maandag, augustus 24, 2009

terjaganya Hadits Nabi Muhammad S.a.w

AHLAN WA SAHLAN

Terjaganya Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan memerintahkan mereka untuk mentaati dan mencontoh prilaku beliau. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا? وَاتَّقُوا اللَهَ ? إِنَّ اللَهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr: 7)
Beliaupun shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan semua tugasnya dan meninggalkan al-Qur`an dan Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akherat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ
Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah (al-Qur`an) dan Sunnahku. (HR al-Haakim dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jâmi’ as-Shoghîr no. 2937)
Dari sini jelaslah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari’at baik berupa aqidah, hukum fikih dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi sumber kehidupan seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridho’an disisi Allah ta’ala . Jadilah hadits-hadits ini menjadi sumber dan asas syari’at yang kekal dan terjaga keontetikannya.Syeikh Abdul muhsin al-Abâd hafizhahullah menyatakan: Sesungguhnya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu yang Allah sampaikan kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bersama al-Qur`an yang mulia adalah asas agama islam dan sumber hukumnya. Keduanya saling terkait sebagaimana kaitan syahadat Lâ ilâha Illa Allah dan syahadat Muhammad Rasulullah. Siapa yang tidak beriman kepada Sunnah berarti tidak beriman kepada al-Qur’an. ( Lihat: Kitab Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bi as-Sunnah karya al-Suyuthi, cetakan kelima tahun 1415H terbitan al-Jâmi’ah al-Islamiyah Madinah hal. 3)Memang keduanya adalah sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari’at yang saling melengkapi, sebab Sunnah adalah penjelas kandungan al-Qur’an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya ia adalah penerapan al-Qur’an melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah ta’ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firmanNya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى? خُلُقٍ عَظِيم
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.Al Qolam: 4)
Demikianlah ummul Mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan menyatakan:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlak beliau adalah al-Qur`an (HR Ahmad no. 23460 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jâmi’ as-Shoghîr no 4811).
Sehingga Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَه كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahdzab: 21)
Allah ta’ala Menjaga sunnah RasulNya
Eratnya hubungan al-Qur`an dan Sunnah ini tidak akan dapat dipisah-pisah dalam memahami islam yang benar dan dikehendaki Allah ta’ala. Ironisnya, kedudukan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh islam berang dan berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam . bahkan sampai berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari sunnah sebagai sumber hokum. Namun Allah ta’ala telah menjamin keontetikannya dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara al-Qur`an. Seperti yang dijelaskan Allah dalam firmanNya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr: 9)
Ayat yang mulia ini adalah nash penjagaan al-Qur`an dan juga terkandung penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. An Nahl: 44)
(dalam ayat ini) Allah ta’ala memerintahkan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan al-Qur`an kepada manusia, maka seandainya penjelasan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur`an tidak terjaga dan terpelihara (mahfûzh) tentulah tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan al-Qur`an. Padahal Allah juga berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى? 3 إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى? 4
dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (QS. An Najm: 3-4) .
(lihat: Zawâbigh Fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Sholahuddin Maqbûl Ahmad, cetakan pertama tahun 1411 H, Islamic Sceintific Research Academy, Newdelhi, India, hal. 7-8)
Dengan demikian jelaslah bahwa janji Allah untuk memelihara al-Dzikr tidak hanya terbatas pada al-Qur`an saja tapi yang dimaksud adalah menjaga syari’at dan agama Allah ta’ala yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia lebih umum dari sekedar al-Qur`an atau Sunnah saja. (lihat: As-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami, Musthofa as-Sibaa’I, cetakan keempat tahun 1405 H , al-Maktab al-Islami, Baerut, hal. 156)
Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan: Tidak ada perbedaan antara para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari’at bahwa semua wahyu yang turun dari Allah ta’ala itu adalah al-Dzikru al-Munazzal . semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan Allah ta’ala dengan pasti dan semua yang Allah jamin pemeliharaannya maka terjaga tidak akan hilang dan tidak akan terubah sedikitpun yang tidak ada penjelasan tentang kebatilannya.Kemudian beliau membantah orang yang menganggap pengertian al-Dzikr dalam ayat diatas sebagai al-Qur`an saja dengan menyatakan: ini adalah klaim dusta yang tidak berdasarkan bukti dan pengkhususan kata al-Dzikr tanpa dalil… kata al-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang Allah ta’ala turunkan kepada RasulNya n berupa al-Qur`an atau sunnah yang merupakan wahyu penjelas al-Qur`an. Juga Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. An Nahl: 44)
Sehingga benar beliau n diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur`an kepada manusia. Dalam al-Qur`an ada banyak perintah mujmal seperti sholat, zakat, haji dan selain itu yang kita tidak ketahui apa yang Allah ta’ala wajibkan dengan lafadz al-Qur`an namun dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila penjelasan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap yang global (mujmal) tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari sunnah, maka tidak dapat mengambil manfaat dari nash al-Qur`an, lalu hilanglah kebanyakan syari’at yang diwajibkan kepada kita dan kita tidak tahu kebenaran yang Allah ta’ala kehendaki. (Dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami hal. 156-158)Demikian juga pemeliharaan al-Qur`an tidak sempurna kecuali dengan menjaga dan memilihara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu karena makna kandungan al-Qur`an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu sunnah yang shohih atau menyimpangkan dan mentakwilkannya keluar dari maksudnya serta memahaminya diluar ketentuan syari’at adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan al-Qur`an. (Lihat : Kitab Zawâbigh hal.8)
Bentuk Penjagaan Allah terhadap Sunnah
Jelaslah seluruh yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama semuanya wahyu dan al-Dzikr. Semuanya terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan pemeliharaan Allah.Adapun al-Qur`an maka semuanya terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur`an , pengkhusus lafadz-lafadz umumnya dan pembatas lafadz-lafadz mutlaknya pun terjaga dan terpelihara. Diantara yang Allah ta’ala jadikan sebagai sebab pemeliharaan dan penjagaan sunnah adalah sebagai berikut:
1. Thô`ifah al-Manshuroh
Allah ta’ala ciptakan sekelompok dari umat islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang diatas kebenaran, tidak merugikan mereka orang-orang yang menghina mereka hingga datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian. (HR Muslim no. 3544)
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenanginya maka tentunya akan dapat memelihara keontetikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaf umat dan ulama muhadditsin disetiap zaman dan tempat.
2. Perhatian salaf sholeh terhadap sunnah
Allah ta’ala menyiapkan pembela sunnah dengan menciptakan generasi salaf sholeh dan setelah mereka yang telah memberikan perhatian besar kepada sunnah. Perhatian salaf umat ini terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat beragam sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada disetiap zaman. Oleh karena itu didapatkan mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan serta beragam sarana dalam memperhatikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ilmu dan amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada umat manusia. Setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya menghafal dan tatsabut (klarifikasi) sehingga salah seorang mereka bepergian untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan dalam rangka cek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga menulisnya dalam lembaran shahifah kemudian menyebarkannya diantara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiyah.Demikian pula para Tabi’in memberikan perhatian terhadap sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk diantaranya:1. Perhatian dalam menghafalnya2. Bertanya tentang sanad3. mencari tahu keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal. Ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat islam.4. Tadwin (kodefikasi) sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai lembaran sahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi. (Lihat: Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, DR. Muhammad bin Mathor az-Zahrôni, cetakan kedua tahun 1419H, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah hal. 38)
3. Ulama-ulama muhaditsin.
Allah ta’ala telah memberikan taufiq kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkannya, menyebarkannya, menulisnya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna dan tiada bandingannya terhadap sunnah dalam sejarah dunia. Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits akan mereka jelaskan. Ibnu Hibban dalam mensifatkan ulama Muhadditsin menyatakan, Hingga salah seorang mereka seandainya ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan. (lihat: Manhaj al-Muhadditsin Fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah, DR. al Murtadho al-Zein Ahmad, cetakan pertama tahun 1415 H , Maktabah ar-Rusyd hal 7)
Manshur bin ‘Ammâr as-Sulami al-Khurâsâni dalam mensifati ahlu hadits menyatakan: Allah ta’ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan al-Qur`an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah ta’ala memberikan mereka taufiq untuk mencarinya dan menulisnya dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri kenegeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian yang compang camping, perut yang lapar, mulut yang kering, wajah yang pucat karena kelelahan dan kelaparan dan badan yang kurus. Mereka memiliki satu tekad keras dan ridho kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya, tidaklah rasa lapar dan haus memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shohih dari yang bermasalah dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kokoh, pandangan yang luas dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, kebidahan orang-orang mulhid dan kedustaan para pendusta. Seandainya kamu melihat mereka diwaktu malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar dan mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur yang empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantukpun telah menguasai mereka sehingga menidurkan mereka dan berlepasanlah pena-pena dari telapak tangan mereka, lalu (seketika itu juga) mereka tersadar dalam keadaan terkejut. Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung-punggung mereka dan keletihan bergadang telah melelahkan akal pikiran mereka sehingga mereka berusa menghilangkannya untuk mengistirahatkan badan mereka dan berusaha berpindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya dan memijat-mijat mata dengan tangan mereka kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan selera mereka kepada ilmu. (hal ini) tentulah membuatmu mengerti bahwa mereka adalah penjaga islam dan penjaga gudang ilmu Allah ta’ala. Apabila mereka telah selesai menunaukan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginan mereka tersebut, maka mereka pulang menuju negeri mereka lalu duduk menetap dimasjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian ketawadu’an (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya mempertahankan syiar-syiar islam. (Lihat: Al-Muhaddits al-Fâshil Baina ar-Râwi wa al-Wâ’I hal. 220-221 dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin Fi Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah hal. 6-7)Demikianlah mereka manjadi penjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sepanjang masa.
4. Rihlah Fî Tholabi al-Hadits
Diantara perhatian dan usaha para ulama menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan melakukan bepergian mengumpulkan hadits (Rihlah Fî Tholabi al-Hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan titik kesulitan yang demikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh yang sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya, sebagaimana juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi dengan sangat detail dan dalam, sebab seorang Muhaddits yang pergi kesatu negeri lalu mengenal ulamanya, berbicara dengan mereka dan bertanya. Dengan demikian juga dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat ini, sehingga umat terlepas dari musibah penyimpangan agama. Pantaslah bila Ibrohim bin Adham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan bepergiannya ash-hâbu al-Hadits.( Lihat: Tadwien as-Sunnah 44 dan 50)
5. Kaidah ilmu jarh wa ta’dil dan Mushtholah
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan Kaidah ilmu mustholah dan ilmu al-jarh wa Ta’dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini dalam rangka memerangi kebidahan dan menjaga agama ini dari kedustaan para pendusta dan penyimpangan serta takwil orang bodoh. Lihatlah penyataan imam al-Haakim dalam Muqaddimah kitab Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits yang berbunyi: Sungguh aku melihat kebid’ahan dizaman kita ini telah banyak dan pengetahuan orang terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab yang ringan mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits…(Lihat: Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, Al-Hâkim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-naisâburi, tahqiq DR. as-Sayyid Mu’azhzhom Husein. Cetakan kedua tahun 1397 H, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, hal. 1)
Demikian juga Para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) pengenalan kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi’in. para ulama semakin memperluas setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu al-jarh wa Ta’dil. (lihat: Dirâsât Fî al-Jarh Wa Ta’dil, DR Muhammad Dhiya’urrahman al-A’zhomi, cetakan keempat tahun 1419H, Maktabag al-Ghurabâ’ al-Atsariyah, madinah hal.20)
Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat memilah-milah antara yang shohih dengan yang lemah dan palsu. Ini semua merupakan satu bentuk penjagaan Allah terhadap Sunnah.Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah ta’ala terhadap sunnah RasulNya, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Kholid Syamhudi Lc
Maraji’:1. Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bi as-Sunnah karya al-Suyuthi, cetakan kelima tahun 1415H terbitan al-Jâmi’ah al-Islamiyah Madinah2. Zawâbigh Fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Sholahuddin Maqbûl Ahmad, cetakan pertama tahun 1411 H, Islamic Sceintific Research Academy, Newdelhi, India, hal. 7-83. As-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami, Musthofa as-Sibaa’I, cetakan keempat tahun 1405 H , al-Maktab al-Islami, Baerut, hal. 156.4. Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, DR. Muhammad bin Mathor az-Zahrôni, cetakan kedua tahun 1419H, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah5. Manhaj al-Muhadditsin Fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah, DR. al Murtadho al-Zein Ahmad, cetakan pertama tahun 1415 H , Maktabah ar-Rusyd6. Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, Al-Hâkim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-naisâburi, tahqiq DR. as-Sayyid Mu’azhzhom Husein. Cetakan kedua tahun 1397 H, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut7. Dirâsât Fî al-Jarh Wa Ta’dil, DR Muhammad Dhiya’urrahman al-A’zhomi, cetakan keempat tahun 1419H, Maktabag al-Ghurabâ’ al-Atsariyah, madinah.











jazakumullah

Geen opmerkingen: