vrijdag, augustus 08, 2008

KEPALSUAN HADITS NISFHU SYA'BAN

AHLAN WA SAHLAN

Shalat nisfu Sya'ban ialah shalat pada malam tanggal 15 bulan Sya'ban. Shalat ini telah sangat terkenal sekali di kalangan kaum muslimin khususnya di Indonesia ini. Meskipun Ulama-ulama kita (yang benar-benar Ulama) telah sama memperingatkan kepada kaum muslimin tentang BID'AH-nya shalat nisfu Sya'ban itu, namun tetap saja masih banyak diantara mereka yang mengerjakan bahkan tidak sedikit diantara mereka yang menghidupkan bid'ah ini. Padahal Rasulullah saw tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para shahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in yang termasuk di dalamnya Imam-imam Mazhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I dan Ahmad bin Hambal) tidak sekali-kali mereka pernah menganjurkannya.

Dan jika kita teliti ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi saw yang shahih, maka tidak akan kita temui perintah shalat nisfu Sya'ban itu seperti yang dilakukan oleh kebanyakan saudara-saudara kita sekarang ini. Oleh karena itu kita tidak ragu lagi bahwa shalat nisfu Sya'ban itu adalah satu BID'AH MUNKARAT yang hukumnya wajib atas setiap muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya untuk melenyapkannya.

Menurut Imam Ibnu Qayyim, shalat nisfu Sya'ban ini diadakan di dalam Islam sesudah abad ke 4 hijriyah. Yang diadakan pertama kali di Baitul Maqdis (Masjid Aqsha). Setelah itu dibuatlah banyak hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat nisfu Sya'ban itu. (baca: Al-Manarul Munif fish-shahih wadl-dlo'if halaman 98, 99 oleh Imam Ibnu Qoyyim).

Saya berkata, bahkan shalat nisfu Sya'ban itu telah ada jauh sebelum abad ke 4 H. Ini dapat kita ketahui karena Imam Ibnu Majah yang hidup dari tahun 207 sapai 275 H salah satu perawi hadits nisfu sya'ban itu. Mungkin yang dimaksud oleh Ibnu Qoyyim bahwa shalat ini dihidupkan kembali sesudah abad ke 4 H, dan dibuatlah banyak hadits-hadits palsu tentang keutamaannya. Dengan demikian banyaklah kaum muslimin yang tertipu dan menganggapnya sebagai sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah saw. Bukan saja orang awam (umum) yang tertipu tapi tidak sedikit pengarang-pengarang yang memuat hadits-hadits palsu itu di kitab-kitab mereka dan memasukkannya ke dalam bagian shalat sunnat. Begitu juga mereka yang telah dijuluki oleh masyarakat sebagai ulama, kyai atau ustadz telah tertipu oleh hadits-hadits palsu itu. Dimana dengan penuh semangat menghidupkan shalat nisfu Sya'ban itu ditengah-tengah masyarakat awam. Sungguh ini suatu musibah!!!

Diantara mereka ada yang sudah sampai tentang bid'ahnya shalat nisfu Sya'ban itu, tapi bukan mereka sadar, malah mereka semakin galak menghidupkannya. Betapa beraninya mereka mengatakan atas nama Rasulullah saw apa yang beliau sendiri tidak pernah mengatakannya. Kepada mereka, maka di bawah ini saya hadapkan ancaman Nabi saw kepada orang-orang yang berdusta atas namanya. Mudah-mudahan mereka suka kembali kepada sunnah Nabi saw. Amiin!

Telah bersabda Rasulullah saw.

Artinya : "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka". (Hadits shahih mutawatir diriwayatkan oleh: Imam Bukhari dan lain-lain).

Artinya : "Barangsiapa yang mengada-adakan perkataan atas (nama)ku sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka". (Hadits shahih mutawatir diriwayatkan oleh: Imam Hakim dan lain-lain).

Artinya : "Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku! Karena sesungguhnya barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku, maka hendaklah ia memasuki neraka." (Hadits shahih mutawatir diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lain-lain).

Artinya : "Sesungguhnya berdusta atas (nama)ku tidaklah sama seperti dusta terhadap seseorang. Oleh karena itu barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah mengambil tempat duduknya dineraka. (Hadits shahih mutawatir diriwayatkan oleh: Imam Bukhari dan Muslim dan lain-lain).

Artinya :"Barangsiapa yang menceritakan tentang aku satu hadits, yang ia telah mengetahui (dalam satu riwayat disebutkan: yang telah diketahui) sesungguhnya hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta itu (dalam satu riwayat disebutkan maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta itu)". (Hadits Shahih riwayat: Imam Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).

Maka sabda Nabi saw ini ialah sebagai berikut:

a. Orang yang membawakan hadits palsu (dusta), dimana ia telah mengetahui kepalsuannya, lalu ia ceritakan dengan lisan maupun tulisan perkataan dusta itu, bukan dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya kepada kaum muslimin, maka dia adalah salah seorang dari pendusta-pendusta itu.

b. Orang yang membawakan hadits palsu, dimana hadits itu telah diketahui kepalsuannya, baik oleh orang yang membawakannya maupun oleh Ulama yang ahlinya dalam bidang ini (meskipun orang yang menceritakannya belum mengetahui). Maka orang ini termasuk salah seorang dari dua pendusta, karena ia menceritakan suatu perkataan dengan menyandarkan kepada Nabi saw dengan tanpa ilmu. (Yaitu orang yang membuat hadits palsu tersebut dan orang yang menceritakannya). Orang ini termasuk salah seorang dari dua pendusta.

Di bawah ini akan saya berikan contoh-contoh hadits-hadits palsu tentang shalat nisfu Sya'ban secara terjemahannya saja. Lalu saya terangkan tempat pengambilannya supaya mudah diperiksa. Kemudian saya iringi dengan keterangan-keterangan dari beberapa Ulama (yang betul-betul Ulama) tentang palsunya shalat nisfu Sya'ban itu.

Hadits pertama :

"Barangsiapa yang shalat seratus raka'at pada malam nisfu dari bulan Sya'ban, ia baca pada tiap-tiap raka'at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorangpun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu …… dan seterusnya (Haditsnya panjang).

Hadits Kedua :

"Barangsiapa yang membaca pada malam nisfu Sya'ban Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka'at….

Hadits Ketiga:

"Barangsiapa yang shalat pada malam nisfu Sya'ban 12 raka'at, ia baca pada tiap-tiap raka'at Qulhu 30 kali …………..

Hadits Keempat:

"Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw shalat nisfu Sya'ban 14 raka'at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali…….

Itulah antara lain empat riwayat hadits palsu shalat nisfu Sya'ban dan banyak lagi yang lainnya yang maknanya tidak beda jauh dengan empat hadits di atas.

Periksalah kitab:

a. Tanzzihus syari'ah ( ) jilid 2 halaman 92,93

b. Al-Maudhu'at ( ) jilid 2 halaman 127 s/d 130.

  1. Imam Ibnu Jauzi setelah menerangkan hadits-hadits palsu di atas berkata, "Tentang hadits-hadits ini kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer 1,2 dan 3) majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (nomer 4) juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).
  2. Kata Imam Nawawi: "Shalat rajab, shalat rnisfu Sya'ban adalah dua BID'AH MUNKAR LAGI JELEK". (Bacalah kitab As-Sunan wal Mubtada'at halaman 144,145 karangan Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).
  3. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Shalat ragha'ib (shalat pada malam Jum'at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi'raj, dan shalat Al-FIYAH (seribu) malam nisfu Sya'ban, adalah BID'AH dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya) DUSTA dengan IJMA' AHLI ILMU HADITS". (Bacalah kitab: Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 halaman 131 sampai dengan 135).
  4. Kata Imam Fatany, "Tentang shalat nisfu Sya'ban itu tidak ada satupun kabar atau riwayat (yang shahih) melainkan riwayat yang dlo'if atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab QUT dan IHYA' dan yang selain keduanya". (baca kitab: As-Sunan wal Mubtada'at Halaman 144 dan 145).

Di kitab IHYA karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut disunatkannya shalat nisfu Sya'ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany memperingatkan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya di kitab Ihya itu dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak mempunyai salah?

  1. Oleh karena itu Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat di Kitab Ihya mengatakan, "Hadits-hadits tentang shalat malam nisfu Sya'ban itu adalah hadits yang BATHIL! dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila datang malam nisfu Sya'ban maka shalatlah pada malamnya dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanadnya dlo'if!

(baca kitab: Ihya 'Ulumiddin jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali).

Saya berkata, bahkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah itu dari jalan Ali Bin Abi Thalib bukan hanya dlo'if tapi hadits maudlu (palsu). Karena di sanadnya ada seorang bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Sabrah. Dia ini seorang pemalsu hadits.

Kemudian Ibnu Majah meriwayatkan dari jalan Abu Musa al-Asy'ari. Tapi sanadnya sangat lemah dan mursal, karena:

a. Walid bin Muslim seorang mudallis.

b. Abdullah bin Lahi'ah seorang rawi lemah.

c. Dlahak bin Ayman guru Abdullah bin Lahi'ah tidak diketahui siapa dia ini. Dan ia hanya meriwayatkan satu hadits ini saja.

d. Dlahak bin Abdurrahman bin 'Arzab tidak bertemu dengan Abu Musa al-Asy'ari. Dari itu sanadnya terputus.

Kemudian Ibnu Majah meriwayatkan lagi dari jalan Aisyah. Tapi sanadnya sangat lemah dan terputus. Karena Hajjaj bin Artha yang di cacatkan oleh sebagian Ulama dan ial lemah dalam hadits dan dia ini juga seorang mudallis. Ia meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Abi Katsir padahal ia tidak mendengar dari Yahya tersebut memang riwayat-riwayatnya dari Yahya bin Abi Katsir terputus. (bacalah: Sunan Ibnu Majah Nomor hadits 1388, 1389, 1390).

  1. Kata Syaikh Ali Mahfudz, "Diantara bid'ah-bid'ah yang tersebar ialah do'a malam nisfu Sya'ban. Orang-orang berkumpul di masjid-masjid selesai shalat maghrib, lalu ramai-ramai mengucapkan dengan suara tinggi/keras mengikuti Imam. Sedang semua hadits yang berhubungan dengan malam nisfu Sya'ban adalah di sekitar hadits-hadits MAUDLU' DLO'IF DAN TIDAK SAH. (bacalah kitab: Al-Ibda' fi mudlaril ibtida' oleh Ali Mahfudz).

Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan muslimat. Aamiin!!

Seputar Bulan Sya'ban

Sya'ban adalah nama bulan. Dinamakan Sya'ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya'abun (berpencar) untuk mencari sumber air.

Dikatakan demikian juga karena mereka tasya'ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya'ban juga karena bulan tersebut sya'aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Sya'abanaat dan Sya'aabiin.

Shaum di bulan Sya'ban

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah

berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya'ban." (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : "Adalah beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya'ban." Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Sya'ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata: "Saya tidak mengetahui beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali

Ramadhan." Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: " Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan."

Dan dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan." (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas

membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya'ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain

bulan Sya'ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya'ban.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: "Saya berkata: "Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Sya'ban." Maka beliau bersabda: "Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul 'alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa." (HR. Nasa'i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: "Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya'ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan." Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461.

Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya'ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Sya'ban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.

Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam: "Sya'ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan", menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung -bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Sya'ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Sya'ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.

Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai menghidupkan antara Maghrib dan 'Isya dengan shalat dan mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di antaranya disukainya dzikir kepada Allah ta'ala di pasar karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai. Dan menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya beberapa faedah, di antaranya:

Menjadikan amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya'. Sebagian salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya. Dari Ibnu Mas'ud dia berkata: "Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa)." Berkata Qatadah: "Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa."

Demikian juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah, dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi orang yang terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Ma'qal bin Yassar: "Ibadah ketika harj seperti

hijarah kepadaku." Yakni ketika terjadinya fitnah, karena manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan melaksanakan amalan dengan sulit/berat.

Ahli ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya'ban ke dalam beberapa perkataan:

  1. Beliau disibukkan dari puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadha'nya (menunaikannya) pada bulan Sya'ban. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadha'nya.
  2. Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Sya'ban sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini berkebalikan dengan apa yang datang dari 'Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya sampai bulan Sya'ban karena sibuk (melayani) Rasulullah.
  3. Dan dikatakan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: "Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan." (HR. Nasa'i. Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425).

Dan adalah beliau shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan Sya'ban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka beliau mengqadha'nya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah beliau sebelum masuk Ramadhan -sebagaiman halnya apabila beliau terlewat sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadha'nya-. Dengan demikian 'Aisyah waktu itu mengumpulkan qadha'nya

dengan puasa sunahnya beliau. Maka 'Aisyah mengqadha' apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa

sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat, misalnya udzur yang terus

berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang mampu untuk mengqadha' sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib bagi dia di samping mengqadha'nya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad.

Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya'ban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.

Dan oleh karena Sya'ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Qur'an, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: "Telah dikatakan bahwa bulan Sya'ban itu merupakan bulannya para qurra' (pembaca Al-Qur'an)." Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya'ban dia berkata: "Inilah bulannya para qurra'." Dan 'Amr bin Qais Al-Mula'i apabila masuk bulan Sya'ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur'an.

Puasa pada Akhir bulan Sya'ban

Telah tsabit dalam Shahihain dari 'Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda: "Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?" Dia berkata: "Tidak." Maka beliau bersabda: "Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari." Dan dalam riwayat

Bukhari: "Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan." Sementara dalam riwayat Muslim: "Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya'ban?" (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).

Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).

Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa salla, beliau bersabda:

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah." (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagaimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits 'Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?

Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam

bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.

Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya'ban ada pada tiga keadaan:

1. Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

2. Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha' Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.

3. Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya'ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri -meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi'i, Al-Auzai', dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak. Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya'ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.

Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:

Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam. Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini

adalah perkataaan kebanyakan ulama.

Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari'atkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: "Apakah shalat shubuh itu empat rakaat?" (HR. Bukhari No.663).

Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu.

Wallahu ta'ala a'lam.

Jazakumullah

Geen opmerkingen: