maandag, september 01, 2008

Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab

AHLAN WA SAHLAN


Cara Menentukan Awal Ramadhan
Berdasarkan petunjuk dari suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, awal Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal secara langsung atau dengan kesaksian satu orang yang balig, berakal, muslim, dapat dipercaya dan mampu menjaga amanah yang melihat secara langsung. Apabila hilal ini tidak terlihat atau tidak ada kesaksian dari satu orang karena mendung atau tertutupi awan, maka bulan Sya’ban disempurnakan (digenapkan) menjadi 30 hari.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
“Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, -pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)
Menentukan Awal Ramadhan dengan Hisab
Para pembaca sekalian, perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab (menghitung posisi bulan yang merupakan bagian dari ilmu nujum) sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai organisasi Islam saat ini. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melihat/mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenal ilmu hisab sama sekali. Dan perlu diketahui pula bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada ilmu hisab, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakannya. Ingatlah, petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –lah yang benar dan merupakan sebaik-baik petunjuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsunya. Perkataan beliau adalah wahyu Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan tiadalah yang Nabi ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu Allah yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm [53] : 3-4)
Perhatikan pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengaitkan hukum masuknya bulan ramadhan dengan hisab sama sekali sebagaimana beliau jelaskan dalam hadits di atas (yaitu ‘Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari‘). Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk bertanya pada ahli hisab (pakar ilmu nujum). Beliau memerintahkan kita -apabila tidak terlihat hilal- untuk menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Demikianlah bulan hijriyah, jumlah hari di dalamnya tidak mungkin lebih dari 30 hari dan tidak mungkin kurang dari 29 hari. Sehingga para ulama mengatakan bahwa yang lebih tepat dalam melihat hilal adalah dengan ru’yah dan bukan dengan hisab.
Para pembaca dapat melihat perkataan Al Baaji yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berikut ini. Beliau mengatakan, “(Menetapkan ramadhan dengan ru’yah) adalah kesepakatan para salaf (para sahabat) dan kesepakatan ini adalah hujjah/bantahan kepada mereka (yang menggunakan hisab).” Lihat pula perkataan Ibnu Bazizah dalam kitab yang sama, “Mazhab ini (yang menetapkan awal Ramadhan dengan hisab) adalah Mazhab batil dan syariat ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, -pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.”
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban harus disempurnakan menjadi 30 hari. Dan pada hari tersebut tidak diperbolehkan berpuasa berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Hadits ini menunjukkan bahwa mendahulukan puasa pada satu hari sebelum Ramadhan dalam rangka kehati-hatian yaitu takut kalau pada hari yang meragukan ini ternyata sudah masuk Ramadhan adalah haram. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi ancaman bagi orang-orang yang berlebih-lebihan seperti ini dalam sabda beliau,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Binasalah orang yang berlebih-lebihan.” (HR. Muslim)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Namun jika pada hari yang meragukan ini pemerintah memerintahkan untuk berpuasa, maka kaum muslimin diharuskan untuk berpuasa mengikuti pemerintah mereka sebagaimana penjelasan berikut ini.

Ikutilah Pemerintah dalam Memulai Puasa Ramadhan atau Berhari Raya

Jika melihat mudahnya dan dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin, maka cara terbaik dalam menentukan awal Ramadhan adalah dengan mengikuti keputusan pemerintah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تَضَحُّوْنَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib). Lalu Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian para ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maksud hadits ini adalah puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)’“. (Lihat Tamamul Minnah, I/399, Al Maktabah Al Islamiyyah)

Semoga kita mendapatkan petunjuk untuk bersegera melakukan ketaatan kepada Allah yang telah memberikan berbagai limpahan nikmat kepada kita. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Macam macam bid'ah di bulan romadhon

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.
Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih
Berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.

Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur
Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.

Melafazkan Niat
Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya.
Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.

Imsak
Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum. Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka kata Anas, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim)

Takbiran
Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.

Padusan
Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa pada dua hari terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perayaan Nuzulul Qur’an
Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.

Berziarah Kubur Karena Ramadhan
Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

jazakumullah

Geen opmerkingen: