zondag, september 02, 2007

HUKUM KHITAN

AHLAN WA SAHLAN
Hukum Khitan bagi Muslim dan Muslimah

Telah pasti di dalam banyak hadits tentang disyariatkannya khitan, diantaranya :

1. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
(artinya) : “Fitrah itu ada lima, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297 – Al Fath, Imam Muslim (3/27 – Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’I (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).

2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu mengatakan :
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ

(artinya) : “Sungguh saya telah masuk Islam”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah”.
Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415.

Berkata Syaikh Al Albani di dalam Al Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sunggu saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.

3. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda :
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298 – Al Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Didalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyariatkannya khitan. Dan bahwasanya orang yang tuapun tetap diperintahkan untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.








Khitan bagi Wanita

Adapun tentang disyariatkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut ini :
1. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam kepada Ummu ‘Athiyah radiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan) :
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya”.
Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam AL Kamil (3/1083) dan Imam Al Khatib didalam Tarikhnya (12/291).

2. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam :
ِإذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi”.
Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’I (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174- Al Ihsan).

Didalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyariatkan juga khitan bagi mereka (wanita, red).

3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’ :
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
(artinya) : “Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291 – Al Fath), Imam Muslim (349- Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : Didalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.

Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para Salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silahkan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al Albani – semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau – telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.

Hukum Khitan
Pendapat yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama. Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam kepada seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau

kepadanya :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka perintah beliau Shallallahu 'alaihi wassalam kepada orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang wajibnya.

Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 69) berkata : “Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi untuk berdalil untuk mendukung pendapat ini. Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukunganna atas pendapat ini) ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja disini bukan tempatnya untuk membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan disini untuk menyebutkan dua sisi saja, yaitu :
1. Firman Allah Ta’ala :
“Kemudian Kami wahyukan…mempersekutukan Allah”. (An Nahl 123)
Khitan termasuk diantara millah (ajaran) Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana terdapat di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al Hafidz di dalam Al Fath (10/281).

2. Bahwa khitan itu merupakan syiar-syiar Islam yang paling nampak, yang membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari kalangan mereka (kaum muslimin).

Kami tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya khitan, yaitu yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (10/417) dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ
(artinya) : “Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata beliau : “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin”.

Hukum khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada sebagian kaum wanita - bagian tubuh yang dipotong - untuk dikhitan, yaitu apa yang dinamakan dengan klitoris. Maka tidak masuk akal, kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong (dikhitan), sementara hal itu tidak ada dalilnya.

Ibnu Hajj di dalam Al Madkhal (3/396) berkata : “Diperselisihkan hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita Timur, maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong), yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita Barat tidak diperintahkan kepada mereka keterangan tiadanya khitan pada mereka.Sehingga hal ini kembali merujuk kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).



Waktu Khitan
Sunggu telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk diantara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh, bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits tentang penentuan waktu khitan, yaitu pada hari ketujuh.

Terdapat di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di dalam pembahasan berikut ini :
1. Dari Jabir bin Abdullah
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain (dan beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Adi di dalam Al Kamil (3/1075), Imam Thabrani didalam Ash Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al Kubra (8/324) dan di dalam Asy Sy’ab (6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sari al Atsqalani mengatakan : “ Telah bercerita kepadaku Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani : Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz :
“Beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”.
Kami katakan : Ini adalah sanad yang dhaif (lemah), padanya ada cacat yang beruntun:
- Pertama, Muhammad bin Abis Sari - Abu ‘Ashim AL Atsqalani. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : Ia seorang yang shaduq (jujur) dan ‘arif, tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini termasuk diantara kekeliruannya.
- Kedua, Al Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan “ ‘an ” dari gurunya terus ke atas
- Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : “Periwayatan Ahlu Syam darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if”.

Beliau katakan juga dalam At Tahdzib (3/301 – 302) : “Berkata Imam Bukhari : Hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya sesungguhnya merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim : Kedudukannya sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli : Ia tidak mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya tidak membuatku kagum”.

Kami katakan : “Hadits di atas termasuk diantara riwayat-riwayat Ahlu Syam, karena Al Walid Bin Muslim adalah seorang Dimasyqi Syami (yakni penduduk Syam –ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas adalah mungkar. Dimana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut adalah : Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya), Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al Aslami dan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan tambahan lafadz : “Beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas Jabir radiyallahu ‘anhu. Maka Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki riwayat jamaah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz bahwasanya “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Al Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam Thabrani di dalam AL Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illahnya bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At Tahdzib : Ia seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.

2. Dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu ia berkata :
“Tujuh perkara diantara Sunnah pada anak bayi adalah : diberi nama, dikhitan,…”. Al Hadits.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al Hafidz di dalam At Talkhis (4/84) berkata : Di dalam sanadnya ada Rawwad bin Jaraah seorang yang dhaif. Juga beliau menyebutkan biografinya di dalam At Taqrib dengan mengatakan : Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam Adz Dzahabi di dalam Diwanudh Dhu’afa wal Matrukin (1/293) berkata : Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam Abi Hatim berkata : Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni berkata : Ia dhaif.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi didalam Al Kamil (3/1039) berkata : Umumnya riwayat yang ia bawakan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh yang shalih, akan tetapi diantara hadits orang-orang yang shalih, ada hadits yang mugnkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.

Syaikh Al Albani didalam Al Irwa’ (4/385) berkata : “Saya katakan : Orang yang seperti itu keadannya apakah haditsnya dianggap atau dijadikan hujjah? Baik sebagai penguat atau pendukung ? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan tetapi nampaknya syaikh Al Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul Minnah (68) tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu ‘anhuma : “Akan tetapi salah satu diantara kedua hadits ini memperkuat yang lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak ada rawi yang tertuduh ”.

Catatan :
Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah tentang hadits Jabir (yang pertama) berkata :
”Hadits ini dinisbatkan oleh Al Hafidz dalam Al Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami katakan : Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Al Fath (11/343) oleh Al Hafidz : Dan hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi maupun Imam Ibnu ‘Adi.

3. Dari Abu Ja’far ia berkata :
“Dahulu Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya, mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Mushannafnya (8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdul Malik bin Al Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata Syaikh Muhammad Ied al ‘Abasi : Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengan kuniyah tersebut. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena Abu Ja’far tidak mendapati Fahimah radiyallanhu ‘anha.
Jadi jelas hadits ini adalah dhaif, hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.

Ada juga di dalam Musnad Al Firdaus karya Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam sanadnya ada seorang kadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum ketiga hadits di atas dengan keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga jadilah hadits ini hasan. Wallahu a’lam.

Hal ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu”. (QS Ali Imran 133).

Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, dimana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda, maka ketika itu sakitnya lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit keburukannya dari pada anak yang sudah besar.

Disamping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya : “ Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam wafat ?” Beliau menjawab : “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak mengkhitan seseorang sampai ia menjadi anak yang paham (baligh)”.

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (11/90 – Al Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di dalam Al Kabir (10/10575,10578-10579). Akan tetapi keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafadz : Dan dulu mereka tidak mengkhitan….

Al Isma’ili menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka beliau mengatakan : Sesungguhnya perkataan : “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”, adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggap pernyataan beliau ini oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena pentingnya hal ini.

Maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syariat, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wassalam menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.

Al ‘Allamah Al Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata : Dalam hal khitan ada dua waktu ; yaitu waktu Wajib dan waktu Sunnah. Waktu Wajib adalah ketika baligh dan waktu Sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu Sunnah kecuali karena udzur.

Berkata Al Haitsami di dalam Az Zawajir (2/163) :
“Yang benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum pria dikatakan melakukan perbuatan fasik dengan meninggalkan khitan ini. Dan jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasikan, berarti itu merupakan dosa besar.”

(Dikutip dari terjemahan kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah karya Salim Rasyid Asy Syibli dan Muhammad Khalifah Muhammad Rabaah penerbit Maktab Al Islami Beirut terbitan pertama 1994 M/1415 H. Edisi Indonesia : Menyambut Si Buah Hati, Bab Hal-hal yang terjadi pada hari ketujuh setelah melahirkan, sub bab Khitan, penerjema

Introspeksi Diri di Bulan Suci Ramadhan
Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
.: :.
Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ
أَبْوَابُ فُتِحَتْ
جَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ الْ

“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.

Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَ
يْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ
صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَ
رَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)

Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)

Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ يَا أَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.

Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)

Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”





Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)



2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)

Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)

Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

عَلَى كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ مَنُوا الَّذِيْنَ أَيُّهَا آ يَا
تَتَّقُوْنَ قَلَعَلَّكُمْ بْلِكُمْ مِنْ الَّذِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
- Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
- Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
- Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
- Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
- Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)

Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.

Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!

Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi [1]. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.

Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”

“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:



“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di
sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”

Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.” [2]

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.” [3]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.

Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” [4]

Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote :
1. Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2. HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3. HR. Al-Bukhari no. 7376
4. HR. Muslim no. 6793

Geen opmerkingen: