maandag, mei 12, 2008

Jalan Keluar Bagi Ahmadiyah

AHLAN WA SAHLAN

Oleh :

Oleh: Syamsuddin Arif“

Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]”, tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345.

Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Lihat: Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Da‘wah Academy, 1990, hlm. 8). Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi.

Kerusuhan Gujarat thn 2002 lalu telah menewaskan 2.000 muslim, Konflik antara Masyarakat Hindu (mayoritas) vs Islam adalah warisan sistim pecah belah sejak Kolonialisme Inggris di IndiaMenurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik ‘belah bambu’ kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di India- dan imperialis Rusia –yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah ‘kepasrahan pada penguasa’ (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13).

Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme –demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): “to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet.” (hlm. 2).Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan ‘evolusi’ Mirza Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama (1880) dan mengaku imam mahdi alias masih maw‘ud (1891) serta menganggap dirinya nabi (1910), menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155).

Bahwa esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, dalam bukunya, Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, Berkeley: University of California Press, 1989, hlm. 119, 181 dan 191.Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun. Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah “Sinar Islam” (sic!), Studi Islam dan Fathi Islam.
Majalah Ahmadiyah "Sinar Islam"Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan : Pembawa Ajaran AhmadiyahKeresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan, cetakan Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (non Muslim) di mata hukum dan undang-undang negara.Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pun menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin.

Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga Ahmadiyah.


Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa kitab Tadzkirah adalah kumpulan wahyu yang diterima MGA. Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih. Pertama, kaum Ahmadi sama dengan kaum Muslimin karena syahadatnya sama. Bandingkan pernyataan ini dengan pernyataan: orang Ahmadiyah itu sama dengan ‘orang utan’ karena sama-sama orang. Jelas dalam perkara ini yang penting bukan kemiripannya, akan tetapi justru perbedaannya. Yang membuat orang utan itu beda dengan Ahmadi itu bukan keorangannya, melainkan keutanannya itu. Demikian pula, Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad.Kedua, dalih bahwa sebagai warganegara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi. Melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945.

Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam ‘menikmati’ kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada batasan undang-undang yang telah ditetapkan demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya atas nama HAM tak dapat dibenarkan sama sekali. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada).Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam, di mana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah saw. Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), hlm. 134-5: “Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World.” Oleh karena itu solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari ‘rumah Islam’.

Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya Mormonisme di Amerika.Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat kalau diberikan kepada Pemerintah Amerika dan Israel agar memakai kasih sayang dan menghentikan kekerasan terhadap kaum Muslim di Iraq dan Palestina. “Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati),” sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk –bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan firman Allah: ‘Tidak ada paksaan dalam urusan agama’ (Al-Baqarah 256) serta ‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’ (Al-Kâfirûn 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama.Tak heran jika Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Thulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, cetakan Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, jilid 13, hlm. 109). Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya. Andaikata statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya sudah non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru –selain Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Protestan– ataukah sebaliknya. (hidayatullah.com)

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia


jazakumullah

Geen opmerkingen: