donderdag, augustus 30, 2007

KEDUDUKAN AMAL DAN NIAT

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh


بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسْولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما الأعمال بالنيات, hadits ‘Aisyah من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد, dan hadits An Nu’man bin Basyir الحلال بين والحرام بين.” Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits ‘Aisyah di atas.

Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa ‘Alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau إنما الأعمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.

Seperti firman Allah,

لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Geen opmerkingen: