dinsdag, maart 30, 2010

KEUTAMAAN SIWAK

AHLAN WA SAHLAN
SELAMAT DATANG

Oleh Al-Ustadz Firanda Ibnu ‘Abidin As-Soronji



Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapatkan keridhoan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)

“Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (Hadits shohih riwayat Ahmad, Irwaul Gholil no 66).i

Oleh karena itu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda :

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, Irwaul Gholil No 70)

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ

“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, Irwaul Gholil no 70)

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radliallahu ‘anhu:

مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ

“Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” ii

Dan ternyata Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya:



ketika dia masuk kedalam rumah…

رَوَى شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بِأَيِّ شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ (رواه مسلم)

Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata :”Aku bertanya kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosulullah jika dia memasuki rumahnya ?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (Hadits riwayat Muslim, Irwaul Gholil no 72)



Atau ketika bangun malam…

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْسُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

Dari Hudzaifah ibnul Yaman radhillahu ‘anhu, dia berkata : “Adalah Rosulullah jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. (Hadits riwayat Bukhori)



Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas (السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ). Dalam hadits ini Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktuiii, sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor .iv

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah

عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلْأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قَالَ وَطَرْفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ بَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِيْ فِيْهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata : “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)

Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى النَّبِيِّ وَ أَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي - وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ – فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضِمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ. فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ : (فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى) ثَلاَتًا، ثُمَّ قُضِيَ عَلَيْهِ

وَ فِي لَفْظٍ: فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَ عَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ فَقُلْتُ آخُذُهُ لَكَ ؟ فَأَشَرَ بِرَأْسِهِ : أنْ نَعَمْ

Dari ‘Aisyah berkata : Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik radhiallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar di dadaku. Abdurrohman radhiallahu ‘anhu membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosulullah, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosulullah bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosulullah selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :

فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata :”Aku melihat Rosulullah memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata : ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosulullah mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju. (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama : “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.”v



Maroji’

Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin

Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani

Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam

Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili

Taudihul Ahkam jilid 1, karya Syaikh Ali Bassam



((Disalin dari kumpulan artikel milik al-akh Hario – Unpad))

i Syarhul Mumti’ 1/120 dan Taisir ‘Alam 1/62

ii Taisir ‘Alam 1/63

iii Syarhul Mumti’ 1/120, Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300

iv Syarhul Mumti’ 1/125

v Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300














mohon ma'af apabila tidak berkenan
jazakumullah

maandag, maart 29, 2010

Bila Kuburan Diagungkan

AHLAN WA SAHLAN
SELAMAT DATANG


penulis Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi


dlm perjalanan hidup manusia terkadang perlu utk kembali menengok ke sejarah masa lampau masa-masa sebelum datang cahaya Islam. Sebuah masa yg penuh dgn perilaku kejahilan dan semangat hawa nafsu di mana di dlm terdapat tatanan kehidupan yg didasarkan hanya pada pandangan baik akal dan “kesepakatan” orang banyak. Bukan tatanan kehidupan yg dibimbing oleh wahyu dari Dzat Yang Maha Benar.
Kita perlu menengok kepada kehidupan di masa jahiliyyah itu krn realita kehidupan kita di masa ini ternyata banyak memiliki kesamaan dgn realita di masa jahiliyyah. Padahal dgn diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg membawa cahaya Islam berbagai konsep kemasyarakatan ala masyarakat jahiliyyah itu semesti terhapuskan krn bertentangan dgn nilai-nilai Islam. Dengan demikian menggali kembali hakikat alam kehidupan jahiliyyah bukan suatu keterbelakangan dan kejumudan berfikir namun merupakan langkah utk lbh maju ke depan.
Merupakan suatu keterbelakangan bila kita tdk mau mempelajari berbagai praktek kehidupan jahiliyyah sehingga disadari atau tdk kita telah terjatuh kepada perilaku kehidupan jahiliyyah itu. Tanpa sadar kita telah menjadi pendukung utk menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka. Telah digambarkan oleh banyak sastrawan bagaimana kejahatan dan kebiadaban ala hewan dlm alam jahiliyyah. Yang kuat berkuasa dan yg lemah diinjak-injak bahkan menjadi budak.
Penggambaran dgn bahasa yg indah tentang kehidupan jahiliyyah sesungguh tdk mewakili pengupasan akar kejahatan tersebut lebih-lebih jika ingin mencabutnya. Cikal bakal kehidupan jahiliyyah memunculkan segala wujud kejahatan berupa kerusakan dlm bentuk pemerkosaan hati tiap insan dgn perbuatan kedzaliman yg terbesar yaitu “Kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Penghambaan yg keluar dari aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala penghambaan yg diiringi dgn penghinaan diri kepada sesuatu yg lbh rendah darinya. Penghambaan kepada batu kuburan pohon tempat-tempat keramat dan sebagai merupakan pembunuhan terhadap fitrah yg suci di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan tiap hamba dengannya. Juga merupakan perusakan terhadap akal manusia yg Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan dan membedakan dgn makhluk-makhluk lain. Penjajahan terhadap kemerdekaan tiap insan utk bisa langsung berhubungan dgn Rabb- dan perbudakan diri yg tdk pada tempatnya. Inilah kejahatan yg hakiki.
Menelaah kembali prinsip-prinsip hidup jahiliyyah bukan berarti ingin mengembang-biakkan namun semata-mata utk membentengi diri dan memperingatkan umat utk tdk terjatuh padanya.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu menyatakan:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَنْ يَدْرِكَنِي “orang2 berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan aku berta kepada tentang kejahatan khawatir menimpa diriku.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguh ikatan Islam akan putus seikat demi seikat apabila muncul di dunia Islam orang2 yg tdk mengetahui jahiliyyah.”
Seorang penyair mengatakan:
Aku mengetahui kejahatan bukan utk melakukannya
melainkan utk menjaga diri darinya
Barangsiapa yg tdk mengenal kebaikan
dari kejahatan
Khawatir dia terjatuh padanya
Semoga dgn menelaah prinsip-prinsip hidup yg rusak itu kita bisa mewanti-wanti diri anak dan generasi muslimin darinya1.
Di antara sekian praktek hidup jahiliyyah adl mengagungkan kuburan.

Hakekat Kematian
Kematian merupakan suatu kepastian yg telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tiap yg bernyawa. Ketentuan yg tdk bisa dimajukan dan dimundurkan yaitu berpisah ruh dari jasad. Perpisahan ini menggambarkan sesuatu yg tdk bisa berbicara lagi berpikir bergerak melihat mendengar sebagaimana tabiat kehidupan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاََّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Tiap-tiap yg bernyawa akan merasakan mati dan sesungguh pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dlm surga sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tdk lain hanyalah kesenangan yg memperdayakan.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang sesuatu yg akan menimpa seluruh makhluk bahwa tiap yg bernyawa akan mengalami kematian seperti firman Allah: “Sesuatu yg ada di bumi itu akan binasa dan tetap kekal Wajah Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan” . Dia Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yg Esa dan tdk akan mengalami kematian manusia dan jin yg akan mengalami kematian demikian juga seluruh malaikat dan para pemikul ‘Arsy Allah.”
Manusia telah bersepakat bahwa bila ruh berpisah dgn jasad mk jasad tersebut tdk bisa bergerak berbicara mendengar bekerja berdiri dan tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun kerusakan aqidah mereka menyebabkan terbalik keyakinan tersebut. Sehingga mereka meyakini bahwa orang mati itu bisa muncul lagi ke dunia bisa berbuat sesuatu di luar perbuatan orang yg hidup mendatangi keluarga lalu menyapa mereka muncul di atas kubur menarik kaki orang2 yg berjalan di atas dan sebagainya. Ini semua adl cerita-cerita khurafat yg didalangi oleh Iblis dan tentara-tentara utk merusak aqidah orang2 Islam.
Bisakah si mayit mendengar dan berbuat sesuatu sehingga kita bisa menjadikan dia sebagai perantara dgn Allah atau kita bisa meminta sesuatu kepadanya?
Bisakah si mayit membantu orang yg mengalami malapetaka dan kesulitan hidup?
Tentu tiap orang akan menjawab bahwa mayit tdk akan sanggup melakukan yg demikian. Namun keyakinan banyak manusia sekarang justru sebaliknya. Begitulah bila kuburan telah diagungkan dan fitrah telah rusak.

Kerusakan Fitrah krn Cerita dan Dongeng
Perusakan fitrah tiap insan tdk akan berhenti dan terus akan berlangsung sampai hari kiamat hingga tiap orang akan bisa menjadi santapan seruan Iblis. Oleh krn itu mari kita melihat bahaya cerita dan dongeng yg mengandung khurafat-khurafat di antaranya:
a. Menyebabkan seseorang memiliki keyakinan yg berbeda dgn kesucian fitrah dan memiliki keyakinan yg bertolak belakang.
b. Menyebabkan seseorang memiliki sifat penakut.
c. Melemahkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
d. Menjatuhkan seseorang kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dlm Al Qur’an:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيآئَهُ فَلاَ تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Sesungguh mereka itu tdk lain hanyalah setan yg menakut-nakuti kamu dgn kawan-kawannyas. Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yg beriman.”
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah di dlm Tafsir- mengatakan: “Di dlm ayat ini terdapat pelajaran tentang wajib takut hanya kepada Allah semata dan itu termasuk dari tuntutan keimanan. Oleh krn itu seseorang memiliki rasa takut berdasarkan tinggi rendah imannya. Dan takut yg terpuji adl ketakutan yg menjaga seseorang dari segala keharaman Allah.”
Sesuatu yg tadi hanya berbentuk cerita-cerita khurafat kemudian diwujudkan dlm bentuk film-film hidup gambar-gambar dan kengerian kuburan. Semua itu memperkuat perusakan fitrah sehingga menjadi fitrah yg mati dan kaku hidup di hadapan cerita-cerita takhayul dan khurafat.

Jahiliyah dan Kuburan
Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yg demikian dgn firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى
“Apakah patut kamu menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yg ketiga yg paling terkemudian . Apakah patut utk kamu laki2 dan utk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yg tdk adil.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dgn peribadatan mereka kepada patung-patung tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala di mana mereka memberikan rumah-rumah utk menyaingi Ka’bah yg telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Bagaimana pendapat kalian tentang Al-Lata”. Al-Lata adl sebutan utk batu yg terukir di mana di atas dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitar terdapat halaman yg diagungkan oleh penduduk Thaif yaitu kabilah Tsaqif dan yg mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengan di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.”
Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma Mujahid Rabi’ bin Anas mereka membaca dgn ditasydidkan taa dan mereka menafsirkan dengan: “Seseorang yg mengadoni gandum utk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal mereka i’tikaf di kuburan lalu menyembahnya.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adl seseorang yg menjadikan gandum utk para jamaah haji.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dgn bacaan ditasydidkan huruf taa adl bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il dari kata ‘latta’ patung ini asal adl seseorang yg mengadoni tepung utk para jamaah haji yg dicampur dgn minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati orang2 i’tikaf di kubur lalu mereka menjadikan sebagai berhala.”

Metode Penyesatan Setan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Termasuk dari tipu daya setan yg telah menimpa mayoritas orang sehingga tdk ada seorangpun yg selamat-kecuali orang2 yg dipelihara oleh Allah- yaitu “Apa-apa yg telah dibisikkan para setan kepada wali-wali berupa fitnah kuburan.”
Yang mengawali terjadi fitnah besar ini adl kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagaimana telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang mereka:
قَالَ نُوْحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا وَقَالُوْا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوْثَ وَيَعًوْقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ ضَلاَلاً
“Nuh berkata: Ya Rabbku sesungguh mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang2 yg harta dan anak-anak tdk menambah kepada melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yg amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan Wadd dan jangan pula Suwa’ Yaghuts Yauq dan Nasr. Dan sesungguh mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang2 yg zalim itu selain kesesatan.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dlm riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adl nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang2 shalih itu mati tampillah setan menyampaikan kepada orang2 agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang2 shalih tersebut dan namakanlah dgn nama-nama mereka! orang2 pun melakukan hal tersebut dan belum disembah sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan mk gambar-gambar itu pun disembah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yg mengatakan: ‘Mereka adl orang2 shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal orang2 i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yg sangat panjang lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.”
Tahapan dan metode penyesatan Iblis dan tentara-tentara terhadap penyembah kubur sebagai berikut:
Tahapan pertama Bahwa membangun kuburan i’tikaf di samping termasuk wujud kecintaan kepada para nabi dan orang2 shalih serta berdoa di sisi cepat diterima.
Tahapan kedua tawassul dlm berdoa dan bersumpah dgn penghuni kubur tersebut.
Tahapan ketiga berdoa dan menyembah kepadanya.
Tahapan keempat menyeru orang utk berdoa dan beribadah kepada dan menjadikan sebagai tempat utk merayakan hari raya.
Tahapan kelima membela dan berjihad dlm membela perbuatan tersebut terhadap tiap orang yg mengingkari perbuatan dan menganggap bahwa orang yg mengingkari perbuatan tersebut tdk memiliki kehormatan dan kedudukan.
Demikianlah sepak terjang Iblis dan tentara-tentara dlm menyusun metode penyesatan tiap insan dgn memulai dari yg paling kecil menuju yg paling besar. Program yg mereka canangkan dan jaringan yg mereka siapkan telah memakan banyak korban. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Haram Membangun Kubur
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dlm kitab beliau yg berjudul Tahdzir As-Sajid membawakan hadits-hadits yg semua melarang membuat bangunan di atas kuburan. Di antara hadits tersebut antara lain:
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika di ranjang menjelang wafat beliau:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang2 Yahudi dan Nashrani krn mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.”
Hadits yg semakna dgn hadits di atas diriwayatkan dari banyak shahabat di antara dari Abu Hurairah yg diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yg diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim dari Jundub bin Abdullah Al-Bajali diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Harits An-Najrani dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan sanad shahih di atas syarat Muslim dari Usamah bin Zaid diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi di dlm Musnad- dan Ahmad dari Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad Ath-Thahawi di dlm Musykilul Atsar Abu Ya’la dan selainnya. Juga dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan selainnya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu ‘Asakir dan dari Abu Bakar diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih .
2. Hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang utk mengapur kuburan duduk di atas dan membuat bangunan di atasnya.” .
Hadits yg semakna datang dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dlm Musnad- . Asy-Syaikh Al-Albani di dlm kitab Tahdzir As-Sajid mengatakan: “Sanad shahih.” Al-Haitsami mengatakan: “Semua rawi terpercaya.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Maka jelaslah dari hadits-hadits yg telah lewat tentang bahaya menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid dan akibat bagi orang2 yg berbuat demikian berupa ancaman yg pedih dari sisi Allah.”
Kemudian beliau berkata: “Keumuman hadits mencakup pembangunan masjid di atas kubur sebagaimana pula mencakup pembangunan kubah di atasnya. Dan tentu yg pertama larangan lbh keras sebagaimana telah jelas.”
.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan haram membangun masjid di atas kubur-kubur orang shalih dan menggambar mereka di dlm masjid tersebut sebagaimana dilakukan orang2 Nashrani dan tdk ada keraguan bahwa masing-masing dari kedua adl haram. Menggambar anak Adam adl haram dan membangun masjid di atas kuburan juga diharamkan sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash lain dan akan datang penyebutan sebagiannya.”
Beliau selanjut berkata: “Gambar-gambar yg ada di banyak gereja yg disebutkan oleh Ummu Habibah dan Ummu Salamah berada di dinding dan tdk berdimensi. mk menggambar para nabi dan orang shalih utk bertabarruk dengan dan meminta syafaat kepada adl diharamkan dlm agama Islam dan termasuk bentuk peribadatan kepada berhala. Inilah yg telah diberitakan oleh Rasulullah bahwa pelaku termasuk makhluk terjahat pada hari kiamat. Membuat gambar dgn tujuan ketika melihat gambar tersebut bisa mengambil contoh atau utk mensucikan diri dgn cara seperti itu atau utk sesuatu yg tdk ada manfaat adl perbuatan yg diharamkan dan termasuk dosa besar. Pelaku termasuk orang yg mendapat adzab paling keras pada hari kiamat. Ia telah melakukan kezaliman dan menyerupai perbuatan-perbuatan Allah yg para makhluk-Nya tdk sanggup utk melakukan. Tidak ada sesuatupun yg menyerupai Allah baik pada Dzat-Nya sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.”

Makna Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:
1. Shalat di atas kuburan arti sujud di atasnya.
2. Sujud menghadap kepada dan menjadikan sebagai kiblat di dlm shalat dan berdoa.
3. Membangun masjid di atas dan berniat utk melaksanakan shalat padanya.
Wallahu a’lam bish shawab.

1Sebagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

“Dan jauhkan diriku dan anakku dari menyembah patung-patung.”

Sumber: www.asysyariah.com

mohon ma'af apabila tidak berkenan
jazakumullah

zondag, maart 28, 2010

Buah manis Taubat

AHLAN WA SAHLAN
SELAMAT DATANG

Oleh Ustadz Yulian Purnama

Dalam kesempatan ini kita akan membahas sebuah hal yang agung bagi seorang mu’min. Karena dengan hal tersebut, seorang mu’min akan menyadari betapa lemahnya ia di hadapan Allah. Dan dengan hal ini pula, ia akan mengenal Rabb-Nya, Allah Azza Wa Jalla, beserta nama-nama dan sifat-sifatnya yang sempurna. Sampai akhirnya ia akan paham benar tentang hakikat keberadaannya di dunia serta untuk apa ia diciptakan. Dan kami akan terus dan terus mengingatkan, bahwa tujuan utama Allah menciptakan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dan jin hanyalah agar mereka beribadah kepadaku (semata). Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki dan mempunyai Kekuatan yang Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Bagaimana mungkin seorang mukmin akan menyadari statusnya sebagai hamba Allah, jika ia merasa tidak memiliki dosa dan enggan bertaubat? Karena sadar akan banyaknya dosa dan keinginan untuk bertaubat kepada Allah adalah salah satu bentuk penghambaan. Dan diterima atau tidaknya taubat adalah hakikat yang agung dari tauhid uluhiyyah.

Pintu Taubat Dibuka Lebar

Sungguh Allah Ta’ala telah melapangkan dan melonggarkan serta memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk bertaubat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ

“Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ

“Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum yu-ghor-ghir” (HR. At Tirmidzi, 3880. Ia berkata: “Hadits ini hasan gharib”. Di-hasan-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)

Yu-ghor-ghir artinya ketika nyawa sudah sampai di kerongkongan. Itulah batas waktu terakhir yang Allah tidak menerima lagi taubat hamba-Nya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga telah mengabarkan kepada kita kisah seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang:

فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ

“Lelaki tersebut ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, ia mendatanginya dan bertanya: ‘Aku telah membunuh 99 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ahli ibadah tadi berkata: ‘Tidak’. Lelaki tersebut pun membunuhnya hingga genaplah 100 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk yang paling alim, dan ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia kemudian bertanya: ‘Aku telah membunuh 100 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ulama tadi berkata: ‘Ya. Memangnya siapa yang bisa menghalangimu untuk mendapatkan taubat?’” (HR. Muslim, no.7184)

Perkataan ‘siapa yang bisa menghalangimu untuk mendapatkan taubat‘, inilah intinya. Maka siapakah yang bisa menghalangi anda dari taubat, saudaraku? Kesempatan selalu terbuka lebar!

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki” (QS. An Nisa: 4)

Bahkan dosa syirik! Ketika seorang musyrik bertaubat kepada Allah dan ia kembali ke jalan Allah Ta’ala, maka tidak ada yang dapat menghalangi ia dari Allah. Bahkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa orang musyrik dari kalangan ahlul kitab yang bertaubat, ia mendapat dua pahala dari taubatnya[1].

Hendaknya Kita Senantiasa Bertaubat

Taubat itu akan menguatkan ikatan antara hamba dengan Rabb-nya. Jika ia terus-menerus mengharap ampunan dari Rabb-Nya. Perhatikan sang utusan Islam, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku biasa bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim no.7034)

Padahal beliau manusia yang ma’shum, dosa beliau telah diampuni oleh Allah dari awal hingga akhirnya. Namun ini merupakan teladan yang mulia dari beliau dalam berserah diri kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, Allah akan terima taubatnya” (HR. Muslim no.7036)

Lihatlah betapa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menghasung umatnya untuk bersungguh-sungguh mencari ampunan Allah yang begitu luas. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalan adalah taubat” (HR. Ahmad no.3568, Ibnu Majah no.4252, Al Baihaqi no.21067. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sampai-sampai rasa penyesalan terhadap dosa yang kita perbuat pun sudah dianggap sebagai sebuah taubat.

Selain itu, taubat menimbulkan banyak pengaruh yang baik bagi diri seorang hamba. Bahkan, taubat itu sendiri adalah bentuk taufiq dari Allah Ta’ala. Imam Al Qurthubi ketika menjelaskan ayat:

ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya” (QS. At Taubah: 118)

Beliau menukil perkataan sebagian ulama tentang makna ayat ini, mereka berkata: “Aku salah sangka dalam 4 perkara. Karena ternyata Allah Ta’ala mendahuluiku.

Pertama, aku mengira akulah yang mencintai Allah, ternyata Allah Ta’ala lebih dulu mencintaiku. Ia berfirman:

ُيُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَه

“Allah Ta’ala mencintai mereka, dan mereka pun mencintai Allah” (QS. Al Maidah: 54)

Kedua, aku mengira akulah yang ridha kepada Allah, ternyata Allah Ta’ala lebih dahulu ridha terhadapku. Ia berfirman:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ

“Allah telah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah” (QS. Al Maidah: 119)

Ketiga, aku mengira akulah yang mengingat Allah, ternyata Ia lebih dulu mengingatku. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

“Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar” (QS. Al Ankabut: 45)

Keempat, aku mengira bahwa hanya akulah yang bertaubat kepada-Nya, ternyata Ia lebih dahulu memberi ampunan kepadaku. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya” (QS. At Taubah: 118)

(sampai di sini nukilan dari Tafsir Al Qurthubi)

Wahai saudaraku sekalian, semangat untuk bertaubat adalah hal yang sudah semestinya dimiliki oleh seorang hamba yang rabbani. Betapa indah ucapan seorang penyair:

قَدِّمْ لِنَفْسِكَ تَوْبَةً مَرْجُوَّةً *** قَبْلَ اْلمَمَاتِ وَقَبْلَ حَبْسُ اْلأَلْسُنِ
بَادِرْ بِهَا غُلْقَ النُّفُوْسِ فَإِنَهَا *** ذُخْرٌ وَغُنْمٌ لِلْمُنِيْبِ اْلمُحْسِنِ

Beranikan dirimu untuk mengharapkan ampunan

Sebelum engkau mati dan lisanmu kelu

Bersegeralah bertaubat, sebelum ruh dikunci

Karena taubat adalah simpanan dan harta

Bagi orang baik yang kembali kepada-Nya

Demikianlah, taubat adalah pintu kebaikan. Maka tidak layak bagi hamba yang sejati meninggalkan taubat dan meremehkan buah manis darinya.

Buah Manis Taubat

1. Taubat adalah sebab dari istiqamah


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberi teladan untuk senantiasa berusaha tegar dalam keimanan dan ketaqwaan. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Sang Pembolak-balik hati, tsabbit (tegarkan) hatiku pada agama-Mu” (HR. Tirmidzi no.3517, Ahmad, 302/6. At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)

Dan yang dimaksud dengan tsabaat adalah sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

“Sungguh setiap amal tergantung pada bagian akhirnya” (HR. Bukhari no. 6493)

Dan tsabaat ini hanya dapat diwujudkan dengan terus-menerus beramal shalih kepada Allah Ta’ala. Termasuk ke dalamnya taubat. Karenanya dengan amal tersebut, seorang hamba akan semakin dekat dengan Rabbnya. Oleh karenanya salah satu buah dari taubat adalah ia merupakan salah satu agar seseorang bisa tegar dalam keimanan dan ketaqwaan. Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” (QS. At Taubah: 117)

Ibnul Jauzi menjelaskan faedah yang indah dari ayat ini: “Kita perhatikan penyebutan taubat diulang di akhir ayat, karena penyataan ini tidak didahului dengan penyebutan dosa yang menjadi sebab taubat. Allah Ta’ala mendahulukan penyebutan taubat sebagai keutamaan bagi mereka. Kemudian baru menjelaskan dosa yang menjadi sebab taubat. Kemudian mengulang lagi penyebutan taubat” (Zaadul Masiir, 240/3, Asy Syamilah). Hal ini dikarena Allah Ta’ala ingin memperlihatkan betapa luas ampunan yang diberikan-Nya.

2. Taubat adalah sebab hidayah

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian Allah memberinya hidayah” (QS. Thaha: 82)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan: “’Kemudian Allah memberinya hidayah‘ karena ia terus menerus dalam keadaan yang disebutkan sebelumnya (taubat, iman dan amal shalih) sampai ia mati” (Tafsir Al Jalalain, 429/5, Asy Syamilah)

3. Ampunan datang karena taubat

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya” (QS. At Taubah: 118)

Dalam ayat ini, Allah mengampuni mereka karena mereka sangat menyesal dan bertaubat kepada Allah. Demikianlah, kebaikan Allah datang permohonan hamba, dan sebaliknya kemurkaan Allah datang karena kengganan hamba. Sebagaiman dalam sebuah riwayat tentang 3 orang yang melewati majelis Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِى الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ ، إِذْ أَقْبَلَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ ، فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَذَهَبَ وَاحِدٌ ، قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِى الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا ، وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ ، وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا ، فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ ، فَآوَاهُ اللَّهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا ، فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ ، فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berada duduk (mengajar) di masjid dan para sahabat bersama beliau. Lewatlah 3 orang lelaki. Dua orang menghampiri majlis tersebut dan 1 orang pergi. Kedua orang tadi menuju Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lelaki pertama melihat tempat kosong di tengah majllis dan ia pun duduk di situ. Lelaki yang kedua, ia duduk dibelakang majlis. Sedangkan yang ketiga, ia pergi. Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selesai mengajar, beliau bersabda: ‘Maukah kalian ku kabarkan tentang keadaan 3 orang lelaki. Lekaki pertama, ia mampir, maka Allah pun mengasihinya. Lelaki kedua, ia malu, maka Allah pun malu padanya. Lelaki ketiga, ia enggan, maka Allah pun enggan padanya‘” (HR. Bukhari no.66, Muslim no.5810)

Lihatlah, kebaikan dari Allah didapat oleh orang yang menginginkannya dan tidak didapatkan oleh orang yang enggan.

Kemudian, Allah Ta’ala memiliki nama At Tawwab. Dan ampunan dari At Tawwab tidak akan didapat kecuali dengan beberapa hal berikut ini

a) Meyakini bahwa Ia Maha Pemberi Ampunan. Dan tidak berputus asa dalam mencari ampunan-Nya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ خَيْرًا فَخَيْرً وَإِنْ شَرًا فَشَرً

“Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika prasangkanya baik, Ku berikan ia kebaikan, jika prasangkanya buruk Ku timpakan ia keburukan” (HR. Ath Thabrani no.8135 dalam Al Ausath, Ibnul Mubarak dalam Al Hilyah, 306/9. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 407/2)

Dalam riwayat lain:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى فَلْيَظُنَّ بِى مَا شَاءَ

“Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Maka silakan berprasangka kepada-Ku sesuai keinginan” (HR. Ahmad no.16059, dalam ta’liq-nya terhadap Al Musnad, Syu’aib Al Arnauth berkata: “Sanadnya Shahih”)

b) Dan perlu dicamkan, berbaik sangka (husnu zhan) bahwa Allah akan memberi ampunan saja belum cukup, melainkan harus diikuti dengan amal yang shalih (husnul amal). Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah berkata:

اَمَّا حُسْنُ ظَنٍ مَعَ سُوْءِ عَمَلٍ فَهَذَا جَمْعٌ بَيْنَ النَّقْضَيْنِ

“Husnu zhan kepada Allah, namun diikuti dengan amal-amal keburukan, hal ini bagai menyatukan dua hal yang bertentangan”

c) Hendaknya seorang hamba yang mencari ampunan Allah, menetapi diri dalam jama’ah dan tidak bersendirian. Hendaknya ia bersama dan berkumpul bersama orang-orang yang juga semangat dalam mencari ampunan Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ

“Maka tetap istiqamah-lah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) diperintahkan kepada orang yang bertaubat bersamamu” (QS. Hud: 112)

Perhatikanlah pengaruh taubat terhadap persatuan kaum mu’minin. Taubat mengakibatkan istiqamah, istiqamah mengakibatkan rasa cinta kepada saudara sesama muslim karena adanya kebersamaan, hingga akhirnya akan tercipta persatuan diantara kaum mu’minin.

4. Taubat adalah jalan menuju surga

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun” (QS. Maryam: 60)

Adapun orang yang masuk surga padahal ia enggan bertaubat, orang yang masuk surga padahal gemar bermaksiat, maka perkaranya tergantung kehendak Allah Ta’ala.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki” (QS. An Nisa: 4)

Namun yang dituntut dari kita adalah senantiasa memohon taufiq dari Allah Ta’ala agar dapat termasuk golongan penghuni Jannah. Dan taubat adalah bentuk taufiq dari Allah Ta’ala.

5. Taubat adalah sumber kebaikan dan keutamaan

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18)

Dari hadits ini jelaslah bahwa kebaikan tidak mungkin akan didapat kecuali oleh manusia yang bertaubat, karena tentu semua manusia pasti pernah salah. Kemudian perhatikan hadits ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan bahwa manusia itu khatta-un yang merupakan bentuk mubalaghah (superlatis) menunjukkan betapa banyak dosa yang diperbuat. Dan diakhir hadits disebut sifat orang yang memperoleh kebaikan dengan tawwabuun yang juga bentuk mubalaghah, menunjukkan banyak dan sering bertaubat. Sebagaimana yang dipraktekkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri, beliau bertaubat kepada Allah minimal 100 kali dalam sehari. Juga diriwayatkan oleh para sahabat, bahwa beliau bersabda:

وَاللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي اْليَوْمِ أَكْثَرُمِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

“Demi Allah, sungguh aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubuat kepada-Nya, lebih dari 70 kali dalam sehari” (HR. Bukhari no. 6307)

Lihat diri kita! Ada dimana kita dibanding beliau? Sudah seberapa kesungguhnya kita dalam bertaubat? Bagaimana akhlak kita terhadap Rabb kita? Sesering apa kita mengingat-Nya dan bertaubat kepada-Nya?

6. Taubat membebaskan diri dari kezhaliman

Orang yang enggan bertaubat, ia telah berbuat zhalim pada dirinya, pada masyarakat dan pada orang lain di sekitarnya. Apa yang Allah katakan terhadap orang yang enggan bertaubat?

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Orang yang enggan bertaubat, mereka termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Al Hujurat: 11)

7. Taubat adalah perintah Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Wahai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya” (QS. At Tahrim: 8)

Dalam ayat ini digunakan bentuk perintah. Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda dengan bentuk perintah:

…يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ

“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah” (HR. Muslim no.7034)

Dan ingatlah bahwa orang yang enggan melaksanakan perintah Allah akan mendapatkan musibah yang besar. Allah Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan hendaklah orang-orang yang menentang perintah Allah itu takut akan datangnya musibah atau adzab yang pedih yang akan menimpa mereka” (QS. An Nur: 63)

8. Taubat adalah penyebab kebaikan dunia

Allah Ta’ala berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“Maka aku (Nuh) berkata mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 11)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya” (QS. Hud: 3)

Perhatikanlah, ternyata taubat tidak hanya membawa kebaikan yang sifatnya ukhrawi, tidaknya hanya menguatkan ikatan seorang hamba dengan Rabb-nya, namun juga membawa kebaikan duniawi, kebaikan bagi masyarakat, bagi tanah air dan semua orang disekitarnya.

9. Taubat adalah penyebab dibatalkannya adzab

Di dalam Al Qur’an diceritakan:

وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih”” (QS. Al Anfal: 32)

Itulah perkataan orang musyrik Quraisy yang mengingkari Al Qur’an. Dalam Shahih Bukhari dijelaskan bahwa orang yang berkata demikian adalah Abu Jahal. Maka Allah pun membantah mereka dengan firman-Nya:

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (Al Anfal: 33)

Ibnu Abbas berkata: “Dalam ayat ini terdapat 2 hal yang membuat mereka aman dari adzab: Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan istighfar. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hijrah dari Makkah, maka hanya istighfar saja yang melindungi mereka dari adzab” (Tafsir Ath Thabari, 511/13)

10. Taubat membuktikan keluasan Rahmat Allah

Di dalam Al Qur’an, Malaikat pemikul ‘Arsy berdoa:

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala” (QS. Ghafir: 7)

Dalam ayat ini para Malaikat memintakan ampunan dengan menyebut salah satu sifat Allah yaitu Rahmah. Allah Ta’ala menceritakan betapa luas rahmat-Nya:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raf: 156)

11. Taubat mendatangkan kecintaan Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al Baqarah: 222)

Selain itu, perhatikanlah dua sifat tersebut, yaitu taubat dan thahur (kesucian). Keduanya digandengkan seolah-olah dua hal yang pasti selalu ada bersamaan. Orang yang bertaubat, namun tidak suci secara lahir maupun batin, seakan-akan taubatnya belum sempurna. Dan orang yang enggan bertaubat, ia tidak pernah mencapai kesucian yang hakiki.

12. Taubat mengganti kejelekan dengan kebaikan

Allah Ta’ala berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Furqan: 70)

13. Taubat adalah jalan kemenangan

Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ

“Sedangkan orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang beruntung” (QS. Al Qashash: 67)

Kata عَسَى disini termasuk lafadz af’al at tarajji (pengharapan), namun karena yang mengatakan demikian adalah Allah Ta’ala maka yang dimaksud di sini adalah: ‘pengharapan di sisi manusia, sedangkan di sisi Allah ditetapkan kemenangan bagi mereka’. Begitu juga jika ada lafadz لَعَلَّ Seperti pada ayat:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang beriman, kalian semua hendaknya bertaubat kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung” (QS. An Nuur: 31)

لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (mudah-mudahan kalian beruntung) di sini maknanya adalah: سَتُفْلِحُونَ (kalian pasti akan beruntung).

14. Taubat membersihkan hati

Dosa yang diperbuat seorang anak adam, akan mengotori hatinya. Semakin sering ia berbuat dosa, semakin hitam kelam hatinya. Jika ia dalam keadaan demikian terus-menerus, bukan tidak mungkin hatinya akan mati, terhalang dari rahmat dan hidayah dari Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ

“Jika seorang manusia berbuat sebuah dosa, munculah sebuah noktah hitam di hatinya. Namun ketika ia berhenti dari maksiatnya, lalu memohon ampunan dan bertaubat, hatinya kembali mengkilap” (HR. Tirmidzi no.3334. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

15. Taubat adalah sumber kekuatan

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ

“Dan Hud berkata: ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu’ ” (QS. Hud: 52)

Perhatikanlah, kekuatan diberikan dengan taubat. Adapun di masa ini kita banyak melihat orang-orang yang ingin memerangi musuh Allah namun dengan memusuhi para wali Allah. Apakah dengan ini mereka diberi kekuatan untuk mengalahkan musuh Allah? Tidaklah kekuatan yang mereka klaim itu melainkan hakikatnya hanya kelemahan yang parah. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Siapa saja yang menetang wali-Ku, ia telah menantang-Ku berperang” (HR. Bukhari no.6502)

16. Taubat adalah jalan untuk mengenal Allah Ta’ala

Jika seorang hamba berbuat maksiat, ia pun datang menghadap kepada Allah dengan taubat, Allah akan mengampuninya meski ia berulang kali melakukan maksiatnya. Dalam sebuah hadits diceritakan:

أإِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى قَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَقَالَ رَبُّهُ غَفَرْتُ لِعَبْدِى فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Lalu Allah berfirman: ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya’” (HR. Bukhari no. 7068)

Demikianlah, dengan taubat, seorang hamba mengenal betapa luas rahmat Allah. Sebagian orang ada yang memahami hadits ini dengan pemahaman yang buruk, yaitu bahwa hadits ini membuka lebar-lebar pintu untuk bermaksiat. Namun pemahaman yang benar adalah bahwa hadits ini menunjukkan betapa lebarnya pintu taubat yang dibuka oleh Allah Ta’ala[2].

Demikianlah, hamba yang bertaubat mengenali betapa Rabb-nya membuka pintu taubat yang begitu lebar, ia pun mengenali bahwa Rabb-nya memiliki nama At Tawwab. Hal-hal ini tidak dikenali oleh orang-orang yang ingkar kepada Allah dan enggan bertaubat kepada-Nya

Semoga Allah Ta’ala menolong kita agar senantiasa kembali dan bertaubat kepada-Nya, sebelum datangnya hari akhir, sebelum datangnya maut. Semoga Allah menjadikan akhir hidup kita sebagai akhir yang baik. Dan semoga kita mati dalam keadaan diridhai oleh Allah Ta’ala. [Disarikan oleh Yulian Purnama dari rekaman ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Hafizhahullah, salah seorang ulama pakar hadits di zaman ini]

_____________

[1] Salah satu hadits yang berkaitan dengan hal ini adalah hadits berikut:

أن أربعين من أصحاب النجاشي قدموا على النبي صلى الله عليه وسلم فشهدوا معه أحدا ، وكانت فيهم جراحات ، ولم يقتل منهم أحد ، فلما رأوا ما بالمؤمنين من الحاجة قالوا : يا رسول الله ، إنا أهل ميسرة ، فائذن لنا نجيء بأموالنا نواسي بها المسلمين ، فأنزل الله عز وجل فيهم : ( الذين آتيناهم الكتاب من قبله هم به يؤمنون ) الآية ( أولئك يؤتون أجرهم مرتين بما صبروا ) فجعل لهم أجرين

“Ada 40 orang pasukan Raja Najasy menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ketika itu mereka sedang terluka sehingga mereka tidak dibunuh. Kemudian mereka bersyahadat di depan Nabi. Ketika mereka melihat kaum mu’minin sedang dalam kekurangan, mereka pun berkata: ‘Ya Rasulullah, kami orang berada. Izinkanlah kami datangkan harta-harta kami untuk membantu kaum muslimin. Ketika itu turunlah ayat:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu” (QS. Al Qashash: 52)

أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا

“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka” (QS. Al Qashash: 54)

Bagi mereka dua pahala”. (HR. Ath Thabrani no.7662 dalam Mu’jam Al Ausath, cetakan Darul Haramain, Kairo, dari sahabat Ibnu Abbas)

[2] Dalam Fathul Baari dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Makna dari firman Allah ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya‘ adalah: ‘Selama engkau selalu bertaubat setiap kali bermaksiat, Aku telah ampuni dosamu’”. Beliau juga membawakan perkataan Imam An Nawawi: “Jika seseorang berbuat dosa seratus kali, seribu kali, atau bahkan lebih banyak, dan setiap berbuat dosa ia bertaubat, maka taubatnya diterima. Bahkan jika dari ribuan perbuatan dosa tadi setelahnya ia hanya sekali bertaubat, taubatnya pun diterima” (Fathul Baari, 89/21)













mohon ma'af apabila tidak berkenan
jazakumullah

KITAB BULUGHUL MARAM

AHLAN WA SAHLAN
SELAMAT DATANG
Pelajaran
KITAB BULUGHUL MARAM
Karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah

Disusun oleh :

Tim thullab Ma’had As-Salafy Jember

Muqaddimah Al-Hafizh Ibnu Hajar

Segala puji khusus bagi Allah atas segala kenikmatan-Nya yang zhahir (terlihat) maupun yang bathin (tidak tampak), baik dulu maupun sekarang. Shalat dan salam kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau yang membela agama beliau dengan pembelaan yang sangat besar. Juga shalat dan salam kepada para pengikut mereka yang mewarisi ilmu mereka.”Para ‘ulama itu adalah pewaris para nabi” sungguh betapa mulia pihak yang mewariskan dan pihak yang mewarisi.

Amma Ba’d :

Ini merupakan kitab yang ringkas meliputi dasar-dasar dalil yang bersumber dari hadits tentang hukum-hukum syari’at. Aku menyusunnya dengan gaya penyusunan yang bagus supaya orang yang menghafalnya menjadi orang yang menonjol di antara teman-teman sejawat/seangkatannya. Dan supaya seorang pelajar pemula bisa menjadikannya sebagai sarana, namun di sisi lain seorang yang senior pun masih tetap butuh/tidak bisa lepas darinya.

Aku jelaskan pada tiap-tiap akhir hadits para imam yang meriwayatkan hadits tersebut, dalam rangka memberikan penjelasan kepada umat.

Maksud dari As-Sab’ah (imam yang tujuh) adalah : Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

As-Sittah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Ahmad. [1]

Al-Khamsah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Al-Bukhari dan Muslim. [2]

Terkadang saya istilahkan juga dengan Al-Arba’ah dan Ahmad.

Al-Arba’ah (imam yang empat) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama. [3]

Ats-Tsalatsah (imam yang tiga) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama dan satu nama terakhir. [4]

Muttafaq ‘alaihi adalah : Al-Bukhari dan Muslim. Terkadang kalau aku sudah menyebutkannya, tidak aku sebutkan yang lain (meskipun hadits tersebut juga diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, ed).

Adapun para periwayat hadits selain nama-nama para imam di atas, maka akan disebutkan secara jelas siapa yang meriwayatkannya.

Aku beri judul kitab ini :

بلوغ المرام من أدلة الأحكام

Aku memohon kepada Allah agar tidak menjadikan ilmu yang kita ketahui malah menjadi bumerang atas diri kita sendiri, dan semoga Allah memberikan rizki kepada kita berupa amalan yang Dia ridhai. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi.

* * *

كتاب الطهارة
Kitabuth Thaharah

Sebagaimana kitab-kitab fiqh karya para ‘ulama lainnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memulai kitabnya Bulughul Maram ini dengan Kitabuth Thaharah.

♦ Kitab

Secara etimologi : kumpulan. Dinamakan dengan kitab karena merupakan kumpulan huruf, kata, dan kalimat. Kitab di sini maknanya adalah maktub (sesuatu yang ditulis).

Secara terminologi : sesuatu yang ditulis di atas kertas untuk disampaikan kepada pihak lain atau ditulis agar tidak lupa. Para ‘ulama fiqh mempergunakan istilah kitab untuk pembahasan yang luas, yang terdiri dari beberapa bab dan pasal.

♦ Thaharah (Bersuci)

Secara etimologi : Kebersihan dan kesucian dari kotoran, baik bersifat hissi (nampak) maupun ma’nawi (abstrak).

Secara terminologi : Terangkatnya hadats atauh hilangnya najis.

Hadats adalah suatu kondisi pada badan yang menyebabkan seseorang terhalangi/tidak boleh mengerjakan ibadah yang dipersyaratkan thaharah (bersuci) padanya, seperti shalat, thawaf, menyentuh mush-haf, dll.

Hadats ada dua jenis :

- Hadats Ashghar (kecil), seperti kentut, kencing, tidur, dll. Cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu`

- Hadats Akbar (besar), seperti ihtilam (mimpi basah), jima’, haidh, dan nifas. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi janabah.

Thaharah dari hadats sifatnya ma’nawi (abstrak). Sehingga thaharah dari hadats tidak mencuci/membasuh tempat keluarnya hadats, namun membasuh anggota badan tertentu yang telah ditentukan oleh syari’at. Misalnya orang yang berthaharah dari kentut, maka dia tidak membasuh atau mencuci tempat keluarnya kentut. Namun ditentukan dalam syari’at dia harus membasuh anggota badan lainnya, yaitu dia harus berwudhu`.

Najis adalah kotoran yang wajib atas setiap muslim untuk membersihkan diri darinya atau mencuci sesuatu yang terkenainya. Contoh najis : kencing, kotoran manusia.

Thaharah dari najis

Perbedaan antara thaharah (bersuci) dari hadats dengan thaharah (bersuci) dari najis :

Thaharah dari hadats termasuk dalam pelaksanaan perintah, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus ada niat -menurut pendapat yang lebih benar di kalangan ‘ulama–. Jadi kalau berwudhu` harus ada niat, kalau mandi janabah harus ada niat.

Adapun thaharah dari najis tidak dipersyaratkan padanya niat. Sehingga kalau seseorang mencuci bajunya dari noda dan padanya terdapat najis, namun ketika mencuci itu dia tidak meniatkan menghilangkan najis, maka dengan itu bajunya menjadi suci. Demikian pula kalau pakaian najis kehujanan, sehingga menjadi bersih, maka baju tersebut hukumnya suci. Atau misalnya wujud najis menjadi hilang dengan sebab bensin atau yang lainnya, maka dinyatakan suci. Karena najis merupakan sesuatu yang bersifat konkrit, dengan apa pun dan cara apa pun najis tersebut bisa hilang, maka sudah dihukum suci.

Perlu diketahui, bahwa thaharah itu ada dua makna :

1. Thaharah ma`nawi , yaitu thaharah hati dari syirik, kekufuran, nifaq, hasad, khianat, ragu, dan berbagai penyakit hati dan akhlaq tercela lainnya. Tema ini dibahas dalam bidang tauhid dan aqidah. Demikian juga dibahas dalam bidang akhlaq.
2. Thaharah hissi, thaharah yang bersifat tampak, yaitu thaharah dari hadats dan najis. Tema inilah yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kenapa dimulai dengan thaharah?

Para ‘ulama dari kalangan para muhadditsin dan para fuqaha’, dalam menyusun kitab-kitab karya mereka, pada umumnya memulainya dengan pembahasan tentang thaharah. Hal itu karena dua alasan :

Pertama : thaharah merupakan syarat shalat yang paling penting. Berdasarkan firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة/6]

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kaian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, [Al-Ma`idah : 6]

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

Allah tidak menerima ibadah shalat seorang dari kalian apabila dia berhadats, sampai dia berwudhu’ [HR. Al-Bukhari (135, 6954), Muslim (225)]

Kedua : thaharah merupakan pembersihan (takhliyah). Pembersihan itu dilakukan sebelum menghias (tahliyah). Sebagaimana halnya rumah -misalnya- bersihkan terlebih dahulu, baru kemudian di tata supaya indah dan rapi.

باب المياه

BAB : AIR-AIR

♦ Bab :

Secara etimologi : Pintu, yakni pintu masuk menuju suatu tempat atau ruangan.

Secara terminologi : bagian dari pengklasifikasian untuk pembahasan-pembahasan yang sama, yang tingkatannya di bawah “kitab”.

♦ Al-Miyah :

Al-Miyah merupakan bentuk jama’ dari kata al-ma`(air). Air merupakan benda cair yang sudah sangat dikenal oleh umat manusia. Sebenarnya air itu sama semua dan satu jenis saja. Namun penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) menyebutkannya di sini dalam bentuk jama’, karena meninjau sumber atau asalnya yang berbeda-beda. Ada air laut, air hujan, air sumur, air sungai, air telaga, dan berbagai macam lainnya.

Dalam bab ini penulis hendak membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan air, yakni kapan air itu dinyatakan tetap suci dan kapan air itu dinyatakan telah menjadi najis, serta berbagai hukum lainnya. Penulis mengawali Kitabuth Thaharah ini dengan pembasan tentang air, karena air merupakan alat utama dalam thaharah.

[Hadits Pertama]

[Hukum Air Laut]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ: (( هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ )) أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ؛ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut : “Laut itu airnya thahur, bangkainya pun halal.”

Diriwayatkan oleh Al-Arba’ah, Ibnu Abi Syaibah -lafazh hadits ini riwayat beliau (Ibnu Abi Syaibah) [5]) -. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

# Takhrijul Hadits :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 83; An-Nasa`i no. 332, 4350; At-Tirmidzi no. 69; dan Ibnu Majah no. 386; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya bab no. 158, hadits no. 15. Malik dalam Al-Muwaththa` no. 37; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 1; Ahmad dalam Musnad-nya no. 7192, 8518, 8695, 8855.

Hadits ini merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (( هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ))

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami mengarungi lautan dan ketika itu kami hanya membawa air sedikit saja. Jika kami berwudhu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu` menggunakan air laut?”. Maka Rasulullah menjawab : “Dia itu ath-thahûr airnya, bangkainya pun halal.”

◊ Ath-Thahûr artinya : suci dan mensucikan, yakni suci pada dzatnya dan bisa mensucikan benda yang lainnya.

# Kedudukan Hadits :

Shahih. Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (dalam Shahih-nya no. 111) dan At-Tirmidzi (dalam Sunan-nya no. 69), beliau berkata : “Hadits ini adalah hadits yang hasan shahih.”.

Sebelumnya, para ‘ulama besar telah menshahihkan hadits ini, antara lain : Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hakim, Al-Imam Ibnu Hibban, Al-Imam Ibnul Mundzir, Al-Imam Ath-Thahawi, Al-Imam Al-Baghawi, Al-Imam Al-Khaththabi, dan selain mereka.

Hadits ini juga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 480 dan Irwa`ul Ghalil no. 9.

# Fiqhul Hadîts :

1. Air laut suci secara mutlak tanpa terkecuali, suci pada dzatnya dan dapat mensucikan benda lainnya. Sehingga air laut boleh dan sah digunakan untuk thaharah (bersuci/menghilangkan najis) dan berwudhu`, bahkan mandi janabah.

2. Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan hewan laut adalah semua hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah -pada hadits nomor : 480- mengatakan : “Halalnya semua hewan yang mati di laut jika memang hewan tersebut tempat hidupnya di laut, walaupun sudah mengapung di atas air.

Betapa baiknya sebuah atsar yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, bahwasanya beliau ditanya : “Apakah boleh aku memakan (hewan laut) yang telah terapung di atas air?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya segala yang terapung di atas air (laut) adalah bangkainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya halal (dimakan.” Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni 538.

Sementara hadits yang berisi larangan memakan hewan yang terapung di atas air (laut) adalah hadits yang tidak sah, sebagaimana telah dipaparkan pada kitab yang lain. [6] — selesai Asy-Syaikh Al-Albani –

Di antara yang memperkuat dalil di atas adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوت، و أما الدمان : فالكبد و الطحال

“Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai adalah serangga dan ikan. Adapun dua jenis darah adalah hati dan jantung”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 3218, 3314.

Hadits ini mauquf (yakni hanya dari ucapan shahabat Nabi) jika ditinjau dari lafazhnya, akan tetapi dihukumi marfu‘ (yakni sumber asalnya adalah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) jika ditinjau dari sisi hukumnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihah no 1118.

Hukum ini mencakup semua bangkai hewan yang hidup di laut, sekalipun penamaanya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, misalnya: anjing laut, ular laut, babi laut, dan sebagainya. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam Asy-Syaukani.

# Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jawabannya menyebutkan juga tentang hukum bangkai hewan laut, padahal sang penanya hanya menanyakan tentang hukum berwudhu menggunakan air laut, tidak bertanya tentang hukum bangkai hewan laut?

Jawab : Karena orang yang mengarungi lautan sangat mungkin menghadapi permasalahan terkait bangkai hewan laut -boleh dimakan atau tidak- terlebih di tengah lautan sangat memungkinkan kehabisan bekal, dan di tengah laut tidak ada tempat bertanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melengkapkan jawabannya ketika itu.

Al-Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berkata : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa penanya tidak mengetahui tentang hukum air laut, maka sangat mungkin penanya juga tidak mengetahui hukum bangkai hewan yang hidup di laut. Terkadang orang yang mengarungi lautan dihadapkan dengan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan jawabannya mengenai hukum memakan bangkai hewan yang hidup di laut.

Al-Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata : “Di antara bentuk fatwa yang baik adalah memberikan jawaban lebih banyak dari sekadar yang ditanyakan dalam rangka menyempurnakan pengetahuan, sekaligus memberikan pengetahuan ilmu yang tidak ditanyakan oleh si penanya.”

# # #

[1] Yakni : Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[2] Yakni Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[3] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[4] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i.

[5] Pernyataan penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) bahwa lafazh yang beliau nukil adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah perlu ditinjau ulang. Karena setelah kami merujuk kembali kepada kitab Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, lafazh yang kami temukan dari shahabat Abu Hurairah adalah : ( البحر الطهور ماؤه الحلال ميتته ). Letak perbedaannya pada kata : البحر dan الحلال .

Kami juga mendapati pada kitab Mushannaf tersebut dengan lafazh sama dengan yang dinukil oleh Al-Hâfizh, namun dari seorang shahabat yang berasil dari Bani Mudlaj, bukan Abû Hurairah. Kami juga mendapati lafazh : ( هو الطهور ماؤه والحلال ميتته ) dari shahabat Abu Bakr Ash-Shiddiq, bukan dari Abu Hurairah. itu pun terdapat perbedaan pada lafazh : الحلال .

Justru lafazh yang dinukilkan oleh Al-Hafizh adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Al-Arba’ah (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah) dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu . Wallahu A’lam.

[6] Hadits yang beliau maksud adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir dengan lafadz :

ما ألقى البحر أو جزر عنه فكلوه و ما مات فيه و طفا فلا تأكلوه

Segala terdampar di laut (di pantai) silakan kalian makan. Sementara yang mati di laut dan terapung maka jangan kalian makan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3815 dan Ibnu Majah 3247


mohon ma'af apabila tidak berkenan
jazakumullah