dinsdag, mei 18, 2010

Tsa’labah, Si Kaya yang Enggan Membayar Zakat

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG


Saat menafsirkan firman Alloh :

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (75) فَلَمَّا آَتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ (76) فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (77)
Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Alloh : Sesungguhnya jika Alloh memberikan sebagian karunia Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang sholeh.” Maka setelah Alloh memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Alloh menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Alloh, karena mereka telah memungkiri terhadap Alloh apa yang telah mereka ikrarkan kepada Nya dan juga mereka selalu berdusta.”

(QS. At Taubah : 75-77)


Berkata Imam Ibnu Jarir Ath Thobari 14/16987 :

“Para ulama’ tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah Tsa’labah bin Hathib, salah seorang sahabat anshor.”.

Kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits :

“Telah menceritakan kepadaku Mutsanna, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syu’aib, dia berkata : telah menceritakan kepada kami Ma’an bin Rifa’ah as Sulami dari Abu Abdil Malik Ali bin Yazid al Alhani bahwasanya dia menghabarkan dari Qosim bin Abdur Rohman bahwasannya dia menghabarkan dari Abu Umamah al Bahili dari Tsa’labah bin Hathib bahwasannya dia berkata kepada Rosululloh : “Berdo’alah kepada Alloh agar Alloh memberikan rizqi harta kepadaku.” Maka Rosululloh bersabda : “Celakalah engkau wahai Tsa’labah, sedikit harta tapi engkau syukuri lebih baik dari banyak harta tapi engkau tidak mampu menanggungnya, tidakkah engkau ridlo menjadi seperti nabi Alloh, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan Nya, seandainya saya kepingin agar gunung itu mengalirkan perak dan emas untukku, niscaya akan mengalir.” Tsa’labah menjawab : “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika engkau berdo’a kepada Alloh lalu Alloh memberi rizki harta kepada ku, niscaya akan aku berikan harta itu pada setiap yang berhak.” Maka Rosululloh berdo’a : “Ya Alloh, berilah Tsa’labah harta.” Lalu diapun mengambil kambing, dan ternyata kambing itu berkembang biak dengan pesat seperti ulat, sehingga kota Madinah tidak muat, lalu dia pun pindah ke pinggiran kota, tepatnya pada salah satu lembahnya, sehingga dia cuma bisa sholat jamaah dhuhur dan ashar dan meninggalkan jamaah sholat lainnya. Kemudian kambing pun semakin berkembang biak sehingga dia pun tidak pernah jamaah sholat lima waktu selain sholat jum’at saja, namun kambingnya pun bertambah banyak yang akhirnya sholat jum’at pun dia tinggalkan, dan dia hanya mencari berita dari para pendatang yang ikut sholat jum’at. Maka Rosululloh bersabda : “Celakalah Tsa’labah, celakalah Tsa’labah, celakalah Tsa’labah.”

Lalu Alloh menurunkan firman Nya :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambilllah zakat dari harta-harta mereka.”

(QS. At Taubah : 103)

yang menunjukkan wajibnya zakat, maka Rosululloh mengutus dua orang untuk mengambil zakat, seorang dari Bani Juhainah dan seorang lagi dari Bani Salim dan Rosululloh menuliskan sebuah surat tentang bagaimana harus mengambil zakat dari kaum muslimin. Rosululloh juga berpesan kepada keduanya : “Mampirlah ke tempat Tsa’labah dan seseorang dari bani Salim lalu ambillah zakat dari keduanya.” Lalu keduanya pergi sehingga bertemu dengan Tsa’labah, lalu minta shodaqohnya dan keduanya membacakan surat Rosululloh. Namun ternyata Tsa’labah malah berkata : “Ini adalah jizyah 1, ini tiada lain kecuali saudaranya jizyah, saya tidak tahu akan hal ini, pergilah dahulu sehingga kalian selesai menjalankan tugas lalu balik lagi kesini.” Lalu keduanya pun berangkat, kedatangan keduanya di dengar oleh seseorang yang dari Bani Salim maka dia melihat pada untanya yang paling bagus lalu di ambil untuk zakat dan diapun menyambut kedatangan keduanya, dan tatkala keduanya melihat, maka mereka berdua berkata : “Kamu tidak wajib mengeluarkan ini, kami tidak ingin mengambil yang sebagus ini darimu.” Namun dia berkata : “Ambillah, saya rela mengasihkannya.” Tatkala keduanya selesai menjalankan tugas, maka keduanya balik lagi ke Tsa’abah, lalu dia berkata : “Tunjukkan kepadaku surat yang kalian bawa.” Lalu dia melihatnya seraya berkata : “Ini tiada lain adalah saudaranya jizyah, pergilah sehingga saya menentukan sikapku.” Keduanya pun pulang sehingga sampai kepada Rosululloh, tatkala Rosululloh melihat keduanya, beliau bersabda : “Celakalah Tsa’labah.” Ini diucapkan sebelum Rosululloh berbicara kepada kedua dan beliau mendo’akan keberkahan kepada seseorang yang dari Bani Salim, lalu keduanya menghabarkan apa yang dilakukan oleh orang dari Bani Salim tersebut dan apa yang dilakukan oleh Tsa’labah. Maka turunlah firman Alloh :

“Diantara mereka ada yang berjanji pada Alloh, jika Alloh memberikan keutaman Nya, sungguh kami akan bershodaqoh dan kami akan menjadi orang-orang yang sholih.”

Sampai pada firman Alloh :

“Dan terhadap apa yang mereka dustakan.”

Disaat itu didekat Rosululloh ada seseorang kerabat Tsa’labah, tatkala dia mendengar ayat ini maka segera mendatangi Tsa’abah seraya berkata : “Celakalah engkau wahai Tsa’labah, Alloh menurunkan ayat ini dan itu berhubungan denganmu.” Maka Tsa’labah keluar sehingga mendatangi Rosululloh dan meminta beliau menerima shodaqohnya, namun Rosululloh bersabda : “Alloh melarangku untuk menerima shodaqohmu.” maka dia menaburkan tanah pada kepalanya, namun Rosululloh malah berkata : “Inilah perbuatanmu, saya perintahkan engkau namun tidak engkau ta’ati.” Kemudian Tsa’labah pulang ke rumahnya dan Rosululloh meninggal dunia dalam keadaan tidak mau menerima shodaqohnya. Kemudian dia datang kepada Abu Bakr tatkala beliau menjadi kholifah seraya berkata : “Engkau mengetahui kedudukanku disisi Rosululloh juga dikalangan anshor, maka terimalah shodaqohku.” Maka Abu Bakr berkata : “Rosululloh tidak menerimanya, akankah saya menerimanya ?.” Dan Abu Bakr meninggal dunia tetap tidak menerima zakatnya. Dan tatkala Umar menjadi kholifah, dia pun mendatanginya seraya berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, terimalah zakatku.” Maka Umar berkata : “Rosululloh dan Abu Bakr tidak menerimanya, akankah saya menerimanya ?.” sehingga Umar pun meninggal dunia, kemudian Utsman menjadi kholifah, dan dia pun mendatanginya lalu mohon agar di terima shodaqohnya, maka Utsman berkata: “Rosululloh, Abu Bakr dan Umar tidak menerimanya, lalu akankah saya menerimanya ?.” Akhirnya Tsa’labah meninggal dunia pada zaman khilafah Utsman.”

Kisah ini sangat lemah

Kemasyhuran kisah ini
Kisah ini sangat terkenal dalam kitab-kitab tafsir saat menafsikan ayat diatas, juga sangat sering disampaikan oleh para khothib dan para penceramah untuk menceritakan tentang akibat dari orang yang enggan membayar zakat. Diantara yang menyebutkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka adalah :
Al Wahidi dalam Asbabun Nuzul hal : 141, Ibnu Jarir Ath Thobari dalam tafsir beliau, kisah inipun disandarkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Soghir 2/203 kepada Al Baghowi, Al Barudi, Ibnu Qoni’, Ibnu Sakan dan Ibnu Syahin dari Abu Umamah Al Bahili.

Berkata Syaikh Ali Hasan :

“Kisah inipun disebutkan oleh Zamakhsari dalam Al Kasyyaf 2/203, Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir 3/372, Ar Rozi dalam Mafatihul Ghoib 16/130, Al Khozin dalam tafsir beliau 3/126, Al Baidlowi dalam Anwarut Tanzil 3/75, Ibnu Katsir dalam tafsur beliau 2/373, As Suyuthi dalam Ad Dur Al Mantsur 3/260 juga dalam al Iklil hal : 121 serta masih banyak lainnya tanpa mereka sebutkan akan kebatilan dan kemungkarannya.”

(Lihat At Tashfiyah wat Tarbiyah hal : 54)

Sisi kelemahan kisah ini
Kisah ini lemah bila ditinjau dari sisi sanad maupun matannya, adapun dari sisi sanadnya maka penjelasannya adalah sebagai berikut :

Bahwa dalam sanad hadis ini terdapat dua sisi kelemahan yaitu :

1.Pertama : Ali bin Yazid Al Alhani
Berkata Bukhori : Munkar hadits.
Berkata Daruquthni : Matruk.
Berkata Nasa’i : Tidak tsiqoh
Berkata Abu Zur’ah : Tidak kuat
(Lihat Mizanul i’tidal oleh Adz Dzahabi 5/195 dan Tahdzibut Tahdzib 7/396)
2.Kedua : Ma’an bin Rifa’ah As Sulami
Berkata Ibnu Hibban : Munkar hadits dan dia menceritakan hadits dari orang-orang yang tak dikenal
Berkata Jauzaqoni : Tidak bisa dijadikan hujjah.
(Lihat Tahdzibut Tahdzib 10/201, Mizanul i’tidal 6/455, Al Majruhin 3/36)
Oleh sebab inilah, maka hadits ini dilemahkan oleh banyak para ulama’ diantaranya adalah :
Berkata Al Haitsami : “Diriwayatkan oleh Thobroni, dan pada sanadnya terdapat Ali bin Yazid al Alhani, dia itu orang yang matruk, dan Ma’an bin Rifa’ah haditsnya lemah.”
Berkata Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ihya’ 3/135 : “Sanadnya lemah.”
Berkata al Hafidl Ibnu Hajar : Hadits ini lemah tidak dapat digunakan sebagai hujjah (Fathul Bari 3/266, lihat juga Takhrij Kasyaf 4/77/133)

Yang juga melemahkannya adalah :
Ibnu Hazm dalam al Muhalla 12/137
Al Baihaqi sebagaimana dinukil dalam Faidlul Qodir 4/527
Al Qurthubi dalam tafsir beliau 8/210
Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma’ Shohabah no : 623.
(Lihat Adl Dlo’ifah oleh Syaikh al Albani : 1607, 4081, Qoshosh La Tatsbut Syaikh Yusuf Al Atiq 1/47)

Adapun dari sisi matannya, maka hadits inipun lemah dan bathil. Penjelasannya adalah sebagai berikut :

Hadits ini banyak bertentangan dengan nash-nash yang jelas dalam al Qur’an dan as Sunnah, yaitu :

1.Diterimanya taubat

Termasuk sesatu yang jelas dalam syariat islam yang mulia, bahwa Alloh menerima taubat orang yang berbuat kesalahan, sebesar apapun kesalahan tersebut selagi matahari belum terbit dari barat dan selagi nafas belum sampai ditenggorokan.
Alloh berfirman :

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah : “Hai hamba-hamba Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rohmat Alloh. Sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. Az Zumar [39] : 53)

Rosululloh bersabda :

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Dari Abu Musa dari Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh membentangkan tangan Nya pada waktu malam untuk mengampuni orang yang berbuat jelek pada waktu siang, dan Alloh juga membentangkan tangan Nya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang berbuat jelek pada waktu malam sehingga matahari terbit dari arah barat.”

(HR. Muslim : 4959 Ahmad : 18708)

Beliau juga bersabda :

عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh menerima taubat seorang hamba selagi nafas belum sampai tengorokan.”

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani)

Nash-nash ini sangat jelas menunjukkan bahwa taubat seseorang itu diterima, padahal dalam kisah tersebut Rosululloh tidak menerima taubatnya Tsa’labah yang menyadari kesalahannya tatkala enggan membayar zakat, begitu pula dengan ketiga kholifah setelah beliau.

2. Keutamaan orang yang ikut perang Badar

Tsa’labah daam kisah ini nama lengkapnya adalah Tsa’labah bin Hathib bin Amr bin Ubaid bin Umayah al Anshori. Beliau adalah termasuk slaah seorang sahabat yang ikut dalam perang badar, sebgaimana hal ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah 5/218 juga oleh Al Hafidl Ibnu Hajar dalam al Ishobah 1/199 serta yang lainnya.

Padahal sudah merupakan sesuatu yang mapan dalam akidah kaum muslimin bahwa ahli Badar mempunyai keutamaan yang sangat besar yang tidak dapat dicapai oleh sahabat lainnya yang tidak ikut perang Badar.

Diantara keutamaan mereka adalah yang terdapat dalam beberapa hadits berikut :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ
Dari Jabir berkata : Rosululloh bersabda : “Tidak akan masuk neraka orang yang ikut perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah.”

(HR. Ahmad 14725 dengan sanad shohih, Lihat Ash Shohihah : 2160)

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ عَبْدًا لِحَاطِبٍ جَاءَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو حَاطِبًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيَدْخُلَنَّ حَاطِبٌ النَّارَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَبْتَ لَا يَدْخُلُهَا فَإِنَّهُ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَة
Dari Jabir berkata : Bahwa seorang budak milik Hathib datang kepada Rosululloh untuk mengadukan perkara Hathib, seraya berkata : Ya Rosululloh, sungguh Hathib akan masuk neraka.” Maka Rosululloh bersabda : “Engkau berdusta, dia ikut dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah.”

(HR. Muslim : 2495)

عَنْ مُعَاذِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِيهِ وَكَانَ أَبُوهُ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ قَالَ جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَعُدُّونَ أَهْلَ بَدْرٍ فِيكُمْ قَالَ مِنْ أَفْضَلِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا قَالَ وَكَذَلِكَ مَنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنْ الْمَلَائِكَةِ
Dari Mu’adz bin Rifa’ah Az Zuroqi dari bapaknya yang merupakan orang yang ikut perang Badar berkata : “Jibril datang kepada Rosululloh seraya berkata : Menurut kalian bagaimana dengan orang yang ikut dalam perang Badar ? Maka Rosululloh menjawab : Mereka adalah orang islam yang paling baik, demikian juga dengan para malaikat.”

(HR. Bukhori : 3992)

Inilah sebagian keutamaan ahli badar, lalu bagaimana mungkin Tsa’labah melakukan itu semua, padahal dia adalah saah seorang yang ikut perang badar ? dan anggaplah beliau melakukannya, lalu bagaimana mungkin Alloh tidak mengampuninya, padahal dosa orang yang ikut perang badar telah diampuni oleh Alloh sebesar apapun dosa tersebut. Perhatikanlah kejadian berikut ini :

عَنْ عَلِيٍّ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَكُلُّنَا فَارِسٌ قَالَ انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا امْرَأَةً مِنَ الْمُشْرِكِينَ مَعَهَا كِتَابٌ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ فَأَدْرَكْنَاهَا تَسِيرُ عَلَى بَعِيرٍ لَهَا حَيْثُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا الْكِتَابُ فَقَالَتْ مَا مَعَنَا كِتَابٌ فَأَنَخْنَاهَا فَالْتَمَسْنَا فَلَمْ نَرَ كِتَابًا فَقُلْنَا مَا كَذَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُجَرِّدَنَّكِ فَلَمَّا رَأَتِ الْجِدَّ أَهْوَتْ إِلَى حُجْزَتِهَا وَهِيَ مُحْتَجِزَةٌ بِكِسَاءٍ فَأَخْرَجَتْهُ فَانْطَلَقْنَا بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ فَدَعْنِي فَلِأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ حَاطِبٌ وَاللَّهِ مَا بِي أَنْ لَا أَكُونَ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَدْتُ أَنْ يَكُونَ لِي عِنْدَ الْقَوْمِ يَدٌ يَدْفَعُ اللَّهُ بِهَا عَنْ أَهْلِي وَمَالِي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِكَ إِلَّا لَهُ هُنَاكَ مِنْ عَشِيرَتِهِ مَنْ يَدْفَعُ اللَّهُ بِهِ عَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ وَلَا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ عُمَرُ إِنَّهُ قَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ فَدَعْنِي فَلِأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ أَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ أَوْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ فَدَمَعَتْ عَيْنَا عُمَرَ وَقَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
Dari Ali berkata : “Rosululloh mengutusku bersama Martsad al Ghonawi dan Zubair bin Awam, dan kami semua adalah para penunggang kuda. Beliau bersabda : “Berangkatlah kalian sehingga sampai di kebuh Khokh, disana nanti ada seorang wanita musyrik membawa surat dari Hathib bin Abi Balta’ah yang ditujukan kepada orang-orang musyrik.” Maka kami menemukan wanita tersebut sedang naik unta ditempat yang ditunjukkan oleh Rosululloh, lalu kami katakan : “Serahkan surat tersebut.” Dia menjawab : “Saya tidak bawa surat.” Lalu kami mencarinya dan tidak kami temukan adanya surat, namun kami berkata : “Rosululloh tidak berdusta, engkau keluarkan surat itu atau kami telanjangi.” Dan tatkala wanita tersebut melihat keseriusan kami, maka dia mengeluarkan surat tersebut dar kain pengikat sarungnya, lalu kamipun berangkat balik kepada Rosululloh. Maka Umar berkata : “Wahai Rosululloh, Dia telah berkhianat kepada Alloh, Rosul Nya dan kaum mu’minin, biarkan aku penggal kepalanya.” Tapi Rosululloh malah bertanya kepada Hathib : “Apa yang membuatmu melakukan ini semua ?.” Maka Hathib menjawab : “Demi Alloh, bukannya saya tidak beriman kepada Alloh dan Rosul Nya, saya hanya ingin agar mereka merasa punya budi kepadaku, yang dengan itu bisa untuk menjaga keluarga dan hartaku, sedangkan semua sahabatmu mempunyai kerabat yang bisa menjaga keluarga dan hartanya.” Lalu Rosululloh bersabda : Dia telah berkata benar, jangan kalian katakan kepadanya kecuali kebaikan.” Namun Umar tetap berbicara : “Dia telah berkhianat kepada Alloh dan Rosul Nya serta kaum mu’minin, maka biarkan aku penggal kepalanya.” Maka Rosululloh bersabda : “Bukankah dia adalah termasuk sahabat yang ikut perang Badar ? barangkali Alloh Ta’ala sudah melihat kepada sahabat yang ikut perang Badar, sehingga Dia berfirman : “Lakukanlah apa yang kalian mau, sungguh kalian akan masuk surga (atau : Sungguh Saya ampuni kalian).” Maka kedua mata Umar pun mencucurkan air mata seraya berkata : “Alloh dan Rosul Nya lebih mengetahui.”

(HR. Bukhori : 3007, 3983 Muslim : 2494)

Sedangkan sisi kelemahan matan yang ketiga adalah :

Kisah ini bertentangan dengan sebuah syariat tentang orang yang enggan membayar zakat, yaitu diambil zakatnya serta separoh dari hartanya secara paksa.

عن بهز بن حكيم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أعطاها مؤتجرا بها فله أجرها ومن منعها فإنا آخذوها وشطر ماله عزمة من عزمات ربنا عز وجل
Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang menunaikan (zakat) demi mendapatkan pahala , niscaya dia akan mendapatkan pahalanya, namun barang siapa yang tidak membayarnya maka kami akan mengambilnya dan separoh hartanya, sebagai salah satu ketetapan dari ketetapan Robb kami.”

(HR. Ahmad 5/2, Abu Dawud 1575, Hakim 1/398 dengan sanad Hasan)

Dan sisi kelemahan yang keempat adalah bahwa kisah ini bertentangan dengan siroh para sahabat secara umum, yang mana mereka adalah manusia yang paling utama, sangat cinta pada akhirat dan zuhud pada dunia. Dan hal ini sangat jelas bagi siapapun yang menelaah perjalanan hidup mereka, bagaimana tidak demikian padahal Alloh telah ridlo pada mereka, sebagaimana firman Nya :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, niscaya Alloh akan ridlo kepada mereka dan merekapun ridlo kepada Alloh.”

(QS. At Taubah : 100)

Dan Rosululloh menyebut mereka sebagai manusia yang paling utama, sebagaimana sabda beliau :

عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Dari Ubaidah bin Abdillah bahwasannya Rosululloh bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.”

(HR. Bukhori Muslim )

Pengganti yang shohih :
Setelah mengetahui kelemahan kisah ini, maka tidak boleh bagi seorangpun untuk membawakan kisah ini sebagai ibroh bagi yang enggan membayar zakat. Cukuplah bagi kita ayat al Qur’an dan hadits yang shohih yang menerangkan tentang ancaman bagi yang enggan membayar zakat. Diantaranya adalah :
Firman Alloh Ta’la :

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
QS. At Taubah : 34,35

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ
Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang diberi harta oleh Alloh lalu dia tidak membayar zakatnya, maka nanti hartanya itu akan dirubah menjadi seekor ular botak yang memiliki dua titik hitam yang nantinya akan mematuknya pada hari kiamat, kemudian dia akan mencengkeramnya dengan kedua taringnya seraya mengatakan : “Saya harta simpananmu, saya adalah hartamu.”

Kemudian Rosululloh membaca firman Alloh :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
(QS. Ali Imron : 180)5

عن أبي هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْإِبِلُ قَالَ وَلَا صَاحِبُ إِبِلٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَا كَانَتْ لَا يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيلًا وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولَاهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ قَالَ وَلَا صَاحِبُ بَقَرٍ وَلَا غَنَمٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ لَا يَفْقِدُ مِنْهَا شَيْئًا لَيْسَ فِيهَا عَقْصَاءُ وَلَا جَلْحَاءُ وَلَا عَضْبَاءُ تَنْطَحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلَافِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولَاهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Tidak ada seorangpun yang memiliki emas dan perak yang tidak menunaikan zakatnya kecuali nanti pada hari kiamat akan dijadikan lempengan dari api lalu dipanaskan di neraka Jahannam, lalu akan disetrikakan pada samping tubuhnya dan pada dahihnya, setiap kali sudah dingin maka akan diulangi lagi, itu semua dilakukan pada suatu hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun, sehingga akan diselesaikan urusan manusia, lalu dia kan mengetahui jalannya, mungkin ke surga atau mungkin ke neraka.
Dikatakan : Wahai Rosululloh, lalu bagaimana dengan unta ? Beliau menjawab : Tidak pula yang memiliki unta yang tidak menunaikan zakatnya kecuali nanti pada hari kiamat dibentangkan baginya sebuah tempat yang sangat luas dan keras, tidak ada satu untapun yang tidak berada disitu, lalu mereka akan menginjaknya dengan kaki kaki mereka serta akan menggigit dengan mulut mereka, setiap kali yang pertama sudah lewat maka akan dikembalikan bagian yang akhirnya, itu semua pada suatu hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun, sehingga akan diselesaikan urusan manuisa, lalu dia akan mengetahui jalannya, mungkin ke surga atau ke neraka.”

(HR. Muslim :987)

وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مانع الزكاة يوم القيامة في النار
Dari Anas bin Malik berkata : “Rosululloh bersabda : “Orang yang enggan membayar zakat akan masuk neraka pada hari kiamat.”

(HR. Thobroni dalam ash Shoghir, berkata al Albani : Hasan Shohih, lihar Shohih Targhib : 762)

وعن بريدة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما منع قوم الزكاة إلا ابتلاهم الله بالسنين
Dari Buroidah berkata : “Rosululloh bersabda : “Tidaklah sebuah kaum enggan membayar zakat kecuali akan diuji oleh Alloh dengan musim paceklik.”

(HR. Thobroni dalam al Ausath, Hakim, Baihaqi dengan sanad shohih, lihat shohih Targhib : 763)

Wallohu a’lam




mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

Sepenggal Kisah Lemah Seputar Perjalanan Hijroh Rosululloh ke Kota Madinah

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

Sulitnya Rosululloh untuk mengembangkan dakwah islam di kota Mekkah adalah salah satu sebab hijrohnya Rosululloh dan para sahabat beliau ke kota Madinah. Perjalanan hijroh tersebut mengandung ibroh dan pelajaran yang sangat berharga bagi segenap kaum muslimin, namun sangat disayangkan kisah agung itu harus terkotori dengan adanya beberapa kisah lemah yang selalu menempel setiap kali orang menyampaikan atau menulis tentang perjalanan hijroh Rosululloh dengan Abu Bakar Ash Shidiq.

Di antara kisah lemah itu adalah kisah digigitnya Abu Bakar oleh seekor ular saat berada didalam goa, juga adanya laba-laba dan burung merpati yang berada di mulut goa.

Semoga pembahasan ini bisa menjadi peringatan bagi semuanya untuk tidak lagi menyampaikan kisah tersebut dalam kisah perjalanan hijroh Rosululloh.

Wallohul Muwaffiq
Kisah I: Abu Bakar Digigit Ular
A. Kemasyhuran kisah ini :

Kalau kita baca kitab-kitab yang menceritakan perjalanan hijroh Rosululloh ke kota madinah dihampir semu kitab sejarah, bisa dipastikan akan menemukan kisah ini, dan betapa sering kita mendengarnya dari tukang penceramah, para ustadz, kyai yang mengisahkan perjalanan agung tersebut. Dan yang semakin membuat kisah ini terkenal adalah bahwa kisah ini disebutkan oleh yang mulia Syaikh Shofiyyur Rohman Al Mubarokfuri dalam kitab beliau Ar Rohiqul Makhtum. Kitab ini menjadi sangat masyhur dikalangan pelajar maupun awam kaum muslimin karena memenangkan sayembara penulisan sejarah hidup Rosululloh yang diadakan Robithoh Alam Islami, lalu diterjemahkan ke banyak bahasa dunia, dan di Indonesia lebih dari satu penerbit yang menerjemahkan kitab ini. (1)

B. Konon dikisahkan

•Berkata Syaikh Shofiyyur Rohman al Mubarokfuri pada bab :
Tatkala keduanya (Rosululloh dan Abu Bakar) berada di goa : “Tatkala keduanya sampai di goa, maka Abu Bakar berkata : Demi Alloh, jangan engkau masuk sebelum aku masuk terlebih dahulu, kalau nanti ada sesuatu biarlah menimpaku dan tidak mengenaimu.” Maka Abu Bakar pun masuk dan membersihkannya, dan beliau menemukan ada sebuah lubang, maka beliau merobek kain sarungnya dan menutupnya, namun ternyata masih ada dua lubang lagi, maka beliau memasukkan kedua kedua kaki beliau, kemudian beliau memanggil Rosululloh : Silahkan masuk wahai Rosululloh,.” Rosululloh pun masuk dan beliau membaringkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar dan beliupun tertidur. Tiba-tiba ada ular yang mengigit kaki Abu Bakar dalam lubang, beliau tidak bergerak karena takut membangunkan Rosululloh, tapi akhirnya meneteslah air mata beliau di wajah Rosululloh, lalu beliau bersabda : “Ada apa dengan engkau wahai Abu Bakar ? Abu Bakar menjawab : Saya digigit.” Maka Rosululloh meludahinya dan segera hilanglah rasa sakitnya.”

(Lihat Ar Rohiqul Makhtum hal : 148)

C. Derajat kisah ini :

•Kisah ini Maudlu
Hadits maudlu’ adalah sebuah ucapan yang dibuat-buat kemudian disandarkan kepada Rosululloh secara dusta (Lihat Tadribur Rowi As Suyuthi 1/274) Dalam bahasa Indonesia sering di sebut sebagai hadits palsu.

•Takhrij hadits (2)
Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah 2/476 berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul Husain Ali bin Muhammad bin Abdulloh bin Busyron, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salman An Najjar Al Faqih, dia berkata : Telah membaca kepadaku Yahya bin Ja’far dan saya mendengarnya, dia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abdur Rohman bin Ibroim Ar Rosibi, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Furot bin Sa’ib dari Maimun bin Mahron dari Dlobbah bin Mihshon al ‘Anzi dari Umar bin Khothob : Lalu beliau menyebutkan kisah diatas.

•Sisi kepalsuan hadits ini disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1. Abdur Rohman bin Ibrohim Ar Rosibi

Orang ini disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal : 4804 : Abdur Rohman bin Ibrohim ar Rosibi meriwayatkan dari Malik sebuah hadits panjang namun bathil, dan dialah yang tertuduh memalsukannya. Dia juga meriwayatkan dari Furot bin Sa’ib dari Maimun bin Mahron dari Dlobbah bin Mihshon dari Abu Musa dengan kisah kejadian di goa, dan kisah ini serupa dengan hasil pemalsuan orang-orang tarekat shufi.”

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan : 4963 menyetujui apa yang dikatakan oleh Ad Dzahabi bahwa kisah ini serupa dengan hasil pemalsuan orang tarekat shufi.

2. Furot bin Sa’ib

Berkata Imam Adz Dzahabi dalam Mizanul i’tidal : 6689 : “Furot bin Sa’ib dari Maimun bin Mahron. Berkata Imam Bukhori : Munkar hadits, Berkata Ibnu Ma’in : Tidak ada apa-apanya, berkata Ad Daruquthni dan lainnya : Matruk (ditinggalkan).”

al Hafidl Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan : 6522 menyetujui apa yang dikatakan oleh imam Adz Dzahabi, kemudian beliau berkata : Berkata Abu Hatim As Saji : Para ulama’ meninggalkannya. Berkata Nasa’i : Haditsnya ditinggalkan.”

D. Faedah :

•Berkata Al Hafidl : Madzhabnya Imam Nasa’i bahwa beliau tidak meninggalkan haditsnya seorang rowi sehingga para ulama’ sepakat untuk meninggalkannya.” (Syarah Nukhbah : 69)
•Berkata Imam Suyuthi : Imam Bukhori menggunakan kata : “Munkar hadits” pada seorang yang tidak boleh diriwayatkan hadits darinya.” (Tadrib 1/349)
==========================================

Kisah II: Sepasang Burung Merpati dan Lala-laba dimulut Goa
A. Kemasyhuran Kisah

Hampir sama dengan yang sebelumnya, kisah inipun sangat masyhur dan selalu disebutkan oleh para penceramah setiap kali menyebutkan perjalanan hijrohnya Rosululloh ke kota Madinah, sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kisah hijroh yang agung tersebut.

B. Al kisah :

Saat Rosululloh dan Abu Bakr sudah sampai ke goa, maka beliau bersama Abu Bakar masuk kedalamnya, lalu datanglah seekor laba-laba dan sepasang burung merpati ke mulut goa atas perintah Alloh Ta’ala. Adapun laba-laba maka dia langsung membuat rumah di mulut goa, sedangkan burung merpati segera membuat sarang dan bertelur disitu. Maka tatkala para pemuda Quraisy yang sedang kebingunagn karena kehilangan jejak beliau sudah sampai ke dekat goa, maka salah seorang diantara mereka pergi mendekat, akan tetapi karena melihat dimulut goa ada rumah laba-laba yang belum rusak dan burung merpati yang sedang bertelur, maka dia pun balik dan tidak melihat kedalam goa. Tatkala teman-temannya menanyakan :” Kenapa kok tidak melihat kedalam goa ? maka dia menjawab : Ada seekor laba-laba dan sepasang burung merpati di mulut goa, saya yakin tidak ada siapa-siapa didalamnya.” (3)

C. Derajat kisah :

Berkata Syaikh Al Albani dalam Adh Dho’ifah : Hadits munkar

D. Takhrij kisah ini : (4)

Hadits ini memiliki empat jalan dengan redaksi yang sedikit berbeda :

Pertama : Kisah diatas

Hadits yang menceritakan kisah ini diriwayatkan oleh Thobroni dalam Al Kabir : 1082, Al Bazzar : 1741, Al Uqoili dalam Adh Dhu’afa 1462 dan Baihaqi dalam Ad Dala’il 2/213 dari jalan Aun bin Amr al Qoisi, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mush’ab Al Makki berkata : Saya bertemu dengan Zaid bin Arqom, Mughiroh bin Syu’bah dan Anas bin Malik menceritakan hadits diatas.

Hadits ini hanya diriwayatkan dari jalan Aun dari Abu Mush’ab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bazzar, beliau berkata : Kami tidak mengetahui ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Aun bin Amr dan dia adalah seorang dari daerah Bashroh yang masyhur. Sedangkan Abu Mush’ab, kami tidak mengetahui ada yang menceritakan darinya kecuali Aun.”

Sisi cacat hadits ini :

1. Aun bin Amr Al Qoisi

Berkata Imam Adz Dzahabi dalam Mizanul i’tidal : 6535 : Berkata Ibnu Ma’in : Tidak ada apa-apanya, berkata Imam Bukhori : dia seorang yang munkar hadits dan majhul.”

Imam Adz Dzahabi kemudian membuat contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh Aun, dan hadits ini adalah salah satunya.

2. Abu Mush’ab

Dia seorang yang majhul ain sebagimana yang dikatakan oleh Bazzar dan Al Uqoili. Dan majhul ain adalah seorang yang rowi yang hanya diriwayatkan oleh seorang rowi dan tidak diketahui ketsiqohannya. Hukum hadits majhul ain adalah lemah, sebagaimana yang telah mapan dalam disiplin ilmu hadits.

Jalan kedua :

Kisah diatas namun hanya menyebut laba-laba, tanpa adanya kisah sepasang merpati.

Diriwayatkan oleh Abu Bakr al Qodli dalam Musnad Abu Bakr, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami Basysyar al Khoffaf, dia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman , Telah menceritakan kepada kami Abu Imron, Telah menceritakan kepada kami Mu’alla bin Ziyad dari Hasan Al Bashri berkata : Rosululloh berangkat bersama Abu Bakr ke goa, lalu keduanya masuk, maka datanglah seekor laba-laba lalu membuat rumah dimulut goa. Lalu datanglah para pemuda Quraisy, namun tatkala mereka melihat ada sarang laba-aba disitu maka mereka mengatakan : Tidak ada seorangpun yang memasukinya.”

Kisah ini lemah sekali

Sisi kelemahan hadits ini :

1.Mursalnya Hasan al Basri, karena beliau adalah seorang Tabi’in dan langsung menceritakan dari Rosululloh .
Berkata Imam Ahmad : Tida ada hadits mursal yang lebih lemah dibandingkan mursalnya Hasan. (Lihat Tadribur Rowi oleh As Suyuthi 1/204)

2. Basyar al Khofaf

Berkata Nasa’i : Basyar : Tidak tsiqoh (Adh Dhu’afa wa Matrukin : 80)
Berkata Bukhori : Dia munkar hadits ( At Tarikh Al Kabir : 1935)
Berkata Yahya bin Ma’in : Dia seorang yang tidak tsiqoh.
Berkata imam Adz Dzahabi : Dia dilemahkan oleh Abu Zur’ah.
Berkata Ibnu Gholabi : Dia termasuk para pendusta.

Jalan ketiga :

Singkat cerita : Dari Ibnu Abbas berkata : Tatkala orang-orang Quraisy bermusyawarah untuk membunuh Rosululloh, maka Alloh memberitahukan hal itu kepada Rosululloh. Maka Rosululloh memerintahkan Ali bin Abi Tholib untuk tidur di rumah beliau dan beliau pergi sehingga sampai di goa. Pagi harinya orang-orang Quraisy tatkala menyadari bahwa Rosululloh telah pergi maka mereka mencarinya dan sampai kedekat goa, saat mereka melihat ada rumah laba-laba dimulut goa maka mereka berkata : Seandainya dia masuk sini maka tidak mungkin ada rumah laba-laba disini.”

Kisah ini lemah

Diriwayatkan oleh Ahmad 3251, Abdur Rozaq : 9743, Thobroni 12155 dari jalan Ma’mar bin Utsman al Jazri dari Muqsim dari Ibnu Abbas.

Sisi kelemahan hadits ini :

Sisi kelemahan hadits ini adalah Utsman Al Jazri

Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wat Ta’dil 2/162 : Dia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
Dia pun dilemahkan oleh Adz Dzahabi dalam Mizan 5510 dan Ibnu Hajar dalam Lisan : 5526.

Jalan keempat :

Silsilah riwayat : “Saya mencintai laba-laba”

Diriwayatkan oleh Ad Dailami dalam Musnad Firdaus. Berkata telah menceritakan kepadaku bapakku berkata : Saya mencintai lala-laba sejak saya mendengar guruku Abu Ishaq bin Ibrohim Al Maroghi dan Muhammad bin Ja’far al Muthohhar – dengan sanad yang panjang semuanya perowinya berkata : “Saya mencintai laba-laba” sampai kepada – Muhammad bin Sirin berkata : Saya mencintai laba-laba sejak saya mendengar dari Abu Huroiroh berkata : “Saya mencintai laba-laba sejak saya mendengar Abu Bakr berkata : Saya selalu mencintai laba-laba sejak saya melihat Rosululloh mencintainya dan beliau bersabda : Semoga Alloh membalas sang laba-laba dengan balasan yang baik, dia membuat sarang untuk melindungiku dan Abu Bakr saat berada di gua, sehingga orang-orang musyrik tidak bisa melihat dan menemukan kami.

Derajat hadits ini :

Berkata Syaikh Al Albani : Munkar

Sisi kelemahannya :

Didalam sanadnya terdapat seorang rowi bernama Abduloh bin Musa as Sulami. Berkata al Khothib al Baghdadi : Dia banyak meriwayatkan hadits-hadits aneh dan mungkar.
Beliau juga berkata : Dia meriwayatkan dari siapa saja, baik orang-orang yang majhul maupun lainnya.
Berkata Imam Adz Dzahabi : dia meriwayatkan hadits yang aneh bin ajaib, dia menceritakan hadits yang tidak ada asal usulnya.”
Berkata Syaikh al Albani : di hadits ini juga ada beberapa perowi yang tidak saya kenal.”

Kesimpulan :

Berkata Syaikh Al Albani :

Ketahuilah, bahwa hadits tentang laba-laba dan dua burung dara tidak shohih meskipun sangat banyak disebut dalam berbagai kitab dan ceramah seputar kisah hijrohnya Rosululloh ke Madinah, oleh karena itu ketahuilah hal ini.”

(Lihat Adh Dho’ifah : 1189)

Wallohu a’lam

____________________________________

•(1) Jangan ada yang salah faham bahwa saya mentahdzir kitab ini, kitab Ar Rohiqul Makhtum adalah sebuah kitab yang bagus, namun sebagaimana kata Imam Malik : Semua orang bisa membantah dan dibantah kecuali Rosululloh.” Tidak ada yang ma’shum kecuali beliau dan Alloh tidak berkehendak untuk membuat sebuah kitab sempurna kecuali kitab Nya al Qur’an Al Karim.
•(2) Takhrij ini saya ambil dari tulisan Syaikh Ali Hasyisy dalam majalah At Tauhid Mesir edisi 5 tahun 29 hal : 34 dengan beberapa tambahan dari lainnya.
•(3) Kisah dengan lafadl semacam ini adalah yang masyhur di Indonesia. Ada sedikit perbedaan redaksi dengan yang terdapat dalam beberapa hadits. Namun inti permasalahannya sama. Walohu a’lam
•(4) Takhrij ini saya sarikan dari Adh Dho’ifah Syaikh Al Albani dan Silsilah Tahdzir Da’iyah oleh Syaikh Ali Al Hasyisy.

mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

Hukum Bedah dan Otopsi Jenazah Muslim

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit serta mengobatinya sedini mungkin atau untuk tujuan lainnya adalah dengan membedah jasad mayat manusia. Apakah ini dibolehkan dalam pandangan syara’ ataukah tidak ? Karena praktek ini dilakukan hampir di semua fakultas kedokteran maka dengan memohon taufiq kepada Alloh Ta’ala, saya turunkan pembahasan ini dengan mengacu pada tulisan Lajnah Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi dengan beberapa tambahan.
Tulisan ini saya bagi menjadi beberapa pokok pembahasan :

•Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati
•Macam-macam tujuan membedah jenazah
•Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang masih dalam perut
•Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa
•Hukum otopsi jenazah untuk tujuan belajar ilmu kedokteran
•Hukum membongkar kuburan seorang muslim
Allahumma, tunjukanlah kepada kami jalan yang Engkau ridloi dan jauhkanlah kami dari jalan yang Engkau murkai.

Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati
Termasuk sesuatu yang sangat jelas hukumnya dalam syariat islam adalah kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati. Maka tidak boleh membunuh, melukai dan menyakitinya serta tidak boleh mematahkan tulang atau mencincang tubuhnya setelah dia meninggal. Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya :

1. Alloh Ta’ala berfirman :

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan Alloh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”

(QS. An Nisa’ : 93)

2. Dari Ibnu Umar berkata :

“Rosululloh bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada TuhanYang Berhak disembah kecuali Alloh dan Muhamad adalah utusan Nya, mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Maka apabila mereka melaksanakannya niscaya akan terjada darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab mereka pada Alloh.”

(HR. Bukhori 1/70, Muslim 22)

3.

Dari Abdulloh bin Mas’ud berkata :

“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Alloh dan saya adalah utusannya kecuali dengan karena tiga perkara : 1. Orang yang membunuh maka diqishos, 2. Orang yang pernah menikah lalu berzina, 3. Orang yang murtad dari agama (islam) dan meninggalkan jamaah.”

(HR. Bukhori Muslim)

4.

Dari Aisyah berkata :

“Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah meninggal seperti mematahkan tulangnya saat dia masih hidup.”

(HR. Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Baihaqi 4/58, Ahmad 6/58 dengan sanad shohih, lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 295)

Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : “Hadits ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah dia meninggal sama sebagaimana tatkala dia masih hidup.”

Macam-macam tujuan membedah jenazah
Dilihat dari tujuannya praktek bedah dan otopsi mayat ada beberapa macam. Namun yang paling sering dilakukan ada tiga macam, yaitu :

•Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
Untuk keperluan ini seorang dokter melakukan otopsi jenazah. Apakah memang dia meninggal karena tindakan kriminalitas atau karena mati biasa, kalau memang karena tindakan kriminalitas maka akan dicari tanda-tanda yang memungkinkan akan bisa mengungkap siapa pelakunya. Namun jika meninggal dengan cara yang wajar maka berarti tidak perlu dicari pelakunya atau kalau mungkin sudak ditangkap pihak kepolisian bisa segera di bebaskan.
•Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian secara umum
Dengan otopsi ini seorang dokter bisa mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian pasien, sehingga kalau memang ini adalah sebuah wabah dan dikhawatirkan terjangkit pada masyarakat lainnya bisa segera dilakukan tindakan preventif agar tidak menyebar.
•Otopsi untuk keperluan praktek ilmu kedokteran.
Otopsi ini diperlukan mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia. Ini sangat diperlukan sekali agar bisa mengetahui adanya penyakit pada organ tubuh tertentu secara tepat.
Dan masih banyak tujuan-tujuan lain.
Secara umum hukum dari masalah ini berangkat dari apakah otopsi jenazah seorang muslim itu memang terpaksa harus dilakukan ? karena pada dasarnya tidak boleh melukai, mematahkan tulang dan lainnya dari jasad seorang muslim berdasarkan hadits Aisyah diatas terkecuali kalau memang dalam keadaan dlorurot harus melakukan itu maka boleh dilakukan berdasarkan firman Alloh Ta’ala tentang makanan yang haram dimakan :

“Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”

(QS. Al Baqoroh : 173)

juga berdasarkan sebuah kaidah fiqh yang masyhur bahwasannya keadaan dlorurot (terpaksa) itu bisa menghalalkan sesuatu yang haram.

Namun untuk memprediksikan apakah ini sudah dalam keadaan dlorurot ataukah belum sering terjadi perbedaan pandangan diantara para ulama’ yang menjadikan merekapun berselisih dalam hukumnya. Untuk lebih jelasnya, kita bahas satu persatu permasalahan yang ada :

Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya.

Apabila ada ibu meningal dunia dalam keadaan mengandung sedangkan bayi yang dikandungnya masih hidup, para ulama berselisih apakah harus di bedah perut ibu atau bagaimana?

Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. (Lihat Syarah Mukhtashor Kholil Syaikh Ahmad Dirdir dan Al Inshof Imam Al Mardawi 2/556, Kasyaful Qina’ 2/130).

Berkata Imam Ibnu Qudamah :

“Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas.

Rosululloh bersabda : “Mematahkan tulang orang mu’min yang telah meninggal sama seperti mematahkan tulang seorang mu’min yang masih hidup.” Juga karena Rosululloh melarang untuk mencincang mayat.

Namun Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya. (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab Imam Nawawi 5/301, Al Muhalla 5/166) Dan ini adalah madzhab yang Rojih insya Alloh.

Berkata Syaikh Rosyid Ridlo menanggapi madzhab Imam Malik dan Ahmad :

“Berdalil dengan hadits Aisyah untuk membiarkan bayi yang masih hidup dalam perut ibu sampai meninggal adalah sesuatu yang aneh bila ditinjau dari dua segi :

•Bahwasannya membedah perut tidak akan mematahkan tulangnya.
•Bahwasannya hidupnya janin apabila telah sempurna bentuknya lalu dikeluarkan dengan jalur oprasi bedah. Hal ini sering terjadi. Dari sini ada dua hal yang bertentangan antara menyelamatkan nyawa bayi itu ataukah menjaga kehormatan sang ibu untuk tidak dilakukan pembedahan dan mematahkan tulangnya ? tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan pertana itulah yang lebih rajih. Ditambah lagi bahwasannya pembedahan perut sang ibu untuk tujuan ini bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut.”
Berkata Syaikh Al Albani :

“Apa yang dipilih oleh Syaikh Rosyid Ridlo adalah madzhab Syafi’iyah sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa ini adalah madzhab Abu Hanifah dan jumhur ulama’ juga madzhab Ibnu Hazm dan ini adalah sesuatu yang benar Insya Alloh.”

(Lihat Ahkamul Janaiz hal : 297)

Berkata Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla :

“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”

Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa
Jika ada seseorang dalam keadaan sangat kelaparan yang mana kalau tidak makan akan meninggal dunia lalu dia tidak menemukan apa-apa kecuali daging mayat manusia, maka para ulama’ berselisih pendapat apakah boleh baginya memakan dagingnya ataukah tidak ?

Berkata Imam Nawawi :

“Boleh memakan daging manusia yang tidak ma’shum,(1) semacam orang kafir harbi,(2) orang murtad, pezina muhshon dan lainnya. Adapun orang yang terjaga kehormatannya seperti mayat muslim, kafir dzimmi atau musta’man (3) maka haram memakan daging mereka. Terkecuali kalau memang tidak mendapatkan apa-apa kecuali daging mayat manusia yang ma’shum maka dibolehkan memakan dagingnya.”

(Lihat Roudlotut Tholibin 2/284 dengan ringkas)

Berkata Syaikh Ahmad Dirdir :

“Tidak boleh bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakan daging manusia meskipun mayat itu orang kafir. Namun Imam Ibnu Arafah membolehkannya.”

(Lihat Syarah Kabir Ala Mukhtashor Al Kholil 1/)

Berkata Imam Ibnu Qudamah :

“Ulama’ madzhab Hambali mengharamkan memakan daging manusia yang ma’shum karena kehormatannya meskipun dalam keadaan terpaksa, namun boleh memakan daging mayat orang kafir harbi dan orang murtad karena keduanya tidak memiliki kehormatan baik dia temukan dalam keadaan sudah meninggal atau dia membunuhnya terlebih dahulu. Imam Syafi’I dan sebagian Hanafiyah berkata : “boleh memakan daging manusia ma’shum.” Dan pendapat inilah yang lebih benar karena kehormatan orang yang masih hidup lebih utama daripada kehormatan yang telah meninggal.”

(Al Mughni 11/79 dengan ringkas dan lihat pula Al Inshof oleh Al Mardawi 10/376)

Berkata Imam Ibnu Hazm :

“Semua yang diharamkan baik berupa makanan ataupun minuman seperti babi, binatang buruan di daerah haram, bangkai, darah, daging binatang buas, khomer dan lainnya kalau dalam keadaan terpaksa menjadi halal untuk memakannya selain daging manusia, maka tidak boleh memakannya baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak karena kewajiban terhadap mayat adalah menguburnya yang berarti haram diperlakukan dengan selainnya.”

(Al Muhalla 5/426)

Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran
Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Alloh telah menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah

“Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya”

(Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)

Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat.

Semua ini kalau bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih kuat masalahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak ?

Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka prektek bedah semacam ini diperbolehkan. Wallahu A’lam

Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?

Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa Kibarul Ulama’ hal :48-67)

Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang keharaman membongkar kuburan muslim :

“Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas kedokteran yaitu : “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran ?

Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh terhadap lainnya.

(Ahkamul Janaiz hal : 299)

Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.

Jawab :
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu :

•Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
•Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
•Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran
Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan sebagai berikut :

Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.

Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh bersabda :

“Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”

Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum, maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum. Wallahul Muwaffiq.

Faedah :
Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah :

Hukum membongkar kuburan muslim
Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 298)

Berkata Imam Nawawi :

“Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syar’I. Dan dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu. Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.”

(Al Majmu’ :5/303)

Berkata Syaikh Al Albani :

“Dengan ini dapat diketahui haramnya perbuatan yang dilakukan sebagian pemerintah muslim yang mana mereka membongkar kuburan muslim untuk dijadikan perumahan atau lainnya.”

(Ahkamul Janaiz hal : 198)

Namun jika kuburan itu kuburan orang-orang kafir maka sama sekali tidak dilarang membongkar kuburan mereka, karena mereka sama sekali tidak punya kehormatan, berdasarkan mafhum mukholafah dari hadits Aisyah tersebut diatas. Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik yang sangat panjang yang intinya :

“Tatkala Rosululloh datang ke kota madinah, beliau memerintahakn untk membangun masjid dan beliau mendapatkan tanah wakaf dari Bani Najjar yang didalamnya ada kuburan orang-orang musyrik maka Rosululloh memerintahkan untuk membongkar kuburan itu dan meratakannya.”

(HR. Bukhori Muslim)

Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar :

“Dalam hadits ini terdapat hukum dibolehkannya mengelola tanah kuburan yang didapat lewat hibah atau jual beli, juga boleh membongkar kuburan tua apabila tidak ada kehormatannya juga dibolehkan sholat di bekas kuburan orang-orang musyrik setelah dibongkar dan dikeluarkan isinya juga dibolehkan membangun masjid ditanah tersebut.”

Wallahu A’lam

mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

zondag, mei 16, 2010

Thola’al Badru ‘Alaina … Senandung Penduduk Kota Madinah Saat Menyambut Kedatangan Rosululloh

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

A. Al Kisah
Konon diceritakan bahwa setelah Rosululloh dan Abu Bakr menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, ditengah-tengah intaian kaum kuffar Quraisy, maka akhirnya Alloh menyelamatkan mereka hingga sampai ke Kota Madinah. Di sisi kisah yang lainnya para penduduk kota Madinah, dari kaum laki-laki, wanita dan anak-anak setiap harinya keluar rumah menuju pingiran kota untuk menunggu kedatangan beliau, kalau sampai sore hari belum ada tanda-tanda kedatangan beliau maka mereka pulang dengan perasaan kecewa. Sehingga suatu ketika dari jauh kelihatan ada debu yang berterbangan, semakin lama semakin dekat, mereka berharap-harap cemas siapakah gerangan yang datang tersebut ? Alangkah bahagianya mereka tatkala mengetahui bahwa yang datang adalah Rosululloh, manusia agung yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya, lalu mereka semua menyenandungkan gubahan bait syair berikut ini :

من ثنيات الوداع O طلع البدر علينا
ما دعا لله داع O وجب الشكر علينا
جئت بالأمر المطاع O أيها المبعوث فينا
Telah muncul purnama kepada kita
Dari daerah Tsaniyatul Wada’
Wajiblah bagi kita untuk bersyukur
Selagi masih ada orang yang berdo’a kepada Alloh.
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau telah datang dengan perkara yang ditaati


.

B. Kemasyhuran Kisah Ini
Saya rasa tidak ada seorangpun yang tidak mengenal kisah ini, karena hampir disemua kitab sejarah yang menceritakan tentang kedatangan Rosululloh ke kota Madinah dalam perjalanan hijroh agung beliau. Bahkan senandung bait syair ini sudah menjadi bahan nyanyian sebagian kaum muslimin, mereka menganggapnya sebagai sebuah nyanyain yang islami (?), karena bait syair ini dalam angapan mereka adalah untuk menyambut kedatangan Rosululloh saat perjalanan hijroh beliau. Wallohul Musta’an

Sampai-sampai beberapa kitab sejarah yang ditulis oleh para ulama’ sunnah pun menyebutkan kisah ini, diantaranya adalah yang disebutkan oleh Syaikh Shofiyyur Rohman Al Mubarokfuri dalam Ar Rohiqul Makhtum, beliau berkata pada bab : Masuk ke kota Madinah : “Saat itu adalah hari yang cemerlang dalam catatan sejarah, rumah-rumah dan gang-gang bergetar karena gema suara pujian kepada Alloh, lalu anak-anak wanita anshor dengan perasaan suka cita yang menggelora, mereka bernyanyi menyenandungkan ….(lalu beliau menyebutkan syair diatas).”

.
C.Derajat Kisah
Kisah ini lemah

Takhrij kisah ini : (1)

Diriwayatkan oleh Abul Hasan Al Khol’i dalam Al Fawa’id 2/59, Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwah 2/233 beliau berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Amr al Adib berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr al Isma’ili berkata : Saya medengar Abu Kholifah berkata : Saya mendengar Ibnu Aisyah berkata : Tatkala Rosululloh datang ke kota Madinah mana anak-anak dan wanita bersenandung …..”

Sanad hadits ini lemah karena Ibnu Aisyah yang beliau bernama Ubaidillah bin Muhammad bin Aisyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal no : 4262 : Ubaidilah bin Muhammad bin Hafsh bin Umar bin Musa bin Ubaidillah bin Ma’mar Al Qurosyi at Taimi, Abu Abdir Rohman Al Bashri. Dia lebih dikenal dengan nama Al ‘Aisyi dan Ibnu ‘Aisyah, karena dia adalah anak keturunan Aisyah binti Tholhah bin Ubaidillah.

Dia termasuk gurunya Imam Ahmad bin Hanbal dan termasuk orang yang mengambil hadits dan meriwayatkannya dari Tabiut tabi’in.

Jadi sanad ini terputus tiga tingkatan secara berurutan , yaitu sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, dan hadits dengan sanad semacam inilah yang oleh para ulama’ hadits dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan mu’dhol, adalah sebuah hadits yang lemah.

Berkata As Sakhowi dalam Fathul Mughits 1/185 : “Mu’dhol dalam istilah para ulama’ adalah : Hadits yang sanadnya terputus dua orang atau lebih secara berurutan.”

Dengan sebab inilah para ulama’ melemahkan kisah ini, meskipn sangat masyhur. Diantara mereka adalah Imam Al ‘Iroqi dalam takhrij ihya’ 2/244, Al Albani dalam Adh Dho’ifah no : 598, Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad 3/10, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan lainnya.

Sisi kelemahan lainnya :

Kisah ini pun lemah kalau kita tinjau dari sisi matannya yaitu : bahwa daerah Tsaniyatul wada’ adalah sebuah daerah yang berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan Makkah berada disebelah selatan Madinah. Dan orang Mekah yang akan menuju ke Madinah tidak akan pernah melewati daerah Tsaniyatul wada’. Inilah yang diisyaratkan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, beliau berkata :

“Sebagian perowi salah tatkala meriwayatkan kisah ini terjadi saat kedatangan beliau dari Mekkah ke Madinah. ini adalah sebuah kesalahan yang sangat nyata, karena daerah Tsaniyatul wada’ berada diarah Syam, daerah ini tidak akan pernah dilihat oleh orang yang datang dari Mekkah ke Madinah, dan tidak akan dilewati kecuali oleh orang yang berangkat dari Madinah menuju Syam.”

(Lihat Zadul Ma’ad 3/10)

D. Bersama al Ghozali dan kitab beliau Ihya’ Ulumuddin
Kisah ini digunakan dalil oleh Imam Al Ghozali dalam kitab tenar beliau Ihya’ ulumuddin 2/275 untuk menghalalkan nyanyian dan musik. Beliau berkata :

“Sisi dibolehkannya nyanyian adalah bahwa nyanyian adalah sesuatu yang bisa membangkitkan rasa senang dan gembira, maka semua yang boleh untuk bersenang senang dengannya maka boleh pula unytuk membangkitkan rasa senang dengan sesuatu tersebut. Dan yang menunjukkan akan bolehnya hal ini adalah riwayat yang menyatakan bahwa saat kedatangan Rosululloh ke kota Madinah maka para wanita menabuh duff (semacam gendang tanpa suara gemerincing) dan menyenandungkan :

من ثنيات الوداع O طلع البدر علينا
ما دعا لله داع O وجب الشكر علينا
Nukilan dari Imam Al Ghozali ini salah tiga sisi :

Pertama : kisah ini adalah lemah, sebagaimana keterangan diatas
Kedua : beliau menambah dalam riwayat tersebut lafadz yang tidak ada asal usulnya yaitu : “ …….. maka para wanita menabuh duff (semacam gendang tanpa suara gemerincing) dan menyenandungkan …..”
Tambahan yang tidak ada asal usulnya ini sering digunakan oleh sebagian kalangan untuk menghalalkan musik, padahal tambahan ini tidak ada asal usulnya.

Berkata Imam Al ‘iroqi dalam Takhrij Ihya’ (2/275) :

“Hadits tentang para wanita yang bersenandung saat kedatangan Rosululloh ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwah secara mu’dhol, namun tidak terdapat adanya menabuh duff dan nyanyian.”

Berkata Syaikh Al Albani :

“Al Ghozali menyebutkan kisah ini dan menambah dengan menyebut adanya “ menabuh duff dan nyanyian.” Padahal tambahan ini tidak ada asal usulnya sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidl Al ‘iroqi. Banyak orang yang tertitpu dengan tambahan ini, sehingga ada sebagian kalangan yang menyebutkan kisah ini sebagai dalil bolehnya nyanyian, padahal seandainyapun hadits ini shohih, maka ini bukan dalil atas kebenaran pendapat mereka.”

Ketiga : beliau membolehkan nyanyian dan musik, padahal keduanya sangat jelas keharamannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rosululloh dalam banyak haditsnya. Diantaranya adalah :

Pertama :

عن أبي مالك الأشعري قال : ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
Dari Abu Malik al Asy’ari berkata : “Rosululloh bersabda : “Sungguh akan ada sekelompok dari umatku yang menganggap halal zina, sutra, khomer (minuman keras) dan alat musik.”

(HR. Bukhori : 5590)

Al Ma’azif adalah alat musik. Berkata Imam Ibnul Qoyyim : dia adalah semua alat musik, tidak ada perselisihan diantara para ulama’ bahasa mengenai arti ini.”

Kedua :

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة
Dari Anas bin Malik berkata : “Rosululloh bersabda : “Dua suara yang dilaknat didunia dan akhirat, yaitu bunyi seruling ketika mendapatkan nikmat dan rintihan ketika mendapatkan mushibah.”

(Shohih riwayat Al Bazzar dalam musnad beliau 1/377, Abu Bakr Asy Syafi’i 2.22, Dliya’ al Maqdsi 6/188)

Ketiga :

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله حرم علي الخمر والميسر والكوبة وكل مسكر حرام
Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh mengharamkan kepadaku khomer, judi, gendang dan setiap yang memabukkan adalah harom.”

(Shohih riwayat Abu Dawud : 3696, Baihaqi 10/221, Ahmad 1/274, Abu Ya’la : 2729, Ibnu Hibban : 5341)

Keempat :

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله عز وجل حرم الخمر والميسر والكوبة والغبيراء وكل مسكر حرام
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash bahwasannya Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh mengharamkan khomer, judi, gendang, ghubairo’ (minuman memabukkan yang terbuat dari jagung) dan setiap yang memabukkan adalah harom.”

(Hadits hasan riwayat Abu Dawud : 3685, Thohawi 2/325, Baihaqi 10/221, Ahmad 2/157)

Kelima :

عن عمران بن حصين قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” يكون في أمتي قذف ومسخ وخسف ”
قيل : يا رسول الله ومتى ذاك ؟ قال : إذا ظهرت المعازف وكثرت القيان وشربت الخمور
Dari Imron bin Hushoin berkata : “Rosululloh bersabda : “Akan terjadi pelemparan pada ummatku, dirubahnya manusia menjadi bentuk lain dan gempa. Beliau ditanya : “Kapankah itu terjadi wahai Rosululloh ?.” beliau menjawab : “Jika alat musik telah semarak, banyaknya penyanyi dan khomer di tenggak.”

(Hadits hasan riwayat Tirmidzi : 2213, Ibnu Abid Dunya 1/2 , Abu Amr Ad Dani 1/39, Ibnu Najjar 18/251)

Hadits-hadits ini sangat tegas menunjukkan haramnya musik, maka seandainyapun riwayat tadi shohih, maka sama sekali tidak bisa dibawa kepada apa yang dilakukan oleh orang-orang yang membolehkan musik saat ini yang mereka namakan dengan musik atau nasyid islami (?).

(Lihat masalah ini dengan terperinci para Tahrim Alat Thorb oleh Syaikh Al Albani juga tulisan akhuna Al Ustadz Abu Abdillah pada edisi … tahun …. Rubrik Tazkiyatun Nafs)

Kisah lain yang juga lemah
Dari Anas berkata :

Rosululloh datang ke kota Madinah, maka tatkala beliau sudah masuk kota, maka seluruh penduduk Madinah yang laki-laki maupun wanita berkata : Kemari wahai Rosululloh.” maka beliau bersabda : “Biarkan onta ini, karena dia sedang diperintah.” Ternyata unta tersebut berhenti di pintu rumahnya Abu Ayyub. Maka keluarlah wanita-wanita Bani Najjar sambil menabuh duff sambil bersenandung :

يا حبذا محمد من جار O نحن جوار من بني النجار
Kami adalah wanita-wanita Bani Najjar
Alangkah bagusnya bertetangga dengan Muhammad

Maka Rosululloh keluar menemui mereka dan bersabda : “Apakah kalian mencintaiku ?. mereka menjawab : “Benar, wahai Rosululloh.” Maka Rosululloh bersabda : “Demi Alloh, sayapun mencintai kalian. Demi Alloh sayapun mencintai kalian.”

Kisah ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah 2/508. beliau berkata : telah menghabarkan kepada saya Abul Hasan Ali bin Umar berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Abdulloh bin Mukhollad Ad Dauri berkata : ” telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman berkata : ” telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Shirmah berkata : “telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ishaq bin Abdillah bin Abu Tholhah dari Anas berkata : ….”

Hadits lebih lemah dari yang sebelumnya, karena Ibrohim bin Shirmah adalah seorang pendusta.

Berkata Imam Adz Dzahabi : Ibrohim bin Shirmah al Anshori dari Yahya bin Sa’id dilemahkan oleh Daruquthni dan lainnya. Berkata Ibnu Adi : secara umum haditsnya munkar baik matan maupun sanadnya. Berkata Ibnu Ma’in : Dia pendusta yang keji.”.

.
E. Kisah yang sebenarnya
Setelah mengetahui kelemahan kisah diatas, maka secara wajar akan muncul sebuah pertanyaaan : Lalu bagaimana sebenarnya kejadian yang sebenarnya saat kedatangan Rosululloh di kota Madinah, apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah saat itu ?

Tidak cukup tempat untuk memaparkan kejadian kisah hijroh Rosululloh yang penuh dengan ibroh, silahkan dilihat pada kitab-kitab para ulama’ yang terpercaya. Di antaranya lihatlah shohih Bukhori kitab Manaqib Anshor bab kedatangan Rosululloh dan para sahabatnya ke Madinah. Juga apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bab haditsul hijroh, juga kitab-kitab siroh nabawiyyah yang shohih lainnya.”

Wallohu a’lam

______________________________________

(1) Takhrij ini saya ramu dari silsilah Tahdzir Da’iyah oleh Syaikh Ali Hasyisy dalam Majalah Tauhid Mesir dan Adh Dho’ifah Syaikh Al Albani no : 589

Related posts:

1.Sepenggal Kisah Lemah Seputar Perjalanan Hijroh Rosululloh ke Kota Madinah
2.Kisah Masuk Islamnya Ikrimah bin Abu Jahl
3.Mengangkat Tangan Saat Berdo’a: Antara Pengagum dan Pencela (Bag. 1)
4.Mengangkat Tangan Saat Berdo’a: Antara Pengagum dan Pencela (Bag 2)
5.Bedah Kisah-Kisah Tidak Nyata yang Tersebar di Masyarakat!
Related posts brought to you by wp-related posts.


mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

donderdag, mei 13, 2010

Status Anak Hasil Zina

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG



Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari Perbuatan Zina”, sebagai berikut:

1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?

2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?

4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

(Fulanah di Solo)

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.

1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:

a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur: 3:

الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”

b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112): “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”

Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’2 -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”

Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”

Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:

a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:

لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا

“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)

b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:

لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).

Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya6.

4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”

Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))

Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”

Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?

Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

2 Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

3 Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dirinya jika suaminya benar.

4 Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).

5 Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.

6 Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).

7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat

mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

vrijdag, mei 07, 2010

Hadits Tsaqalain : Ahlul-Bait Jaminan Keselamatan Dunia dan Akhirat

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG
Abu Al-Jauzaa'
Hadits ats-tsaqalain adalah salah satu hadits yang menjadi pokok perbedaan manhaj beragama antara Ahlus-Sunnah dan Syi’ah. Dan dari hadits inilah kemudian muncul teologi ‘beragama menurut Ahlul-Bait’ yang dikembangkan oleh Syi’ah. Mereka beranggapan agama ini hanya akan betul dan sah jika dibawakan menurut jalur Ahlul-Bait, bukan selain mereka. Ahlul-Bait yang dimaksudkan di sini bukanlah sesuai dengan apa yang dipahami Ahlus-Sunnah. Penjelasan lebih lengkapnya, silakan baca artikel sebelumnya yang berjudul : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba mendiskusikan hadits ats-tsaqalain ini dari beberapa jalur periwayatan, sekaligus bagaimana memahami makna yang ada di dalamnya. Sebagai pengantar, akan disebutkan beberapa (= tidak semua) riwayat hadits ats-tsaqalain sebagaimana di bawah :


1. Shahih Muslim
Pertama :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’.
Kedua :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ بِمَعْنَى حَدِيثِ زُهَيْرٍ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar-Rayyan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid bin Masruuq, dari Yazid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, (lalu dia menyebutkan haditsnya yang semakna dengan hadits Zuhair).
Ketiga :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي حَيَّانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ إِسْمَعِيلَ وَزَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail. Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir; keduanya (Muhammad bin Fudlail dan Jariir) dari Abu Hayyan melalui jalur ini sebagaimana hadits Ismaa’iil, dan di dalam hadits Jariir ada tambahan : “Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Keempat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid - yaitu Ibnu Masruuq - , dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia (Yaziid) berkata : “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya : 'Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau…dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur'an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.' Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya : “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab : “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
2. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ مَعَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبُرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوهُ وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطِيبًا فِينَا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَأُجِيبُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Abu Hayyaan At-Taimiy : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan At-Taimiy, ia berkata : “Aku, Hushain bin Sabrah, dan ‘Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya : "Sesungguhnya Anda telah menuai kebaikan yang banyak wahai Zaid. Anda telah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mendengar haditsnya. Kemudian Anda juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Sungguh, Anda telah melihat kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami apa yang telah Anda dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam." Zaid berkata : "Wahai anak saudaraku, demi Allah, usiaku telah lanjut, dan masaku pun telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku hafal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apa yang aku ceritakan pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian membebankannya padaku". Zaid melanjutkan berkata : “Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada kami di sebuah mata air yang biasa disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka'bah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengungkapkan puji-pujian atas-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau bersabda : ‘Amma ba'du, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, yang hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun memenuhinya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara yang sangat berat di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah 'azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan berpegang-teguhlah kalian dengannya". Beliau memberikan motivasi terkait dengan kitabullah dan mendorongnya. Kemudian beliau bersabda lagi : "Dan (yang kedua adalah) ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku, aku ingatkan kalian karena Allah terhadap akan ahlul-baitku." Kemudian Hushain bertanya kepada Zaid : "Dan siapakah ahlul-baitnya wahai Zaid?. Bukankah isteri-isteri beliau adalah termasuk ahlul-baitnya?". Zaid menjawab : "Isteri-isteri beliau termasuk bagian dari ahlul-baitnya. Akan tetapi, ahlul-bait beliau adalah siapa saja yang telah diharamkan baginya untuk menerima sedekah setelah beliau". Hushain bertanya lagi : "Siapakah mereka itu?". Zaid menjawab : "Mereka adalah keluarga ‘Aliy, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja'far, dan keluarga ‘Abbaas". Zaid bertanya lagi : "Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima sedekah?". Ia menjawab : "Ya" [4/366-367].[1]
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي أَلَا إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritkan kepada kami ‘Abdul-Malik – yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahlul-baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku” [3/26].[2]
3. Sunan At-Tirmidziy
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ هُوَ الْأَنْمَاطِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hasan – ia adalah Al-Anmaathiy - , dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya ketika di 'Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya - Al Qahwa`- dan aku mendengar beliau bersabda : ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan ‘itrahku ahlul-baitku" [no. 3786].[3]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid. Dan Al-A’masy dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhumaa, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku" [no. 3788].[4]
4. Al-Ma’rifah wat-Taarikh
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [1/536; shahih].
5. Mustadrak Al-Haakim.
حدثناه أبو بكر بن إسحاق ودعلج بن أحمد السجزي قالا أنبأ محمد بن أيوب ثنا الأزرق بن علي ثنا حسان بن إبراهيم الكرماني ثنا محمد بن سلمة بن كهيل عن أبيه عن أبي الطفيل عن بن واثلة أنه سمع زيد بن أرقم رضى الله تعالى عنه يقول نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بين مكة والمدينة عند شجرات خمس دوحات عظام فكنس الناس ما تحت الشجرات ثم راح رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية فصلى ثم قام خطيبا فحمد الله وأثنى عليه وذكر ووعظ فقال ما شاء الله أن يقول ثم قال أيها الناس إني تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي ثم قال أتعلمون إني أولى بالمؤمنين من أنفسهم ثلاث مرات قالوا نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كنت مولاه فعلي مولاه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq dan Da’laj bin Ahmad Al-Sajziy, keduanya berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ayub : Telah menceritakan kepada kami Al-Azraq bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim Al-Kirmaaniy, : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abuth-Thufail bin Waatsilah : Bahwasannya ia mendengar Zaid bin Arqam radliyallaahu ta’ala ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan menyanjung Allah ta’ala, mengingatkan dan memberikan nasehat (kepada manusia). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai sekalian manusia, aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul-baitku ‘itrahku”. Kemudian beliau melanjutkan : “Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”. Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya”. [no. 4577].[5]
6. Musykiilul-Aatsaar.
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Zaid, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari ‘Aliy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berteduh di Khum kemudian beliau keluar sambil memegang tangan ‘Aliy. Beliau berkata : “Wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya” atau [Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda] : “Maka ‘Aliy sebagai maulanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan Ahlul-Bait-ku” [3/56].[6]
Saya kira lafadh-lafadh di atas sudah cukup mewakili.
Kita akan melihat secara keseluruhan makna yang paling tepat akan hadits tsaqalain ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa hadits di atas diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu yang sama dan disaksikan lebih dari seorang shahabat. Yaitu saat haji wada’, tepatnya di satu tempat yang bernama Khumm. Jika kita ketahui bahwa hadits ini keluar pada orang yang satu (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), waktu yang satu (yaitu saat haji wada’), dan tempat yang satu (Khumm), maka lafadh hadits ini pun sebenarnya satu. Hukum dan maknanya pun juga satu.
Oleh karena itulah, kita perlu melihat keseluruhan lafadh hadits dari riwayat yang berbeda-beda sehingga kita bisa melihat lafadh hadits tersebut secara utuh. Karena telah ma’lum bahwa kadang satu hadits sengaja dibawakan oleh seorang perawi dengan meringkas, dan di lain riwayat ia bawakan secara lengkap. Juga, kadang seorang perawi menerima hadits dengan lafadh ringkas, namun perawi selain dirinya membawakan secara lengkap. Juga, adanya faktor kekurangan dalam sifat hifdh dari seorang perawi sehingga ia membawakan hadits yang semula panjang (lengkap), namun kemudian ia bawakan secara ringkas. Dan beberapa kemungkinan yang lainnya.
Kita juga harus memperhatikan bahwa hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak.
Ini semua mewajibkan kita untuk menelaah keseluruhan lafadh hadits yang ada.
Telah tsabt riwayat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad (mohon untuk dibaca kembali dengan seksama hadits di atas) bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada umatnya tentang dua perkara yang berat (ats-tsaqalain), beliau berkata :
أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ
“Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya”.
Kemudian beliau menyambung perkara yang kedua :
وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.
Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Jika Syi’ah mengatakan bahwa Kitabullah dan Ahluk-Bait adalah dua hal yang sama dan setara, maka itu tidak dapat diterima. Sebab, dalam riwayat lain (ex : Sunan At-Tirmidziy no. 3788) menjelaskan bahwa salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain :
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain”.
Hadits ini jelas menolak klaim kesetaraan.
Jika Syi’ah mengatakan bahwa kata Ahlul-Bait setelah huruf wawu merupakan ‘athaf kepada Kitabullah – sebagaimana termaktub dalam Sunan At-Tirmidziy no. 3786 dan Al-Ma’rifah wat-Taariikh (sehingga mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan Al-Qur’an dalam perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan sesat ), ini pun tidak dapat diterima dengan alasan :
1. Telah lalu perkataan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan kedudukan keduanya.
2. Dalam salah satu riwayat Muslim telah disebutkan lafadh :
كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Penunjukkan perintah itu secara tegas hanya tertuju pada Al-Qur’an (Kitabullah), tanpa ada tambahan keterangan ‘itrah ahlul-bait. Lafadh ini berkesesuaian dengan riwayat Muslim sebelumnya (dalam lafadh yang panjang) dan Ahmad (dalam lafadh yang panjang).
Sesuai pula dengan lafadh yang dibawakan Jaabir :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].[7]
yang tanpa ada keterangan tambahan berpegang teguh pada Ahlul-Bait.[8]
3. Lafadh hadits :
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي
Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku”.
Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما - “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما - “dengan keduanya”).[9] Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.
Oleh karena itu, kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih].
4. Ahlul-Bait bukanlah pribadi-pribadi yang ma’shum. Berbeda dengan Al-Qur’an yang ma’shum dan pasti benar setiap huruf, kata, dan kalimatnya. ‘Aliy bin Abi Thaalib terbukti pernah keliru dengan meminang putri Abu Jahl sehingga mendapat teguran dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا
“Sesungguhnya aku telah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
‘Aliy juga pernah salah ketika memberi hukuman terhadap para mulhidin dengan membakarnya :
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
‘Aliy juga pernah keliru saat menegur Faathimah karena ia bercelak setelah tahallul :
وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت
“…….Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar……." [Diriwayatkan Muslim no. 1218].
dan yang lainnya.
Bagaimana bisa kemudian Ahlul-Bait hendak disamakan dengan Al-Qur’an dalam perintah untuk selalu berpegang-teguh kepadanya dan jaminan aman dari kesesatan ? Kesesuaian mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolok ukur dan jaminan petunjuk bagi manusia. Adapun kekeliruan mereka, maka sudah selayaknya tidak kita ikuti. Barangsiapa yang mengikuti kekeliruan mereka, maka ia telah menyimpang. Ahlul-Bait tetap dibebani kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menetapinya keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan selamat, dan barangsiapa menyelisihinya akan tersesat.
Oleh karena itu, petunjuk yang dapat mereka berikan (kepada umat) tetap di-taqyid dengan kesesuaian terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama seperti para shahabat, tabi’iin, dan tabi’ut-tabi’iin lainnya.
Jika ada yang mengatakan :
Telah ditunjukkan bahwa lafaz “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” shahih dari Rasulullah SAW. Diantaranya kami menunjukkan bahwa riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menyebutkan lafaz “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Walaupun terdapat hadis lain yaitu riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam yang hanya menyebutkan lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah” saja, tidaklah berarti riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menjadi tertolak. Justru kalau kita menggabungkan keduanya maka hadis Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam melengkapi hadis Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam. Menjamak keduanya jelas lebih tepat dan hasil penggabungan keduanya adalah Rasulullah SAW menetapkan “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Hal yang sangat ma’ruf bahwa penetapan yang satu bukan berarti menafikan yang satunya. Apalagi jika terdapat dalil shahih penetapan keduanya maka dalil penetapan yang satu harus dikembalikan kepada penetapan keduanya.
Saya tidak tahu apakah perkataan ini lahir dari pengetahuan penjamakan lafadh-lafadh hadits yang dikenal ulama. Dan siapa pula yang menolak hadits Abudl-Dluhaa ? Bisa dicermati hadits-hadits di atas. Hadits Abu Dluhaa dari Zaid bin Arqam merupakan lafadh yang lebih ringkas daripada lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Juga, lafadh hadits Abudl-Dluhaa bukan merupakan jenis lafadh ziyaadatuts-tsiqah karena tidak ada lafadh yang bisa ditambahkan pada lafadh Yaziid bin Hayyaan. Tidak lebih, ia hanya merupakan ikhtishar saja. Jenis-jenis semacam ini banyak dalam kutubus-sunnah. Justru lafadh yang lengkap ada pada hadits Yaziid bin Hayyaan. Jika demikian, bagaimana bisa dipahami bahwa hadits Abu Dluhaa adalah pelengkap lafadh Yaziid bin Hayyaan ?. Di bagian mana lafadh hadits Abudl-Dluhaa melengkapi lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan ?
Jangan kita terpengaruh oleh syubhat : Apalagi dalam riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid terdapat lafal dimana Zaid berkata “aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Bukankah ini menunjukkan kalau hadis yang mengandung lafal seperti ini membutuhkan penjelasan dari hadis lain.
Kalimat di atas sepertinya punya kecenderungan untuk diarahkan bahwa saat Zaid bin Arqam menceritakan kepada Yaziid bin Hayyaan dalam keadaan telah tua dan sebagian hal ada yang telah terlupakan dari ingatannya, termasuk hadits ini.
Mari kita cermati apa sebenanya yang dikatakan Zaid bin Arqam :
“Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya”.
Dapat kita pahami bahwa hadits yang disampaikan Zaid bin Arqam kepada Yaziid bin Hayyaan adalah hadits yang masih ia ingat betul. Saya sepakat, mungkin saja ada beberapa lafadh yang kurang dalam hadits Yaziid bin Hayyaan, dan itu bisa ditambahi dari riwayat-riwayat lain yang termasuk dalam katagori : ziyaadatuts-tsiqah. Memperhatikan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, beberapa lafadh yang dapat ditambahkan ke dalam lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam sebagai berikut (yang asal sanadnya hasan atau shahih) :
أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين، [أحدهما أعظم من الآخرِ] : أولهما كتاب الله [حبل ممدود من السَّماء إلى الأرض] فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به [ومن تركه كان على ضلالة]" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي [فانظروا كيف تخلفوني فيهما]. [ألستم تشهدون أن اللَّه عزّ وجلّ ربّكم ؟ قالوا بلى قال ألستم تشهدون أنّ اللَّه ورسوله أولى بكم من أنفسكم وأنّ اللَّه عزّ وجلّ ورسوله مولياكم ؟ قالوا بلى قال فمن كنت مولاه فإنّ هذا مولاه أو قال فإنّ عليّا مولاه]
“Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), [salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain]. Pertama, Kitabullah [yaitu tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi] yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya, [dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat]”. (Perawi berkata) : Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku. [karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku]. [Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya”].
Adakah ruang bagi riwayat Abudl-Dluhaa untuk menambah lafadh Yaziid bin Hayyaan ? (Jawabnya : Tidak).[10]
Ringkasnya, riwayat Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam merupakan penjelas dari riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid bin Arqam, terutama di bagian kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’. Bukan sebaliknya.
Tidak ada penunjukan dalam hadits ats-tsaqalain untuk selalu berpegang tegus pada ahlul-bait dan jaminan pasti aman dari kesesatan. Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dipahami oleh para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3751].
Semoga yang dituliskan ini ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam bishs-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai].


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Sanad hadits ini shahih.
[2] Sanad hadits ini lemah dengan kelemahan terletak pada ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadiits. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits. Telah sampai kepadaku bahwasannya ‘Athiyyah mendatangi Al-Kalbiy dan mengambil darinya tafsir, dan ‘Athiyyah memberikan kunyah kepadanya (Al-Kalbiy) Abu Sa’iid. Kemudian (saat meriwayatkan) ia berkata : ‘Telah berkata Abu Sa’iid’. Husyaim telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 1306 dan Al-Kaamil 7/84 no. 1530]. Ahmad juga berkata : “Sufyan – yaitu Ats-Tsauriy – telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 4502]. Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Shaalih” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Namun dalam riwayat lain, seperti Abul-Waliid bin Jaarud, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1064 no. 1395]. Juga riwayat Ibnu Abi Maryam, bahwasannya Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, kecuali jika ia menuliskan haditsnya” [Al-Kaamil, 7/84 no. 1530]. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, ditulis haditsnya. Abu Nadlrah lebih aku sukai daripadanya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Abu Zur’ah berkata : “Layyin (lemah)” [idem]. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 481]. Al-Bukhaariy berkata : “Telah berkata Ahmad terhadap hadits ‘Abdul-Malik dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Telah aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain…’ : “Hadits-Hadits orang-orang Kuffah ini munkar” [Taariikh Ash-Shaghiir, 1/267]. Abu Dawud berkata : “Ia bukan termasuk orang yang dipercaya (dapat dijadikan sandaran)” [Suaalaat Abi ‘Ubaid Al-Aajuriiy, hal. 105 no. 24]. Ad-Daaruqthniy berkata : “Mudltharibul-hadiits” [Al-‘Ilal, 4/291]. Di tempat lain ia juga berkata : “Dla’iif” [As-Sunan, 4/39 – dari Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 453]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kedla’ifannya, ia ditulis haditsnya” [Al-Kaamil, 7/85]. Ibnu Sa’d berkata : “Ia tsiqah, insya Allah. Memiliki hadits-hadits yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqaat Ibni Sa’ad, 6/304]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah, namun tidak kuat (haditsnya)” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/140 no. 1255]. Ibnu Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 247 no. 970]. Adz-Dzahabiy berkata : “Para ulama telah mendla’ifkannya” [Al-Kaasyif 2/27 no. 3820]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah mudallis” [Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].
[lihat juga : Tahdziibul-Kamaal, 20/145-149 no. 3956 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 2937.
Di sini ‘Athiyyah juga membawakan riwayat dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122]. Jenis tadliis yang ia lakukan adalah jenis tadliis yang buruk, sebagaimana ditunjukkan dari perkataan Ahmad di atas.
Janganlah Anda terpedaya oleh ucapan : “Sebagian ulama menta’dilkan Athiyah dan sebagian yang lain mendhaifkannya. Mereka yang mendhaifkan Athiyyah tidak memiliki alasan yang kuat kecuali kalau Athiyyah dinyatakan melakukan tadlis syuyukh”.
Bagaimana bisa dikatakan tidak kuat ? Mereka men-jarh tidak semata-mata karena tadlis syuyukh yang qabiih (jelek) dari ‘Athiyyah. Silakan perhatikan benar-benar daftar perkataan para ulama terhadap diri ‘Athiyyah di atas. Jarh yang mereka alamatkan adalah dari sisi hapalannya. Bukankah Ibnu Ma’iin berkata bahwa ia seorang yang lemah kecuali jika ia menuliskan haditsnya ? Bukankah Ad-Daaruquthniy mengatakan ia seorang yang mudltharib (goncang) ? Juga jarh layyin dari Abu Zur’ah, ini menunjukkan jeleknya hapalan (suu’ul-hifdhiy). Ad-Daaruquthniy telah menjelaskan bahwa jika seseorang di-jarh dengan perkataan layyin, maka ia di-jarh bukan dari sisi ‘adalah-nya (maksudnya di sini, ia di-jarh dari sisi dlabth-nya) [lihat : Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 312]. Ini semua menunjukkan cacat di sisi ke-dlabith-annya. Ini bukan jenis jarh yang mubham. Selain itu, darimana dapat disimpulkan tajrih Husyaim, Ats-Tsauriy, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Abu Dawud, dan Ibnu ‘Adiy keluar semata-mata dengan sebab tadlis syuyuukh dari ‘Athiyyah ?
Pen-tsiqah-an Ibnu Syaahin bersandar pada perkataan Ibnu Ma’iin, padahal ia (Ibnu Ma’iin) telah mempunyai perkataan yang lebih rinci sebagaimana ternukil dari riwayat Ibnu Abi Maryam. Adapun pen-tautsiq-an Al-‘Ijliy – bersamaan dengan tasahul­-nya dalam pen-tautsiq-an perawi – ada hujjah yang menunjukkan jarh yang saya tunjukkan, yaitu tambahan keterangan : “Wa laisa bil-qawiy (dan ia bukan orang yang kuat)”. Maksudnya di sini, ‘Athiyyah tidak kuat dari sisi hapalannya (dlabth), namun terpercaya dari sisi ‘adalah-nya. Adapun bersandar pada tahsin At-Tirmidziy - kalaupun kita menganggap bahwa tahsin terhadap hadits itu dimutlakkan pada tahsin perawinya - , ia termasuk ulama yang tasaahul dalam pen-tautsiq-an perawi. Dan yang tersisa tinggallah tautsiq dari Ibnu Sa’d.
Pen-tautsiq-an ini sangatlah tidak memadai untuk mengalahkan ta’yin jarh ulama pada diri ‘Athiyyah, karena jarh yang mereka pakai adalah mufassar – selain juga merupakan pendapat mayoritas dalam pendla’ifan.
Jika ada yang mengatakan : “Imam Bukhari berkata “Ahmad berkata tentang hadis Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Athiyyah dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW bersabda “aku tinggalkan untuk kalian Ats Tsaqalain” hadis orang-orang kufah yang mungkar [Tarikh As Saghir juz 1 no 1300]. Perkataan Ahmad bin Hanbal ini sangat jelas kebathilannya. Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya”.
Justru perkataan di atas lah yang lebih jelas kebathilannya karena minimnya pengetahuan atas istilah-istilah ilmu hadits. Perkataan hadits munkar itu menunjukkan adanya kelemahan dari perawinya. Bukankah definisi dari hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’iif yang menyelisihi perawi tsiqah. Dalam definisi lain mengatakan : Hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang banyak kelirunya, banyak lupanya, atau menampakkan kefasikannya [lihat dua definisi ini dalam Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 74]. Jika memang tidak ada cacat dari para perawinya, apakah mungkin satu hadits dikatakan munkar ? (menurut ilmu mushthalah yang sudah ma’ruuf). Di sini Al-Imam Ahmad sedang membicarakan hadits ‘Athiyyah yang ia sendiri telah men-jarh-nya dengan : “Dla’iif”. Ia pun menukil pen-dla’if-an itu juga dari Husyaim dan Ats-Tsauriy. Apakah menjadi ‘sangat tidak mungkin’ jarh tersebut adalah jarh yang dilamatkan karena ke-dla’ifan-an diri ‘Athiyyah ? Jadi sangat tidak ‘nyambung’ menolak pendlaifan ‘Athiyyah dari Al-Imam Ahmad ini dan menyanggahnya dengan alasan : ‘Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya’. Memang benar hadits ats-tsaqalain ini bukan hanya diriwayatkan dari jalur tersebut. Namun sekali lagi tidak ‘nyambung’ jika alasan ini digunakan untuk menolak pen-dla’if-an ‘Athiyyah.
[3] Sanad hadits ini lemah, dengan kelemahan yang terletak pada Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Ia seorang perawi yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Matruukul-hadiits”. Sedangkan Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ia telah didla’ifkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib – dan ini disepakati oleh Basyar ‘Awaad dalam Tahriir Taqriibit-Tahdziib (1/433 no. 2127) dan tahqiq-nya terhadap Sunan At-Tirmidziy (6/124). Begitu pula Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif (1/416 no. 1731).
Dalam ilmu hadits, Abu Haatim adalah ulama yang tasyaddud, dan sebaliknya Ibnu Hibbaan adalah ulama yang tasaahul. Kesepakatan dua orang haafidh (yaitu Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy) dalam pendla’ifan mempunyai nilai tersendiri. Hal itu bisa dibuktikan dari pengambilan perkataan mereka dalam pendla’ifan Al-Anmathiy oleh para ulama setelahnya. Apalagi, Adz-Dzahabiy yang menjadi salah satu sumber penilaian tasyaddud-nya Abu Haatim (dalam kitab As-Siyaar, 13/260), maka di sini ia telah memberikan penilaian dengan mengambil pendla’ifan Abu Haatim.
Qarinah yang lebih menunjukkan kelemahan diri Al-Anmathiy adalah bahwasannya ia telah diselisihi oleh Haatim bin Ismaa’iil Al-Madiniy dan Hafsh bin Ghiyaats, dimana mereka berdua meriwayatkan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang khutbah wada’, dimana beliau bersabda :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].
yaitu tanpa tambahan lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي).
Maka dari itu, yang raajih – sebagaimana ini diambil oleh para muhaqqiq – adalah ta’yin atas kelemahan diri Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Dan untuk tambahan (ziyadah) lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي) adalah tambahan yang munkar, karena dibawakan oleh perawi dla’if – sebagaimana kaidah ini dijelaskan Ibnu Shalah dalam ‘Uluumul-Hadiits.
NB : Jika ada yang mengatakan bahwa At-Tirmidziy memberikan tautsiq kepada Zaid bin Al-Hasan, maka perkataannya perlu ditinjau ulang. Jika ia mengatakan hal itu dengan melihat penghukumannya atas hadits : hasan ghariib; maka para ulama telah bersilang pendapat mengenai makna perkataan ini. Beda peristilahan antara ghariib, hasan, hasan ghariib, hasan shahih, dan hasan shahih ghariib. Ini berawal dari persyaratan hadits hasan yang diberikan sendiri oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya, yaitu : (1) Ketiadaan perawi yang dituduh berdusta (muttaham bil-kidzb), (2) sanadnya tidak syadz, dan (3) mempunyai jalan periwayatan lain selain dari sanad hadits itu. Dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak layak berpegang pada perkataan At-Tirmidziy : ‘hasan ghariib’ sebagai tanda pen-tautsiq-an terhadap seluruh rawinya.
[4] Hadits ini terdiri dari dua sanad yang poros sanadnya pada Al-A’masy.
a. Hadits Abu Sa’iid; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid.
Sanad ini lemah karena ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Telah lalu penjelasannya di atas.
Di sini ia juga membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122].
b. Hadits Zaid bin Al-Arqam; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam.
Sanad hadits ini lemah, karena Habiib bin Abi Tsaabit. Ia adalah perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Akan tetapi ia adalah seorang yang banyak melakukan tadliis dan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya mudallis tingkat tiga [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 69]. Riwayatnya tidak diterima kecuali jika ia membawakan dengan tashriih penyimakannya [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283]. Dan dalam sanad riwayat ini, ia membawakan dengan ‘an’anah.
Ada sebagian orang yang menolak pensifatan tadlis dan irsal terhadap Habiib sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar (- yang kemungkinan orang tersebut bertaqlid pada Dr. Basyar ‘Awwaad dalam At-Tahriir).
Penolakan sifat banyak tadliis dan irsaal ini sangatlah aneh. Penisbatan sifat ini telah dikatakan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu Khuzaimah, dan Ad-Daaruquthniy. Apa yang mereka katakan punya sandaran, yaitu apa yang dikatakan oleh Ibnu Ja’far An-Nuhaas dimana Habiib pernah berkata kepadanya : “Apabila seseorang menceritakan hadits kepadaku yang berasal darimu, kemudian aku menceritakannya langsung darimu maka itu benar bagiku” [dari ta’liq Dr. ‘Abdul-Ghafaar bin Sulaimaan dan Prof. Muhammad bin Ahmad terhadap Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 87]. Semisal dengan ini telah dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Ta’rif dari Al-A’masy saat menyebutkan keterangan Habiib bin Abi Tsaabit. Ad-Daaruquthniy juga telah mengisyaratkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar ini dengan perkataannya : “Habiib tidak mendengar hadits ini dari Abul-Hayyaaj. Ia hanyalah mendengar dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah, dari Abul-Hayyaaj, sebagaimana dikatakan oleh Ats-Tsauriy” [Al-‘Ilal, 4/183 – melalui perantaraan Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 185 no. 861]. Semua ini adalah indikasi yang menguatkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar.
Pensifatan tadlis ini juga dikatakan oleh Al-‘Alaaiy, Al-‘Iraaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Maqdisiy, As-Sabth bin ‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy, Al-Halabiy, dan As-Suyuuthiy [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283, Al-Mudallisiin oleh Al-‘Iraaqiy hal. 39-40 no. 7, Asmaaul-Mudalisiin oleh As-Suyuthiy hal. 36 no. 7, dan At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin oleh As-Sabth bin Al-‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy hal. 19-20 no. 10].
Sangat keliru jika menghilangkan sifat tadlis dengan pernyataan bahwa : Habib bin Abi Tsabit lahir pada tahun 46 H sedangkan Zaid bin Arqam wafat pada tahun 68 H. jadi ketika Zaid wafat Habib berumur 22 tahun dan keduanya tinggal di kufah sehingga sangat memungkinkan bagi Habib bin Abi Tsabit bertemu dengan Zaid bin Arqam dan mendengar hadis darinya. Karena yang dimaksud dengan tadlis – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu mushthalah – adalah :
“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang pernah ia dengan haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis­-kan tidak pernah ia dengan dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
Oleh karena itu, kemungkinan bertemu atau bahkan bertemu sekalipun tidak dapat menghilangkan sifat tadlis bagi orang-orang berada pada martabat ketiga mudallisiin, jika ia tidak menjelaskan tashriih sima’-nya. Sebenarnya ini sudah sangat ma’ruf.
Jika ada yang mengatakan : “Disebutkan dalam Al Mustadrak no 4576 kalau Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan hadis Tsaqalain dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam. Kami katakan keduanya shahih, Habib meriwayatkan dari Zaid bin Arqam dan Habib meriwayatkan dari Abu Thufail dari Zaid. Zaid bin Arqam dan Abu Thufail keduanya adalah sahabat Nabi. Bisa saja dikatakan bahwa riwayat Habib dari Abu Thufail dari Zaid menunjukkan bahwa Habib melakukan tadlis sehingga ia menghilangkan nama Abu Thufail dan meriwayatkan langsung dari Zaid. Kami katakan perkataan ini hanya bersifat dugaan semata dan jika benar maka tadlis yang dilakukannya tidak bersifat cacat karena nama yang Habib hilangkan adalah nama sahabat Nabi yaitu Abu Thufail sehingga kalau mau dikatakan tadlis maka kedudukan Habib adalah mudallis martabat pertama yaitu yang sedikit melakukan tadlis atau ia melakukan tadlis dari perawi yang tsiqat atau adil. Tadlis yang seperti ini jelas bisa dijadikan hujjah”.
Pernyataan ini justru hanya duga-duga semata. Bagaimana bisa dipastikan bahwa tadlis yang dilakukan Habiib terhadap Zaid bin Arqam adalah pengguguran Abu Thufail ? Justru riwayat sebelumnya (no. 4576) juga kita pertanyakan karena ia membawakan secara ‘an’anah dari periwayatan Abu Thufail, dari Zaid bin Arqam. Sependek pengetahuan saya, yang dapat menggugurkan tadlis dari mudallis level seperti Habiib ini adalah tashrih bis-sima’. Seandainya saja riwayat Habiib dari Abu Thufail ini menggunakan tashrih simaa’, maka saya sepakat bahwa yang digugurkan pada hadits no. 4577 adalah Abu Thufail. Tapi kenyataan kan tidak ? [lihat At-Tatabbu’ oleh Muqbil Al-Wadi’iy, 3/126 no. 4640].
Mari kita baca kembali mushthalah hadits.
Lagi pula, kepastian bertemu tidaknya antara Habiib dengan Abuth-Thufail dan Zaid bin Arqam ini juga dipermasalahkan sebagian ulama. Al-‘Alaa’iy berkata : “’Aliy bin Al-Madiniy berkata : ‘Habiib bin Abi Tsaabit bertemu dengan Ibnu ‘Abbaas, mendengar (riwayat) dari ‘Aaisyah, dan tidak mendengar dari selain keduanya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum’. Telah berkata Abu Zur’ah : ‘Ia tidak mendengar dari Ummu Salamah’. At-Tirmidziy berkata dalam haditsnya yang berasal dari Hakiim bin Hizaam mengenai pembelian hewan kurban : ‘Menurut (pengetahuan)ku, Habiib bin Abi Tsaabit tidak mendengar dari Hakiim bin Hizaam. Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Al-Bukhaariy. Dan yang lainnya bahwasannya Habiib bin Abi Tsaabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah bin Zubair sama sekali” [Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasil, hal. 158-159 no. 117].
Dari perkataan didapat satu pengetahuan bahwa hukum umum riwayat Habiib bin Abi Tsaabit dari para shahabat adalah mursal, kecuali jika ditunjukkan padanya bayyinah akan sima’-nya. Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (2/313 no. 2592) telah menetapkan bahwa Habiib mendengar riwayat dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum.
Sangat dimaklumi jika Syu’aib Al-Arna’uth (Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad, 17/171) menghukumi riwayat Habiib dari Abi Thufail maupun Zaid bin Arqam sebagai riwayat yang munqathi’.
Sebenarnya di sini bahasan di point ini bukan untuk men-dla’if-kan riwayat At-Tirmidziy (no. 3788), karena saya sepakat bahwa riwayat ini adalah hasan lighairihi karena ada penguat dari jalur lain. Hanya saja, saya tidak sepakat dengan metode ‘aneh’ sebagian orang dalam penilaian hadits.
[5] Sanad riwayat ini lemah dikarenakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail. Al-Juzjaaniy berkata : “Dzaahibul-hadiits” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/310 no. 5577]. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Lisaanul-Miizaan, 7/168]. Ia juga dinisbatkan pada tasyayyu’ dan mempunyai hadits-hadits munkar [Al-Kaamil, 7/444]. As-Sa’diy berkata : “Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)” [Adl-Dlu’afaa wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 3/67 no. 3017]. Ibnu Syaahiin berkata : “Dla’iif” [Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 166 no. 566]. Ibnu Hibbaan dengan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad berkata : “Muqaaribul-hadiits” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/267 no. 2335]. Ad-Daaruquthniy mengatakan : “Bisa dijadikan i’tibar” [Suaalaat Al-Barqaaniy, no. 539].
Ada yang mengatakan : Muhammad bin Salamah bin Kuhail diikuti oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail sebagaimana disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan sanad dari Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Yusuf bin Musa dari Ubaidillah bin Musa dari Yahya bin Salamah bin Kuhail dari ayahnya dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 143]. Para perawinya tsiqah kecuali Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang matruk sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar [At Taqrib 2/304].
Perkataan tersebut adalah benar bahwa Ibnu Hajar telah mengatakannya dalam At-Taqriib. Perawi matruk tidak bisa dijadikan sebagai penguat.
Ada yang mengatakan :
“Muhammad bin Salamah juga memiliki mutaba’ah dari Syu’aib bin Khalid yang juga disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan jalan sanad dari Abu Bakar Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Muhammad bin Humaid dari Harun bin Mughirah dari Amr bin Abi Qais dari Syu’aib bin Khalid dari Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 142]. Hadis ini para perawinya tsiqat kecuali Muhammad bin Humaid, ia seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in, Muhammad bin Yahya Adz Dzahiliy, Ahmad, dan Ja’far bin Abi Utsman Ath Thayalisi telah menta’dilkannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat”. Ia didustakan oleh Shalih bin Muhammad, Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy. Yaqub bin Syaibah berkata “banyak meriwayatkan hadis munkar” [At Tahdzib juz 9 no 181]. Ibnu Hajar berkata “seorang hafizh yang dhaif” [At Taqrib 2/69]”.
Saya berkata :
Tentang Muhammad bin Humaid ini; Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. ‘Abdurrahmaan bin Yuusuf bin Khiraasy dan jama’ah ahli-hadits negeri Ray saat disebut Muhammad bin Humaid, maka mereka sepakat bahwa ia sangat lemah dalam haditsnya [Taariikh Baghdaad, 2/261]. Ibnu Khiraasy sendiri mendustakannya [idem, 2/263]. Sudah menjadi pengetahuan bahwa jarh penduduk yang satu negeri dengan perawi lebih kuat, karena mereka lebih mengetahui keadaan negerinya sendiri dibandingkan yang lain. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diperselisihkan” [Suaalaat As-Sulamiy no. 287]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Ahmad memujinya bahwa negeri Ray akan tetap diliputi ilmu selama Muhammad bin Humaid hidup. Namun ia pujiannya ini dikritik oleh Ibnu Khuzaimah bahwasannya dalam hal ini Ahmad tidak mengetahui perihal Ibnu Humaid. Seandainya ia mengetahui sebagaimana yang diketahui Ibnu Khuzaimah, niscaya ia tidak akan memujinya [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/255-256 no. 2311]. Ibnu Hibbaan menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya” [Al-Majruuhiin, 2/321]. Inilah pendapat terakhir Ahmad (yaitu menyepakati jarh Abu Zur’ah dan Ibnu Waraah). Ibnu Ma’iin dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tsiqah-kannya.
Perkataan yang tepat tentang diri Muhammad bin Humaid adalah ia perawi yang sangat lemah. Ia dikritik dari ulama baik dari segi hapalannya maupun ‘adalah-nya.
Kedua mutaba’ah di atas tidak bisa dipakai sebagai mutaba’ah.
Dikatakan :
Secara keseluruhan riwayat Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam kedudukannya hasan lighairihi karena riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail dikuatkan oleh riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam serta riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Riwayat Abu Dluhaa adalah shahih, namun riwayat yang ia bawakan berbeda dengan riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail, bahkan lebih ringkas. Adapun riwayat Habiib bin Abi Tsaabit, ia hasan, namun lafadhnya juga berbeda dengan yang dibawakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
Oleh karena itu, lafadh yang dipertimbangkan di sini bukan dari sisi lafadh yang dibawakan oleh Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
[6] Sanad riwayat ini hasan. Katsiir bin Zaid, ia adalah Al-Aslamiy As-Sahmiy, Abu Muhammad Al-Madiniy. Para ulama telah berselisih pendapat mengenainya. Yang raajih, ia adalah perawi yang hasan haditsnya selama tidak ada penyelisihan.
Catatan :
Sangat berlebihan sebagian orang yang menyatakan ke-tsiqah-an Katsiir bin Zaid ini secara mutlak sehingga menghukumi haditsnya adalah shahih. Para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (dlabth), diantaranya :
Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak kuat (laisa bi-dzaakal-qawiy)” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/151; sanad riwayat ini shahih]. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat, namun ditulis haditsnya” [idem]. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq, padanya ada kelemahan (layyin)” [idem]. Telah lewat penjelasan tentang makna layyin.
Adapun ulama yang mendla’ifkannya secara umum adalah An-Nasaa’iy dan Ath-Thabariy.
Jarh yang diberikan adalah jenis mufassar. Jenis jarh seperti ini bukanlah jenis jarh yang patut diabaikan. Ada tambahan keterangan – selain dari ulama yang memberikan tautsiq kepadanya - bahwa padanya ada kelemahan dalam masalah hapalan.
Bagaimana bisa dikatakan jarh-jarh tersebut tidak memberikan mudlarat sama sekali sehingga ia dianggap tsiqah secara mutlak layaknya perawi yang tanpa jarh ? Aneh.
Oleh karena itu Ibnu Hajar telah tepat memberikan komentar kepadanya : ‘Shaduuq yukhthi’ (jujur, namun kadang keliru)”. Artinya, haditsnya hasan selama tidak ada penyelisihan.
[7] Lengkapnya sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسماعيل المدني عن جعفر بن محمد عن أبيه قال دخلنا على جابر بن عبد الله فسأل عن القوم حتى انتهى إلي فقلت أنا محمد بن علي بن حسين فأهوى بيده إلى رأسي فنزع زري الأعلى ثم نزع زري الأسفل ثم وضع كفه بين ثديي وأنا يومئذ غلام شاب فقال مرحبا بك يا بن أخي سل عما شئت فسألته وهو أعمى وحضر وقت الصلاة فقام في نساجة ملتحفا بها كلما وضعها علي منكبه رجع طرفاها إليه من صغرها ورداؤه إلى جنبه على المشجب فصلى بنا فقلت أخبرني عن حجة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بيده فعقد تسعا فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مكث تسع سنين لم يحج ثم أذن في الناس في العاشرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حاج فقدم المدينة بشر كثير كلهم يلتمس أن يأتم برسول الله صلى الله عليه وسلم ويعمل مثل عمله فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم كيف أصنع قال اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي فصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد ثم ركب القصواء حتى إذا استوت به ناقته على البيداء نظرت إلى مد بصري بين يديه من راكب وماش وعن يمينه مثل ذلك وعن يساره مثل ذلك ومن خلفه مثل ذلك ورسول الله صلى الله عليه وسلم بين أظهرنا وعليه ينزل القرآن وهو يعرف تأويله وما عمل به من شيء عملنا به فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك وأهل الناس بهذا الذي يهلون به فلم يرد رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهم شيئا منه ولزم رسول الله صلى الله عليه وسلم تلبيته قال جابر رضى الله تعالى عنه لسنا ننوي إلا الحج لسنا نعرف العمرة حتى إذا أتينا البيت معه استلم الركن فرمل ثلاثا ومشى أربعا ثم نفذ إلى مقام إبراهيم عليه السلام فقرأ { واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى } فجعل المقام بينه وبين البيت فكان أبي يقول ولا أعلمه ذكره إلا عن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين قل هو الله أحد وقل يا أيها الكافرون ثم رجع إلى الركن فاستلمه ثم خرج من الباب إلى الصفا فلما دنا من الصفا قرأ { إن الصفا والمروة من شعائر الله } أبدأ بما بدأ الله به فبدأ بالصفا فرقي عليه حتى رأى البيت فاستقبل القبلة فوحد الله وكبره وقال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا إله إلا الله وحده أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده ثم دعا بين ذلك قال مثل هذا ثلاث مرات ثم نزل إلى المروة حتى إذا انصبت قدماه في بطن الوادي سعى حتى إذا صعدتا مشى حتى أتى المروة ففعل على المروة كما فعل على الصفا حتى إذا كان آخر طوافه على المروة فقال لو أني استقبلت من أمري ما استدبرت لم أسق الهدي وجعلتها عمرة فمن كان منكم ليس معه هدي فليحل وليجعلها عمرة فقام سراقة بن مالك بن جعشم فقال يا رسول الله ألعامنا هذا أم لأبد فشبك رسول الله صلى الله عليه وسلم أصابعه واحدة في الأخرى وقال دخلت العمرة في الحج مرتين لا بل لأبد أبد وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت ماذا قلت حين فرضت الحج قال قلت اللهم إني أهل بما أهل به رسولك قال فإن معي الهدي فلا تحل قال فكان جماعة الهدي الذي قدم به علي من اليمن والذي أتى به النبي صلى الله عليه وسلم مائة قال فحل الناس كلهم وقصروا إلا النبي صلى الله عليه وسلم ومن كان معه هدي فلما كان يوم التروية توجهوا إلى منى فأهلوا بالحج وركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بها الظهر والعصر والمغرب والعشاء والفجر ثم مكث قليلا حتى طلعت الشمس وأمر بقبة من شعر تضرب له بنمرة فسار رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا تشك قريش إلا أنه واقف عند المشعر الحرام كما كانت قريش تصنع في الجاهلية فأجاز رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس وقال إن دماءكم وأموالكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع ودماء الجاهلية موضوعة وإن أول دم أضع من دمائنا دم بن ربيعة بن الحارث كان مسترضعا في بني سعد فقتلته هذيل وربا الجاهلية موضوع وأول ربا أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب فإنه موضوع كله فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات ثم أذن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى الموقف فجعل بطن ناقته القصواء إلى الصخرات وجعل حبل المشاة بين يديه واستقبل القبلة فلم يزل واقفا حتى غربت الشمس وذهبت الصفرة قليلا حتى غاب القرص وأردف أسامة خلفه ودفع رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد شنق للقصواء الزمام حتى إن رأسها ليصيب مورك رحله ويقول بيده اليمني أيها الناس السكينة السكينة كلما أتى حبلا من الحبال أرخى لها قليلا حتى تصعد حتى أتى المزدلفة فصلى بها المغرب والعشاء بأذان واحد وإقامتين ولم يسبح بينهما شيئا ثم اضطجع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى طلع الفجر وصلى الفجر حين تبين له الصبح بأذان وإقامة ثم ركب القصواء حتى أتى المشعر الحرام فاستقبل القبلة فدعاه وكبره وهلله ووحده فلم يزل واقفا حتى أسفر جدا فدفع قبل أن تطلع الشمس وأردف الفضل بن عباس وكان رجلا حسن الشعر أبيض وسيما فلما دفع رسول الله صلى الله عليه وسلم مرت به ظعن يجرين فطفق الفضل ينظر إليهن فوضع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده على وجه الفضل فحول الفضل وجهه إلى الشق الآخر ينظر فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم يده من الشق الآخر على وجه الفضل يصرف وجهه من الشق الآخر ينظر حتى أتى بطن محسر فحرك قليلا ثم سلك الطريق الوسطى التي تخرج على الجمرة الكبرى حتى أتى الجمرة التي عند الشجرة فرماها بسبع حصيات يكبر مع كل حصاة منها حصى الحذف رمى من بطن الوادي ثم انصرف إلى المنحر فنحر ثلاثا وستين بيده ثم أعطى عليا فنحر ما غبر وأشركه في هديه ثم أمر من كل بدنة ببضعة فجعلت في قدر فطبخت فأكلا من لحمها وشربا من مرقها ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فأفاض إلى البيت فصلى بمكة الظهر فأتى بني عبد المطلب يسقون على زمزم فقال انزعوا بني عبد المطلب فلولا أن يغلبكم الناس على سقايتكم لنزعت معكم فناولوه دلوا فشرب منه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaaq bin Ibraahiim, keduanya dari Haatim ia berkata, - Abu Bakr berkata - : Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa'iil Al-Madaniy, dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : Kami datang ke rumah Jaabir bin Abdillah, lalu ia menanyai kami satu persatu, siapa nama kami masing-masing. Sampai giliranku, kusebutkan namaku Muhammad bin ‘Aliy bin Husain. Lalu dibukanya kancing bajuku yang atas dan yang bawah. Kemudian diletakkannya telapak tangannya antara kedua susuku. Ketika itu, aku masih muda belia. Lalu dia berkata, "Selamat datang wahai anak saudaraku, tanyakanlah apa yang hendak kamu tanyakan." Maka aku pun bertanya kepadanya. Dia telah buta. Ketika waktu shalat tiba, dia berdiri di atas sehelai sajadah yang selalu dibawanya. Tiap kali sajadah itu diletakkannya ke bahunya, pinggirnya selalu lekat padanya karena kecilnya sajadah itu. Aku bertanya kepadanya : "Terangkanlah kepadaku bagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melakukan ibadah haji." Lalu ia bicara dengan isyarat tangannya sambil memegang sembilan anak jarinya. Ia berkata : “Sembilan tahun lamanya beliau menetap di Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa tahun kesepuluh beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu kami berangkat bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asmaa` binti ‘Umais melahirkan puteranya, Muhammad bin Abi Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam apa yang harus dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka beliau pun bersabda : "Mandi dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali." Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at di masjid Dzulhulaifah, kemudian beliau naiki untanya yang bernama Qashwa. Setelah sampai di Baida`, kulihat sekelilingku, alangkah banyaknya orang yang mengiringi beliau, yang berkendaraan dan yang berjalan kaki, di kanan-kiri dan di belakang beliau. Ketika itu turun Al Quran (wahyu), dimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengerti maksudnya, yaitu sebagaimana petunjuk amal yang harus kami amalkan. Lalu beliau teriakan bacaan talbiyah: "LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIKA LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNALHAMDA WAN NI'MATA LAKA WALMULKU LAA SYARIIKA LAKA (Aku patuhi perintah-Mu ya Allah, aku patuhi, aku patuhi. Tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu; sesungguhnya puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu)." Maka talbiyah pula orang banyak seperti talbiyah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itu. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka membacanya, bahkan senantiasa membaca terus-menerus. Niat kami hanya untuk mengerjakan haji, dan kami belum mengenal umrah. Setelah sampai di Baitullah, beliau cium salah satu sudutnya (Hajar Aswad), kemudian beliau thawaf, lari-lari kecil tiga kali dan berjalan biasa empat kali. Kemudian beliau terus menuju ke Maqam. Ibrahim 'Alais Salam, lalu beliau baca ayat: "Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat..." (Al Baqarah: 125). Lalu ditempatkannya maqam itu diantaranya dengan Baitullah. Sementara itu ayahku berkata bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam membaca dalam shalatnya : "QUL HUWALLAHU AHAD…" (Al Ikhlas: 1-4). Dan: "QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN.." (Al Kafirun: 1-6). Kemudian beliau kembali ke sudut Bait (hajar Aswad) lalu diciumnya pula. Kemudian melalui pintu, beliau pergi ke Shafa. Setelah dekat ke bukit Shafa beliau membaca ayat: "Sesungguhnya Sa'i antara Shafa dan Marwah termasuk lambang-lambang kebesaran Agama Allah..." (Al Baqarah: 1589). Kemudian mulailah dia melaksanakan perintah Allah. Maka dinaikinya bukit Shafa. Setelah kelihatan Baitullah, lalu beliau menghadap ke kiblat seraya mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Dan beliau membaca: "LAA ILAAHA ILAALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU ANJAZA WA'DAHU WANASHARA 'ABDAHU WAHAZAMAL AHZABA WAHDAH (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kerajaan dan segala puji, sedangkan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, Yang Maha Menepati janji-Nya dan menolong hamba-hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendiri-Nya)." Kemudian beliau berdo'a. Ucapan tahlil itu diulanginya sampai tiga kali. Kemudian beliau turun di Marwa. Ketika sampai di lembah, beliau berlari-lari kecil. Dan sesudah itu, beliau menuju bukit Marwa sambil berjalan kembali. setelah sampai di bukit Marwa, beliau berbuat apa yang diperbuatnya di bukit Shafa. Tatkala beliau mengakhiri sa'i-nya di bukit Marwa, beliau berujar: "Kalau aku belum lakukan apa yang telah kuperbuat, niscaya aku tidak membawa hadya dan menjadikannya umrah." Lalu Suraqah bin Malik bin Ju'tsyum, "Ya, Rasulullah! Apakah untuk tahun ini saja ataukah untuk selama-lamanya?" Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memperpanjangkan jari-jari tangannya yang lain seraya bersabda : "Memasukkan umrah ke dalam haji. Memasukkan umrah ke dalam haji, tidak! Bahkan untuk selama-lamanya”. Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar." Kemudian beliau bertanya : "Apa yang kamu baca ketika hendak menunaikan haji?". ‘Aliy berkata : Aku menjawab : "Ya Allah, aku aku niat menunaikan ibadah haji seperti yang dicontohkan oleh Rasul-Mu." Kemudian ‘Aliy bertanya : "Tetapi aku membawa hewan kurban, bagaimana itu?". Beliau menjawab : "Kamu jangan tahallul". Ja'far berkata : “Jumlah hadyu yang dibawa ‘Aliy dari Yaman dan yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ada seratus ekor. Para jama'ah telah tahallul dan bercukur semuanya, melainkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang membawa hadyu beserta beliau. Ketika hari Tarwiyah (delapan Dzulhijjah) tiba, mereka berangkat menuju Mina untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menunggang kendaraannya. Di sana beliau shalat Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian beliau menanti sebentar hingga terbit matahari; sementara itu beliau menyuruh orang lebih dahulu ke Namirah untuk mendirikan kemah di sana. Sedangkan Orang Quraisy mengira bahwa beliau tentu akan berhenti di Masy'aril Haram (sebuah bukit di Muzdalifah) sebagaimana biasanya orang-orang jahililiyah. Tetapi ternyata beliau terus saja menuju ‘Arafah. Sampai ke Namirah, didapatinya tenda-tenda telah didirikan orang. Lalu beliau berhenti untuk istirahat di situ. Ketika matahari telah condong, beliau menaiki untanya meneruskan. Sampai di tengah-tengah lembah beliau berkhutbah : "Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?". Mereka menjawab : "Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar telah menyampaikan risalah, engkau telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami". Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak : "Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah”. Sesudah itu, beliau adzan kemudian iqamat, lalu shalat Zhuhur. Lalu iqamat lagi dan shalat Ashar tanpa shalat sunnah antara keduanya. Setelah itu, beliau meneruskan perjalanan menuju tempat wukuf. Sampai di sana, dihentikannya unta Qashwa di tempat berbatu-batu dan orang-orang yang berjalan kaki berada di hadapannya. Beliau menghadap ke kiblat, dan senantiasa wukuf sampai matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau teruskan pula perjalanan dengan membonceng Usamah di belakangnya, sedang beliau sendiri memegang kendali. Beliau tarik tali kekang Unta Qashwa, hingga kepalanya hampir menyentuh bantal pelana. Beliau bersabda dengan isyarat tangannya : "Saudara-saudara, tenanglah, tenanglah”. Setiap beliau sampai di bukit, beliau dikendorkannya tali unta sedikit, untuk memudahkannya mendaki. Sampai di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan Isya`dengan satu kali adzan dan dua qamat tanpa shalat sunnah antara keduanya. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar. Setelah tiba waktu Shubuh, beliau shalat Shubuh dengan satu adzan dan satu iqamat. Kemudian beliau tunggangi pula unta Qashwa meneruskan perjalanan sampai ke Masy'aril Haram. Sampai di sana beliau menghadap ke kiblat, berdo'a, takbir, tahlil dan membaca kaliamat tauhid. Beliau wukuf di sana hingga langit kekuning-kuningan dan berangkat sebelum matahari terbit sambil membonceng Fadhl bin Abbas. Fadhl adalah seorang laki-laki berambut indah dan berwajah putih. Ketika beliau berangkat, berangkat pulalah orang-orang besertanya. Fadhl menengok pada mereka, lalu mukanya ditutup oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan tangannya. Tetapi Fadlal menoleh ke arah lain untuk melihat. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menutup pula mukanya dengan tangan lain, sehingga Fadhl mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sampai di tengah lembah Muhassir, dipercepatnya untanya melalui jalan tengah yang langsung menembus ke Jumratul Kubra. Sampai di Jumrah yang dekat dengan sebatang pohon, beliau melempar dengan tujuh buah batu kerikil sambil membaca takbir pada setiap lemparan. Kemudian beliau terus ke tempat penyembelihan kurban. Di sana beliau menyembelih enam puluh tiga hewan kurban dengan tangannya dan sisanya diserahkannya kepada Ali untuk menyembelihnya, yaitu hewan kurban bersama-sama dengan anggota jama'ah yang lain. Kemudian beliau suruh ambil dari setiap hewan kurban itu sepotong kecil, lalu disuruhnya masak dan kemudian beliau makan dagingnya serta beliau minum kuahnya. Sesudah itu, beliau naiki kendaraan beliau menuju ke Baitullah untuk tawaf. Beliau shalat Zhuhur di Makkah. Sesudah itu, beliau datangi Bani Abdul Muthalib yang sedang menimba sumur zamzam. Beliau bersabda kepada mereka : "Wahai Bani Abdul Muthalib, berilah kami minum. Kalaulah orang banyak tidak akan salah tangkap, tentu akan kutolong kamu menimba bersama-sama". Lalu mereka timbakan seember, dan beliau pun minum daripadanya” [selesai].
[8] Dan sesuai pula dengan riwayat ringkas Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عفان حدثنا حسان بن إبراهيم عن سعيد بن مسروق عن يزيد بن حيان عن زيد بن أرقم قال دخلنا عليه فقلنا له لقد رأيت خيرا صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم وصليت خلفه فقال نعم وإنه صلى الله عليه وسلم خطبنا فقال إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam. Yaziid berkata : Kami masuk menemuinya (Zaid) dan berkata : “Sungguh engkau telah melihat kebaikan, telah bershahabat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan juga telah shalat di belakang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia menjawab : Ya, benar. Sesungguhnya beliau pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda : ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; sanad hadits ini hasan].
Sesuai pula dengan riwayat ringkas dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الحميد بن جعفر عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي شريح الخزاعي قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبشروا وأبشروا أليس تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله قالوا نعم قال فإن هذا القرآن سبب طرفه بيد الله وطرفه بأيديكم فتمسكوا به فإنكم لن تضلوا ولن تهلكوا بعده أبدا
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bersabda : “Berilah kabar gembira, berilah kabar gembira. Bukankah kalian bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya aku adalah utusan Allah ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali yang salah satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujung yang lain di tangan kalian. Berpegang-teguhlah kalian dengannya, karena kalian tidak akan tersesat dan binasa selamanya sepeninggalku nanti (jika kalian melaksanakannya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 122. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 10/481; sanadnya hasan sesuai dengan persyaratan Muslim].
Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq, sedangkan menurut Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy majhuul. Namun perkataan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy ini tidak memudlaratkan karena tautsiq Abu Haatim mengangkat status kemajhulannya. Ibnu Abi Syaibah, seorang imam masyhur. Abu Khaalid Al-Ahmar, ia perawi dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya; sedikit dipermasalahkan dalam hapalannya, namun tidak turun dari derajat hasan. ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia seorang perawi yang dipakai Muslim dalam Shahih-nya. Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy adalah perawi yang dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[9] Riwayat yang menggunakan kata ‘bihimaa’ (بهما) adalah lemah.
[10] Ada lagi yang mengatakan :
Seandainyapun kita diharuskan mentarjih salah satu riwayat maka riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam lebih didahulukan dibanding riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid dengan alasan
a. Abu Dhuha lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan. Abu Dhuha atau Muslim bin Shubaih telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Al Ijli [At Tahdzib juz 10 no 237]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat fadhl” [At Taqrib 2/179]. Sedangkan Yazid bin Hayyan dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban saja [At Tahdzib juz 11 no 520]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/323]
b. Riwayat Abu Dhuha dari Zaid telah dikuatkan oleh riwayat Jabir, Abu Sa’id dan Imam Ali seperti yang telah kami bahas di atas.
Permasalahan di sini bukan masalah tarjih sanad. Sudah jelas bahwa Yaziid bin Hayyaan adalah tsiqah dan haditsnya shahih dengan kesepakatan para ulama. Ditambah lagi, tidak ada ta’arudl antara hadits Yaziid dan Abudl-Dluhaa. Maka, tidak nyambung jika bergegas pergi ke tarjih sanad.
Haditsnya satu, yang satu lafadhnya lebih lengkap, yang lain lebih ringkas. Mana di antara keduanya yang dilalah hukumnya lebih jelas. Jika sedang bicara dilalah hukum, maka yang dilihat adalah matan haditsnya, bukan lagi sanadnya.
Anggapan bahwa riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid itu dikuatkan oleh riwayat Jaabir, Abu Sa’iid, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum, maka ini sebatas sanad saja. Itupun tidak tepat-tepat betul. Adapun riwayat Jaabir, yang shahih darinya hanyalah perintah untuk berpegang pada Kitabullah – sebagaimana riwayat Muslim. Justru ini menguatkan dilalah hukum dari hadits Yaziid bin Hayyaan.



mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah