zaterdag, mei 03, 2008

Ikhlas (lanjutan)

AHLAN WA SAHLAN

Dorongan untuk Berbuat Ikhlas dan Keutamaannya
Karena kedudukannya yang begitu besar dalam agama ini, maka syari'at mendorong dan memotivasi untuk senantiasa berbuat ikhlas serta menjelaskan keutamaannya di dalam banyak ayat dan hadits.
Di antaranya adalah firman Allah ta'ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan membawa kebenaran maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama untuk mengharap keridhaan-Nya." (QS. Az Zumar: 2)

Dan juga firman-Nya:

{وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ}

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)

{إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّه}

"Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah." (QS. An-Nisaa': 146)

{قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, لا شَرِيكَ لَه}

"Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya." (QS. Al-An'aam: 162-163)

{فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدا}

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)

{قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَهُ دِينِي}

"Katakanlah: "Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku." (QS. Az-Zumar: 14)

Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan ikhlas adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dalam perang Tabuk: "Sesungguhnya di Madinah ada suatu kaum, tidaklah engkau melakukan perjalanan dan melewati suatu lembah melainkan mereka merasakan penderitaan yang kalian alami", dalam suatu riwayat, "melainkan mereka mendapatkan pahala sebagaimana kalian." (Muttafaqun 'alaihi dan lafadz ini adalah lafadz Muslim).

Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda kepada Sa'd ibn Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu:

"إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلاّ أجرت عليها حتى ما تجعل في في امرأتك"

"Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan nafkah dengan tulus karena mengharap wajah Allah ta'ala melainkan Allah akan memberi pahala kepadamu, bahkan sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari 1/96, Muslim 8/395, Ahmad 3/474, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra 6/269, An Nasaa'i 5/383, Ibnu Hibban 17/488, Ath Thayalisi 1/201, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar 11/366 ).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم"

"Sesungguhnya Allah tidak menilai hamba-Nya dengan tolok ukur jasad dan rupa kalian yang rupawan, namun Dia menilai para hamba-Nya dengan iman yang terdapat di hati-hati kalian." (HR. Muslim 12/426, 427).

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

"Barang siapa yang berjihad dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah jihad fii sabilillah." (HR. Bukhari 1/209, 9/383, 10/371, 22/470; Muslim 10/5-7).

Beliau mengucapkannya sebagai jawaban kepada seseorang yang bertanya, bagaimanakah karakteristik jihad fi sabilillah, apakah seseorang yang berperang untuk mendapatkan julukan sebagai pemberani, atau seseorang yang berperang karena tujuan tertentu dan riya', maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab dengan hadits di atas.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan buah keikhlasan yang akan diperoleh seseorang di dunia selain ganjaran yang disediakan Allah ta'ala di akhirat baginya, ketika menceritakan kisah 3 orang yang berlindung di sebuah gua untuk bermalam, tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar yang menutup pintu gua, namun Allah menyelamatkan mereka dengan sebab keikhlasan yang terdapat dalam amalan mereka.

Riya' dan Terapinya
Telah kita ketahui bersama, bahwa ikhlas berarti memurnikan sesuatu dari kotoran yang dapat mencemarinya. Apabila pemurnian tersebut tidak dilakukan, maka musnahlah keikhlasan. Seseorang yang melaksanakan suatu amalan dan didorong untuk mencari wajah Allah, maka amalannya adalah amalan yang ikhlas. Sebaliknya, apabila keikhlasan dalam amalnya lenyap atau tercemari kotoran seperti riya' dan di dalam hatinya bercokol keinginan mencari sanjungan makhluk dan rakus terhadap harta yang mereka miliki, maka amalannya bukanlah amalan yang ikhlas. Oleh karena itu syari'at mencela riya' dan membenci pelakunya. Allah ta'ala berfirman:

{فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ, الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ, الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ, وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ}

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al-Maa'uun: 4-7)

Allah juga memberitakan bahwa riya' merupakan sifat orang munafik:

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

"?.. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisaa': 142)

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

"Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Akulah Rabb yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amalan, kemudian dia menyekutukan Aku dengan yang lain dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dan amalan syiriknya tersebut." (HR. Muslim nomor 2985).

Barang siapa diuji dengan penyakit yang membahayakan ini, maka dia harus berusaha keras untuk mengobatinya dan diantara terapi penyakit ini adalah:

Pertama, zuhud terhadap sanjungan dan pujian dari manusia

Kedua, membiasakan diri untuk menyembunyikan amal Ibnul Qayyim telah menjelaskan terapi yang pertama dalam kitabnya Al Fawaaid hal. 148, beliau berkata: "Ikhlas dan keinginan untuk mendapatkan sanjungan dan pujian manusia tidak akan bisa terkumpul dalam hati sebagaimana api dan air yang mustahil untuk bersatu. Apabila jiwamu membisikkan kepadamu untuk berlaku ikhlas, maka hendaknya yang pertama kali engkau lakukan adalah menyembelih ketamakan terhadap segala apa yang dimiliki manusia, kemudian hadapkanlah dirimu kepada sanjungan dan pujian, dan zuhudlah engkau dari keduanya. Apabila engkau telah melakukannya dengan benar, maka akan mudah bagimu untuk berlaku ikhlas. Jika engkau mengatakan, "Apakah yang dapat memudahkanku agar mampu menyembelih ketamakan terhadap kekayaan yang dimiliki manusia serta zuhud terhadap sanjungan dan pujian mereka?". Maka aku jawab, "Menyembelih ketamakan akan mudah engkau lakukan jika engkau mengetahui secara yakin bahwa hanya di tangan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi, tidak ada seorang pun yang menguasai dan mengaturnya selain Dia, serta tidak seorang pun selain-Nya yang mampu memberikan hal tersebut kepada para hamba-Nya.

Sedangkan zuhud terhadap sanjungan dan pujian manusia akan mudah dilakukan, jika engkau mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang pujiannya paling baik dan celaannya sangat ditakuti dan dijauhi melainkan Allah semata, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang Arab Badui, "Sesungguhnya pujiankulah yang paling baik dan manusia takut akan celaanku ", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya yang lebih layak untuk hal itu adalah Allah 'Azza wa Jalla" (Tafsir al Qurthubi 11/381; ad Durrul Mantsur 7/553). Zuhudlah engkau dari seseorang yang celaan dan pujiannya tidaklah bermanfaat dan membahayakan dirimu, dan carilah pujian dari Dzat yang seluruh kebaikan akan terkumpul dalam pujian-Nya dan seluruh kejelekan akan terkumpul pada orang yang dicela-Nya.

Yang patut engkau perhatikan pula hendaknya engkau melakukan semua hal di atas dengan penuh kesabaran dan keyakinan, karena engkau tidak akan mampu menempuhnya tanpa diiringi kedua hal tersebut. Jika engkau tidak melakukannya, maka engkau laksana seorang yang hendak mengarungi lautan tanpa menaiki kapal. Allah ta'ala berfirman:

{فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لا يُوقِنُونَ}

"Dan bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu." (QS. Ar-Ruum: 60)

Allah 'azza wa jalla juga berfirman:

{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياتِنَا يُوقِنُونَ}

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajdah: 24).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah mengisyaratkan untuk menyembunyikan ibadah agar bisa membentengi dari sifat riya', sebagaimana hadits yang menceritakan 7 golongan yang akan dinaungi Allah di hari kiamat kelak, dalam hadits tersebut disebutkan tentang seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga seorang pun tidak ada yang mengetahuinya dan juga seseorang yang mengingat Allah dalam keadaan yang sunyi kemudian mengucurlah air matanya (Muttafaqun 'alaihi).

Ringkas kata, amal ibadah itu tercela jika ditujukan untuk memperoleh pujian manusia dan tamak terhadap harta mereka. Namun, jika seseorang melakukan amal ibadah dengan niat ikhlas kepada Allah, kemudian manusia memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut, maka hal ini tidaklah mengapa dan tidak mengurangi pahalanya, karena ketika ditanya mengenai seseorang yang beramal dengan ikhlas dan karena cinta kepada Allah ta'ala kemudian manusia menyanjungnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hal itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin." (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu).

Penulis: Al-'Allamah Al Muhaddits Fadhilatusy Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad Al Badr
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja'ah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

jazakumullah

Geen opmerkingen: