vrijdag, maart 28, 2008

Syarah Hadits Wali

AHLAN WA SAHLAN




Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ. (رواه البخاري)

Terjemahan Hadits

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,: "Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya". (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no. 6137)

Hadits ini disebut juga hadits kudsi, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits kudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits kudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa, lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits kudsi dengan Al-Qur'an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al-Qur'an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits kudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. WAllahu a'lam bisshawaab.

Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang Khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th. 57 H.

Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?

Pertama, berkat doa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.

Kedua, ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi, adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, "seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasulullah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu di pintu rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: "Aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya ke rumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau".

Kandungan Hadits

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

Pertama: Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri)

Dalam potongan awal dari hadits di atas disebutkan: "Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya". Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi di kalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang Ahlu bid'ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar di kalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi'ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.

Imam As Sya'bi mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: "bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: Sahabat Muhammad."

Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, "sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Qur'an dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi'ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindik."

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar di setiap tempat dan di setiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini.

Pengertian Wali

Wali secara etimologi berarti dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul 'azmi, yang paling utama di antara Ulul 'azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:

Golongan petama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya".

Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.

Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya".Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya: "Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan". (QS. Al Waaqi'ah, ayat: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan di antara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur'an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid'ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.

Ciri-ciri Wali Allah

Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya, "Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa". (QS. Yunus, ayat: 62-63).

Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.

Ciri kedua, Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-ciri Wali Setan

Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan, mulai dari melakukan syirik dan bid'ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya di antaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta di kuburan wali, setan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.

Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka: "Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.

Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid'ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at.

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i: "Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah".

Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi 'Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: "Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa ". (Asy Syu'araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, "Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Karena nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat". (HR. A t Tirmizy no. 2988)

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: "Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah."

Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:

1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.

Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat". (HR. At Tirmizy no. 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang ke dalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi'ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.

Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).

Bentuk kedua dari kesalahpahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar di sisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu 'Ali Al Jurjaany berpesan: "Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah".

Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain.

3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib.

Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah, "Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)". (QS. Al An'aam, ayat : 59). Dan firman Allah, "Katakanlah" :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah". (QS. An Naml, ayat: 65).

Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, "Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib". (QS. Al An'aam, ayat: 50).

Dan firman Allah: "Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan". (QS. Al A'raaf, ayat: 188).

Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh 'alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: "Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Az Zumar, ayat: 3).

Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Manhaj yang Benar dalam Beribadah

Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib di atas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan di tengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjamaah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh di pagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: "Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan".

Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid'ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur'an atau Isra' mi'raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid'ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan shalat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan fondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tanpa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dakwah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: "Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generasi sebelum Mereka."

Beberapa Kesalahan dalam Melakukan Ibadah

Di antara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tanpa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid'ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: "Orang beramal tanpa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya". Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikut sana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah pesankan kepada kita: "Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu." (QS. An Nahl, ayat: 43)

Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca Al-Fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tahu dari mana rimbanya. Allah telah berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. Al Israa: 36).

Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya". Na'uzubillah min hadza haal. Allah telah berfirman: "Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya". (QS. Al Baqarah: 44).

Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.

"Ya Allah tunjukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat." (QS. Al Fatihah: 6-7)

Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.

Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian di antara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. "Bila seseorang telah dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si Fulan, maka Allah menyuruh Jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberi tahu para malaikat bahwa Allah mencintai si Fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah menjadikannya orang yang diterima di bumi." (HR. Bukhari no. 3037, dan Muslim no. 2637)

Kemudian di antara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al-Qur'an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka di sini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.

Ketiga: Tentang sifat Allah Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta)

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Kaidah Umum dalam Beriman kepada Nama dan Sifat-Sifat Allah

Dalam mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaidah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits:

1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.

Penjelasan Kaidah-Kaidah tersebut sebagai berikut:

Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al-Qur'an dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al-Qur'an atau berita yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah di antara yang demikian." (QS. An Nisaa: 150)

Dan firman Allah lagi: "Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan." (QS. Al Baqarah: 85)

Kaidah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya nash dari Al-Qur'an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.

Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Allah dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Allah dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Allah dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).

Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satu pun makhluk yang menyerupai Allah. Sebagaimana firman Allah: "Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya." (QS. Asy Syura: 11)

Dan firman Allah: "Maka janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah." (QS. An Nahl: 74)

Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifat-Nya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat dengannya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.

Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan dituntut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayap burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayap burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarannya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengan zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengaran Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara.

Ada orang yang memahami kalau begitu, Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia menyerupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula bahwa Allah tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tanpa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti di akhirat tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan mereka tanpa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.

Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan."

Kata-kata "senantiasa" menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesinambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar'i "Istiqomah" dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan: "Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit." Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.

Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat peringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufik dan 'inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan ketaatan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno dan sebagainya, tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermanfaat baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al-Qur'an atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, teknik, pertanian dan seterusnya. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakannya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasihat agama atau pelajaran di kampus dan di sekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan di sini bahwa amal saleh dapat menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari keterjerumusan kepada kemaksiatan.

Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut. Sebagaimana firman Allah: "Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka." (QS. Ash shaaf: 5)

Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukkan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu menunjukkan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang paling bohong." (HR. Bukhari no. 5743, dan Muslim no. 2607)

Dalam hadits lain: "Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri". Maka jika amalannya baik, maka balasannya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannya pun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal saleh adalah amal saleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang diiringi oleh ketaatan.

Kekeliruan Orang Sufi dalam Memahami Makna Hadits Ini

Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok ekstrim dari orang-orang sufi. Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al-Qur'an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terjepit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau pendengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang mereka prediksi, tentu tidak ada di sana lagi istilah hamba dan khaliq. Berarti makhluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.

Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdoa adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaannya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliq. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:

Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Jadi jelas ada di sana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenankan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kepadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang berdalil untuk kebatilannya dengan Al-Qur'an atau hadits shahih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.

Manhaj Uama dalam Memahami Nash-Nash yang Mutsyabih (meragukan)

Perlu pula kita ingatkan di sini, bila salah seorang di antara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah "Raddul Al Mutasyaabih ilaa Al Bayyinaat, wa Al Mujmal ilaa Al Mufashshal" (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).

Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat di sisi Allah bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret mereka berbuat syirik kepada Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Allah dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh 'alaihis salam yang telah menjadikan orang-orang saleh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Allah.

Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahwa Allah selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadang kala para wali Allah itu juga ditimpa kejelekan dan penyakit seperti Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit, begitu pula Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik di tingkat para nabi dan rasul maupun di tingkat para sahabat dan Tabi'in?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:

  1. Di antara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
  2. Di antara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya: "Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya." (HR. At Tirmizy no. 2398)
    Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
  3. Di antara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, dan tidak ada sedikit pun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.

Kekeliruan Sebagian Orang dalam Masalah Berdo'a

Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi di kalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdoa dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya... sudah pasrah saja sama takdir. Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali di antaranya:

Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.

Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.

Ketiga: Berdoa di samping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau: "Doa adalah ibadah." Dalam riwayat lain: "Doa adalah otaknya ibadah." (HR. At Tirmizy no. 2969, 3247, 3371)

Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Allah ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar'iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:

Takdir kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun takdir syar'iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Allah. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar'iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khaththab: "Kita lari dari takdir Allah kepada Takdir Allah". Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?.

Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barang siapa yang meninggalkan sebab berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata adalah syirik.

Kemudian di antara kesalahan lain dalam berdoa adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka di antara sikap wali Allah adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.

Ringkasan kandungan hadits wali:

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

  1. Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri).
  2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Tentang sifat Allah; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
  4. Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim
  5. Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
  6. Hadits di atas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah yang hak.
  7. Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Allah karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Allah sebagai wali karena ia mencintai apa yang di benci Allah. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.

WAllahu A'lam bisshawaab

Shalawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpartisipasi dalam menyebarkannya.















jazakumullah

1 opmerking:

Anoniem zei

Subhanallah, tulisan yang bagus sekali, runtut dan bermakna, Insya Allah semakin menguatkan iman saya, amiin. Jazzakallahu khair