dinsdag, september 29, 2009

MUSTHOLAH HADITS 1

AHLAN WA SAHLAN
HADITS DITINJAU DARI SISI KESAMPAIANNYA

Pada pelajaran yang pertama ini kita akan mempelajari macam-macam hadits ditinjau dari sisi kesampaiannya kepada kita, yaitu ada dua : hadits mutawatir dan hadits ahad. Kita akan mempelajarinaya satu per satu dan memberkan contoh untuk masing-masing bagiannya.



MUTAWATIR
1. DEFINISINYA

a. Mutawatir menurut bahasa adalah bentuk isim fa’il yang diambil dari akat kata تَواَتَرَ yang maknanya adalah berurutan silih berganti (tatabu’). Allah berfirman : ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى (Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut). (Al Mukminun : 44) maksudnya adalah yang satu setelah yang lainnya secara berurutan.

b. Menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah (orang banyak) dari jama’ah pada setiap tingkatan-tingkatan sanadnya, dimana adat menyatakan tidak mungkin mereka sepakat dan setuju untuk melakukan kebohongan. Dan mereka semua bersandar kepada sesuatu yang bersifat indrawi.



2. SYARATNYA EMPAT

a. banyak jumlah perawinya

b. banyaknya perawi ini ada sejak permulaan sanad ssanmapi akhirnya.

c. Adat tidak memungkinkan mereka untuk sepakat melakukan kebohongan.

d. Sandaran periwayatannya adalah sesuatu yang bersifat indrawi.



3. MACAM-MACAMNYA

a. Lafdzi

i. Maknanya adalah hadits yang mutawatir lafadznya, bukan maknanya.

ii. Contohnya adalah : مَنْ كَذَبَ عَليَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (Barangsiapa yang berbohong dengan mengatasnamakan aku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka).



b. Maknawi

i. Maknanya adalah hadits yang mutawatir maknanya, bukan lafadznya.

ii. Contohnya adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan pada waktu berdo’a.



4. APAKAH DISYARATKAN JUMLAH PERAWI TERTENTU

Ada dua buah pendapat, yaitu :

a. ada mensyaratkan jumlah tertentu. Ada yang mengatakan harus berjumlah empat. Ada yang mengatakan lima. Ada yang mengatakan tujuh. Ada yang mengatakan dua belas. Ada yang mengatakan empat puluh. Ada yang mengatakan tiga ratus lebih belasan. Dan ada yang mengatakan jumlah yang lain.

b. Tidak disyaratkan jumlah tertentu. Tetapi disyaratkan jika adat itu menghalangi mereka untuk sepakat berbohong. Inilah pendapat yang benar.



5. CONTOH-CONTOH HADITS MUTAWATIR

a. Hadits : مَنْ كَذَبَ عَليَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

b. Hadits-hadits tentang membasuh di atas khuf (sepatu)

c. Hadits-hadits tentang syafa’at

d. Hadits-hadits tentang haudl (telaga)

e. Hadits-hadits tetang larangan membuat kuburan sebagai masjid.

f. Hadits-hadits tentang Dajjal

g. Hadits-hadits tentang turunnya Isa ‘alaihis salam.



6. KITAB-KITAB TENTANG HADITS MUTAWATIR

a. Al Azhar Al Mutanatsirah fil akhbar al mutawatiroh karya As Suyuthi

b. Al La’aali al mutanaatsiroh fil akhbar al mutawatiroh karya Muhammad bin Thoulun Ad Dimasyqi

c. Nudzumul mutanaatsir minla hadits al mutawatir karya Muhammad bin Ja’far Al Kattani



HADITS-HADITS AHAD
1. DEFINISINYA

Yaitu hadits yang yang tidak mencapai derajat hadits yang mutawatir karena kurang syarat-syaratnya.



2. MACAM-MACAMNYA

a. Hadits masyhur

1) Definisinya

a) menurut bahasa adalah merupakan isim maf’ul dari kata : شّهِرَ الأمر يُشْهِرُهُ شُهْرَةً هُوَ مَشْهُوْرٌ maksudnya jika telah diumumkan dan dinampakkan.

b) Menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih pada setiap generasi dan tidak mencapai derajat mutawatir.



2) Contohnya

Hadits : إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ “Sesunggguhnya Allah tidak mengambil ilmu begitu saja dari para hamba-hamba-Nya …. “. Hadits ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu Ibnu Umar, Aisyah dan Abu Hurairah.



3) Hukumnya

Hadits ini kadang shahih, kadang hasan dan kadang dla’if.



4) Perbendaan antara masyhur menurut istilah ahli hadits dan hadits yang masyhur di kalangan manusia

Masyhur dalam istilah ahli hadits tidak sama dengan hadits yang masyhur di kalangan manusia. Menurut yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih pada setiap generasi. Adapun hadits yang masyhur di kalangan manusia adalah memiliki perbedaan yang mendasar, karena kadang-kadang hadits ini adalah hadits yang mutawatir dan kadang-kadang berupa hadits ahad, kadang-kadang shahih atau hasan atau dla’if, atau maudlu’ (palsu) atau tidak memiliki sanad sama sekali dan kadang-kadang diriwayatkan dari satu sanad atau kadang-kadang lebih.



b. Hadits ‘Aziz

1) Pengertiannya

a) menurut bahasa

Kata ini diambil dari akar kata : عَزَّ يَعِزُّ yaitu sedikit yang hampir-hampir tidak ditemukan atau dari kata : عَزَّ يَعِزُّ yang maknanya adalah kuat dan keras. Allah berfirman : فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga). (Yaasin : 14)



b) menurut istilah ada dua buah pendapat :

i. yaitu hadits yang di slah satu generasi sanadnya hanya ada dua orang rawi saja.

ii. Yaitu hadits yang tidak diriwayatakan oleh setidaknya dari dua orang rawi dari dua orang rawi. Inilah pendapat yang benar.



2) Contohnya

Hadits : لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ “Tidak berman seseorang diantara kalian, sehingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya dan anaknya”.

Hadits ini dirwayatkan oleh dua sahabat, yaitu Anas dan Abu Hurairah. Dua orang meriwayatkan dari Anas, yaitu Qatadah dan Abdul Aziz bun Shuhaib. Dan dua orang meriwayatkan dari Qatadah, yaitu Syu’bahwa dia berkata : ” dan Sa’id. Dan dua orang meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib, yaitu Isma’il bin Aliyah dan Abdul Warits bin Sa’id. Dan dari masing-masing mereka itu jama’ah meriwayatkan hadits ini.



3) Hukumnya

Hadits ini kadang-kadang shahih, kadang-kadang hasan dan kadnag-kadang dla’if.



c. Hadits ghorib

1) Definisinya

a) menurut bahasa yaitu sesuatu yang sendiri atau yang jauh dari kerabatnya

b) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi di salah satu generasi sanadnya.



2) Contohnya

Hadits : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya masing-masing manusia itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya).

Hadits ini diriwayatakan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya oleh Umar bin Al Khatab saja. Dan yang meriwayatkan dari Umar hanya Alqomah bin Waqqash Al laitsi. Dna yang meriwyatakan dari AlQomah hanya Muhamad bin Ibrahim At taimi. Dan yang meriwayatakn dari Muhammad hanya Yahya bin Sa’id Al Anshori.



3) Hukumnya

Hadits ini kadang-kadang shahih, kadang-kadang hasan dan kadang-kadang dla’if.



4) Hadits Afrad yang merupakan bentuk jamak dari fard.

a) Definisinya

Yaitu hadits yang rawinya sendirian meriwayatakan hadits itu.

b) macam-macamnya

- Fard mutlak

Ø Definisinya

Yaitu yaitu jika kesendirian itu terdapat pada asal sanad. Dan yang dimaksud dengan asal sanad adalah ujung sanad yang di dalamnya terdapat sahabat.



Ø Contohnya

ü Hadits : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

ü Hadits yang melarang menjual perwalian budak dan menghibahkannya.



- Fard nisbi

Ø Definisinya

Yaitu jika kesendirian itu terletak pada pertengahan sanad.



Ø Contohnya

Hadits Malik dari Zuhri dari Anas bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki Kota Makkah dengan memakai putnut kepala.

Malik sendirian meriwayatkannya dari Zuhri.



Ø Macam-macamnya

ü Jika hadits itu terbatas pada orang yang tsiqoh (terpercaya)

Contohnya adalah hadits Abu Waqid bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca Surat Qof dan Surat Al Qomar pada waktu Sholat Idul Adlha dan Idul Fitri”.

Dlomroh bin Sa’id sendirian meriwayatkannya dari Ubaidillah bin Abdullah dari Abu Waqid. Dan tidak ada rawi tsiqot lain yang meriwayatakannya darinya.



ü Jika hadits itu terbatas pada suatu penduduk negeri tertentu

Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud Ath thoyalisi dari Humam dari Qotadah dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’id bahwa dia berkata : “Kami diperintahkan untuk membaca Surat Al Fatihah dan Surat yang mudah”.

Hakim berkata : “Penduduk Basharah sendirian menyebutkan kata perintah itu sejak dari awal sanad sampai akhirnya”. (10)



ü Jika hadits itu hanya terbatas poada seorang perawi tertentu.

Contohnya adalah hadits Sufyan bin Uyainah dari Wa’il bin Dawud dari anaknya Bakr bin Wa’il dari Zuhri dari Anas bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuat walimah ketika menikah dengan Shofiyah dengan Sawiq dan kurma”. (Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’I serta Ibnu Majah). Tidak ada yang meriwayatkan dari Bakr kecuali Wa’il. Dan tidak meriwayatkan dri Wa’il kecuali Sufyan bin Uyainah.



5) Kitab-kitab hadits gharib

a) Kitab Athraful Ghoro’ib wal afrad karya Muhammad bin Thahir Al Maqdisi.

b) Al Afrad karya Ad Daruquthni

c) Al Ahadits Ash Shihah wal Ghoro’ib karya Yusuf bin Abdurrahman Al Mizzi Asy Syafi’i.



6) I’tibar, mutaba’ah dan syahid.

a) I’tibar

Definisinya adalah meneliti jalur-jalur periwayatan hadits yang disangkan hanya diriwayatakn sendirian oleh perawinya, agar diketahui apakah hadits itu memiliki mutabi’ (pengikut) atau syahid (saksi)

b) Mutaba’ah

i. Definisinya

Yaitu jika seorang perawi hadits itu sesuai riwayatnya dengan satu orang perawi lain atau lebih dari gurunya dari dari generasi sebelumnya.



ii. macam-macamnya

- Tammah (sempurna)

Yaitu jika hadits yang diriwayatkannya itu juga diriwayatkan oleh rawi lain dari gurunya.



- Qashiroh (terbatas)

Yaitu jika hadits yang diriwayataknnya itu juga diriwayatkan oleh rawi lain dari gurunya gurunya atau dari generasi sebelumnya.



c) Syahid

Jika ada sebuah hadits yang lain yang diriwayatkan yang cocok lafadznya atau maknanya atau maknanya saja dari seorang sahabat yang lain.



d) Contoh penjelas

Jika Hamad bin Salamah meriwayatkan sebuah hadits dari Ayub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ditelitilah apakah ada rawi tsiqoh lain yang meriwayatkan selain Ayub dari Ibnu Sirin. Jika tidak ada rawi tsiqwoh, maka dicarilah dari selain Ibnu Sirin dari Abu Hurairah. Jika tidak ditemukan, maka dicarilah dari sahabat yang lain. Penelitian dan penyelidikan ini disebut I’tibar. Adapun Mutaba’ah Tammah adalah jika ada rawi lain yang meriwayatkan selain Hammad dari Ayyub. Adapun mutaba’ah qoshiroh adalah jika jika ada rawi lain selain Ayub yang meriwayatkannya dari Ibnu Sirin atau selain Ibnu Sirin dari Abu Hurairah atau sahabat yang lain selain Abu hurairah meriwayatkannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.



e) Contoh hadits yang mencakup mutaba’ah tammah, qoshiroh, syahid dengan lafadz dan syahid dengan makna

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i di dalam Al Umm dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ : “Bulan itu berjumlah dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian berpuasa, sampai kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya. Jika ada mendung yang menutupi kalian, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh”. Baihaqi mengisyaratkan bahwa Syafi’i sendiri meriwayatkan hadits ini dengan lafadz ini. Adapun yang lainnya meriwayatkan dari Malik : “Jika ada mendung yang menutupi kalian, maka kira-kirakanlah”. Tetapi kami menemukan ada mutabi’ bagi Imam syafi’I, yaitu Abdullah bin Maslamah Al Qo’nabi. Demikian juga Imam Bukhari meriwayatkannya dari Malik. Ini adalah mutaba’ah tammah. Dan kami menemukan mutaba’ah qashiroh di dalam kitab Shohih Ibnu Huzaimah dari riwayat Ashim bin Muhammad dari bapaknya dari Muhammab bin Zaid dari kakeknya dari Ibnu Umar dengan lafadz : “Maka perkirakanlah bulan itu tiga puluh”. Dan kami juga menemukan syahid dengan lafadz yang diriwayatkan oleh Nasa’I dari riwayat Muhammad bin Jubair dari Ibnu Abbas secara marfu’. Dan kami juga menemukan syahid dengan makna yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari riwayat Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dengan lafadz : “Maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.



insya Allah berlanjut

jazakumullah

maandag, september 28, 2009

MELAKUKAN KHITBAH SECARA ISLAMI

AHLAN WA SAHLAN

MELAKUKAN KHITBAH SECARA ISLAMI
Ditulis oleh fauzi di/pada 26/03/2009

MAKNA KHITBAH

Khitbah adalah bahasa yang sering kita terjemahkan dengan pinangan atau lamaran. Akar katanya di dalam Bahasa Arab adalah berasal dari huruf kho’, tho’ dan ba’ yang bermakna berbicara. Dari akar kata yang sama pula diambil kata khutbah, yang bermakna pembicaraan yang dilakukan oleh seorang juru dakwah, pada Hari Jum’at atau yang lainnya. Sedangkan khitbah ini ketika diucapkan, maka konotasinbya adalah pembicaraan yang memiliki makna khusus, yang maknanya adalah pembicaraan untuk melakukan permohonan restu kepada seorang wanita atau walinya untuk menikahinya.

PENSYARI’ATAN KHITBAH

Khitbah disyari’atkan di dalam Islam berdasarkan firman Allah ta’ala dalam Surat Al Baqoroh ayat 235 :

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf. Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.

Ayat ini jelas menyebutkan kata khitbah. Pada ayat ini Allah membolehkan seorang laki-laki untuk meminang secara sindiran kepada wanita yang ditinggal oleh suaminya. Jika ini diperbolehkan, maka meminang wanita yang belum memiliki suami adalah lebih diperbolehkan.

Demikian juga khithbah ini juga disebutkan di dalam Sunnah Qouliyah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah :



عَنِ ابْنَ عُمَرَ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا أنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِب

“Dari Ibnu Umar radliallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki itu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggalkan pinangannya atau dia diberikan ijin untuk meminangnya”. (HR Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa pinangan itu disyari’atkan untuk peminang pertama dan pinangannya itu harus dihargai oleh kaum muslimin yang lainnya dengan cara tidak meminang wanita yang telah dipinangnya tersebut.

Sedangkan di dalam sunnah fi’liyah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan pinangan kepada calon-calon istrinya, seperti yang dilakukannya ketika akan menikahi Ummu Salamah seperti yang akan kami jelaskan kemudian.

Dan di dalam sunnah taqririyah, para sahabat pada masa beliau telah melakukan pinangan dan beliau tidak melarangnya. Tetapi malah menyetujuinya, bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Mughirah bin Syu’bah untuk meliohat calon istrinya sebelum menikahinya. Beliau bersabda : “Lihatlah calon istrimu itu. Sesungguhnya yang demikian itu akanlebih mengekalkan kasih sayang diantara kalian berdua”.[1]

Adapun hukumnya adalah mubah pada dasarnya. Tetapi khithbah itu dapat menjadi haram pada beberapa keadaan, seperti yang akan kami jelaskan kemudian.

TUJUAN KHITBAH

Seseorang yang melakukan pinangan itu adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang sangat banyak, diantaranya adalah :

a) Untuk memudahkan jalan ta’aruf diantara kedua calon pengantin serta keluarga kedua belah pihak.

b) Untuk menumbuhkan mawaddah diantara kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad penikahan yang di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah mitsaqon gholidzo (janji yang kuat, An Nisa’ : 21)

c) Untuk memberikan ketenteraman jiwa kepada kedua calon pengantin.

CALON ISTRI/SUAMI YANG DIPINANG

Pernikahan adalah perserikatan hidup diantara sepasang suami dan istri. Oleh sebab itu keduanya harus benar-benar selektif dalam memilih pasangan hidupnya. Memilih pasangan tidaklah sama dengan memilih baju yang dapat dia coba-coba sekehendaknya atau dia beli kemudian ditinggalkannya begitu saja ketika sudah tidak menyukainya. Oleh karena itu haruslah masing-masing memiki kriteria yang jelas untuk calon pendamping hidupnya. Di bawah ini kami akan menjelaskan kriteria-kriteria itu dengan menjelaskan wanita-wanita yang haram untuk dikhithbah dan yang dianjurkan untuk dikhithbah.

A. WANITA-WANITA YANG HARAM DIPINANG

Secara global wanita-wanita yang haram dipinang adalah wanita-wanita yang haram dinikahi, yang disebutkan perinciannya di dalam Al Qur’an di dalam Surat An Nisa’ : 22 – 23, Surat Al baqoroh : : 221 dan Surat An Nisa’ : 3, wanita yang mempunyai suami, wanita yang masih dalam masa iddah, wanita yang sedang melakukan ihram haji dan wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Secara rinci dapat kami sebutkan sebagai berikut :

1) Haram dinikahi karena nasab, yaitu :

a) Ibu, sampai ke atas

b) Anak perempuan, sampai ke bawah

c) Semua saudara perempuan, yang sekandung, seayah atau seibu

d) Semua bibi dari pihak ayah

e) Semua bibi dari pihak ibu

f) Semua anak perempuan dari saudara laki-laki yang sekandung, seayah atau seibu

g) Semua anak perempuan dari saudara perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.

2) Haram dinikahi karena susuan

a) Ibu yang menyusui

b) Ibu dari ibu yang menyusui

c) Saudara perempuan dari ibu yang menyusui

d) Saudara perempuan dari suami ibu yang menyusui

e) Anak perempuan dari semua anak ibu yang menyusui

f) Semua saudara perempuan sepersusuan.

3) Haram dinikahi karena pernikahan

a) Ibu istri sampai ke atas

b) Anak perempuan istri jika telah bercampur dengannya sampai ke bawah

c) Istri anak atau cucu sampai ke bawah

d) Istri ayah

Semua pengharaman pada ketiga sebab diatas adalah bersifat abadi.

4) Sebab mahram, yaitu melakukan pinangan kepada saudara perempuan atau bibi dari istri yang masih sah atau istri yang dicerai tetapi masih dalam masa iddah, karena haram hukumnya menikahi dua orang saudara semahram.

5) Wanita-wanita yang musyrik (QS. Al Baqoroh : 221)

6) Haram menikah dari sisi jumlah, karena istrinya telah empat orang misalnya, sehingga diharamkan baginya untuk melakukan pinangan kepada wanita lainnya. Kecuali jika dia telah menceraikan salah satu istrinya dan telah habis masa iddah istrinya.

7) Wanita-wanita yang msaih menjadi istri orang lain (QS. An Nisa’ : 24) dan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

َمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang merusak istri seseorang orang atau budaknya maka dia bukan termasuk golongan kami”. (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Demikian juga diharamkan bagi seorang wanita untuk meminta agar seseorang laki-laki menceraikan istrinya agar dia dipinang dan dijadikan istrinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Dan janganlah seorang wanota itu meminta perceraian saudaranya agar dia dinikahi”. HR Bukhar, Muslim, Turmudzi, Nasa’I dan Ahmad).

Meminang wanita yang sedang menjalankan iddah, baik karena ditinggal mati oleh suaminya atau karena dicerai oleh suaminya atau pernikahannya dibatalkan oleh Hakim (fasakh), kecuali dilakukan dengan cara sindiran. Seperti yang disebutkan pada Surat Al Baqoroh : 235. contoh pinangan sindiran adalah pinangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk Usamah bin Zaid kepada Fathimah bin Qais : “Jika engkau masa iddahmu telah selesai, maka beritahukanlah kepadaku”[2]. Atau dengan perkataan : “Aku berharap Allah mengaruniakan kepadaku seorang istri yang shaleh”. Jika pinangan itu mengarah kepada pinangan secara terang-terangan, maka haruslah dialihkan. Seperti yang terjadi pada Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ketika meminang Sakinah binti Handzalah yang ditinggal mati oleh suaminya, dengan sindirian. Dia berkata : “Engkau telah mengtahui hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan hubunganku dengan Ali bin Abi Thalib serta kedudukanku di hadapan Bangsa Arab”. Maka wanita itu berkata : “Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu ja’far. Engkau adalah panutan umat. Apakah engkau meminangku di masa iddah ?”. Maka jika pada saat itu Abu Ja’far menjawab dengan : “Ya”, maka jadilah lamaran yang terang-terangan. Karena dia itulah dia mengalihkannya dengan berkata : “Aku hanya memberitahukan kepadamu tentang hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dengan Ali bin Abu Thalib”.[3]

9) Wanita yang masih dalam pinangan orang lain, seperti yang disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di atas. Ini jika pinangan itu sudah jelas diterima atau ada tanda-tanda diterima, baik pinangan itu dilakukan oleh orang yang shaleh atau orang yang fasek, selama dia adalah seorang muslim. Adapun jika pinangan itu tidak dijawab dan orang lain itu diijinkan atau orang yang datang kemudian tidak mengetahui piangan terdahulu, maka tidak apa-apa. Seperti yang terjadi pada Fathimah binti Qais ketika dithalak tiga oleh suaminya.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Diriwayatkan dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin hafsh mentahlaknya tiga kali poada waktu dia bepergian. Dia mengirimkan utusannya dengan membawa buah sya’ir. Maka fathimah membuatnya marah dan dia berkata : “Kamu bukan apa-apa bagiku”. Kemudian Fathimah datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hal itu. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Kamu tidak brehak mendapatkan nafkah. Laksanakanlah iddah di rumah Ummu Syuraik”. Kemudian dia berkata : “Sahabat-sahabatku sering masuk ke rumahnya. Laksanakan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia adalah seseorang yang buta. Kamu dapat melepaskan bajumu. Dan jika masa iddahmu telah selesai, maka beritahukanlah aku”. Fathimah berkata : “Ketika iddahku telah selesai, aku memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Mu’awiyah dan Abu Sufyan meminangku. Maka Rasulullah berkata : “Abu Jaham adalah seorang yang tidak menurunkan tongkatnya dari pundaknya dan Abu Sufyan adalah orang yang tidak memiliki harta. Nikahlah kamu dengan Usamah”. Fathimah berkata : “Aku tidak menyukainya”. Kemudian Rasulullah berkata : “Nikahlah dengan Usamah”. Maka aku menikah dengannya dan Allah memberikan karunia kebaikan kepadaku dan para wanita menjadi iri kepadaku”.[4]

10) Melakukan pinangan kepada wanita yang sedang melakukan ibadah ihram/ haji. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ



Dari Utsman bin Affan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seseorang yang melakukan ihram itu tidak boleh menikah, atau dinikahkan atau melamar”.[5]

Itulah penjelasan tentang wanita-wanita yang haram untuk dipinang atau dikhithbah.

WANITA-WANITA YANG DIANJURKAN UNTUK DIPINANG

Dalam hal ini ada beberapa hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dapat kami sebutkan sebagai berikut :



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Carilah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung”. [6]



عَنِ ابْنِ عَمْرُو رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَكَحَ الْمَرْأَةَ لِمَالِهَا وَجَمَالَهَا حُرِمَ مَالُهَا و جَمَالُهَا وَمَنْ نَكَحَ لِدِيْنِهَا رَزَقَه اللهُ مَالَهَا وَجَمَالَهَا

Dari Abdullah bin Amru ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya dan kecantikannya, maka dia tidak akan mendapatkan hartanya dan kecantikannya. Dan barangsiapa yang menikahinya karena agamanya, maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kecantikannya dan hartanya”.[7]



عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِك رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لِعِزِّهَا لَمْ يَزِدهُ اللهُ إلاَّ ذُلاًّ , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لَمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ فَقْرًا , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ دَنَاءَةً , وَمَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لَمْ يُرِدْ بِهَا إلاَّ أنْ يَغُضَّ بَصَرَهُ وَيُحْصِنَ فَرْجَهُ أوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَرَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ اللهُ لَهَا فِيْهِ

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena kemulyaannya, maka Allah hanya akan menambahkan kehinaan untuknya. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena hartanya, maka Allah hanya akan menambahkan kefakiran untuknya. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena keturunannya, maka Allah hanya akan menambahkan kerendahan untuknya. Dan barangsiapa yang menikahi seorang wanita dan dia berkeinginan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya atau untuk menjalin silarurahmi, maka Allah akan memberikan berkah kepada keduanya”.[8]



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling mudah mahar dan biaya hidupnya”.[9]



عَنْ عاَئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنْ يُمْنِ الْمَرْأةِ أنْ تَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ رَحِمُهَا

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diantara tanda keberkahan seorang wanita adalah jika mudah pinangannya, mudah mudah maharnya dan mudah rahimnya (subur rahimnya).[10]



عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَمَنْصِبٍ إِلَّا أَنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَنَهَاهُ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

Dari Mi’qal bin Yasar bahwa dia berkata : “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata : “Aku menemukan seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik dan kedudukan, tetapi dia itu mandul. Bolehkan aku menikahinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Lalu dia datang untuk kedua kalianya, dan Rasulullah melarangnya. Kemudian dia datang yang ketiga kalinya, maka Rasulullah bersabda : “Menikahlah kalian dengan seorang wanita yang memiliki anak banyak dan penuh kasih sayang. Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya umatku dengan kalian”.[11]



عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا قَالَ قُلْتُ بَلْ ثَيِّبًا قَالَ فَهَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّ لِي أَخَوَاتٌ فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُنَّ قَالَ فَذَاكَ إِذًا إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ . وَفِيْ رِوَايَةِ الِّترْمِذِيْ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ مَاتَ وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعًا فَجِئْتُ بِمَنْ يَقُومُ عَلَيْهِنَّ قَالَ فَدَعَا لِي

Diriwayatkan dari Jabir bahwa dia menikahi seorang wanita pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dan berkata : “Apakah kamu sudah menikah, wahai Jabir ?. Dia berkata : “Ya”. Dia berkata : “Perawan atau janda ?”. Aku berkata : “Tetapi dengan janda”. Dia berkata : “Mengapa tidak dengan perawan agar kamu dapat saling bercengkerama”. Dia berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki banyak saudara perempuan, maka aku takut jika perawan itu akan merusak hubunganku dengan saudara-saudaraku”. Rasulllah berkata : “Jika demikian, wanita itu dinikahi karena agamanya, hartanya dan kecantikannya. Maka pilihlah wanita yang beragama. Semoga kamu sukses”.[12] Dan di dalam Riwayat Tirmidzi disebutkan : “Sesungguhnya Abdullah (Ayah Jabir) telah meninggal dunia dan meninggalkan tujuh atau sembilan anak. Maka aku mendatangkan seorang wanita yang dapat merawat mereka semua”. Maka Rasulullah kemudian berdo’a untukku.



عَنْ عُوَيْمِ بْنِ سَاعِدَةَ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ

Diriwayatkan dari Uwaim bin Sa’idah Al Anshori dari ayahnya dari kakeknya bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pilihlah wanita-wanita yang perawan. Sesungguhnya mereka itu lebih manis mulutnya, lebih bersih rahimnya dan lebih ridla dengan sesuatu yang sedikit”.[13]



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

Diriwayatkan dari Abu hurairah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika telah datang kepada kalian seseorang pelamar yang kalian ridlai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan anakmu. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di atas bumi dan kerusakan yang besar”.[14]

Hasan Bashri pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan calon suami terbaik untuk anak perempuannya, maka dia berkata : “Nikahkanlah dia dengan seseorang yang bertakwa kepada Allah. Jika dia mencintainya, maka dia akan menghormatinya dan jika dia tidak mencintainya, maka dia tidak mendzaliminya”.



Berdasarkan hadits-hadits diatas, maka kriteria wanita yang dianjurkan untuk dikhithbah adalah sebagai berikut :

1) beragama baik dan shalehah. Terlebih lagi jika berasal dari keturunan yang baik, memiliki harta dan cantik.

2) mudah pinangannya dan maharnya

3) subur kandungannya

4) perawan. Terkecuali jika ada kemashlahatan yang lebih besar dengan menikah dengan janda, seperti yang terjadi pada Jabir dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

5) di dalam pesan Bangsa Arab disebutkan bahwa ada lima jenis wanita yang seharusnya dihindari untuk dijadikan istri, yaitu :

a. annanah, yaitu wanita yang senantiasa mengeluh setiap harinya, karena sakit-sakitan atau pura-pura sakit,

b. mannanah, yaitu wanita yang suka mengungkit-ungkit jasa yang pernah dia lakukan untuk suaminya atau keluarganya,

c. hannanah, yaitu wanita yang selalu menyatakan rindu kepada suaminya yang terdahulu,

d. barraqah, yaitu wanita menghabiskan waktunya sepanjang hari dihadapan cermin untuk merias wajahnya dan tubuhnya.

e. Syaddaqah, yaitu wanita yang cerewet dan bawel.

6) Di samping itu idealnya dianjurkan agar wanita yang akan dipinang adalah bukan dari keluarga dekat, sekalipun sebenarnya hukum menikahinya dalam Islam diperbolehkan.

7) sedangkan laki-laki yang hendaknya diterima lamarannya adalah laki-laki yang memiliki agama dan ketakwaan yang baik.



MELAKUKAN PINANGAN DAN KIAT SUKSESNYA

setelah seorang laki-laki itu menentukan pilihan wanita yang akan dipinanganya, diantaranya yang memenuhi kriteria-kriteria diatas, maka ketika dia datang ke rumah calon istrinya untuk meminanganya, maka ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan olehnya dan dilakukannya, diantaranya adalah :

1) Saling mengenali diri, dengan mengenali watak dan kerpibadian masing-masing dengan melakukan pembicaraan berdua di hadapan mahramnya.

2) Melihat calon istri. Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits yang perlu diperhatikan untuk mengetahui apa saja yang halal untuk dilihat dan yang haram untuk dilihat, agar seseorang tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.

Firman Allah :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Janganlah seorang wanita itu menampakkan perhiasannya”.[15]

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :



عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ خَطَبْتُ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قُلْتُ لَا قَالَ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia berkata : “Aku meminang seorang perempuan pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia berkata :” Apakah kamu telah melihatnya ?”. dia berkata : “Tidak”. Dia berkata : “Lihatlah dia. Seseungguhnya hal itu lebih layak untuk memperlanggeng pernikahan kalian berdua”.[16]



عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, maka jika dapat melihat kepada sesuatu yang dapat mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah dia melakukanya”. Jabir berkata : “Maka aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya, sehingga aku melihat kepada sesuatu yang mendorongku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya”.[17]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang wanita yang diutus untuk melihat calon wanita yang hendak dilamarnya : “Ciumlah bau mulutnya dan bau ketiaknya dan perhatikanlah otot-ototnya”.[18]

Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu :

a) Melihat calon istri hukumnya adalah boleh

b) Boleh mengutus seseorang, terutama wanita untuk mengenal secara lebih detail diri pribadi wanita itu.

c) Melihat wanita yang dipinang itu tidak harus seijin dari wanita itu. Maka baik dia rela atau tidak rela, maka laki-laki peminang boleh melihat calon istrinya.

d) Adapun bagian mana saja yang boleh dilihat oleh laki-laki peminang. Maka disini para ulama sepakat boleh melihat kepada wajah dan telapak tangan. Para fuqoha’ Madzhab Hanafi menambahkan boleh melihat kepada telapak kaki. Dan para fuqoha’ Madzhab Maliki memperbolehkan melihat kepada lengan tangan. Dan menurut riwayat dari Madzhab Ahmad boleh melihat kepada apa yang umumnya nampak pada wanita yang hendak dipinang.

e) Untuk lebih mempermudah perkenalan permualaan, maka bolehlah seseorang melihat photo calon pasangannya dan saling mengirimkan data pendahuluan

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki yang hendak melihat calon istrinya, yaitu :

a) Wanita yang hendak dipinangnya adalah wanita yang halal dinikahinya

b) Dia harus menentukan seorang wanita untuk dipinang, bukan melihat banyak wanita, kemudian datang meminang dan melihat bagian tubuhnya

c) Hendaklah dia memiliki dugaan kuat bahwa pinangannya akan diterima

d) Tujuannya tidak boleh hanya untuk memuaskan nafsu birahinya saja.

3) Meminta nasehat dan pendapat dari orang yang lebih mengetahui

4) Menggunakan perantara orang-orang yang memiliki kedudukan, terutama dihadapan keluarga wanita yang hendak dipinang

5) Melakukan shalat istikharah

6) Cinta bukanlah segalanya. Yang paling penting adalah tangung jawab dan semangat memberikan pengayoman

7) Tidak ada salahnya jika seorang wanita datang meminang seorang laki-laki, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad dan seperti yang terjadi antara Rabi’ah binti Isma’il dan Ahmad bin Abul Huwari. Bahkan pernikahan yang terjadi antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah adalah bermula dari inisiatif pihak wanita



MASA SETELAH PINANGAN

Setelah seorang laki-laki datang kepada seorang wanita untuk dipinang, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Lamaran itu diterima atau ditolak. Jika wanita itu sudah baligh, maka di dalam Madzhab Hanafi cukuplah dengan keridlaannya saja. Tetapi menurut jumhur, keridlaannya itu harus didukung dengan keridlaan walinya.

2) Boleh merayakan pinangan yang telah diterima dan menandainya.

3) Boleh memberikan hadiah kepada calon pengantin.

4) Boleh menyerahkan mahar jika telah ditentukan pada waktu pinangan. Tetapi hal ini tergantung kepada kemashlahatan yang ada.

5) Boleh berkunjung ke rumah calon istri yang telah menerima lamaran dengan membawa hadiah dan atau yang semisalnya dan berbicara dengannya dengan syarat tidak berkhalwat dengannya.

6) Tidak ada ketentuan rentang waktu yang pasti yang ditentukan di dalam Islam antara penerimaan pinangan dengan dilangsungkannya akad prenikahannya. Semua tergantung kepada kemashlahatan dan kesepakatan kedua belah pihak. Tetapi semakin cepat adalah semakin baik, karena setan selalu berusaha meniupkan rasa waswas di hati setiap manusia.

7) Jika terjadi pembatalan pinangan di tengah jalan, maka pihak pria tidak boleh mengambil hadiah yang telah diberikannya. Dan pihak wanita harus mengembalikan hadiah tersebut jika pembatalan itu berasal dari pihaknya. Tetapi jika benda yang telah diberikan oleh pihak pria itu merupakan syarat-syarat nikah, seperti mahar misalnya, maka pihak wanita harus mengembalikannya, baik pembatalan itu berasal dari pihak laki-laki atau pihak wanita. Karena mahar hanya wajib dibayarkan setelah sempurnanya akad pernikahan. Wallaahu a’lam.



[1] HR. Turmudzi, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad

[2] HR Muslim, Abu Dawud, Nasa’I , Ibnu majah dan Ahmad.

[3] Tafsir Al Qurthubi, III : 188 – 189

[4] HR Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad

[5] HR Muslim, Nasa’I, Abu dawud dan Ahmad. Dan Malik menambahkan di dalam Al Muwatho’nya : “baik lamaran itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain”.

[6] HR Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad Darimi

[7] HR Thabrani

[8] HR Ibnu Hibban

[9] HR Ahmad

[10] HR Ahmad dan Baihaqi

[11] HR Nasa’I dan Abu Dawud

[12] HR Nasa’I

[13] HR Ibnu Majah

[14] HR Turmudzi

[15] Al Ahzab : 31

[16] HR Nasa’i

[17] HR Abu Dawud

[18] HR Thabrani dan Baihaqi












jazakumullah

vrijdag, september 25, 2009

Taqdir Manusia

AHLAN WA SAHLAN
Bismillahirahmaanirrahiim,
Alhamdulillah. Washolatu ‘alaa rasulillahi wa ‘alaa alihii wa ash habihi waman tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumiddin. Amma Ba’du.
Anak adalah salah satu anugrah dan karunia yang diberikan Allah. Allah berfirman dalam Kitabullah:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. [Q.S. Al Furqaan : 74]
Dan do’a Nabi Zakariya ‘alaihissalam :

َإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَل
artinya: “Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra,” [Q.S. Maryam: 5]

Maka jelaslah dari ayat-ayat tersebut bahwasannya anak merupakan karunia Allah Subhanahu wa ta’alaa. Yang mana Allah juga yang menentukan rizki anak tersebut, jodohnya, kelaminnya, dan juga matinya. Maka tidak sepantasnya manusia mencari-cari tahu jodohnya, kemudian juga khawatir terhadap rizkinya sehingga membunuh anak-anak mereka, kemudian juga dengan sombong mengatakan bahwa mereka tahu bagaimana caranya agar anak mereka lahir laki-laki ataupun lahir perempuan.

Hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu’anhumRasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya.” (Shahih Muslim No.4785 dan juga diriwayatkan oleh Bukhari)
Dari hadits di atas adalah sebuah khabar kebenaran bahwa yang menentukan seorang anak itu laki-laki atau perempuan, sengsara atau bahagia, rezekinya berapa, ajalnya bagaimana segalanya telah ditentukan semenjak manusia dalam kandungan ibunya. Yang demikian itu adalah sebuah kuasa Allah, sebagaimana Ia adalah Dzat yang telah menaqdirkan setiap daun yang jauh ke bumi, dan juga Dzat yang telah menaqdirkan seseorang itu mendapatkan Khusnul Khatimah ataupun Su’ul Khatimah. Maha Suci Allah yang telah mengatur segalanya, yang memberikan keadilan bagi setiap makhluk-Nya.
Sebagaimana juga yang dijelaskan di dalam hadits Arbain Nawawi hadits ke empat, Imam Nawawi memberikan hadits:
عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق " إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة
Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah(air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh(segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Alloh yang tiada tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapka atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Al Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam Miftahu Dar sa’adah berkata:Dalam hadits ini Anda lihat beliau menyerahkan masalah penentuan jenis kelamin itu kepada kehendak Allah Subhanahu wata’alaa. Beliau menghubungkannya dengan masalah yang tidak dapat dipengaruhi oleh alam, yakni kesengsaraan dan kebahagiaan, serta rezeki dan ajal, dan malaikat tidak menuliskan apa yang dapat dipengaruhi oleh faktor alam.
Tidakkah Anda melihat Abdullah bin Salam hanya bertanya tentang kemiripan yang masih mungkin untuk dijawab, dan tidak bertanya tentang penentuan jenis kelamin, meskipun itu lebih dalam daripada sekedar kemiripan rupa. Wallahu a’lam. Kalau Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam telah mengatakannya, berarti itulah informasi yang benar.
Bagaimanapun juga bukti-bukti ini mematahkan apa yang diklaim sebagian ilmuwan alam, bahwa ia tahu sebab-sebab janin menjadi lelaki atau wanita. Wallaahu a’lam
Selesai perkataan beliau.
Dalam masalah taqdir Syaikh Shalih Alu Syaikh di Syarah Arba’in An Nawawi memberikan penjelasan ada 4 bentuk penulisan taqdir:1. Taqdir saabiq, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.2. Taqdir umri, yaitu penulisan taqdir bagi janin ketika berusia 4 bulan.3. Taqdir sanawi, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk setiap tahunnya pada malam lailatul qodr.4. Taqdir yaumi, yaitu penulisan terhadap setiap kejadian setiap harinya.Keempat macam penulisan taqdir tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kecuali pada taqdir sabiq. Sebagaimana firman Allah: (Surat Ar-Ra’d: 39).
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lohmahfuz).”
Taqdir Allah sama sekali bukan sebagai pemaksaan, Allah lebih tahu terhadap hambanya yang pantas mendapatkan kebaikan dan yang tidak.
Selesai perkataan beliau.
Kesimpulannya, segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, bahkan juga termasuk anak yang berada di dalam kandungan. Nasib manusia sudah ditentukan, dan ini juga sebagai pembantah atas perkataan dukun dan peramal yang mengatakan nasib manusia itu bisa berubah atas kehendaknya sendiri. Memang benar nasib manusia bisa berubah atas kehendaknya sendiri, namun itu juga karena taqdir. Allah menjadikan seseorang nasibnya baik, nasibnya mujur atau biasa saja sejak dalam kandungan. Demikian pula matinya, baik berupa khusnul khatimah ataupun su’ul khatimah. Adapun orang-orang yang disesatkan maka mereka akan mengatakan hal-hal yang tidak diketahui, adapun orang-orang yang berilmu, mereka lebih cenderung diam untuk menjaga diri dari berkata tanpa ilmu.
Dan dari sini jelas juga sebagai bantahan bagi orang-orang yang mengatakan, mereka bisa memperkirakan bagaimana supaya bisa dapat anak laki-laki ataupun anak perempuan, sebagaimana adat istiadat tertentu yang bisa diketahui dengan membelah kelapa muda, atau dengan cara-cara tertentu. Atau yang sedikit lebih ilmiah lagi dengan mengambil hari sebelum haidh untuk mendapatkan anak laki-laki ataupun mengambil hari setelah haidh untuk mendapatkan anak perempuan atau sebaliknya untuk berhubungan dengan istri-istri mereka, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya,
Saat itu Tsaubah berada bersama Nabi shallallahu’alaihi wa salam:Tiba-tiba datanglah seorang pendeta Yahudi. la mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika yaa Muhammad!” Serentak Tsaubah memukulnya. Hampir saja dia mati. “Kenapa kamu memukul saya?” tanyanya. Aku menjawab, “Mengapa tidak kamu panggil beliau Yaa Rasulullah?”“Kami hanya mau memanggilnya dengan menyebut nama yang diberikankeluarganya,” jawabnya.Mendengar ini, Rasulullah menyahut, “Namaku adalah Muhammad. Itulah namayang diberikan keluargaku.”“Aku datang untuk bertanya kepadamu,” katanya.Beliau balik bertanya, “Apakah jawabanku berguna bagimu?”Si Yahudi menjawab, “Akan aku dengar dengan telingaku.”“Tanyalah!” kata Rasulullah sambil menggariskan sebatang kayu yang beliau pegang ke tanah.“Di mana manusia pada hari kiamat?” tanyanya.Beliau menjawab, “Mereka berada di dalam kegelapan sebelum/zsr(jembatan).”Ia bertanya lagi, “Lalu siapa yang paling dahulu lewat?”Beliau menjawab, “Orang-orang Muhajirin yang miskin.”“Apa hadiah untuk mereka saat masuk surga?” tanyanya kemudian.Beliau menjawab, “Hati ikan besar.”Dia bertanya lagi, “Lalu apa makanan mereka setelah itu?”Beliau menjawab, “Untuk mereka disembelihkan sapi jantan surga yang makan dari tetumbuhan surga.”“Apa minuman mereka?” tanyanya.Jawab beliau, “Mata air yang disebut salsabila.”la berkata, “Engkau benar.” Kemudian lanjutnya, “Aku ke sini juga untuk menanyaimu tentang sesuatu yang hanya diketahui oleh Nabi atau satu orang atau dua orang saja.”Beliau bertanya, “Akankah bermanfaat bagimu apabila aku jawab?”“Aku akan dengar dengan telingaku,” katanya. “Aku datang untuk bertanya tentang anak.”Beliau bersabda, “Sperma lelaki berwarna putih, sedang punya wanita berwarna kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu mani lelaki mengungguli mani perempuan, maka anak itu lelaki dengan izin Allah Subhanahu wa ta’alaa. Dan, apabila mani wanita mengungguli mani lelaki, berarti anak itu perempuan dengan izin Allah Subhanallahu wa ta’alaa.”Si Yahudi berkata, “Ucapanmu sungguh benar, dan engkau benar-benar seorang Nabi.”
Tetaplah di dalam hadits tersebut rasululloh shallallahu’alaihi wa salam menjelaskan menyerahkan kepada Allah dengan berkata “dengan izin Allah”. Sebab banyak juga kasus yang mana telah berusaha sebagaimana yang beliau sabdakan, tapi tidak mendapatkan hasilnya. Segalanya telah ditentukan Allah dan Allah berkehendak atas segala yang Ia kehendaki. Dan manusia tidak bisa mengendalikan hal ini
Wallahu a’lam bishawab.












jazakumullah

donderdag, september 24, 2009

LANJUTAN KITAB ILMU DALAM SHOHIH BHKORI

AHLAN WA SAHLAN


Dilengkapi penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani
بسم الله الرحمن الرحيم
Bab 3. Orang yang mengangkat suaranya untuk menyampaikan ilmu
حدثنا أبو النعمان عارم بن الفضل قال حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر عن يوسف بن ماهك عن عبد الله بن عمرو قال : تخلف عنا النبي صلى الله عليه و سلم في سفرة سفرناها فأدركنا – وقد أرهقتنا الصلاة – ونحن نتوضأ فجعلنا نمسح على أرجلنا فنادى بأعلى صوته ( ويل للأعقاب من النار ) . مرتين أو ثلاثا
Abu an-Nu’man ‘Arim bin al-Fadhl menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu Awanah menuturkan kepada kami dari Abu Bisyr dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu. Dia berkata: Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Lalu beliaupun berhasil menyusul kami namun waktu sholat sudah demikian sempit. Kami pun segera berwudhu seolah-olah hanya dengan mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara keras, “Celakalah tumit-tumit -yang tidak terbasuh air- oleh jilatan api neraka.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (Hadits no. 60, disebutkan secara berulang pada hadits no. 96 dan 163)
Keterangan:
Penulis -yaitu Imam Bukhari- berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengangkat suara demi menyampaikan ilmu. Tentu saja penarikan kesimpulan ini akan lengkap apabila disertai dengan alasan untuk melakukannya seperti karena tempat yang berjauhan, banyaknya orang yang berkumpul, atau alasan lainnya. Terlebih lagi jika itu berupa nasehat dan peringatan. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam hadits Jabir, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berkhutbah yang menceritakan tentang hari kiamat maka kemurkaan beliau memuncak dan suaranya pun meninggi…” (HR. Muslim)
Hadits ini juga menjadi dalil disyari’atkannya mengulangi pembicaraan demi memahamkan orang yang sedang diajak bicara (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 175] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).
Bab 4. Ucapan Muhaddits (ahli hadits), ‘haddatsana’ (menuturkan kepada kami), atau ‘akhbarana’ (mengabarkan kepada kami) dan ‘anba’ana’ (memberitakan kepada kami)
وقال لنا الحميدي كان عند ابن عيينة حدثنا وأخبرنا وأنبأنا وسمعت واحدا . وقال ابن مسعود حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو الصادق المصدوق . وقال شقيق عن عبد الله سمعت النبي صلى الله عليه و سلم كلمة . وقال حذيفة حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم حديثين . وقال أبو العالية عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم فيما يروي عن ربه . وقال أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم يرويه عن ربه عز و جل . وقال أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم يرويه عن ربكم عز و جل
al-Humaidi mengatakan kepada kami bahwa menurut Ibnu Uyainah ungkapan ‘haddatsana’ (menuturkan kepada kami), ‘akhbarana’ (mengabarkan kepada kami), ‘anba’ana’ (memberitakan kepada kami) , dan ’sami’tu’ (saya mendengar) itu sama status hukumnya. Ibnu Mas’ud mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami sementara beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan. Syaqiq mengatakan dari Abdullah -bin Mas’ud-, beliau berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan suatu kalimat. Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menuturkan kepada kami dua buah hadits. Abul ‘Aliyah mengatakan dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa-apa yang beliau riwayatkan dari Rabbnya. Anas berkata: Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabbnya ‘azza wa jalla. Abu Hurairah berkata: dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb kalian ‘azza wa jalla.
Keterangan:
Potongan-potongan riwayat ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak membeda-bedakan ungkapan penuturan hadits. Terkadang mereka mengatakan ‘haddatsana’, dan terkadang mengatakan ’sami’tu’. Dan menurut mereka itu semua sama saja. Hal itu dapat diketahui dari perbedaan lafazh hadits Ibnu Umar -yang akan disebutkan sesudah ini- melalui berbagai jalur periwayatannya. Di sebagian riwayat Nabi mengatakan, ‘Hadditsuni’ (tuturkan kepadaku), seperti dalam bab ini. Dalam riwayat lain dalam Kitab Tafsir dikatakan ‘akhbiruni’ (kabarkan kepadaku). Dalam riwayat lainnya melalui jalan al-Isma’ili dikatakan ‘anbi’uni’ (beritakan kepadaku). Bahkan di dalam riwayat lainnya dengan ungkapan dari para sahabat ‘akhbirna’ (kabarkan kepada kami). Ini semua menunjukkan bahwa dalam pandangan para sahabat tahdits (perkataan haddatsana), ikhbar (perkataan akhbarana), dan inba’ (perkataan anba’ana) sama saja status hukumnya yaitu bersambung riwayatnya sampai kepada Nabi. Hal itu dengan syarat memang benar-benar telah terjadi perjumpaan antara orang yang meriwayatkan (baca: sahabat) dengan sumbernya (baca: Nabi). Mereka tidak mengkhususkan misalnya: ungkapan haddatsani dipakai apabila seorang murid mendapatkan hadits seorang diri dari gurunya, haddatsana apabila dia mendapatkannya bersama dengan sekumpulan orang. Atau ungkapan akhbarani dipakai apabila dia membaca sendiri di depan gurunya, sedangkan apabila dia mendengar bacaan orang lain di depan gurunya maka dipakai ungkapan akhbarana. Pembedaan semacam itu dimunculkan oleh para ulama setelah masa sahabat dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kondisi ketika hadits itu diterima periwayatannya (proses tahammul). Bagi mereka pun pembedaan ini adalah perkara yang dianjurkan, bukan sesuatu yang wajib dilakukan.
Keabsahan riwayat dengan redaksi yang berlainan ini -dengan syarat keberadaan sahabat yang menyampaikan hadits, bukan tingkatan di bawah sahabat, pen- menunjukkan bolehnya berargumentasi/berhujjah dengan hadits-hadits yang dikategorikan sebagai mursal [1] shahabi. Namun hal ini khusus berlaku untuk hadits-hadits hukum saja, bukan untuk selainnya disebabkan ada sebagian sahabat yang justru mengambil riwayat dari sebagian tabi’in seperti Ka’ab al-Ahbar, demikian papar al-Hafizh Ibnu Hajar (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 176-177] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).
حدثنا قتيبة حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن من الشجر شجرة لا يسقط ورقها وإنها مثل المسلم فحدثوني ما هي ) . فوقع الناس في شجر البوادي قال عبد الله ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييت ثم قالوا حدثنا ما هي يا رسول الله ؟ قال ( هي النخلة )
Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Isma’il bin Ja’far menuturkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara berbagai jenis pohon ada sebuah jenis pohon yang tidak gugur daun-daunnya. Pohon itu merupakan perumpamaan sosok seorang muslim. Tuturkanlah kepadaku apa gerangan pohon itu.” Maka pikiran orang-orang pun melayang ke berbagai jenis pohon yang tumbuh di padang pasir. Abdullah -yaitu Ibnu Umar sendiri- berkata: Di dalam pikiranku terbetik bahwa pohon itu adalah kurma, namun aku malu untuk mengatakannya. Maka mereka pun bertanya, “Tuturkanlah kepada kami apa gerangan pohon itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma.” (Hadits no. 61, disebutkan secara berulang pada hadits no. 62,72,131,2209,4698,5444,5448,6132,6144)
Keterangan:
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengadakan kuis/ujian dalam proses pembelajaran. Sudah semestinya orang yang memberikan pertanyaan (baca: penguji) berusaha sedemikian rupa untuk menyamarkan jawaban agar tidak tersisa celah sedikit pun bagi orang lain untuk mengetahuinya berdasarkan teks ucapan atau pertanyaannya. Adapun bagi orang yang ditanya maka seharusnya dia pandai-pandai menangkap maksud si penanya dengan memperhatikan indikasi-indikasi yang ada. Hal itu sebagaimana kecerdikan Ibnu Umar yang bisa menebak jawaban pertanyaan Nabi dengan melihat kondisi beliau ketika memberikan pertanyaan. Ketika itu beliau sedang memakan beberapa butir kurma yang belum benar-benar matang, sebagaimana disebutkan oleh Abu Awanah dalam Shahihnya dari jalur Mujahid dari Ibnu Umar
Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits ini antara lain adalah: [1] Seyogyanya seorang alim/ahli ilmu menguji murid-muridnya dengan sesuatu yang samar kemudian disertai penjelasan jawabannya kepada mereka apabila mereka tidak bisa memahaminya. [2] Anjuran untuk meningkatkan pemahaman dalam menimba ilmu. [3] Dianjurkan memiliki sifat malu selama hal itu tidak menyebabkan hilangnya kemaslahatan. [4] Hadits di atas juga menunjukkan keberkahan yang ada pada pohon kurma dan apa saja yang tumbuh darinya. [5] Hadits ini menunjukkan bolehnya berjual-beli kurma yang ketika dipetik belum matang benar, sebab apa pun yang boleh dimakan maka boleh pula diperjual-belikan. [6] Hadits ini menunjukkan bolehnya mengumpulkan buah kurma yang belum matang untuk dimatangkan bukan di pohonnya (diimbu, bahasa Jawa). [7] Letak keserupaan pribadi muslim dengan kurma adalah segala kemanfaatan yang bisa diperoleh dari dirinya, sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti pohon kurma, apa saja yang datang kepadamu darinya niscaya bermanfaat untukmu.” (HR. al-Bazzar dari Ibnu Umar, dinyatakan sahih sanadnya oleh Ibnu Hajar). [8] Dianjurkan memberikan perumpamaan dan contoh perkara lain yang mirip dalam rangka memperdalam pemahaman dan mengokohkan gambaran makna suatu perkara di dalam pikiran. [9] Hadits ini mengisyaratkan bahwa penyerupaan tidak mengharuskan adanya kesamaan dari segala sisi. [10] Anjuran untuk menghormati orang yang lebih tua/senior. [11] Hendaknya seorang anak mendahulukan orang tuanya dalam berbicara. Dasar kedua hal ini adalah sikap yang dipilih oleh Ibnu Umar dengan tidak angkat bicara sementara beliau melihat Abu Bakar dan Umar (bapaknya) tidak menjawab pertanyaan Nabi tersebut. [12] Terkadang seorang alim yang sudah senior tidak mengerti sebagian perkara yang ternyata bisa dimengerti oleh orang lain yang lebih muda darinya/yunior (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 178-179] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).
Bab 5. Seorang imam/pemimpin melontarkan pertanyaan kepada murid-muridnya untuk menguji ilmu yang mereka miliki
حدثنا خالد بن مخلد حدثنا سليمان حدثنا عبد الله بن دينار عن ابن عمر : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إن من الشجر شجرة لا يسقط ورقها وإنها مثل المسلم حدثوني ما هي ) . قال فوقع الناس في شجر البوادي قال عبد الله فوقع في نفسي أنها النخلة ثم قالوا حدثنا ما هي يا رسول الله ؟ قال ( هي النخلة )
Khalid bin Makhlad menuturkan kepada kami. Dia berkata: Sulaiman menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abdullah bin Dinar menuturkan kepada kami dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara berbagai jenis pohon ada sejenis pohon yang tidak berguguran daunnya, dan itu merupakan perumpamaan seorang muslim. Tuturkanlah kepadaku apakah itu?”. Ibnu Umar berkata: Pikiran orang-orang pun melayang kepada pohon-pohon yang tumbuh di padang pasir. Abdullah -yaitu Ibnu Umar sendiri- mengatakan: Terbetik dalam pikiranku bahwa yang dimaksud dengan pohon itu adalah pohon kurma. Lalu mereka berkata, “Tuturkanlah kepada kami apakah pohon itu wahai Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma.”
Keterangan:
Di dalam bab ini Imam Bukhari kembali mencantumkan hadits Ibnu Umar dengan redaksi yang mirip dengan riwayat sebelumnya. Hal ini bukanlah pengulangan yang tidak ada faedahnya. Sebab di dalam riwayat ini beliau menyebutkan jalur periwayatan/sanad yang lain dari sanad sebelumnya. Di dalam riwayat sebelumnya beliau meriwayatkan hadits ini dari Qutaibah dari Isma’il bin Ja’far dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Adapun dalam riwayat ini beliau meriwayatkannya dari Khalid bin Makhlad dari Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Hal ini menunjukkan keunggulan Imam Bukhari dalam hal penyusunan bab dan penyebutan dalil yang mendukungnya.
Bukti yang menunjukkan keunggulan Imam Bukhari -dan beliau bukan sekedar taklid kepada kebiasaan guru-gurunya dalam hal penyusunan bab- dalam menampilkan riwayat ini setelah keberadaan riwayat sebelumnya adalah riwayat hadits ini dari jalur Sulaiman bin Bilal di dalam kitab-kitab hadits tidak bisa ditemukan kecuali di dalam kitab Shahih Bukhari ini (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 180] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H. Kami susun ulang penjelasan Ibnu Hajar dengan beberapa perubahan redaksional).
Yogyakarta, 5 Syawwal 1430 H/24 September 2009
Penyusun: Abu Mushlih Ari WahyudiArtikel blog http://abu0mushlih.wordpress.com
Catatan Kaki:[1] Hadits Mursal adalah ucapan seorang tabi’in: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Hadits mursal tergolong hadits lemah. Adapun mursal shahabi maksudnya adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in dari seorang sahabat namun dia tidak mendengar langsung hadits tersebut atau tidak menyaksikannya. Hadits mursal jenis ini -mursal shahabi- adalah hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah/argumen (lihat Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits al-Albani, hal. 217 penerbit al-Faruq al-Haditsah cet. 1423 H). Hadits mursal digolongkan dalam hadits lemah disebabkan ketidakjelasan/jahalah pada diri periwayat antara tabi’in dengan Nabi. Bisa jadi dia adalah seorang sahabat atau tabi’in. Apabila dia adalah tabi’in bisa jadi dia adalah periwayat yang lemah, bisa jadi juga periwayat yang tsiqoh/bisa dipercaya. Karena adanya berbagai kemungkinan yang tidak menentu inilah maka hadits mursal dimasukkan dalam kategori hadits mardud/tertolak (lihat an-Nukat ‘ala Nuz-hatin Nazhar, hal. 109-110 penerbit Dar Ibnul Jauzi cet. 1413 H)



jazakumullah

KITABUL ILMI DALAM SHOHIH BUKHORI

AHLAN WA SAHLAN

Dilengkapi penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani
بسْم الله الرحمن الرحيم
كتَابُ العلْم
Bab 1. Keutamaan Ilmu
وقول الله تعالى { يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير } / المجادلة 11 / .
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberi karunia ilmu sebanyak beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian kerjakan.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Keterangan[1] :
Allah akan mengangkat kedudukan seorang mukmin yang berilmu di atas seorang mukmin yang tidak berilmu
Diangkatnya derajat orang yang berilmu menunjukkan keutamaan ilmu
Pengangkatan derajat itu meliputi pengangkatan secara maknawi di dunia yaitu berupa ketinggian martabat dan nama baik -di masyarakat- dan juga pengangkatan secara hissi/terindera yaitu ketika di akherat berupa ketinggian kedudukan di surga
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang memahami dan mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan akan menghinakan orang-orang yang tidak memahami dan mengamalkan al-Qur’an sebagaimana mestinya. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian orang karena Kitab ini dan juga akan merendahkan sebagian lainnya karenanya pula.” (HR. Muslim dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu) (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 172] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H)
وقوله عز و جل { وقل رب زدني علما } / طه 114 /
Firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)
Keterangan:
Ayat ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah tidak pernah memerintahkan Nabi untuk meminta tambahan sesuatu melainkan tambahan ilmu
Ilmu yang dimaksud dalam ayat ini adalah ilmu syar’i/ilmu agama, yaitu ilmu yang membuahkan pemahaman tentang apa saja yang wajib dilakukan oleh setiap orang dalam urusan agamanya, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang harus ditunaikan untuk-Nya, dan menyucikan Allah dari segenap cela. Poros semua ilmu agama terkumpul dalam tiga bidang ilmu, yaitu: tafsir, hadits, dan fiqih (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 172] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).
Bab 2. Orang yang ditanya mengenai suatu ilmu sementara dia sedang sibuk berbicara lantas dia pun menuntaskan pembicaraannya baru kemudian menjawab si penanya
حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ( ح ) . وحدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال : بينما النبي صلى الله عليه و سلم في جلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة ؟ . فمضى رسول الله صلى الله عليه و سلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال . وقال بعضهم بل لم يسمع . حتى إذ قضى حديثه قال ( أين – أراه – السائل عن الساعة ) . قال ها أنا يا رسول الله قال ( فإذا ضعيت الأمانة فانتظر الساعة ) . قال كيف إضاعتها ؟ قال ( إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة )
Muhammad bin Sinan menuturkan kepada kami. Dia berkata: Fulaih menuturkan kepada kami (ha’). Ibrahim bin al-Mundzir juga menuturkan kepadaku. Dia berkata: Ayahku menuturkan kepadaku. Dia berkata: Hilal bin Ali menuturkan kepadaku -sebuah riwayat- dari Atho’ bin Yasar dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkata: Suatu saat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam sebuah majelis/pertemuan untuk menyampaikan pembicaraan kepada sekelompok orang. Tiba-tiba ada seorang Arab Badui yang datang dan langsung bertanya, “Kapankah terjadinya hari kiamat?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya. Sebagian orang yang hadir mengatakan, “Beliau mendengar ucapan itu namun beliau tidak senang terhadap isi ucapannya.” Sebagian yang lain berkata, “Bahkan beliau tidak mendengarnya.” Sampai pada akhirnya setelah beliau menuntaskan pembicaraannya, beliau pun berkata, “Dimana -menurutku (ucapan periwayat, pent)- orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?”. Lelaki itu pun menjawab, “Ini saya, wahai Rasulullah.” Maka beliau pun berkata, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu orang itu kembali bertanya, “Bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu apabila suatu urusan telah diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (Hadits no 59, disebutkan ulang pada hadits no 6496)
Keterangan:
Kaitan antara isi hadits ini dengan Kitabul Ilmi adalah bahwasanya penyandaran urusan kepada bukan ahlinya itu akan banyak terjadi ketika kebodohan telah merajalela dan ilmu telah diangkat, dan itu termasuk dalam ciri-ciri menjelang datangnya kiamat.
Dengan menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Ilmi seolah-olah Imam Bukhari mengisyaratkan bahwa semestinya ilmu diambil dari orang-orang yang lebih senior (akabir), bukan dari orang-orang yang masih dangkal ilmunya (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 175] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu ciri dekatnya hari kiamat adalah ilmu dituntut dari orang-orang yang kecil/ashaghir.” (HR. Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd [61], Abu Amr ad-Dani dalam al-Fitan [2/62], al-Lalika’i dalam Syarh Ushul as-Sunnah [1/230, Kawakib 576], at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam al-’Ilm [2/q 16], Ibnu Mandah dalam al-Ma’rifah [1/220/2] dari sahabat Abu Umayyah al-Jumahi. Hadits ini dinyatakan bagus/jayyid sanadnya oleh al-Albani dalam as-Shahihah [695]). Ibnul Mubarak mengatakan bahwa yang dimaksud al-Ashaghir/orang-orang kecil tersebut adalah ahli bid’ah (penyebar ajaran baru) (lihat Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 695 [2/194] Software Maktabah as-Syamilah)
Catatan Kaki:
[1] Keterangan ini kami sarikan dari Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, semoga Allah merahmatinya.












jazakumullah

woensdag, september 09, 2009

Nasehat Terakhir Syaikh Ibnu Baz

AHLAN WA SAHLAN
Nasehat Terakhir Syaikh Ibnu Baz

Ketahuilah wahai sekalian kaum muslimin, sudah menjadi kewajiban setiap orang yang berilmu untuk mengingatkan hal ini dan menasehati orang serta mendakwahkannya sesuai kemampuannya. Hal ini dilakukan untuk menunaikan kewajiban penyampaian dan dakwah dan mengikuti para Rasul serta menjauhkan diri dari sikap menyembunyikan ilmu. Sikap yang telah diperingatkan Allah dalam Alqur’an sebagaimana firmanNya:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela’nati” (QS. Al Baqarah: 159)
Juga telah ada hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menyatakan:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka ia mendapat pahala seperti pahala pelakunya”
Dan beliaupun bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk mak ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikpun pahala mereka. Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikruinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka”
kedua hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Jika hal diatas telah diketahui, maka saya wasiyatkan kepada kalian dan diri saya untuk bertaqwa kepada Allah dalam segala keadaan, baik tampak atau sembunyi, keadaan susah atau senang. Wasiat taqwa ini merupakan wasiat Allah dan Rasulnya, sebagaimana firmanNya:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللهَ
“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah” (QS. An Nisa’: 131)
dan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menyampaikannya dalam khutbah:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَمْعِ وَ الّطَاعَةِ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dan bersikap taat dan patuh”
Kata takwa merupakan kata yang mencakup seluruh kebaikan, sebab hakekatnya adalah menunaikan kewajiban Allah dan menjauhi larangannya dengan ikhlas, cinta dan mengharap pahala serta takut dari adzabNya. Allah telah memerintahkan hambaNya untuk bertakwa dan menjanjikan mereka yang bertakwa kemudahan , keselamatan dari bahaya, kemudahan rezeki, ampunan dosa dan memperoleh surga. Allah berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَىْءٌ عَظِيمٌ
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat”. (QS. Al Hajj: 1)
dan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hashr:18)
Dan firman-Nya:
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS. Ath Thalaq:2-3).
Demikian juga firmanNya:
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Rabbnya” (QS. Al Qalam:34)
Dan firman-Nya:
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya” (QS. Ath Thalaq:5)
dan ayat yang semakna dengannya banyak sekali.
Wahai kaum muslimin, takutlah kepada Allah, bersegeralah melaksanakan ketakwaan dalam segala keadaan dan perhitungkanlahseluruh perkataan dan perbuatan serta pergaulan kalian. Amalan tersebut yang diperbolehkan maka tidak mengapa dikerjakan dan yang tidak diperbolehkan dalam syari’at maka hindarilah walaupun kalian tamak terhadapnya. Karena yang ada disisi Allah lebih baik dan kekal. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah niscaya Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya. Kapan seorang hamba menjaga dan bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangannya, maka Allah akan memberikan mereka keutamaan yang timbul dari ketakwaan tersebut, berupa kemuliaan, kesuksesan, rezeki yang luas, kemudahan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sudah jelas bagi semua orang yang memiliki akal dan pandangan, semua yang menimpa kebanyakan kaum muslimin berupa kekerasan hati, tidak suka dengan akhirat, berpaling dari sebab-sebab keselamatan, mengejar dunia dan sebab-sebab mendapatkannya dengan semangat dan ketamakan tanpa melihat hala dan harom dan tenggelam dalam lautan syahwat dan jenis-jenis kesia-siaan dan kelalaian. Semua itu disebabkan hati mereka telah berpaling dari akhirat dan lalai dari dzikir dan mencintai Allah serta dari tafakkur terhadap karunia, nikmat Allah dan ayat-ayatnya baik yang zhahir atau yang batin. Juga disebabkan tidak mempersiapkan diri untuk perjumpaan dengan Allah dan tidak pernah ingat keadaan menghadap-Nya dan berada di keadaan yang dahsyat, yaitu berada di surga atau di neraka.
Wahai kaum muslimin, lihatlah diri kalian, bertaubatlah kepada Allah dan belajarlah ilmu-ilmu agama kalian serta bersegeralah melaksanakan kewajiban Allah dan menjauhi laranganNya agar kalian mendapatkan kemuliaan, petunjuk dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhati-hatilah dari tenggelam dalam dunia dan mendahulukannya dari akhirat, karena hal itu adalah sifat musuh-musuh Allah dan musuh kalian dari kalangan orang kafir dan munafik. Juga termasuk sebab adzab didunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah dalam mensifati musuhNya:
إِنَّ هَؤُلآءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَآءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلاً
“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat”. (QS. Al Insan: 27)
dan Allah Ta’ala berfirman:
فَلاَتُعْجِبُكَ أَمْوَالُهُمْ وَلآَأَوْلاَدُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُعَذِّبَهُم بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir” (QS. At Taubah:55)
Sedangkan kalian tidak diciptakan untuk dunia, tapi kalian diciptakan untuk akhirat dan diperintahkan untuk mencari bekal untuknya. Bahkan dunia diciptakan untuk kalian agar digunakan untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dan untuk bersiap menghadap kepadaNya. Sehingga kalian berhak mendapatkan keutamaan, karunia dan pertolonganNya di surga yang penuh kenikmatan.
Buruk sekali secara akal orang yang berpaling dari ibadah (enggan beribadah) kepada sang pencipta dan pemeliharanya dan berpaling dari karunia yang telah dijanjikanNya dan meninggalkannya dengan mendahulukan syahwat kebinatangannya dan ketamakannya dalam mencapai tujuan dunia yang fana’. Padahal Allah telah menjanjikan sesuatu yang lebih baik dan bagus akibatnya didunia dan akhirat. Hendaknya seorang muslim berhati-hati terhadap sikap tertipu dengan jumlah banyaknya manusia dan menyatakan: “Sungguh manusia telah melakukannya dan terbiasa dengan hal itu, maka saya pun ikut bersama mereka”. Karena hal ini adalah musibah besar yang telah menghancurkan kebanyakan orang terdahulu. Tapi –wahaai orang yang berakal- wajib bagimu untuk melihat dirimu, mengevaluasinya dan berpegang teguh kepada kebenaran walaupun manusia meninggalkannya. Berhati-hatilah dari smua larangan Allah walaupun seluruh manusai melakukannya, karena kebenaran lebih berhak dikuti dari yang lainnya, sebagaimana firman Allah:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al An’am: 116)
dan firmanNya:
وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf:103).
Sebagian salaf menyatakan: “Janganlah meninggalkan kebenaran karena sedikitnya orang yang ikut dan jangan tertipu dengan kebatilan karena banyaknya orang yang binasa (karena mengikutinya)”. Inilah nasehat saya. Saya ingin menutup nasehat saya ini dengan menyebutkan lima perkara yang merupakan sumber seluruh kebaikan:
Pertama: ikhlas kepada Allah dalam seluruh perkataan dan perbuatan yang mendekatkan diri kepadanya. Berhati-hatilah dari seluruh kesyirikan baik yang tersembunyi ataupun yang jelas. Inilah kewajiban dan perkara terpenting dan merupakan makna La ilaaha Illa Allah. Amalan ibadah dan perkataannya tidak sah kecuali dengan benar dan selamatnya pokok ini, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumaar:65) Kedua: memahami Al Qur’an dan sunnah Rasulullah dan berpegang teguh kepada keduanya serta bertanya kepada ahli ilmu (ulama) tentang semua yang belim jelas dari perkara agama kalian. Inilah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak boleh ia meninggalkan dan berpaling darinya lalu berjalan sekehendak akal dan hawa nafsunya tanpa ilmu dan bashiroh. Inilah makna syahadat Muhammad Rasulullah, karena sahadat ini mengharuskan seorang hamba untuk beriman bahwa Muhammad adalah benar-benar Rasulullah, berpegang teguh kepada ajarannya, membenarkan beritanya dan tidak menyembah Allah kecuali dengan syar’at yang ditetapkan dengan lisan Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Imran:31)
Dan firmanNya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr :7)
dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku atasnya maka ia tertolak” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Setiap orang yang berpaling dari Al Qur’an dan sunnah pasti mengikuti hawa nafsu lagi bermaksiat kepada Allah dan berhak mendapatkan kemurkaan dan adzab, sebagaimana firman Allah:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Qashosh:50)
Allah berfirman dalam menyifati orang kafir:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَاتَهْوَى اْلأَنفُسُ وَلَقَد جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَى
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka” (QS. An Najm:23)
mengikuti hawa nafsu –wal’iyadzu billah- menghapus cahaya hati dan menghalangi kebenaran, sebagaimana firmanNya:
وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad:26)
Maka jauhkanlah diri kalian -semoga Allah merahmati kalian- dari sikap mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari petunjuk (meninggalkan petunjuk). Hendaknya kalian berpegang teguh kepada kebenaran dan mendakwahkannya dan berhati-hatilah dari orang yang menyelisihi kebenaran, agar kalian memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.
Ketiga: menegakkan dan menjaga shalat lima waktu berjamaah, karena ini adalah kewajiban yang terpenting dan terbesar setelah syahadatain. Ia merupakan tiang agama dan rukun kedua dari rukun islam. Juga ia adalah amalan pertama hamba yang dihisab pada hari kiamat. Barang siapa yang menjaganya maka ia telah menjaga agamanya dan siapa yang meninggalkannya maka ia telah berpisah dari islam. Alangkah ruginya dan jelek akibatnya pada hari ia menghadap Allah. Oleh karena itu hendaklah kalian menjaganya dan saling menasehati dalam menjaganya. Juga mengingkari orang yang meninggalkannya dan menghijrahinya (memboikotnya), karena hal ini termasuk saling tolong menolong dalam kabaikan dan takwa (Ta’awun ‘Alal Birri wat Taqwa). Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Nabi , beliau bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَر
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah sholat, mak barang siapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan dengan sanad yang shahih. Demikian juga sabda beliau:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Antara seorang dengan kufur dan syirik adalah meninggalkan sholat”. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Dan Rasulullah pun bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. Itulah yang paling lemah” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Keempat: memperhatikan masalah zakat dan semangat mengeluarkannya sebagaimana telah Allah wajibkan, karena ia adalah rukun ketiga dari rukun islam, sehingga wajiba atas setiap muslimin yang mukalaf untuk menghitung harta yang akan dizakati dan menelitinya serta mengeluarkan zakatnya setiap berlalu satu tahun (berlalu haul-nya), jika telah sampai nishab zakat. Lalu rela dan lapang dada dalam mengeluarkannya untuk melaksanakan kewajiban Allah dan untuk mensyukuri nikmat-Nya serta berbuat baik kepada hamba-hamba Allah. Kapan seorang hamab melakukannya maka Allah akan melipatkan pahalanya, menggantikan apa yang telah dikeluarkan, memberi barokah dan dikembangkankan serta disucikan harta tersebut, sebagaimana firmanNya:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketemtraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At Taubah:103).
Ketika seorang berbuat bakhil dan meremehkan perkara zakat ini, maka Allah murka kepadanya, menghilangkan barokah harta dan menimpakan kepadanya sebab kehancuran serta menghabiskannya didalam kebatilan. Ditambah dengan adzab dihari kimat nanti, sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah:34) seluruh harta yang tidak dikeluarkan zakatnya maka ia menjadi gudang yang menjadi sebab pemiliknya diadzab pada hari kiamat. Semoga Allah melindungi kami dan kalian semua darinya.
Sedangkan orang yang belum mukallaf dari kaum muslimin, seperti anak kecil dan orang gila, maka diwajibkan kepada walinya (orang yang bertanggung jawab pemeliharaannya) memperhatikan pengeluaran zakat hartanya setiap berlalu setahun (haul). Hal ini karena keumuman dalil-dalil dari Al Qur’an dan sunnah yang menunjukkan kewajiban zakat pada harta seorang muslim, baik mukallaf atau tidak.
Kelima: diwajibkan kepada seluruh mukallaf dari kalangan kaum muslimin baik laki-laki atau perempuan untuk menta’ati Allah dan RasulNya dalam seluruh perintah Allah dan RasulNya, seperti puasa romadhon, haji jika mampu dan seluruh perintah Allah dan RasulNya yang lain. Juga wajib bagi mereka untuk mengagungkan kesucian Allah dan bertafakur pada tujuan penciptaan dan perintahNya serta selalu mengevaluasi (introspeksi/muhasabah) dirinya dalam hal itu. Jika ia telah melaksanakan kewajiban yang Allah berikan kepadanya maka berbahagialah, pijilah Allah dan mintalah keistiqomahan serta berhati-heti dari perasaan sombong, ujub (bangga diri) dan memuji diri. Jika belum melaksanakannya atau melakukan pelanggaran sebagaian keharaman Allah , maka bersegeralah bertaubat yang benar, menyesal dan istiqamah dalam perintah Allah dan memperbanyak dzikir, istighfar, mengadu kepada Allah dan meminta taubat dari dosa yang telah lalu serta meminta taufiq untuk dapat berbicara dan beramal baik. Ketika seorang hamba dimudahkan memiliki perkara-perkara diatas maka itulah alamat kebahagian dan keselamatannya di dunia dan akhirat. Ketika mereka lalai dari sirinya dan mengekor hawa nafsu dan syahwatnya serta tidak mempersiapkan diri untuk akhirat, mak itu adalah tanda kehancuran dan kerugiannya.
Hendaknya setiap kalian melihat dirinya dan meng-hisab (introspeksi) serta membongkar aibnya, maka ia akan mendapatkan sesuatu yang membuatnya berduka dan menyibukkan diri sendiri serta mengharuskannya merendah dan bersimpuh kepada Allah dan meminta maaf dan ampunanNya. Muhasabah, merendah dan bersimpuh dihadapan Allah inilah sebab kebahagian, kesuksesan dan kemulian di dunia dan akhirat.
Hendaknya setiap muslim mengetahui bahwa seluruh kesehatan, kedudukan yang tinggi, kemudahan dan kesenangan yang ia dapatkan adalah dari keutamaan Allah dan kebaikan-Nya. Demikian juga sakit, musibah, kemiskinan, kesusahan, penjajahan musuh dan lain-lainnya dari musibah yang menimpanya adalah dengan sebab dosa dan kemaksiatannya.
Sehingga sebab seluruh yang ada didunia dan akhirat dari adzab dan sakit adalah kemaksiatan, penyepisihi perintah Allah dan meremehkan hak-hak-Nya, sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura’:30)
dan firmanNya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Rum:41)
Wahai hamba Allah bertakwalah kepada Allah, agungkanlah perintah dan laranganNya, bersegeralah bertaubat dari semua dosa kalian dan bersandar dan bertawakallah kepada Allah, karena Ia adalah sang pencipta dan pemberi rezeki makhluk. Seluruh kehidupan mereka berada di tangan Allah, tiada seorangpun yang memiliki dirinya, baik memberikan madharat, manfaat, kematian, kehidupan dan kebangkitan.
Dahulukanlah hak dan ketaatan Allah dan Rasul-Nya dari siapa saja selainnya. Ber-amar ma’ruf nahi mungkar-lah diantara kalian, berprasangka baiklah kepada Allah, perbanyak dzikir dan istighfar, saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan jangan dalam dosa dan permusuhan, bawalah orang-orang bodoh dan paksalah mereka patuh kepada perintah Alah dan cegahlah mereka dari melanggar hal-hal yang diharamkan-Nya, cinta dan bencilah karena Allah, berilah loyalitas kepada para wali Allah dan musuhilah musuh-musuh Allah, bersabarlah dan teruslah bersabar sampai menjumpai Allah agar kalian memperoleh puncak kebahagiaan, kemudahan, kemuliaan, dan tempat yang tinggi di surga yang penuh kenikmatan.
والله المسؤول أن يوفقنا وإياكم لما يُرضه، وأن يصلح قلوب الجميع، ويعمرها بخشيته ومحبته وتقواه، والنصح له ولعباده، وأن يعيذنا وإياكم من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، وأن يوفق ولاة أمرنا وسائر ولاة أمر المسلمين لما يرضيه، وأن ينصر بهم الحق ويخذل بهم الباطل، وأن يعيذ الجميع من مضلات الفتن، إنه ولي ذلك والقادر عليه.والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته … وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

[Diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. dari sahab.net]
Artikel UstadzKholid.Com













jazakumullah

maandag, september 07, 2009

Untaian Nasihat Luqman Untuk Buah Hatinya

AHLAN WA SAHLAN
Untaian Nasihat Luqman Untuk Buah Hatinya



Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. (Qs. Luqmân/31:13).
SIAPAKAH LUQMAN?
Para ulama berselisih dalam masalah penamaan ayah dan nasabnya, kenabian dan profesi serta sifatsifat fisiknya.1 Al-Hâfizh Ibnu Katsîr Rahimahullah menjelaskan, ia adalah Luqmân bin ‘Anqâ bin Sadûn.2 Sebagian besar ulama Salaf menyatakan, Luqmân Rahimahullah bukanlah nabi dan tidak pula mendapatkan wahyu, melainkan ia seorang wali Allah Subhanahu wa Ta'ala yang taat, shâlih, dan bijaksana, yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala berbagai keutamaan, berupa kecerdasan akal, kedalaman pemahaman terhadap Islam, sifat pendiam dan tenang, serta hikmah dalam berkata-kata.3
Adapun mengenai profesi Luqman Rahimahullah, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, ia seorang budak hitam yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ada pula yang mengatakan sebagai penjahit. Ada pula yang mengatakan sebagai penggembala. Dan ada pula yang mengatakan sebagai Qadhi (hakim) di masyarakat Bani Israil.4 Sedangkan mengenai sifat-sifat fisik beliau, banyak para ulama yang menjelaskan, ia adalah seorang budak Habasyah yang hitam, berbibir tebal, dan berkaki pecah-pecah.5
{mospagebreak}
SYIRIK MERUPAKAN KEZHALIMAN YANG AMAT BESAR
Pada ayat di atas, Luqmân Rahimahullah menasihati anaknya, Tsarân 6 agar tidak berbuat syirik. Sebagai seorang ayah yang telah dikaruniai Allah Subhanahu wa Ta'ala sifat bijaksana dan kemampuan berkata-kata dengan kedalaman makna dan penuh hikmah,7 Luqmân memberi sebuah nasihat sangat berharga untuk buah hatinya yang sangat ia sayangi.
Dia menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu apapun, karena syirik merupakan kezhaliman yang amat besar. Karena dalam perbuatan syirik ini tidak ada suatu pun perbuatan dosa yang lebih besar dan buruk daripada dosa menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya, dosa menyamakan derajat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Sempurna dan Yang Maha berhak untuk disembah karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya; dengan makhluk-Nya yang sarat kekurangan dan kelemahan.8
Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan syiriknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. an-Nisâ‘/4:48).
Syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar dan Keimanan seorang muslim tidak mungkin lurus dan benar jika masih tercampur dengan kezhaliman ini. Karena tidak mungkin sebuah keimanan dan tauhid bercampur dengan kesyirikan dan kekufuran.
Ayat di atas juga memberikan isyarat yang jelas kepada para ayah atau orang tua, para guru, pengajar dan pembimbing secara umum, agar mereka menasihati anak-anaknya sejak dini. Yaitu dengan menanamkan dan memahamkan serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar ke- Islaman dan keimanan, berupa aqidah atau tauhid. Hal ini pun telah dicontohkan oleh seorang ayah, pembimbing, dan guru yang terbaik, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam , tatkala beliau menasihati sepupunya, ‘Abdullah bin ‘Abbâs radhiallahu'anhu yang saat itu umurnya masih sangat belia.9
‘Abdullah bin ‘Abbâs radhiallahu'anhuma berkata, yang artinya: Pada suatu hari, aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati-Nya di depanmu. Jika kamu ingin meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu ingin memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat bergabung untuk memberikan sebuah manfaat kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan manfaat itu kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu. Dan jika mereka semua bergabung untuk memberikan sebuah madharrat/ bahaya kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan madharrat/bahaya itu kecuali jika Allah telah menetapkannya (pula) untukmu. Pena telah diangkat, dan buku catatan (amal) telah kering’.”10
{mospagebreak}
WAJIB BERBAKTI DAN TAAT KEPADA ORANG TUA SELAMA PERINTAHNYA TIDAK MENYALAHI SYARIAT

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs. Luqmân/31:14-15).
Pada ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini, setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak-Nya dengan beribadah hanya kepada- Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak orang tua, dengan berbakti dan taat kepadanya selama perintah mereka tidak menyelisihi syariat. Kita diperintah untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, karena merekalah yang menyebabkan kita ada di dunia ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala; dan terlebih lagi berbakti kepada ibu, karena, ibu telah mengandung kita, merasakan payahnya ketika kita masih berada di dalam perutnya. Hingga akhirnya melahirkan kita dengan menahan rasa sakit yang luar biasa. Ibu mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kita. Tidak hanya sampai di situ, ibu juga menyusui kita, mengurus dengan sabar, hingga menyapih kita dalam jangka waktu dua tahun. Sampai akhirnya kita tumbuh berkembang, kuat dan dewasa.11 Demikian pula dengan ayah, ia telah membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan ibu.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika taat dan berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap anak. Tentunya, kewajiban tersebut berlaku selama bakti dan ketaatan terhadap perintah mereka berdua tidak menyelisihi atau menyalahi syariat. Hal ini banyak diterangkan dalam Al-Qur‘ân maupun hadits-hadits shahîh, di antaranya seperti firman-Nya berikut:

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs. al-’Ankabût/29:8).
Konkretnya, seperti yang telah diperankan oleh Sa’ad bin Abi Waqqâsh radhiallahu'anhu , ketika sang ibu memaksanya murtad dari Islam. Para ulama berpendapat, ayat ke-8 surat al-’Ankabût, dan ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini di atas turun dengan sebab kisah Sa’ad bin Abi Waqqâsh radhiallahu'anhu.12
Dalam Shahîh Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh radhiallahu'anhu, beliau berkata yang artinya :
Ibu Sa’ad (bin Abi Waqqâsh)13 bersumpah untuk tidak berbicara dengannya selama-lamanya sampai Sa’ad kufur (keluar) dari agamanya (yaitu, Islam). Dia pun bersumpah untuk tidak mau makan dan minum. Dia berkata: “Kamu mengatakan bahwa Allah memerintahkanmu untuk taat/berbakti kepada kedua orang tuamu, sedangkan aku adalah ibumu, dan aku memerintahkanmu untuk kufur (dari Islam)”. Ibu Sa’ad pun bertahan (tidak makan dan minum) selama tiga hari, hingga ia pingsan karena kepayahan. Maka salah satu anaknya yang bernama ‘Umarah memberinya minum. Ibu Sa’ad pun mendoakan keburukan untuk Sa’ad, maka Allah 'Azza wa Jall menurunkan dalam Al-Qur`ân ayat ini: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada- Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutu- kan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”.14
Oleh karena itu, bagaimanapun keadaan orang tua, kita diwajibkan oleh Allah 'Azza wa Jalla untuk taat dan berbakti kepada mereka,15 selama bukan merupakan perkara maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika orang tua memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk mentaati perintah mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda:

… Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang baik.16
Beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:

… Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta'ala ).17
{mospagebreak}
LUQMAN RAHIMAHULLAH MENANAMKAN AQIDAH KEPADA PUTRANYA TENTANG KEKUASAAN ALLAH YANG MUTLAK DAN ADANYA HARI PEMBALASAN

(Luqmân berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Qs. Luqmân/31:16).
Pada ayat ke-16, Luqmân kembali menasihati putranya, bahwa sekecil apapun perbuatan seseorang, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan, pasti Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membalasnya. Perbuatan baik, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala pun baik. Jika perbuatan tersebut buruk, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala pun demikian.18 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun, dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya, dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (Qs. al-Anbiyâ‘/21:47).
Maka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pandangan Allah 'Azza wa Jalla. Oleh karena itu, di akhir ayat 16 surat Luqmân ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
{mospagebreak}
LUQMAN RAHIMAHULLAH MEMERINTAHKAN PUTRANYA UNTUK MENEGAKKAN SHALAT, MENEGAKKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN BERSABAR TERHADAP MUSIBAH

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Qs. Luqmân/31:17).
Luqmân memerintahkan si anak untuk sholat, karena merupakan ibadah fisik paling penting. Selanjutnya, memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar. Aktifitas ini menuntut seseorang agar mengetahui perkara-perkara yang ma’ruf dan kemungkaran, serta sifat pendukungnya, yaitu kelembutan dan kesabaran. Lantaran pasti akan menghadapi cobaan saat menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, Luqmân memerintahkan supaya bersabar. Perkara-perkara ini termasuk ‘azmil-umûr (perkara besar lagi menyedot perhatian lebih), hingga tidak ada yang memperoleh taufik untuk menjalankannya kecuali orang-orang yang bertekad baja.19
Secara khusus, mengenai pembinaan anakanak untuk mengerjakan sholat sejak dini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan shalat) ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.20
{mospagebreak}
LUQMAN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TIDAK SOMBONG, ANGKUH DAN TIDAK MEMBANGGAKAN DIRI

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs. Luqmân/31:18)
Dalam ayat lain, Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman:

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekalikali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (Qs. al-Isrâ‘/17:37).
Dan sungguh, nasihat Luqmân ini pun telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk kita, seperti ditunjukkan beberapa hadits berikut. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiallahu'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak (akan) masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sekecil dzarrah dari kesombongan”. (Kemudian) ada seorang yang berkata: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sendalnya bagus,” (maka) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah, dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”.21
Hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Tatkala seorang berjalan dengan angkuh sombong dengan mengenakan dua lapis pakaiannya, maka Allah benamkan dia ke dalam bumi. Dia pun terus demikian naik turun di dalam bumi sampai hari kiamat.22
Hadits Hâritsah bin Wahb al-Khuzâ’i radhiallahu'anhu , ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

“… Maukah aku beritahu kalian; siapakah penghuni neraka?” Mereka menjawab: “Tentu”. Rasulullah bersabda: “Setiap orang yang kasar, tamak/serakah dan sombong”.23
{mospagebreak}
LUQMAN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TAWAADHU’, BERLAKU TENANG DAN TIDAK MENINGGIKAN SUARA

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Qs. Luqmân/31:19).
Pada ayat ke-19, Luqmân juga menasihati putranya untuk tawâdhu’ (rendah hati), tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat dalam berjalan. Dia juga menasihati anaknya untuk tidak berlebih-lebihan dalam berbicara, dan tidak meninggikan suara untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya pada pembicaraan tersebut. Sampai-sampai Luqmân mengumpamakannya dengan suara keledai yang buruk.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Seburuk-buruk perumpamaan orang yang meninggikan suaranya adalah bagaikan keledai dalam ringkikannya. Selain itu, suara ini pun dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala “.24
PESAN DAN NASIHAT IMAM IBNUL QAYYIM RAHIMAHULLAH UNTUK PARA AYAH, ORANG TUA DAN PARA PENDIDIK SECARA UMUM
Sebelum merenungkan nasihat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah , marilah kita renungi dan pahami terlebih dahulu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berikut:

Tidak ada seorang (bayi pun) yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fithrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi…..25
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata:26 Sebagian Ahlul ‘Ilmi (para ulama) berkata: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan bertanya kepada ayah - pada hari Kiamat nanti- (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap anaknya, sebelum Allah 'Azza wa Jalla bertanya kepada anak, (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap ayahnya.
Karena, sebagaimana ayah memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh anaknya, maka anak pun memiliki hak yang harus di penuhi oleh ayahnya. Dan sebagaimana Allah berfirman:

Dan kami wajibkan manusia (berbuat) baik kepada dua orang ibu-bapaknya .... -Qs. al-’Ankabut/29 ayat 8-maka Allah pun berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.... -Qs. at-Tahrîm/66 ayat 6- , dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu'anhu berkata: “Yaitu, ajarilah dan didiklah anak-anak kalian!”.27
Sehingga, perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada ayah untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak anaknya, lebih Allah Subhanahu wa Ta'ala dahulukan daripada perintah-Nya kepada anak untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak ayahnya. (Sebagaimana) firman Allah:

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan... -Qs. al-Isrâ‘/17 ayat 31-
sehingga barang siapa melalaikan pendidikan anaknya agar mengetahui hal-hal yang bermanfaat untuknya, dan menyia-nyiakannya; maka sungguh ia telah berbuat keburukan terhadap anaknya dengan seburukburuknya. Dan mayoritas anak, tidaklah mereka menjadi rusak melainkan karena ayahnya. Ayahnyalah yang lalai mendidik anaknya, dan lalai menanamkan serta memahamkan prinsip-prinsip dasar agama dan sunnah-sunnahnya. Akhirnya, (ayah seperti inilah yang) telah menyia-nyiakan anaknya (sendiri) sejak kecil, dan tidak memberinya manfaat. Sehingga ketika ia telah dewasa, ia pun tidak (bisa) memberikan manfaat apapun kepada ayahnya. Seperti yang pernah terjadi pada sebagian anak yang mencela ayahnya (karena kelalaiannya), ia berkata: “Wahai ayahku, sebagaimana engkau tidak mendidikku saat masa kecilku, maka kini saat aku telah dewasa mendurhakaimu! Wahai ayahku, sebagaimana engkau telah menyia-nyiakan diriku (dahulu) ketika aku bayi, maka kini aku pun menyianyiakanmu ketika engkau menjadi seorang kakek tua”.
{mospagebreak}
BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT28
Penetapan (wajibnya) tauhid dan ancaman (bahaya) syirik.
Penjelasan hikmah, yaitu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan taat dan selalu ingat kepada- Nya. Karena tidaklah bersyukur melainkan orang yang berakal dan pandai.
Disyariatkan nasihat dan bimbingan, baik untuk orang tua, anak kecil, orang asing maupun kerabat.
Dahsyatnya (keburukan) syirik, dan penjelasan bahwa syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar.
Penjelasan jangka waktu menyusui, yaitu selama dua tahun, tidak lebih.
Wajibnya berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
Penetapan kaidah “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta'ala)”. Yaitu dengan tidak mentaati (perintah) orang tua dalam hal-hal yang tidak baik (menurut syariat).
Wajib mengikuti jalan orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan haram mengikuti jalan para pelaku bid’ah dan kesesatan.
Wajib merasakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa mengawasi dan mengetahui gerak-gerik (setiap manusia), dan tidak boleh meremehkan kebaikan atau keburukan yang dilakukan, betapa pun kecilnya.
Wajib menegakkan shalat, amar ma’ruf dan nahi munkar, dan sabar terhadap apa-apa yang akan menimpa si pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut.
Haram berlaku angkuh dan sombong dalam berjalan, serta wajibnya sederhana, tenang dalam berjalan dan berbicara. Yakni tidak terlalu cepat dalam berjalan, dan tidak terlalu mengeraskan suara dalam berbicara, kecuali jika dibutuhkan.
Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat mengambil faidah dan manfaat dari penjelasan ayatayat Allah yang mulia ini. Sehingga dapat membuat ilmu, iman dan amal shâlih kita senantiasa bertambah dan meningkat. Amin. Wallahu A’lamu bish-Shawâb.
Maraji’ & Mashadir:
Al-Isti’âb fi Bayân al-Asbâb, Salim bin ‘Id al-Hilâli dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, Dâr Ibn al-Jauzi, KSA, Cetakan I, Tahun 1425 H.
Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-’Aliyyil-Kabîr, Abu Bakar Jabir al-Jazâiri, Maktabah al-Ulûm wal Hikam, al-Madinah al-Munawwarah, KSA, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M.
Tafsir al-Qurthubi (al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tahqîq ‘Abdur Razzâq al-Mahdi, Dâr al Kitab al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/ 1999 M.
Tafsir ath-Thabari (Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmûd Syâkir, Dâr Ihya at-Turâts, Beirut, Cetakan I, Tahun 1421 H/ 2001 M.
Tafsir Ibnu Katsir (Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm), Abu al-Fida’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr (700-774 H), Tahqîq Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dâr ath-Thaibah, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M.
Taisîrul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalâmil-Mannân, ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, tahqîq ‘Abdurrahmân bin Mu’alla al-Luwaihiq, Dâr as-Salam, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyûb az-Zar’i, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H), tahqîq Abu Usâmah Salim bin ‘Id al Hilâli, Dâr Ibn al-Qayyim & Dâr Ibn ‘Affân, Kairo, Mesir, Cetakan II, Tahun 1428 H/2007 M
Zâdul-Masîr, Abu al-Faraj Jamâluddin ‘Abdurrahmân bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Baghdadi (508-597 H), al-Maktab al-Islâmi, Beirut, Cetakan. III, Tahun 1404 H/ 1984 M.

1 Lihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/78-80), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56-57), Zâdul-Masîr (6/317-318), Tafsîrul- Qur`ânil-’Azhîm (6/333-335). 2 Lihat Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/336). Terdapat pendapat lain soal nasab beliau, seperti termaktub dalam al-Jâmi’ li Ahkâmil- Qur‘ân (14/56). Di antaranya, Luqmân bin Ba’urâ bin Nahûr bin Târah. Dan Târah adalah Azar, ayah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam . 3 Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318), Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/334-335). Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur‘ân (21/80. 4 Keterangan-keterangan tentang ini dapat dilihat di Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/79), Zâdul-Masîr (6/317-318). 5 Lihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/79), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318), Tafsîrul-Qur`ânil- ’Azhîm (6/334). 6 Disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa namanya adalah Tsaraan. Lihat al-Jaami’ li Ahkâmil Qur’aan (14/58) dan Tafsiirul Qur’ânil ‘Azhîm (6/336). 7 Qs Luqmân ayat 12. 8 Lihat Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/336) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/424).9 Umur beliau saat itu kurang dari 15 tahun. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah Syaikh Muhammd bin Shâlih al-’Utsaimîn, hlm. 201. 10 HR at-Tirmidzi (4/667 no. 2516), dan lain-lain. Hadits ini shahîh. Shahîh Sunan at-Tirmidzi (2/610).11 Lihat Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/424-426). 12 Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/82), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/60), Zâdul-Masîr (6/319), Tafsîrul-Qur`ânil- ’Azhîm (6/337). 13 Namanya Hamnah binti Abi Sufyân bin Umayyah [al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (14/61)]. 14 HR Muslim, Kitab Fadha‘ilish-Shahâbah, Bab: Fî Fadhli Sa’ad bin Abi Waqqâsh radhiallahu'anhu (4/1877 no. 1748), dan lain-lain. 15 Imam al-Qurthubi rahimahullah - dalam tafsirnya al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (14/61)- berkata: “Pada ayat di atas (ayat ke 15 dalam surat Luqmân) terdapat dalil atas wajibnya berbakti kepada kedua orang tua walaupun mereka kafir. Berbakti dengan membantu memberikan harta (kita) jika mereka fakir dan miskin, dan berkata-kata lemah lembut serta mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam”. 16 HR al-Bukhâri (4/1577 no. 4085), (6/2612, 2649 no. 6726, 6830), Muslim (3/1469 no. 1840), dan lain-lain, dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu'anhu. 17 Lihat Silsilatul-Ahâdits ash-Shahîhah (1/348, 350 dan 351 no. 179, 180, 181).18 Lihat Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/337-338) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/426). 19 Ringkasan dari Taisîrul-Karîmir-Rahmân 648 20 HR Abu Dawud (1/187 no. 495), dan lain-lain. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwâ‘ul Ghalîl (1/266 no. 247), Shahîh al-Jami’ (5868), Shahîh Sunan Abi Dawud (1/144-145 no. 495) dan kitab-kitab beliau lainnya.21 HR Muslim (1/93 no. 91), dan lain-lain. 22 HR al-Bukhâri (5/2182 no. 5452), Muslim (3/1653 no. 2088), dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim. 23 HR al-Bukhâri (4/1870 no. 4634, 5/2255 no. 5723), Muslim (4/2190 no. 2853), dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim. 24 Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (6/339).25 HR al-Bukhâri (1/456 no. 1292-1293, 4/1792 no. 4497, 6/2434 no. 6226), Muslim (4/2047 no. 2658), dan lain-lain, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim. 26 Lihat Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, halaman 386-387, dengan sedikit peringkasan. 27 Atsar ini dishahîhkan oleh Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilâli dalam tahqîq beliau terhadap kitab Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil- Maulûd, halaman 375. 28 Disadur dari Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-’Aliyyil-Kabîr (2/993-994).










jazakumullah