : أن لا يكون مجتهدا وإنما

يكون متبعًا للهوى, والثاني : أن يكون ذلك من عادته ومن دينه.

”Kalau begitu, disyaratkan bagi mubtadi’ itu dua syarat, yaitu : pertama, dia bukanlah termasuk mujtahid namun ia adalah pengikut hawa nafsu, dan kedua yaitu, dia
tidaklah melakukannya sebagai kebiasaannya atau sebagai bagian dari agamanya.” (Dari kaset Man Huwa al-Mubtadi’, Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shoutiyah no. 785, side B; dinukil dari buku Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama`u fit Tahdziiri min Jama’ati al-Hajri wat Tabdii’, penyusun : Kumpulan Penuntut Ilmu, cet. II, 1424 H., tanpa penerbit, hal. 18-19.)

Samahatul Imam juga ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :


السائل : هل صحيح أن هجر المبتدعة في هذا الزمان لا يطبق؟


Apakah benar bahwa menghajr ahli bid’ah di zaman ini tidak tepat untuk diimplementasikan?


Samahatul Imam rahimahullahu menjawab :


هو يريد أن يقول لا يحسن أن يطبق, هل صحيح لا يطبق؟ هو لا
يطبق لأنه المبتدعة و الفساق والفجار هم الغالبون, ولكن هو يريد أن
يقول لا يحسن أن يطبق, وهو كأنه السائل يعنيني أولا يعنيني. فأقول:
نعم, هو كذلك, لا يحسن أن يطبق, وقد قلت هذا صراحة آنفا
حينما ضربت المثل الشامي: أنت مس ّ كر وأنا مب ّ طل.

Dia (penanya) bermaksud mengatakan bahwa praktek hajr tidak layak untuk diterapkan, apakah benar tidak layak diterapkan?

Yang benar adalah praktek hajr memang tidak diterapkan karena mubtadi’, orang-orang
fasik dan fajir (durhaka) adalah dominan di zaman ini.
Akan tetapi dia (penanya) ingin mengatakan tidak layak untuk diimplementasikan. Dan penanya seakan-akan memaksudkanku dengan pertanyaannya ataukah tidak
memaksudkanku. Maka aku katakan, “iya” keadaannya adalah demikian, tidak layak untuk diterapkan. Saya telah mengatakannya dengan jelas tadi ketika aku membuat permisalan tentang pepatah Syaami (orang Syam) : “Kamu menutup (pintu masjid) maka aku tidak jadi sholat.”

(Dari kaset Haqiqotul Bida’ wal Kufri, Silsilah al-Huda wan Nur no. 666, side B; dinukil dari al-Manhajus Salaf ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim hal. 90-91; Bagi yang ingin mendapatkan terjemahan lengkap ceramah ini bisa didownload di http://geocities.com/fsms_sunnah (Download Centre Maktabah Abu Salma).


Beliau rahimahullahu ditanya kembali :


السائل : لكن مث ً لا إذا وجدت بيئة, الغالب في هذه البيئة أهل السنة
مث ً لا, ثم وجدت بعض النوابت ابتدعوا في دين الله عز وجل, فهنا
يطبق أم لا يطبق؟


“Tapi (wahai syaikh), misalkan ada sebuah lingkungan, dan yang dominan di lingkungan ini adalah ahlus sunnah misalnya, kemudian ditemukan ada sekelompok orang yang berbuat bid’ah di dalam agama Alloh Azza wa Jalla, maka apakah (hajr) diterapkan ataukan tidak?”


Beliau rahimahullahu menjawab :


يجب هنا استعمال الحكمة, هذه الفئة الظاهرة القوية, هل إذا قاطعت
الفئة المنحرفة عن الجماعة, يعود الكلام سابق هل ذلك ينفع الطائفة
المتمسكة أم ي  ضرها, هذا من جهتهم, ّ ثم هل ينفع المقاطعين
والمهجورين من الطائفة المنصورة أم ي  ضرهم, هذا سبق جوابه
كذلك. يعني لا ينبغي أن تأخذ مثل هذه الأمور بالحماس وبالعاطفة
وإنما بالروية والأناة و الحكمة


“Yang wajib adalah kita harus menggunakan hikmah. Jika kelompok yang lebih kuat yang mayoritas yang menghajr kelompok yang menyeleweng –kita kembalikan kepada pembahasan yang telah lalu- apakah hal ini akan memberikan manfaat pada kelompok yang berpegang pada kebenaran ataukah malah akan mencederai
(memudharatkan) nya? Ini dari satu sisi. Kemudian dari sisi lain apakah hajr yang diterapkan oleh ath-Thaifah al-Manshurah bermanfaat bagi kelompok yang dihajr atau justru menimbulkan mudharat bagi mereka. Jawabannya telah lalu, yaitu tidaklah patut dalam permasalahan seperti ini kita mengambil sikap dengan semangat dan perasaan belaka, namun seharusnya dengan sikap hati-hati, tenang (tidak gegabah) dan penuh hikmah…”(ibid)


Ucapan Ma’ali asy-Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alu Syaikh

”Masalah kedua, tentang siapakah yang berhak dihukumi (sebagai pelaku) bid’ah? (Menvonis) bid’ah adalah hukum syar’i, dan menvonis orang yang mengamalkan bidah
sebagai mubtadi’ adalah hukum syar’i yang berat sekali, karena hukum-hukum syar’iyyah yang menyangkut perseorangan/individu seperti kafir, mubtadi’ dan fasiq, maka tiap-tiap hukum ini adalah haknya ahlu ilmi (ulama). Sesungguhnya tidaklah melazimkan / mengharuskan antara kufur dengan kafir, dan tidaklah amalan kufur itu melazimkan pelakunya menjadi kafir, pasangan (tsanaa’iyyah) tidaklah saling melazimkan/mengharuskan satu dengan lainnya.”


.
”Tidaklah setiap orang yang mengamalkan bid’ah maka ia adalah mubtadi’ dan tidak lah setiap orang yang melakukan kefasikan maka ia menjadi fasik. Terkadang dikatakan, sesungguhnya dia kafir secara zhahir dipandang dari zhahirnya, dia fasiq secara zhahir, dia
mubtadi’ secara zhahir, namun hal ini tidaklah berarti hukum mut lak, taqyid (mengikat) dengan zhahir tidaklah menghukumi secara mutlak sebagaimana telah ditetapkan pembahasannya.”


فالحكم بالبدعة وبأن قائل هذا القول مبتدع وأن هذا القول بدعة
ليس لآحاد من عرف السنة، وإنما هو لأهل العلم؛ لأنه لا يحكم
بذلك إلا بعد وجود الشرائط وانتفاء الموانع، وهذه مسألة راجعة إلى
أهل الفتوى وأ ّ ن اجتماع الشروط وانتفاء الموانع من صنعة المفتي.

Menghukumi bid’ah dikarenakan seseorang mengucapkan perkataan ini sebagai mubtadi’ atau ucapan itu sebagai bid’ah bukanlah hak bagi setiap orang yang mengetahui sunnah, namun hal ini adalah haknya ahli ilmu. Karena seseorang tidaklah dihukumi sebagai
mubtadi’ melainkan setelah terpenuhinya syarat dan dihilangkannya penghalang, dan masalah ini dikembalikan kepada ahlu fatwa, karena memenuhi syarat dan menghilangkan penghalang adalah tugas seorang mufti…”( lihat : Masa`il fil Hajri wa maa yata’allaqu bihi : Majmu’atu min ba’dli asyrithoti asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Ali Syaikh, I’dad : Salim al-Jaza`iri, download dari http://www.sahab.org )


Ucapan Fadhilatus Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly


Syaikhuna Salim bin ’Ied al-Hilaly hafizhahullahu berkata ketika menjawab pertanyaan tentang apakah dhowabith (kriteria) di dalam hajr dan tabdi’ :

ضوابط التبديع أولا أن يكون الأمر الذي نحذر منه بدعة الأمر الثاني

أن يكون المبتدع مصرا على بدعته ووقع فيها هوى وقصدا فإن كان

صاحب البدعة قد وقع في البدعة هوى وقصدا ونصح وأقيمت عليه

الحجة وبين له أن هذه بدعة ولم يرجع إلى الحق فهذا الذي نقول

مبتدع وليس كل من وقع في البدعة مبتدع وليس كل من وقع في

البدعة وقع حكم البدعة عليه لأن أحيانا البدعة قد تقع من عالم

اجهادا فيحكم على الفعل أو القول أنه بدعة ولا يحكم على الفاعل

أنه مبتدع يكون له أجر خطأ أجر اتهدين.

Kriteria di dalam tabdi’ adalah :

  1. pertama, haruslah perkara yang kita mentahdzir (memperingatkan) darinya adalah suatu bid’ah (yang jelas).

  1. Yang kedua, mubtadi’ (pelaku bid’ah) itu haruslah tetap keras kepala di dalam
    melakukan kebid’ahannya dan dia melakukannya karena dilatarbelakangi oleh hawa nafsu dan dengan kesengajaan. Apabila seorang pelaku bid’ah melakukan kebid’ahan karena hawa nafsunya dan dengan sengaja, kemudian dia telah dinasehati dan ditegakkan hujjah atasnya, serta diterangkan padanya bahwa amalannya itu adalah bid’ah dan ia tidak mau kembali kepada
    kebenaran, maka orang yang begini ini kita katakan sebagai mubtadi’.

Namun tidaklah setiap orang yang melakukan bid’ah dia adalah mubtadi’ dan tidaklah
setiap orang yang melakukan bid’ah maka vonis bid’ah jatuh kepadanya,
karena terkadang suatu bid’ah itu jatuh kepada seorang alim yang berijtihad, maka
dihukumi perbuatan dan ucapannya sebagai bid’ah namun pelakunya tidaklah dihukumi sebagai mubtadi’. Dan dia mendapatkan pahala atas kesalahannya
sebagaimana pahalanya seorang mujtahid.”
”Aku contohkan satu misal di sini, dulu syaikh rahimahullahu (maksudnya adalah Imam al-Albani, pent.)
berpendapat bahwa bersedekap ketika bangun dari ruku’ adalah bid’ah. Baik! orang yang berpendapat seperti ini adalah asy-Syaikh Ibnu Baz rahmatullah ’alaihi. Lantas,
apakah syaikh al-Albani mengatakan bahwa syaikh Ibnu Baz adalah seorang mubtadi’ atau mengatakan beliau adalah seorang pelaku bid’ah?

Beliau mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Baz mendapatkan pahala sebagai seorang
mujtahid yang tersalah, dan tidaklah setiap orang yang jatuh kepada bid’ah maka kebid’ahan jatuh kepadanya atau hukum/vonis bid’ah jatuh kepadanya. (Seseorang)
tidak akan terhukumi sebagai mubtadi’ kecuali dengan dua syarat, syarat pertama adalah harus mensepakati bid’ah (atau kebid’ahannya suatu bid’ah yang jelas, pent.), syarat kedua adalah haruslah pelaku melangsungkan kebid’ahannya dimana ia telah
mengetahui akan bid’ahnya. Apabila ia tetap bersikeras melangsungkan kebid’ahannya maka orang ini disebut mubtadi’.
(Dinukil dari Tanya Jawab di dalam www.islam-future.net (website resmi Syaikh Salim bin Ied al-Hilali).

Tulisan al Ustadz Abu Salma al Atsary yang disalin dengan penyesuaian dari admin dari Maktabah Abu Salma Al -Atsari









jazakumullah