donderdag, juli 24, 2008

TAFSIR QS ARRUUM 30

AHLAN WA SAHLAN
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Ar Ruum 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (30)
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad saw meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah. Tuhan menyuruh agar Nabi saw mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" dinamakan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.S. Az Zariyat: 56)
Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. Dan "muka" dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua pancaindera kecuali alat perasa. Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:

ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه هما اللذان يُهَوِّدانه أو يُنَصِّرانه أو يمجسانه كما يُنتَج البهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء. ثم يقول أبو هريرة: واقرءوا إن شئتم: فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله. وفي رواية: حتى تكونوا أنتم تجدعونها. قالوا: يا رسول الله أفرأيت من يموت صغيرا?. قال: الله أعلم بما كانوا عاملين.
Artinya:

Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya". Kemudian Abu Hurairah berkata: "Bacalah ayat ini yang artinya: "Fitrah Allah di mana manusia telah diciptakan atasnya. Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu". Dalam riwayat lain, "sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)". Para sahabat bertanya: "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil? Rasul menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat". (H.R. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis Nabi saw. Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi'i bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:

ألا أحدثكم بما حدثني الله في كتابه: إن الله خلق آدم وبنيه حنفاء مسلمين وأعطاهم المال حلالا لا حرام فيه فجعلوا مما أعطاهم الله حلالا وحراما.
Artinya:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. (H.R. Iyad bin Himar)
Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka dikeluarkan dari tulang sulbinya. Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum Muslimin maupun anak-anak kaum kafir.
Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan "fitrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dia berkata: "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya". Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai dengan kejadian itu kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujah bahwa "fitrah" itu berarti kejadian dan "fatir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:

قل اللهم فاطر السموات والأرض
Artinya:
Katakanlah: "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi". (Q.S. Az Zumar: 46)
Dan firman Allah SWT:

وما لي لا أعبد الذي فطرني
Artinya:
Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku. (Q.S. Yasin: 22)
Dan firman Allah lagi:

قال بل ربكم رب السموات والأرض الذي فطرهن
Artinya:
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. (Q.S. Al anbiya: 56)
Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa "fitrah" berarti kejadian dan "fatir" berarti yang menjadikan. Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas kekafiran atau iman atau berpengetahuan atau durhaka. Mereka berpendapat bahwa anak itu umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya, tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya. Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan. Mereka berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Mereka juga berhujah dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.

كما يُنْتَجُ البهيمة جمعاء هل تحسون فيها جدعاء.

Artinya:
Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian itu kekurangan?.
Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya. Lalu dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar dan sebagainya.
Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan. Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti binatang ternak. Tatkala mereka sampai umur setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan Tuhan, dan sedikit yang tidak berdosa.
Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada permulaannya, tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu. Anak-anak itu adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir. Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tak mengetahui sedikitpun.
Allah SWT berfirman:

والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. (Q.S. An Nahl: 78)
Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir. beriman, berpengetahuan atau durhaka.
Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana manusia dilahirkan atasnya. Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:

إنما تجزون ما كنتم تعملون
Artinya:
Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At Tur: 16)
Dan firman Allah SWT:

كل نفس بما كسبت رهينة

Artinya:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al Mudassir: 38)
Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.
Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam. Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab. Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh. Hal ini tak ada pada anak kecil. Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.
Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan fitrah, dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah dalam tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata "fitrah" ini ialah berarti "kejadian" dan kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan keadaan itu seseorang dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah SWT yang lain. Dengan fitrah itu seorang anak akan mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya. Seakan-akan Tuhan berfirman: "Hadapkanlah mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian manusia, tetapi karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu. Dalam sabda Nabi yang artinya: "Tiap anak dilahirkan menurut fitrah. Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi". Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-halangan yang banyak itu.
Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah SWT menjadikan hati anak Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia menerima penglihatan dan pendengaran. Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan memperoleh kebenaran dan agama Islam yakni agama yang benar.
Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: "Sebagaimana menghasilkan binatang yang utuh. Adakah mereka menghasilkan yang lain? Adakah mereka merasakan kekurangan pendapat padanya?". Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak ada kekurangan. Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap sempurna, tak ada aibnya. Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan hidungnya dilubangi tempat mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan keasliannya. Demikian pulalah keadaannya dengan manusia. Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik. beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui". yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan Samurah bin Jundab dari Nabi saw. yaitu hadis yang panjang. Sebagian dari hadis itu berbunyi sebagai berikut:

وأما الرجل الطويل الذي في روصة فإبراهيم عليه السلام وأما الوِلْدَان فكل مولود يولد على الفطرة. قال: فقيل يا رسول الله, وأولاد المشركين, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وأولاد المشركين.

Artinya:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata. "Maka Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? "Rasulullah menjawab: "Dan anak-anak musyrik".
Diriwayatkan dari Anas, katanya: "Ditanya Rasulullah saw tentang anak-anak musyrik, beliau bersabda:

لم تكن لهم حسنات فيُجزوا بها فيكونوا من ملوك الجنة ولم تكن لهم سيئات فيُعاقبوا عليها فيكونوا من أهل النار فهم خدم لأهل الجنة.

Artinya:
Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja surga. Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara penduduk neraka. Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.
Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang belum sampai umur. Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu pendapat Ibnu Atiyah yang disokong oleh Syekh Abdul Abbas.
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak ada perubahannya. Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu. Tak ada sesuatupun yang menyalahi peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut mujahid artinya ialah: "tak ada perubahan bagi agama Allah". Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak, Ibnu Zaid dan Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang artinya ialah tak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan. Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: "Itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa "agama yang lurus" itu ialah agama Islam.
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.
















jazakumullah

Jadikan Istirahatmu Bernilai di Sisi Allah

AHLAN WA SAHLAN

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Kategori : Akhlak



Dalam Islam, setiap amalan, sekecil apapun, bisa bernilai ibadah. Beristirahat, misalnya. Ia tak sekedar rutinitas melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Namun bisa menjadi pohon yang berbuah pahala. Bagaimana amalan yang nyata-nyata telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari ini bisa bernilai ibadah? Simak bahasan berikut!

Hidup memang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan ini semua. Ada yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah k yang mesti kita syukuri.
Namun di masa kini, manusia dihadapkan pada pola hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya secara materi. Pekerjaan adalah no. 1, sementara keharmonisan keluarga, interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian. Walhasil, manusia pun tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia. Allah k menjelaskan di dalam Al-Qur`an:

وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (An-Nisa`: 28)
As-Sa’di t mengatakan: “(Allah k menginginkan atas kalian keringanan) artinya kemudahan dalam segala perintah dan larangan-Nya atas kalian. Kemudian bila kalian menjumpai kesulitan dalam beragama maka Allah k telah menghalalkan bagi kalian sesuatu yang kalian butuhkan seperti bangkai, darah dan selain keduanya bagi orang yang mudhthar1, dan seperti bolehnya bagi orang yang merdeka menikahi budak wanita dengan syarat di atas. Hal ini sebagai bukti sempurnanya kasih sayang Allah k, kebaikan yang mencakup ilmu dan hikmah-Nya atas kelemahan manusia (yaitu kelemahan) dari semua sisi. Lemah tubuh, lemah niat, lemah kehendak, lemah keinginan, lemah iman, dan lemah kesabaran. Berdasarkan semua ini sangat sesuai jika Allah k meringankan atas mereka perkara yang dia tidak sanggup untuk melakukannya dan segala apa yang tidak sanggup dipenuhi oleh keimanannya, kesabaran, dan kekuatan dirinya.”
Dan karena kelemahan itu, Allah Maha Bijaksana di dalam menentukan waktu kehidupan bagi mereka. Allah k menjadikan malam dan siang memiliki hikmah tersendiri. Dan adanya malam dan siang itu menunjukkan kasih sayang Allah k terhadap hamba-hamba-Nya dan manakah dari hamba-Nya yang mau mensyukurinya?
Allah k berfirman:

فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ

“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 98)

هُوَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتِ لِقَوْمِ يَسْمَعُوْنَ

“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kalian mencari karunia Allah k). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah k) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus: 67)

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا

“Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (Al-Furqan: 47)

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan karena rahmat-Nya Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan supaya kalian mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan di atas. Semuanya menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah k terhadap hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah k telah melimpahkan kepada mereka segala yang mereka butuhkan dalam pengabdian dan ibadah kepada Allah k. Namun mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada-Nya?
Dan kita semua berkeinginan agar tidur sebagai salah satu bentuk istirahat bukan hanya sebagai ketundukan kepada sunnatullah semata. Kita juga ingin agar tidur kita mendapatkan nilai ibadah tambahan dari sisi Allah k. Allah k melalui lisan Rasul-Nya Muhammad n telah mengajarkan kepada kita beberapa adab di dalam tidur.

Berwudhu Sebelum Tidur
Termasuk Sunnah Rasulullah n adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, sehingga bila ajalnya datang menjemput diapun dalam keadaan suci. Dan sunnah ini menggambarkan bentuk kesiapan seorang muslim untuk memenuhi panggilan kematian dalam keadaan suci hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan. Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri dari permainan setan yang akan menimpanya. (Lih. Fathul Bari, 11/125 dan Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Tentang sunnah ini, Rasulullah n telah menjelaskan dalam sabda beliau:

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْئَكَ لِلصَّلاَةِ...

Dari Al-Bara` bin ‘Azib z, berkata: “Rasulullah n bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk shalat.”2
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab: “Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci”. Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang menjelaskan makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya hadits Mu’adz z:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُُُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci, kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu kepadanya.”3 (lih. Fathul Bari, 11/124)
Dan beliau mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).” Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.” (lih. Fathul Bari, 11/125)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah n ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas c bercerita:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ

“Bahwa Rasulullah n terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.”4

Mengibas (Membersihkan) Tempat Tidurnya
Satu dari sekian sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah n berkaitan dengan adab tidur adalah mengibas tempat tidur. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan diri seperti binatang berbisa, baik ular, kalajengking, dan sebagainya. Ini dilakukan tidak dengan tangan langsung, supaya terhindar dari sesuatu yang mengotori sekiranya terdapat najis atau kotoran. (Lih. Syarah Shahih Muslim, 9/38 dan Fathul Bari, 11/143)
Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضُ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian beranjak menuju tempat tidurnya maka hendaklah dia mengibas (membersihkan) tempat tidurnya karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”5

فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ
“Dia tidak mengetahui apa yang terjadi kemudian” artinya, kata Al-Imam At-Thibi: “Dia tidak mengetahui apa yang akan terjatuh di ranjangnya berupa tanah, kotoran, atau serangga bila dia meninggalkannya.” (Fathul Bari, 11/144)
Ibnu Baththal mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat adab yang besar dan telah disebutkan hikmahnya dalam hadits, yaitu dikhawatirkan sebagian serangga yang berbahaya bermalam di tempat tidurnya dan mengganggunya.
Al-Qurthubi mengatakan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi orang yang akan tidur untuk mengibas tempat tidurnya karena dikhawatirkan terdapat sesuatu yang basah tersembunyi atau selainnya.”
Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat peringatan dan (anjuran) agar seseorang mengetahui sebab-sebab tertolaknya taqdir yang jelek. Dan hadits ini sama dengan hadits: “Ikatlah ontamu kemudian bertawakkal.” (lihat Fathul Bari, 11/144)

Tidur di Atas Lambung Sebelah Kanan
Kesempurnaan Islam adalah sebuah keistimewaan yang diberikan kepada umat Rasulullah n dan menunjukkan keutamaan mereka atas umat-umat terdahulu. Sungguh merugi bila akal, perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang dijadikan sebagai hakim atas kesempurnaannya.
Segala perintah, larangan dan bimbingan yang ada di dalamnya adalah demi kemaslahatan manusia. Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang mau menerima bimbingan? Yang ingkar lebih banyak daripada yang beriman, dan yang menentang lebih banyak daripada yang taat, dan yang menolak lebih banyak dari yang menerima.
Hikmah yang terkandung dalam bimbingan Rasulullah n untuk tidur di atas lambung kanan adalah lebih cepat untuk terjaga (bangun), jantung bergantung ke arah sebelah kanan sehingga tidak menjadi berat bila ketika tidur.
Ibnul Jauzi berkata: “Cara seperti ini sebagaimana telah dijelaskan ilmuwan-ilmuwan kedokteran sangat berfaedah bagi badan. Mereka mengatakan: ‘Mereka mengawali sesaat tidur di atas lambung sebelah kanan, kemudian di atas lambung sebelah kiri karena tertidur. (Dengan cara) pertama akan menurunkan makanan, dan tidur di atas lambung kiri akan menghancurkannya dan dikarenakan hati (terkait dengan pekerjaan) lambung.” (Lih. Fathul Bari, 11/115)
Rasulullah n bersabda:

ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ

“Lalu tidurlah di atas lambungmu yang kanan.”6

Meletakkan Tangan di Bawah Pipi
Tata cara ini dijelaskan oleh Hudzaifah ibnul Yaman c:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنَ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ

“Adalah Rasulullah n apabila beliau tidur di malam hari, beliau meletakkan tangan beliau di bawah pipi.”7

Berdoa Sebelum Tidur

كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَالَ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ

“Rasulullah n apabila akan tidur beliau berdoa: ‘Ya Allah, dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan dengan menyebut namamu aku mati (tidur).”8

Membaca Dzikir-dzikir Tidur
Dzikir-dzikir tidur yang ada dan shahih riwayatnya dari Rasulullah n sangatlah banyak, dan buku-buku yang ditulis dalam masalah ini bertebaran di tengah kaum muslimin. Di antara dzikir-dzikir tersebut adalah:
a. Membaca ta’awwudz dan meniup telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh anggota tubuh.
Hal ini berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ نَفَثَ فِي يَدَيْهِ وَقَرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَمَسَحَ بِهِمَا جَسَدَهُ

“Adalah Rasulullah n apabila beliau akan tidur beliau meniup kedua tangan beliau dan membaca mu’awwidzat (ayat-ayat perlindungan) lalu mengusap dengan itu seluruh jasadnya.”9
Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat perlindungan? Dan bagaimana tatacaranya yang dipraktekkan Rasulullah n?
Telah dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud (no. 5057) tentang yang dimaksud dengan doa perlindungan dan tatacaranya, yaitu:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا وَقَرَأَ فِيْهِمَا {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ، يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi n apabila menuju tempat pembaringan pada setiap malam, beliau menghimpun kedua telapak tangan beliau kemudian meniupnya dan membaca Qul Huwallahu Ahad dan Qul A’udzubirabbil Falaq dan Qul A’udzubi Rabbi An-Nas kemudian dia mengusap seluruh tubuh beliau, dan beliau memulai dari kepala kemudian wajah dan bagian depan jasad dan beliau lakukan hal itu tiga kali.”10
b. Membaca takbir, tahmid dan tasbih 33 kali.
Al-Imam Al-Bukhari v mengatakan:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ: سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ شَكَتْ مَا تَلْقَى مِنْ أَثَرِ الرَّحَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ. فَانْطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِدْهُ فَوَجَدَتْ عَائِشَةَ فَأَخْبَرَتْهَا. فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِيءِ فَاطِمَةَ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا وَقَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْتُ لأَقُوْمَ فَقَالَ: عَلَى مَكَانِكُمَا. فَقَعَدَ بَيْنَنَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ قَدَمَيْهِ عَلَى صَدْرِي، وَقَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا تُكَبِّرَا أَرْبَعًا وَثَلاَثِيْنَ وَتُسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَتَحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepadaku: Ghundar telah menceritakan kepada kami: Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Al-Hakam: Aku telah mendengar Ibnu Abi Laila berkata: “‘Ali telah menceritakan kepadaku bahwa Fathimah mengeluhkan apa yang beliau dapati (berupa bekas pada tangan beliau) karena menumbuk (tepung). Kemudian dibawakan kepada Nabi n seorang tawanan dan aku segera mendatangi Nabi n. Akan tetapi aku tidak menjumpainya dan beliau menjumpai ‘Aisyah lalu Fathimah menceritakan (hajatnya) kepada ‘Aisyah. Ketika Rasulullah n datang, ‘Aisyah memberitahukan tentang kedatangan Fathimah kemudian Rasulullah n mendatangi kami sedangkan kami telah tidur. Lalu aku berusaha bangun, beliau berkata: “Tetaplah kalian di tempat kalian.” Lalu beliau duduk di antara kami, dan aku (kata Fathimah) merasakan dingin kedua kaki beliau yang diletakkannya di atas dadaku dan beliau bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku yaitu bila kalian akan tidur bertakbirlah 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali lebih baik bagi kalian dari pada memiliki pembantu (budak).”
c. Membaca doa di bawah ini:

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَامَ عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَهُنَّ ثُمَّ مَاتَ تَحْتَ لَيْلَتِهِ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ

Dari Al-Bara` bin ‘Azib, berkata: Adalah Rasulullah n apabila beliau menuju tempat pembaringan, beliau tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berdoa: “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan aku serahkan semua urusanku kepada-Mu dan aku bentangkan punggungku di hadapan-Mu dengan penuh harapan dan rasa takut dari-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan (meminta) keselamatan melainkan kepada-Mu, aku beriman kepada kitab yang Engkau telah turunkan dan Nabi yang Engkau telah utus”, dan Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa mengatakannya lalu dia meninggal pada malam itu maka dia meninggal di atas fitrah.”11
c. Membaca doa di bawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dari Abu Hurairah z, berkata: “Rasulullah n bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menuju tempat tidurnya, hendaklah dia mengibasnya dengan bagian dalam kainnya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Lalu dia berdoa: ‘Dengan menyebut nama-Mu wahai Rabb, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu pula aku mengangkatnya dan jika Engkau mencabut ruhku maka rahmatilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (untuk hidup) maka jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih’.”12
Wallahu a’lam.

1 Orang yang sangat membutuhkan dan bila dia tidak melakukannya niscaya akan binasa, seperti orang yang bepergian sementara bekalnya habis di perjalanan dan dia dalam keadaan sangat lapar yang dapat mengancam jiwanya (jika dibiarkan). Maka agama memperbolehkan memakan segala apa yang didapatinya seperti bangkai, darah, babi, anjing dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhannya di saat itu saja. Ibnu Atsir di dalam kitab An-Nihayah (3/83) menjelaskan: “Sesungguhnya dihalalkannya bangkai bagi orang yang mudhthar hanyalah sebatas memakan apa yang akan menutup laparnya di pagi atau malam dan tidak boleh menjadikannya bekal antara keduanya (mempersiapkan di pagi hari sampai malam, pent.)
2 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
3 HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208.
4 HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217.
5 HR. Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714
6 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
7 HR. Al-Bukhari no. 6314
8 HR. Muslim (no. 2711) dan Ahmad (no.17862) dari shahabat Al-Bara’ bin ‘Azib z. Dari shahabat Hudzaifah ibnul Yaman c dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no.1324) dengan lafadz yang berbeda dengan lafadz Al-Imam Muslim:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يُقُوْلُ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوْتُ وَأَحْيَا

Dan yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Dzar z, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 6325).
9 HR. Al-Bukhari no. 6319, Muslim, Abu Dawud no. 5057, Ibnu Majah, dan Ahmad no. 23708 dari shahabat ‘Aisyah x.
10 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4228
11 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6315 dan Muslim no. 2710
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari
jazakumullah

maandag, juli 14, 2008

Hadits Do’a Kifarat Majlis

AHLAN WA SAHLAN
Hadits Do’a Kifarat Majlis
>قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال : سبحان الله و بحمده سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك و أتوب إليك فإن قالها في مجلس ذكر كانت كالطابع يطبع عليه و من قالها في مجلس لغو كانت كفارة له

Artinya, “Barangsiapa membaca,
سبحان الله و بحمده سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت

Maka ia membacanya dalam majlis dzikir, jadilah bacaan tersebut sebagai pengcap yang mengecap majlis tersebut. Dan siapa yang membacanya dalam majlis sia-sia maka jadilah bacaan tersebut sebagai kifarat/denda bagi acara tersebut. [HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Alhakim. At-Tirmidzi berkata, Hadits ini Hasan Shohih]
Berkata Syeikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits As-Shohihah 1/120;

Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabraniy 1/79/2, Al-Hakim 1/537 dari jalur Nafi’ bin Jabir, Ibnu Muth’im dari ayahnya, secara marfu’

Dan Ia (Syeikh Albany) berkata, “Hadits ini shohih sesuai syarat imam Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dan Al-Mundziri telah menyandarkan hadits ini kepada An-Nasai dan Ath-Thabrani, dan berkata, “Jalur kedua hadits tersebut adalah shohih.”

Dan Al-Haitsami (10/142) berkata, “Hadits tentang hal ini (kifarat majlis) yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, para perawinya adalah perawi yang shohih.”<

Seseorang bertanya kepada Syeikh Hatim bin Arif Auni

ما قولكم في حديث دعاء كفّارة المجلس؟ فقد تكلّم البخاري في أحد أسانيده، وأبوحاتم في إسناد آخر.


Apa pendapat anda tentang hadits kifarat majlis ? Yang hadits tersebut telah dipertanyakan/diragukan oleh Al-Imam Bukhariy dalam sanadnya, juga Abu Hatim mempertanyakannya dalam sanadnya yang lain?
Jawab Syeikh Hatim bin Arif Auni (Murid Syeikh Abdullah bin Ghadyan);

حديث كفارة المجلس حديث صحيح، له طرق أسانيدها صحيحة وحسنة، ولا نعلم لها علة، منها حديث السائب بن يزيد مرفوعاً، وحديث عبدالله بن عمرو بن العاص موقوفاً، وغيرها، وهي مع المراسيل المتعددة، وتصحيح عدد من الأئمة لبعض وجوهه، وعدم استنكار جمع آخر = تدل على ثبوت الحديث وصحته.
وللحافظ

ابن حجر كلام مطول مفيد عن هذا الحديث في كتابه: النكت على كتاب ابن الصلاح (2 /715-743


Hadits kifarat majlis adalah hadits shohih, hadits tersebut memiliki banyak jalan sanad yang shohih dan hasan. Dan kami tidak mengetahui ada illat/cacat padanya. Adapun beberapa jalur hadits tersebut dari Sa’ib bin Yazid secara marfu’, hadits Abdullah bin Umar bin ‘Ash secara mauquf, dan selainnya. Dan hadits ini bersambung dengan banyak jalan. Dan banyak pula para ulama yang menshohihkannya pada sebahagian hadits tersebut. Dan tidak mengingkari seluruh hadits yang serupa ini menunjukkan bahwa tsubut/selamatnya hadits ini dan keshohihannya. Dan ibnu Hajar telah membicarakan dengan panjang lebar tentang hadits ini dalam kitabnya “An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Sholah”

Sumber Rujukan :
- Silsilah Ahadits Shohihah Jilid I , Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahulloh-

Makanan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam

AHLAN WA SAHLAN


Posted by Abu Aqil As-Salafy

Meja makan dan piring silih berganti dipajang di rumah para pembesar kaum dan para penguasa. Lain halnya dengan Nabi umat ini, padahal negara beserta rakyatnya di bawah kekuasaan beliau. Unta yang penuh dengan muatan tiada henti-hentinya datang kepada beliau. Emas dan perak selalu terhampar di hadapan beliau. Tahukah kamu makanan dan minuman beliau? Apakah seperti hidangan para raja? Atau lebih mewah dari itu? Ataukah seperti hidangan orang-orang kaya dan bergelimang harta? Atau lebih lengkap dan lebih komplit?

Janganlah terkejut melihat hidangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sederhana lagi memprihatinkan. Anas bin Malik mengungkapkan kepada kita sebagai berikut: “Rasulullah tidak pernah makan siang dan makan malam dengan daging beserta roti kecuali bila menjamu para tamu.” (HR. At-Tirmidzi)

Karena sedikitnya jamuan yang tersaji dan banyaknya peserta hidangan, beliau tidak dapat makan kenyang kecuali dengan susah payah. Tidak pernah sekalipun beliau dapat makan sampai kenyang kecuali ketika menjamu para tamu. Beliau dapat kenyang bersama para tamu yang mesti beliau layani.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengungkapkan:


“Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah makan roti gandum sampai kenyang dua hari berturut-turut hingga beliau wafat.”
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:


“Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah makan roti gandum sampai kenyang tiga hari berturut-turut semenjak tiba di kota Madinah sampai beliau wafat.”
(Muttafaq ‘alaih)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tidak mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Hingga beliau tidur dalam keadaan lapar, tidak ada sesuap makanan pun yang mengganjal perut beliau. Ibnu Abbas menuturkan sebagai berikut:


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarga beliau tidur dalam keadaan lapar selama beberapa malam berturut-turut. Mereka tidak mendapatkan hidangan untuk makan malam. Sedangkan jenis makanan yang sering mereka makan adalah roti yang terbuat dari gandum.” (HR. At-Tirmidzi)

Keadaan seperti itu bukan kerana beliau tidak punya atau kekurangan harta. Justeru harta melimpah ruah berada dalam genggaman beliau dan harta-harta pilihan diusung ke hadapan beliau. Akan tetapi, Allah S.w.t memilih keadaan yang paling benar dan sempurna bagi Nabi-Nya S.a.w.

‘Uqbah bin Al-Harits berkata:

“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami shalat Ashar. Selesai shalat, beliau segera memasuki rumah, tidak lama kemudian beliau keluar kembali. Aku bertanya kepada beliau, atau ada yang bertanya kepada beliau tentang perbuatan beliau itu. Beliau menjawab:


“Aku tadi meninggalkan sebatang emas dari harta sedekah di rumah. Aku tidak ingin emas itu berada di tanganku sampai malam nanti. K
arena itulah aku segera membagikannya.”
(HR. Muslim)

Kedermawanan yang menakjubkan dan pemberian yang tiada bandingannya hanya dapat dijumpai pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

Anas bin Malik radhiallahu anhu mengungkapkan: “Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai sesuatu kerana Islam, beliau pasti memberinya. Pernah datang menemui beliau seorang laki-laki, lantas beliau memberinya seekor kambing yang digembala di antara dua gunung (kambing yang gemuk). Lelaki itu kembali menemui kaumnya seraya berseru: “Wahai kaumku, masuklah kamu ke dalam Islam! Sesungguhnya Muhammad selalu memenuhi segala permintaan seakan-akan ia tidak takut jatuh miskin.” (HR. Muslim)

Meski dengan kedermawaan dan pemberian yang demikian menakjubkan itu, namun cubalah lihat keadaan diri beliau , Anas bin Malik menuturkannya kepada kita. Ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah makan hidangan di meja makan hingga beliau wafat, beliau juga tidak pernah makan roti yang terbuat dari gandum halus hingga beliau wafat.” (HR. Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: “Pada suatu hari, Rasu-lullah S.a.w datang menemuiku. Beliau bertanya: “Apakah kamu masih menyimpan makanan?” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab: “Tidak ada!” Beliau berkata: “Kalau begitu aku berpuasa.” (HR. Muslim)

Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya pernah selama sebulan atau dua bulan hanya memakan Aswadaan, iaitu kurma dan air. (HR. Bukhari & Muslim)

Meskipun hidangan yang beliau makan sangat sederhana dan sedikit, namun beliau tidak pernah lupa mensyukuri nikmat Allah . Sebagai cerminan dari akhlak beliau yang luhur dan etika islami yang agung. Begitu pula, beliau tidak lupa berterima kasih kepada orang yang menghidangkannya serta tidak mencela bila ada hal yang kurang berkenan. Sebab, meskipun orang yang memasaknya telah berupaya sebaik mungkin, akan tetapi kekurangan itu pasti selalu ada. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan dan orang yang memasaknya. Beliau tidak akan menolak makanan yang disajikan dan tidak menuntut yang tidak tersaji. Beliau adalah Nabi umat ini, perhatian beliau tidaklah tertumpu pada masalah perut dan makanan.

Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata:


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Beliau akan memakannya bila suka, bila tidak, beliau akan membiarkannya.”
(Muttafaq ‘alaih)

Wahai saudaraku tercinta lagi mulia, bagi yang belum puas dan belum merasa cukup, akan saya bawakan secara ringkas ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagai berikut:

“Adapun mengenai masalah makanan dan pakaian, sebaik-baik petunjuk di dalam masalah ini adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Etika beliau terhadap makanan ialah memakan apa yang disajikan bila beliau menyukai-nya. Beliau tidak menolak makanan yang dihidangkan, dan tidak mencari-cari apa yang tidak tersedia. Jika disajikan roti dan daging, beliau akan memakannya. Bila dihidangkan buah-buahan, roti dan daging, beliau akan memakannya. Jika dihidangkan kurma saja atau roti saja, beliau pun memakannya juga. Bila dihidangkan dua jenis makanan, beliau tidak lantas berkata: “Aku tidak mahu menyantap dua jenis makanan!” Beliau tidak pernah menolak makanan yang lezat dan manis. Dalam hadits beliau menyebutkan:


“Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat malam dan juga tidur. Aku juga menikahi wanita dan juga memakan daging. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golongan-ku.”

Allah telah memerintahkan kita supaya memakan makanan yang baik-baik dan memerintahkan supaya banyak-banyak bersyukur kepada-Nya. Barang siapa yang mengharamkan makanan yang baik-baik, ia tentu termasuk orang yang melampaui batas. Barang siapa yang tidak bersyukur, maka ia telah menyia-nyiakan hak Allah . Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk yang paling tepat dan lurus. Ada dua jenis orang yang menyimpang dari petunjuk beliau:

Kaum yang berlebih-lebihan, mereka memuaskan nafsu syahwat dan melarikan diri dari kewajiban.

Kaum yang mengharamkan perkara yang baik-baik dan mengada-adakan perbuatan bid’ah, seperti bid’ah rahbaniyyah yang tidak disyariatkan Allah . Sebab, tidak ada rahbaniyyah di dalam agama Islam.”

Kemudian Syaikhul Islam melanjutkan:

“Setiap yang halal pasti baik, dan setiap yang baik pasti halal. Kerana Allah telah menghalalkan seluruh perkara yang baik-baik bagi kita dan mengharamkan seluruh perkara yang jelek. Dan termasuk makanan yang baik ialah yang berguna lagi lazat. Dan Allah telah mengharamkan seluruh perkara yang memudharat-kan kita serta menghalalkan seluruh perkara yang bermanfaat bagi kita.

Kemudian beliau radhiallaahu anhu melanjutkan:

“Umat manusia memiliki selera yang beraneka ragam dalam hal makanan dan pakaian. Kondisi mereka berbeda-beda pada saat lapar dan kenyang. Keadaan seorang insan juga selalu berubah-ubah. Akan tetapi, amal yang terbaik adalah yang paling mendekatkan diri kepada Allah S.w.t dan yang paling bermanfaat bagi pelakunya.” (Majmu’ Fatawa II / 310)

Sumber: Sehari Di Kediaman Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, Penulis: Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman AlQosim

jazakumullah
AHLAN WA SAHLAN

Hadits Palsu Seputar Amalan Bulan Rajab


Al Ustadz Abu Mundzir Dzul Akmal As Salafy

حديث : رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه

Artinya : "Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari."

Hadits ini “Maudhu’” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa’id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.

حديث : من صام ثلاثة أيام من رجب, كتب له صيام شهر, من صام سبعة أيام من رجب, أغلق الله عنه سبعة أبواب من النار, ومن صام ثمانية أيام من رجب, فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة, ومن صام نصف رجب حاسبه الله حسابا يسيرا

Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh, barang siapa berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa Ta’ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab Allah Ta’ala akan membukakan baginya delapan pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”

Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu’ : Hadits ini tidak Shohih, sebab Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan ‘Amru bin Al Azhar pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwaan dari Abaan, adapun Ibnu ‘Ulwaan pemalsu hadits.

حديث : إن شهر رجب شهر عطيم. من صام منه يوما كتب له صوم ألف سنة – إلخ

Artinya : "Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan tersebut berarti sama nilainya dia berpuasa seribu tahun-dan seterusnya."

Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari ‘Ali secara Marfu’. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin ‘Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.

حديث : من صام يوما من رجب, عدل صيام شهر-إلخ

Artinya : “Barang siapa yang berpuasa di bulan Rajab satu hari sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh dan seterusnya”.

Diriwayatkan oleh Al Khathiib dari jalan Abi Dzarr Marfu’. Di sanadnya ada perawi : Al Furaat bin As Saaib, dia ini perawi yang ditinggalkan.

Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” : sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini lemah- Rusydiin bin Sa’ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah juga.

Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu’abul Iman” dari hadits Anas, yang artinya : “Siapapun yang berpuasa satu hari di bulan Rajab sama nilainya dia berpuasa satu tahun.” Di menyebutkan hadits yang sangat panjang, akan tetapi di sanad hadits ini juga ada perawi: ‘Abdul Ghafuur Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.

حديث : من أحيا ليلة من رجب, وصام يوما. أطعمه الله من ثمار الجنة – إلخ

Artinya : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam bulan Rajab dan berpuasa di siang harinya, Allah Ta’ala akan memberinya makanan dari buah buahan sorga- dan seterusnya.”

Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain bin ‘Ali Marfu’: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu’ (palsu).

ديث : أكثروا من الاستغفار فى شهر رجب. فإن لله فى كل ساعة منه عتقاء من النار, وإن لله لا يدخلها إلا من صام رجب

Artinya : "Perbanyaklah Istighfar di bulan Rajab. Sesungguhnya Allah Ta’ala membebaskan hamba hambanya setiap saat di bulan itu, dan Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai kota kota di Jannah-Nya yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berpuasa di bulan itu."

Dikatakan dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa dipercaya.

حديث : فى رجب يوم وليلة, من صام ذلك اليوم, وقام تلك الليلة. كان له من الأجر كمن صام مائة-إلخ

Artinya : “Di bulan Rajab ada satu hari dan satu malam, siapapun yang berpuasa di hari itu, dan mendirikan malamnya. Maka sama nilainya dengan orang yang berpuasa seratus tahun dan seterusnya."

Dikatakatan dalam “Adz dzail” : Di dalam sanadnya ada nama rawi Hayyaj, dia adalah rawi yang ditinggalkan.

Dan demikian disebutkan tentang : “Berpuasa satu hari atau dua hari di bulan itu.”

Disebutkan juga dalam “Adz dzail : Sanad hadits ini penuh dengan kegelapan sebahagian atas sebahagian lainnya, di dalam sanadnya ada perawi perawi yang pendusta : Dan demikian diriwayatkan : “Bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari jum’at sepekan sebelum bulan Rajab. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam berkata : “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu bulan yang mulia. Rajab bulan adalah bulan Allah yang Mulia, dilipatgandakan kebaikan di dalamnya, do’a-do’a dikabulkan, kesusahan kesusahan akan di hilangkan.” Ini adalah Hadist yang Munkar.

Dan dalam hadits yang lain : “Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, dan mendirikan satu malam dari malam malamnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala akan membangkitkannya dalam keadaan aman nanti di hari Kiamat- dan seterusnya.”

Di dalam sanad hadits ini : Kadzaabun (para perawi pendusta).

Demikian juga hadits : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab, dan berpuasa di siang harinya: Allah akan memberikan makanan buatnya buah buahan dari Sorga- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi pembohong/pemalsu hadits.

Demikian juga hadits : Rajab bulan Allah yang Mulia, dimana Allah mengkhususkan bulan itu buat diri-Nya. Maka barang siapa yang berpuasa satu hari di bulan itu dengan penuh keimanan dan mengharapkan Ridho Allah, dia akan dimasukan ke dalam Jannah Allah Ta’ala- dan seterusnya.”

Didalam sanadnya : Para perawi yang ditinggalkan.

Demikian juga hadits : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulan Saya (Rasulullahu Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, Ramadhan bulan ummat Saya.”

Demikian juga hadits : “Keutamaan bulan Rajab di atas bulan bulan lainnya ialah : seperti keutamaan Al Quran atas seluruh perkataan perkataan lainnya- dan seterusnya.”

Berkata Al Imam Ibnu Hajar : Hadits ini Palsu.

Berkata ‘Ali bin Ibraahim Al ‘Atthor dalam satu risalahnya : “Sesungguhnya apa apa yang diriwayatkan tentang keutamaan tentang puasa di bulan Rajab, seluruhnya Palsu dan Lemah yang tidak ada ashol sama sekali. Berkata dia : “’Abdullah Al Anshoriy tidak pernah puasa di bulan Rajab, dan dia melarangnya, kemudian berkata : “Tidak ada yang shohih dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam satupun hadist mengenai keutamaan bulan Rajab.” Kemudian dia berkata : Dan demikian juga : “Tentang amalan amalan yang dikerjakan pada bulan ini : Seperti mengeluarkan Zakat di dalam bulan Rajab tidak di bulan lainnya.” Ini tidak ada ashol sama sekali.

Dan demikian juga, “Dimana penduduk Makkah memperbanyak ‘Umrah di bulan ini tidak seperti bulan lainnya.” Ini tidak ada asal sama sekali sepanjang pengetahuan saya. Dia berkata : “Diantara yang diada-adakan oleh orang yang ‘awwam ialah : “Berpuasa di awal kamis di bulan Rajab,” yang keseluruhannya ini adalah : Bid’ah.

Dan diantara yang mereka ada adakan juga di bulan Rajab dan Sya’ban ialah : “Mereka memperbanyak ketaatan kepada Allah melebihi dari bulan bulan lainnya.”

Adapun yang diriwayatkan tentang : “Bahwa Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Nuh ‘Alaihi wa Sallam untuk membuat kapalnya di bulan Rajab ini, serta diperintahkan kamu Mu’minin yang bersama dia untuk berpuasa di bulan ini.” Ini Hadits Maudhu’ (Palsu).

DIANTARA BID’AH=BID’AH YANG MENYEBAR DI BULAN INI ADALAH :

1. Sholat Ar Raghaaib.

Sholat Ar Raghaaib ini diamalkan di setiap awal Jum’at di bulan Rajab. Ketahuilah semoga Allah Tabaraka wa Ta’ala merahmatimu- bahwa mengagungkan hari ini, malam ini sesungguhnya diadakan ke dalam Din Islam ini setelah abad keempat Hijriyah. (Lihat literatur berikut ini tentang bid’ahnya sholat Raghaib :

  1. “Iqtida’ As Shiratul Mustaqim” : hal.283. Dan “Tulisan Ilmiyah diantara dua orang Imam : Al ‘Izz bin ‘Abdus Salam dan Ibnu As Sholah sekitar Sholat Raghaaib.”
  2. “Al Ba’itsu ‘Ala Inkari Al Bida’ wa Al Hawaadist” : hal. 39 dan seterusnya.
  3. “Al Madkhal” oleh Ibnu Al Haaj : 1/293.
  4. “As Sunan wal Mubtadi’aat” : hal. 140.
  5. “Tabyiinul ‘Ujab bima warada fi Fadhli Rajab” : hal. 47.
  6. “Fataawa An Nawawiy” : hal. 26.
  7. “Majmu’ Al Fataawa oleh Ibnu Taimiyah” : 2/2.
  8. “Al Maudhuu’aat” : 2/124.
  9. “Allaalaaiy Al mashnu’ah” : 2/57.
  10. “Tanzihus Syari’ah” : 2/92.
  11. “Al Mughni ‘anil Hifdzi wal Kitab” : hall. 297- serta bantahannya : Jannatul Murtaab.
  12. “Safarus Sa’adah” : hal. 150.

Sepakat ‘Ulama tentang hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan bulan Rajab adalah palsu, sesungguhnya telah diterangkan oleh sekelompok Al Muhaditsin tentang palsunya hadits sholat Ar Raghaaib diantara mereka ialah : Al Haafidz Ibnu hajar, Adz Dzahabiy, Al ‘Iraaqiy, Ibnu Al Jauziy, Ibnu Taimiyah, An Nawawiy dan As Sayuthiy dan selain dari mereka. Kandungan dari hadits-hadits yang palsu itu ialraah mengenai keutamaan berpuasa pada hari itu, mendirikan malamnya, dinamakan “shalat Ar Raghaaib,” para ahli Tahqiiq dikalangan ahli ilmu telah melarang mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa, atau mendirikan malamnya melaksanakan sholat dengan cara yang bid’ah ini, demikian juga pengagungan hari tersebut dengan cara membuat makanan makanan yang enak-enak, mengishtiharkan bentuk bentuk yang indah indah dan selain yang demikian, dengan tujuan bahwa hari ini lebih utama dari hari hari yang lainnya.

2. Sholat Ummu Daawud di pertengahan bulan Rajab.

Demikian juga hari terakhir dipertengahan bulan Rajab, dilaksanakan sholat yang dinamakan sholat “Ummu Daawud” ini juga tidak ada asholnya sama sekali. “Iqtidaus Shiraatul Mustaqim” : hal. 293.

Berkata Al Imam Al Hafidz Abu Al Khatthaab : “Adapun sholat Ar Raghaaib, yang dituduh sebagai pemalsu hadits ini ialah : ‘Ali bin ‘Abdullah bin jahdham, dia memalsukan hadits ini dengan menampilkan rawi rawi yang tidak dikenal, tidak terdapat diseluruh kitab.” Pembahasan Abu Al Khatthaab ini terdapat dalam : “Al Baa’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Ahadist” : hal. 40.

Abul Hasan : ‘Ali bin ‘Abdullah bin Al Hasan bin Jahdham, As Shufiy, pengarang kitab : “Bahjatul Asraar fit Tashauf”.
Berkata Abul Fadhal bin Khairuun : Dia pendusta. Berkata selainnya : Dia dituduh sebagai pemalsu hadits sholat Ar Raghaaib.

Lihat terjemahannya dalam : “Al ‘Ibir fi Khabar min Ghubar.” : (3/116), “Al Mizan” : (3/142), “Al Lisaan” : (4/238), “Maraatul Jinaan” (3/28), “Al Muntadzim” : (8/14), “Al ‘Aqduts Tsamiin” : (6/179).

Asal daripada sholat ini sebagaimana diceritakan oleh : At Thurthuusyiy dalam “kitabnya” : “Telah mengkhabarkan kepada saya Abu Muhammad Al Maqdisiy, berkata Abu Syaamah dalam “Al Baa’its” : hal. 33 : “Saya berkata : Abu Muhammad ini perkiraan saya adalah ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad bin ‘Abdu ‘Umar bin Ibraahim Al Maqdisiy, telah meriwayatkan darinya Makkiy bin ‘Abdus Salam Ar Rumailiy As Syahiid, disifatkan dia sebagai As Syaikh yang dipercaya, Allahu A’lam.” Berkata dia: tidak pernah sama sekali dikalangan kami di Baitul Maqdis ini diamalkan sholat Ar Raghaaib, yaitu sholat yang dilaksanakan di bulan Rajab dan Sya’ban. Inilah bid’ah yang pertama kali muncul di sisi kami pada tahun 448 H, dimana ketika itu datang ke tempat kami di Baitil Maqdis seorang laki laki dari Naabilis dikenal dengan nama Ibnu Abil Hamraa’, suaranya sangat bagus sekali dalam membaca Al Quran, pada malam pertengahan (malam keenam belas) di bulan Sya’ban dia mendirikan sholat di Al Masjidil Aqsha dan sholat di belakangnya satu orang, lalu bergabung dengan orang ketiga dan keempat, tidaklah dia menamatkan bacaan Al Quran kecuali telah sholat bersamanya jama’ah yang banyak sekali, kemudian pada tahun selanjutnya, banyak sekali manusia sholat bersamanya, setelah itu menyebarlah di sekitar Al Masjidil Aqsha sholat tersebut, terus menyebar dan masuk ke rumah rumah manusia lainnya, kemudian tetaplah pada zaman itu diamalkan sholat tersebut yang seolah olah sudah menjadi satu sunnah di kalangan masyarakat sampai pada hari kita ini. Dikatakan kepada laki laki yang pertama kali mengada-adakan sholat itu setelah dia meninggalkannya, sesungguhnya kami melihat kamu mendirikan sholat ini dengan jama’ah. Dia menjawab dengan mudah : “Saya akan minta ampun kepada Allah Ta’ala.”

Kemudian berkata Abu Syaamah : “Adapun sholat Rajab, tidak muncul di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H, kami tidak pernah melihat dan mendengarnya sebelum ini.” (Al Baa’itsu : hal. 32-33).

Fatwa Ibnu As Sholaah tentang sholat Ar Raghaaib, Malam Nishfu Sya’ban

3. Sholat Al Alfiah.

Sesungguhnya As Syaikh Taqiyuddin Ibnu As Sholaah rahimahullah Ta’ala pernah dimintai fatwa tentang hal ini, lalu beliau menjawab: “Adapun tentang sholat yang dikenal dengan sholat Ar Raghaaib adalah bid’ah, hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah palsu, dan tidaklah sholat ini dikenal kecuali setelah tahun 400 H, tidak ada keutamaan malamnya dari malam malam yang lainnya. Lihat Hadist hadist ini dalam kitab yang disebutkan di atas hal. 100-101, dan hal. 439-440.


Diterjemahkan dari kitab Al Fawaaid Al Majmu’ah Al Ahadiits Al Maudhu’ah
karya Syaikhul Islam Muhammad Bin ‘Ali As Syaukaniy (Wafat : 1250 H)

Dikutip dari website http://thullabul-ilmiy.or.id/modules/news/artikel.php?storyid=3
judul asli “Hadist-Hadist Palsu Mengenai Keutamaan Bulan Rajab.”
diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Al Mundzir As Salafiy.

Sumber: www.salafy.or.id


Shahihkah Do’a Bulan Rajab ?

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Senantiasa kita mendengar do’a sebagaimana tersebut diatas, saat mendekatnya kita dengan bulan suci Ramadhan. Kebanyakan da’i atau penceramah menyandarkan do’a ini kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah benar do’a ini berasal dari Rosululloh (haditsnya shahih)?

Nash Hadits tersebut, Telah disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1/259)

حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر .

Menceritakan kepada kami Abdullah, Ubaidullah bin Umar, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod, dari Ziyad an-Numairi, dari Anas bin Malik berkata ia, Adalah Nabi shallallohhu ‘alaihi wasallam apabila masuk bulan Rajab, beliau berdo’a ; “Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan.

Takhrij hadits,

Diriwayatkan oleh Ibn Sunny dalam “Amal Yaumi wal Lailah” (659) dari jalur ibn Mani’ dikabarkan oleh Ubaidullah bin Umar Al-Qawaririy.

Dan Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) dari jalur Abi Abdullah al-Hafidz, dikabarkan dari Abu Bakr Muhammad bin Ma’mal, dari AlFadhil bin Muhammad Asy-Sya’raniy, dari Al-Qawaririy.

Dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (6/269) dari jalur Habib bin Al-Hasan, dan ‘Ali bin Harun ia berkata, menceritakan kepada kami Yusuf Al-Qadhi, dari Muhammad bin Abi Bakr, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod.

Dan AlBazar dalam Musnadnya (Mukhtasar Zawaidul Bazar li Hafidz 1/285) dari jalur Ahmad bin Malik al-Qusyairi dari Zaidah.

Hadits tersebut memiliki 2 cacat,

  1. Ziyad bin Abdullah An-Numairy

Berkata Yahya bin Ma’in ; Haditsnya Dhaif

Berkata Abu Hatim ; Haditsnya ditulis, tapi tidak (bisa) dijadikan Hujjah

Berkata Abu ubaid Al-Ajry ; Aku bertanya kepada Abu Daud tentangnya, maka ia mendhaifkannya.

Ibnu Hajr berkata : Ia Dhaif

  1. Zaidah bin Abi Ar-Raaqod

Berkata Al-Bukhary : Haditsnya Mungkar

Abu Daud berkata : Aku tidak mengenalnya

An-Nasa’i berkata : Aku tidak tahu siapa dia

Adz-Dzahaby berkata : Tidak bisa dijadikan hujjah

Komentar Ahlul Ilmi tentang hadits ini,

Al-Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) berkata, telah menyendiri Ziyad An-Numairi dari jalur Zaidah bin Abi ar-Raqad, Al-Bukhary berkata, Hadits dari keduanya adalah mungkar.

An-Nawawy dalam Al-Adzkar (274) berkata, kami telah meriwayatkannya dan terdapat kedhaifan dalam sanadnya.

jazakumullah

Jauhi Buruk Sangka

AHLAN WA SAHLAN

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah



Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)


Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)

Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.

سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا

“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)




jazakumullah

woensdag, juli 09, 2008

Permata HatiCerita dalam Dunia Anak

AHLAN WA SAHLAN
Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu imran

Cerita fiksi, dengan niat sebaik apapun -termasuk “berdakwah”, tetaplah kedustaan. Sehingga tak sepantasnya anak-anak kita dijejali oleh beragam cerita rekaan yang hanya akan memperkuat fantasi khayalnya. Terlebih cerita-cerita tersebut, baik yang berbentuk cerpen, komik, ataupun novel, mengandung hal-hal yang bisa merusak akidah mereka. Kalau kita berkunjung ke perpustakaan atau toko buku, deretan buku cerita untuk anak-anak sangat mudah kita jumpai. Dari cerita legenda sampai yang bertema agama. Mulai cerita daerah sampai cerita yang diadopsi dari negeri asing. Memang, anak-anak –sebagaimana orang dewasa– sangat menyukai cerita. Cerita memang bisa menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan dan menanamkan berbagai nilai, baik positif maupun negatif, pada diri anak.Namun sayang, sebagian besar cerita yang disuguhkan kepada anak-anak adalah cerita fiksi. Dengan kata lain, menyuguhkan kedustaan dan khayalan. Ironisnya, cerita-cerita seperti inilah yang justru digemari oleh anak-anak, termasuk anak-anak kaum muslimin. Karakter-karakter khayal dan asing dengan alur cerita yang mengasyikkan membuat mereka menjadi pengkhayal; ingin menjadi seorang “jagoan” yang perkasa atau seorang “putri” yang lembut dan jelita. Isi cerita pun turut mendukung kerusakan yang ada. Cerita yang seram dan menakutkan membuat anak menjadi ciut nyali dan kehilangan keberaniannya. Bahkan banyak cerita yang nyaris meruntuhkan tauhid. Cerita tentang “kantong ajaib” sampai “peri yang baik” bisa membuat anak percaya, segala yang mereka inginkan bisa tercapai bukan melalui kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wal ‘iyadzu billah!Kalaupun ada cerita bertema agama –baik yang tercantum di rubrik-rubrik kisah majalah anak ataupun yang terbukukan–, seringkali yang ada adalah cerita rekaan, atau kisah-kisah yang benar namun dibumbui dengan berbagai tambahan dan pengurangan. Semuanya berujung pada kedustaan.Tidak dipungkiri, cerita dapat menimbulkan pengaruh bagi yang mendengar atau membacanya. Oleh karena itulah di dalam Al-Qur`an kita dapati berbagai kisah yang bermanfaat, tentang para nabi ataupun umat-umat terdahulu. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuturkan kisah-kisah dengan bahasa yang begitu fasih, penyampaian yang begitu jelas dan gamblang. Namun bedanya, kisah-kisah dalam Al-Qur`an maupun yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi tentang kenyataan yang benar-benar terjadi dan jauh dari sekadar dusta dan khayalan.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman


:لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي اْلأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ“


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi sebagai pembenar kitab-kitab yang sebelumnya dan penjelas segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf: 111)


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula tentang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam


:وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى“


Tidaklah dia berkata dari hawa nafsunya. Yang dikatakannya itu tidak lain wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4)

Maka dari itu, mestinya kita benar-benar memerhatikan ketika hendak memilihkan bacaan, menuliskan cerita atau menuturkan kisah kepada anak-anak. Tak boleh ada unsur kedustaan sepanjang cerita itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam
Kitab-Nya:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ“


Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (An-Nahl: 105)

Dusta, biarpun dalam rangka berkisah yang sifatnya menghibur anak-anak, tetaplah dilarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan hal itu dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ “

Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Oleh karena itu, kita perlu waspada dan ekstra hati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan seperti ini. Apalagi jika kita terbiasa membuat-buat dongeng atau cerita rekaan, hingga tanpa terasa kita jadi terbiasa berdusta. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa orang yang terbiasa berdusta akan dicatat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang pendusta. Na’udzu billah! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

:إِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِي إِلَى البِرِّ وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إلَى الْجَنَّةِ ومَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا “

Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga, dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta akan membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka, dan seorang hamba senantiasa berdusta dan membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)

Dusta juga termasuk perangai orang munafik. Demikian dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga: bila bicara dia dusta, bila berjanji dia mengingkari, dan bila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)

Lebih dari itu, dusta merupakan dosa besar yang diancam dengan azab di neraka, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa suatu pagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:

إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ وَإِنَّهُمَا ابْتَعَثَانِي وَإِنَّهُمَا قَالاَ لِي: انْطَلِقْ. وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا...- الْحَدِيثَ- وَفِيهِ: وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ وَمِنْخَرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكِذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ

“Semalam aku didatangi oleh dua orang malaikat, lalu mereka berdua mengajakku pergi. Mereka berkata padaku, ‘Mari kita pergi!’ Aku pun pergi bersama mereka berdua….” (sampai beliau mengatakan), “Adapun orang yang kaulihat sedang merobek/memotong mulutnya hingga ke tengkuknya, hidungnya hingga ke tengkuknya, kedua matanya hingga ke tengkuknya adalah orang yang suka berangkat di pagi hari dari rumahnya, lalu dia membuat kedustaan, sampai kedustaan itu mencapai seluruh penjuru.” (HR. Al-Bukhari no. 7047)

Orang seperti ini berhak mendapatkan azab, karena berbagai kerusakan yang timbul dari kedustaan yang dibuatnya. Sementara, dia melakukan dusta itu dengan keinginannya, bukan karena dipaksa atau karena terdesak. (Fathul Bari, 12/557) Ancaman apa lagi yang lebih mengerikan daripada azab seperti ini? Kalau memang kita ingin memberikan kisah-kisah untuk memberikan pelajaran kepada anak dan menanamkan akhlak yang baik, kita bisa mengambil cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Atau melalui kisah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, dari kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama, yang di dalamnya sarat dengan keteladanan dan pelajaran serta dituturkan sebagaimana jalan cerita yang ada, tanpa pengurangan dan penambahan, sekalipun kita menuturkannya dengan bahasa anak-anak.Yang banyak pula ditemukan sekarang ini, kisah-kisah para tokoh Islam, baik dari kalangan para rasul, sahabat, dan yang lainnya, dalam bentuk cerita bergambar. Nabi Adam ‘alaihissalam maupun nabi-nabi yang lain digambarkan sedemikian rupa dalam ilustrasi buku cerita maupun karakter film kartun. Begitu pula tokoh-tokoh yang lainnya. Yang seperti ini dilarang, karena jelas-jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membuat gambar-gambar makhluk bernyawa ataupun menyimpannya di dalam rumah. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan

سَمِعْتُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ “

Aku pernah mendengar Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya’.” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5507)

Jabir radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan

:نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar (makhluk hidup) ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi no. 1749, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)‘

Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيْهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ
الْمَلاَئِكَةُ“

Sesungguhnya pembuat gambar-gambar (makhluk bernyawa) seperti ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan pada mereka, ‘Hidupkan apa yang kalian ciptakan ini!’.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa) tidak akan dimasuki oleh malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 2107)

Di samping itu, perbuatan semacam ini mengandung pelecehan terhadap para nabi dan para tokoh yang digambarkan.

Demikian difatwakan oleh para ulama, sebagaimana termaktub dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t: “Dilarang menggambar para sahabat atau salah seorang di antara mereka, karena hal itu mengandung peremehan dan pelecehan terhadap mereka, serta mengakibatkan penghinaan terhadap para sahabat. Walaupun diyakini di sana ada maslahat, namun mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar. Sementara segala sesuatu yang mafsadahnya lebih besar itu terlarang. Keputusan tentang larangan atas hal ini telah ditetapkan dalam Majlis Hai`ah Kibaril ‘Ulama. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`, 1/712 no. 2044)

Bagaimana kiranya dengan menggambar para nabi yang lebih mulia daripada para sahabat? Tentu lebih jelas lagi pelarangannya. Sudah semestinya kita bersikap bijak untuk memilah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang menyelamatkan dan mana yang membahayakan, baik untuk anak-anak maupun diri kita. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

jazakumullah