zondag, februari 24, 2008

LANJJUTAN SYUKUR NIKMAT

AHLAN WA SAHLAN
SYUKUR DENGAN LISAN
Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi "al-hamdulillah."

Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata "al" pada "al-hamdulillah" oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan". Sehingga kata "al-hamdu" yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah Swt., sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada 1ahirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai "kurang baik", maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi Allah).

c. Syukur dengan perbuatan Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan, Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur! (QS Saba [34]: 13). Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah Swt.

Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya:

Dialah (Allah) yang menundukkan 1autan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat "mencari karunia-~Nya".

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,
Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia? Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih."

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS Ibrahim [14):7) Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).

Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut. Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan (QS An-Nahl [16]: 112).

Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba --satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya. Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan transportasi antar kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja.

Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman, Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur(QS Saba [34]: 17).

Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer: Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).

KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR

Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian apalagi dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.
Dia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai..." (QS An-Nam1 [27]: 19).

Ia berdoa, "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang engkau ridhai" (QS Al-Ahqaf [46]: 15).

Nabi Saw. juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk dipanjatkan oleh umatnya, Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu. Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan oleh dua hal:

Pertama, manusia tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu pula Allah mewahyukan kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya mereka ucapkan. Tidak kurang dari lima kali ditemukan dalam Al-Quran perintah Allah yang berbunyi. Wa qul' "Alhamdulillah" (Katakanlah, "Alhamdulillah").
Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Ini disebabkan karena pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula tentang siapa yang dipuji. Tetapi karena pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau hakikat Allah Swt., maka tidak mungkin pula ia akan mampu memuja dan me~nuji-Nya dengan benar sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu. Atas dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan kepada Allah, didahului oleh kata "Subhana" atau yang seakar dengan kata itu. Perhatikanlah firman-Nya dalam surat Asy-Syura ayat 5:

Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka. Atau dalam surat Ar-Ra'd (13): 13:

Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.

Bahkan manusia pun di dalam shalat mendahulukan "tasbih" (pensucian Tuhan dari segala kekurangan) atas "hamd" (pujian), karena khawatir jangan sampai pujian yang diucapkan itu tak sesuai dengan keagungan-Nya. "Subhana Rabbiyal 'Azhim wa bi hamdihi" ketika rukuk, dan "Subhana Rabbiyal 'Ala wa bi hamdihi" ketika sujud. Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya antara lain adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada Allah.

Surat Al-A'raf ayat 17 menguraikan sumpah setan di hadapan Allah untuk menggoda dan merayu manusia dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan mereka sehingga akhirnya seperti ucap setan yang diabadikan Al-Quran "Engkau -(Wahai Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur". Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri seperti firman-Nya:

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tida1k bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 243).

Dalam ayat lain disebutkan: Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS Saba' [34]: 13) .

Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,
Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).

Hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur sebagai sifat dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka yang disebut oleh Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah membudaya dalam dirinya sifat syukur, yaitu Nabi Nuh a.s. yang dinyatakan-Nya sebagai "Innahu kanna 'abdan syakura" (Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur) (QS Al-Isra' [17]: 3),
dan Nabi Ibrahim a.s. dengan firman-Nya, "Syakiran li an'umihi" (yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).

Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia hanya berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi kesulitan. Al-Quran menjelaskan sikap sementara orang yang menghadapi gelombang yang dahsyat di laut:.
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).

Demikian juga dalam surat Al-An'am (6): 63. Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi bagian orang-orang yang bersyukur" (QS Al-An'am [6]: 63).

APA YANG HARUS DISYUKURI?

Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai "segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda". Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah? Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS Al-Insan [76]: 1).

Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran menyatakan, Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]: 34).

Al-Biqa'i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah mengemukakan bahwa "al-hamdulillah" dalam surat Al-Fatihah menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati oleh makhluk, khususnya manusia. Itulah sebabnya --tulisnya lebih jauh-- empat surat lain yang juga dimulai dengan al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat Tuhan, sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat yang dicakup oleh kalimat al-hamdulillah dalam surat Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah adalah induk Al-Quran dan kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.

Keempat surat yang dimaksud adalah:
1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan, Segala puji bagi Allah Yang te1ah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang. Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut, maupun udara, serta gelap dan terang.

2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan, Segala puji bagi Allah yang te1ah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan tidak membuat kebengkokan (kekurangan) di dalamnya. Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula nikmat-Nya yang terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di tengah-tengah umat manusia, untuk "mewakili" nikmat-nikmat pemeliharaan lainnya.

3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan, Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetabui. Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni kehidupan baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana dengan kehadirannya di sana manusia dapat memperoleh kenikmatan abadi.

4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan, Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat), yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang akan dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di akhirat. Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat yang dicakup oleh keempat surat di atas, menuntut syukur hamba-Nya baik dalam bentuk ucapan al-hamdulillah, maupun pengakuan secara tulus dari lubuk hati, serta mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya

Di atas dikemukakan secara global nikmat-nikmat-Nya yang mengharuskan adanya syukur. Dalam beberapa ayat lainnya disebut sekian banyak nikmat secara eksplisit, antara lain:

1. Kehidupan dan kematian Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali. (QS A1Baqarah [2]: 28).

2. Hidayat Allah Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 185).

3. Pengampunan-Nya, antara lain dalam firman-Nya. Kemudian setelah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 52)

4. Pancaindera dan akal. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 78).

5. Rezeki Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur (QS Al-Anfal [8]: 26).

6. Sarana dan prasarana antara lain Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging (ikan) yang segar darinya, dan kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dan karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14) .

7. Kemerdekaan Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindasan Fir'aun) (QS Al-Maidah [5]: 20) Masih banyak lagi nikmat-nikmat lain yang secara eksplisit disebut oleh Al-Quran.

Dalam surat Ar-Rahman (surat ke-55), Al-Quran membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan. Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari? Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Sementara ulama menganalisis jumlah itu dan mengelompokkannya untuk sampai pada suatu kesimpulan. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Tuhan dalam kehidupan di dunia ini, antara lain nikmat pengajaran Al-Quran, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian dari pemeliharaan dan pendidikan, serta merupakan salah satu nikmat Tuhan. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Tuhan yang diperoleh dalam surga pertama. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat-Nya pada surga kedua. Dari hasil pengelompokan demikian, para ulama menyusun semacam "rumus", yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama --syukur seperti makna yang dikemukakan di atas-- maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik Surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.

WAKTU DAN TEMPAT BERSYUKUR

Segala puji bagi Allah yang memelihara apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS Saba' [34]: l).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. harus disyukuri, baik dalam kehidupan dunia sekarang maupun di akhirat kelak. Salah satu ucapan syukur di akhirat adalah dari mereka yang masuk surga yang berkata, Al-hamdulillah --segala puji bagi Allah-- yang memberi petunjuk bagi kami (masuk ke surga ini). Kami tidak memperoleh petunjuk ini, seandainya Allah tidak memberikan kami petunjuk (QS Al-A'raf [7]: 43).

Demikian terlihat bahwa syukur dilakukan kapan dan di mana saja di dunia dan di akhirat. Dalam konteks syukur dalam kehidupan dunia ini, A1-Quran menegaskan bahwa Allah Swt. menjadikan malam silih berganti dengan siang, agar manusia dapat menggunakan waktu tersebut untuk merenung dan bersyukur, "Dia yang menjadikan malam dan siang silih berganti, bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur (QS A1-Furqan [25]: 62).

Dalam surat Ar-Rum (30): 17-18 Allah memerintahkan, Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari, dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan ketika kamu berada di waktu zuhur.

Segala aktivitas manusia --siang dan malam-- hendaknya merupakan manifestasi dari syukurnya. Syukur dengan 1idah dituntut saat seseorang merasakan adanya nikmat Ilahi. Itu sebabnya Nabi Saw. tidak jemu-jemunya mengucapkan, "Alhamdulillah" pada setiap situasi dan kondisi. Saat bangun tidur beliau mengucapkan, Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan (membangunkan) kami, setelah mematikan (menidurkan) kami dan kepada-Nya-lah (kelak) kebangkitan. Atau membaca, Segala puji bagi Allah yang mengembalikan kepadaku ruhku, memberi afiat kepada badanku, dan mengizinkan aku mengingat-Nya. Ketika bangun untuk ber-tahajjud beliau membaca, Wahai Allah, bagimu segala pujian. Engkau adalah pengatur langit dan bumi dan segala isinya. Bagimu segala puji, Engkau adalah pemilik kerajaan langit dan bumi dan segala isinya ... Ketika berpakaian beliau membaca, Segala puji bagi Allah yang menyandangiku dengan (pakaian) ini, menganugerahkannya kepadaku tanpa kemampuan dan kekuatan (dari diriku). Sesudah makan beliau mengucapkan, Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan dan memberi kami minum dan menjadikan kami (kaum) Muslim. Ketika akan tidur, beliau berdoa, Dengan namamu Ya Allah aku hidup dan mati. Wahai Allah, bafli-Mu segala puji, Engkau Pemelihara langit dan bumi. Demikian seterusnya pada setiap saat, dalam berbagai situasi dan kondisi. Apabila seseorang sering mengucapkan al-hamdulillah, maka dari saat ke saat ia akan selalu merasa berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang Tuhan. Dia akan merasa bahwa Tuhan tidak membiarkannya sendiri. Jika kesadaran ini telah berbekas dalam jiwanya, maka seandainya pada suatu, saat ia mendapat cobaan atau merasakan kepahitan, dia pun akan mengucapkan, Segala puji bagi Allah, tiada yang dipuja dan dipuji walau cobaan menimpa, kecuali Dia semata. Kalimat semacam ini terlontar, karena ketika itu dia sadar bahwa seandainya apa yang dirasakan itu benar-benar mempakan malapetaka, namun limpahan karunia-Nya sudah sedemikian banyak, sehingga cobaan dan malapetaka itu tidak lagi berarti dibandingkan dengan besar dan banyaknya karunia selama ini. Di samping itu akan terlintas pula dalam pikirannya, bahwa pasti ada hikmah di belakang cobaan itu, karena Semua perbuatan Tuhan senantiasa mulia lagi terpuji.

SIAPA YANG DISYUKURI ALLAH?

Al-Quran juga berbicara menyangkut siapa dan bagaimana upaya yang harus dilakukan sehingga wajar disyukuri. Dua kali kata masykur dalam arti yang disyukuri terulang dalam Al-Quran. Pertama adalah, Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya disyukuri (dibalas dengan baik).

Kepada masing-masing golongan baik yang ini (menghendaki dunia saja) maupun yanp itu (yang menghendaki akhirat melalui usaha duniawi), Kami berikan bantuan dari kemewahan Kami. Dari kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi (QS Al-Isra' [17]: 18-20).

Kedua adalah: Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (QS Al-Insan [76]: 22). Isyarat "ini" dalam ayat di atas adalah berbagai kenikmatan surgawi yang dijelaskan oleh ayat-ayat sebelumnya, dari ayat 12 sampai dengan ayat 22 surat 76 (Al-Insan).

Surat Al-Isra' ayat 17-20 berbicara tentang dua macam usaha yang lahir dari dua macam visi manusia. Ada yang visinya terbatas pada "kehidupan sekarang", yakni selama hidup di dunia ini, tidak memandang jauh ke depan. "Kehidupan sekarang" diartikan detik dan jam atau hari dekat hidupnya, boleh jadi juga "sekarang" berarti masa hidupnya di dunia yang mengantarkannya bervisi hanya puluhan tahun.

Ayat di atas menjanjikan bahwa jika mereka berusaha akan memperoleh sukses sesuai dengan usahanya; itu pun bila dikehendaki Allah. Tetapi setelah itu mereka akan merasa jenuh dan mandek, karena keterbatasan visi tidak lagi mendorongnya untuk berkreasi. Nah, ketika itulah lahir rutinitas yang pada akhirnya melahirkan kehancuran.
Hakikat ini bisa terjadi pada tingkat perorangan atau masyarakat. Kejenuhan dengan segala dampak negatif yang dialami oleh anggota masyarakat bahkan masyarakat secara umum di dunia yang menganut paham sekularisme --setelah mereka mencapai sukses duniawi-- merupakan bukti nyata dari kebenaran hakikat yang diungkapkan A1-Quran di atas. Tetapi jika pandangan kita jauh ke depan, visi seseorang atau masyarakat melampaui kehidupan dunianya, maka ia tidak pernah akan berhenti-bagai seseorang yang menggantungkan cita-citanya melampaui ketinggian bintang.

Ketika itu dia akan terus berusaha dan berkreasi, sehingga tidak pernah merasakan kejenuhan, karena di balik satu sukses masih dapat diraih sukses berikutnya. Memang Allah menjajikan untuk terus-menerus dan sementara menambah petunjuk-Nya bagi mereka yang telah mendapat petunjuk.

Dan Allah sementara menambah petunjuk-Nya bagi orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Maryam [19]: 76).

Orang yang demikian itulah yang semua usahanya disyukuri Allah. Mereka yang disyukuri itu akan memperoleh surga sebagaimana dilukiskan oleh kata masykur pada ayat kedua yang menggunakan kata ini, yakni surat Al-Insan ayat 22.

*** Demikian sekelumit uraian Al-Quran tentang syukur. Kalaulah kita tidak mampu untuk masuk dalam kelompok minoritas --orang-orang yang pandai bersyukur (atau dalam istilah Al-Quran asy-syakirun, yakni orang-orang yang telah mendarah daging dalam dirinya hakikat syukur dalam ketiga sisinya: hati, lidah, dan perbuatan)-- maka paling tidak kita tetap harus berusaha sekuat kemampuan untuk menjadi orang yang melakukan syukur --atau dalam istilah Al-Quran yasykurun-- betapapun kecilnya syukur itu. Karena seperti bunyi sebuah kaidah keagamaan, Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan sama sekali.

WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat

Dr. M. Quraish Shihab, M.A

jazakumullah

Geen opmerkingen: