zondag, mei 02, 2010

Bid'ah dan Ahlul Bid'ah

AHLAN WA SAHLANSELAMAT DATANG

Ditulis Oleh: Ustadz Abu Nu?aim Muhammad Faishal Jamil



Zaman terus berlangsung dan masa terus bergulir, tanpa terasa kurang lebih 1400 Tahun yang lalu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam meninggalkan umat ini dalam keadaan malamnya seperti siangnya (terang benderang-red). Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam meninggalkan dan mewariskan kepada umat ini dua warisan yang sangat berharga daripada kebutuhan lainnya, apabila manusia terus berpegang teguh dan berhukum dengannya maka ia tidak akan sesat selama lamanya. Sebagaimana yang Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam sabdakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik-rahimahullah- di dalam kitabnya Al Muwatha’ ,


”Aku meninggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR Imam Malik ) {catatan: Syaikh Al Albani-rahimahulloh-menyatakan hadist ini mu’dhal, akan tetapi memiliki syahid (pendukung) yang kuat dari hadist Ibnu Abbas dengan sanad hasan dan dari hadist Abu Hurairah yang keduanya diriwayatkan oleh Al Hakim {Lihat Misykatul Mashabih Juz 1 hal 66 dan Ash Shahihah Jilid 4 hal 361}]


Kitabulloh dan Sunnah RosulNya adalah dua perkara yang Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tinggalkan untuk umatnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali sesat dan binasa.


Apa yang telah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam sabdakan pasti benar dan mesti terbukti, sebagaimana yang kita dapati di dalam kitab-kitab sejarah yang menceritakan tentang para Shohabat rodliallohu anhum sepeninggal Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam yang terus berada di atas jalan yang lurus. Demikian pula tabi’in, dan generasi tabiut tabiin, mereka berpegang teguh kepada keduanya.


Akan tetapi Alloh Azza wa Jalla menguji umat ini dengan adanya musuh terhadap dua perkara ini, yakni musuh yang siap membawa umat kepada jurang kehancuran dan kebinasaan dan yang terus membayang-bayangi umat dalam beramal dengan sunnah agar menyimpang darinya. Itulah bid’ah yang terus semarak dan terus berkembang sejalan dengan makin bodohnya umat terhadap ajaran agamanya sendiri dengan lontaran syubhat ketengah umat oleh para ahli bid’ah., Sehingga Bid’ah dianggap sebagai Sunnah dan sebaliknya Sunnah dianggap sebagai Bid’ah dan aneh. Ini semua karena jauhnya umat dari ajaran agama yang haq yang diwariskan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .



Definisi Bid’ah Menurut arti bahasa


Bid’ah secara lughoh/bahasa memiliki beberapa makna, sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa Arab, seperti Lisanul Arabi [dapatkan di katalog www.al-aisar.com) dan yang lainnya. Diantara maknanya adalah :


1. Permulaan dan pengadaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Lisanul Arab 8/6


2. Yang pertama ;sesuatu yang pertama: seperti dalam contoh firman Alloh QS Al Ahqof 9,”…aku bukanlah orang yang pertama dari kalangan para rosul…”


3. Menciptakan tanpa contoh sebelumnya, seperti dalam contoh firman Allah QS AlBaqoroh 117, “Allah pencipta langit dan bumi…” Makna pencipta disini adalah menciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.


Dan ada beberapa makna lagi yang menjelaskan arti bid’ah secara bahasa {Lihat Kitab : Lisanul Arab, Ash Shahihah, Mu’jam maqoyisil Lughoh dan Al ‘Ain serta Al Qomus Al Muhith}


Definisi Bidah Menurut Syariat


Bid’ah menurut istilah syariah adalah suatu perkara yang menyelisihi Sunnah. Jika dikatakan :”Seseorang berbuat suatu bid’ah”, maka maksudnya adalah ia membuat amalan dalam Islam yang tidak ada contoh sebelumnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- memberikan definisi bid’ah, “Bid’ah didalam agama (syariat) adalah apa yang tidak disyariatkan Alloh dan RosulNya, yaitu apa yang tidak diperintahkan untuk berbuat dan beramal dengannya, tidak perintah wajib tidak pula perintah Sunnah.”{Lihat: majmu fatwa 4/107-108).


Beliau berkata lagi,” Bid’ah adlah apa-apa yang menyelisihi Al Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan pendahulu ummat (ijma’) berupa perkara I’tiqod dan ibadah-ibadah seperti perkataan Khawarij, Rafidhah, Qodariyyah, Jahmiyah, dan orang-orang yang beribadah dengan menari, bermain alat musik di masjid-masjid, beribadah dengan meuckur jenggot, memakan tanaman yang memabukkan (seperti ganja dan semisalnya-red). Seluruhnya perkara bid’ah yang dijadikan sarana untuk beribadah oleh segolongan orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah.” [lihat Majmu fatawa 18/246]. Dan perkataan Syaikhul Islam lainnya,”…Maka sesungguhnya bid’ah adalah apa yang tidak disyariatkan Alloh dari perkara agama ini, maka setiap yang tunduk pada suatu yang tidak disyariatkan Alloh adalah bid’ah.”[lihat : Al Istiqamah 1/42]


Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin-rahimahullah- menyebutkan definisi bid’ah,”Apa yang dibuat-buat pada urusan agama ini yang menyelisihi Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan para Shohabat rodliallohu anhum dari perkara aqidah maupun amalan.[Lihat: Syarh Lu’matul Itiqod ,23], Demikian pula definisi bid’ah yang dinyatakan oleh Imam Syatibi-rahimahulloh-,”Bid’ah adalah suatu jalan yang dibuat-buat dalam urusan agama ini yang menyerupai syariat dan dijalankan dengan maksud bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla .”[lihat : Al I’tishom 1/50]


Imam Ibnu Rajab-rahimahullah-yang mendefinisikan bid’ah ,” adalah apa-apa yang dibuat/diadakan tanpa ada asalnya di dalam syariat yang menunjukkan perbuatan tersebut . Adapun yang ada asalnya dari syariat menunjukkan perbuatan tersebut bukan bukanlah suatu bid’ah menurut syari’at walaupun dikatakan bid’ah secara bahasa.” [lihat : Jamiul Uluw Wal Hikam hal 265]


Imam Suyuthi berkata tentang definisi bid’ah,” Bid’ah adalah pengungkapan dari suatu perbuatan yang menolak syariat dengan cara menyelisihinya atau menyebabkan pertentangan dengan syariat, baik dengan penambahan maupun dengan pengurangan.”[Lihat : Al Amru bil ittiba’ wa An Nahyu ‘Anil Ibtida ‘bid’ah hal 88]


Dari definisi-definisi tersebut dapat diketahui bahwa bid’ah secara bahasa lebih lebih umum daripada bid’ah secara syariat. Bid’ah secara bahasa adalah apa yang dibuat-buat dan diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya, Sedangkan bid’ah secara syariat adalah mengada suatu urusan/perkara di dalam agama yang tidak ditunjukkan atau dijelaskan oleh nash-nash dan kaidah-kaidah syari’at. Kadang-kadang suatu perkara menjadi bid’ah secara bahasa, namun bukan bid’ah secara syariat. Seperti adanya suatu nash yang menganjurkan utnuk berbuat suatu perbuatan, namun kita tidak dapat mewujudkan perbuatan tersebut, kecuali setelah terputusnya (selesainya) pensyariatan dan setelah wafatnya Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , apakah karena susah mengamalkannya atau ada penghalang yang menghalangi untuk mengerjakannya pada masa-masa penyariatan. Maka barangsiapa yang melakukannya pertama kali, berarti ia mengadakan suatu bid’ah menurut bahasa, karena ia mengadakan suatu perbuatan tanpa ada contoh sebelumnya, namun tidaklah ia berbuat bid’ah secara syariat, akrena adanya nash-nash/dalil yang menunjukkan disyariatkannya perbuatan tersebut.


Contoh bid’ah menurut bahasa ini dari perbuatan para Shohabat rodliallohu anhum banyak sekali, seperti pengumpulan Al Qur’an pada masa Abu Bakar –rodliallhu anhu-, Sholat taraweh berjama’ah pada masa Umar Bij Khattab-radliallohu anhu- dan pembentukan undang-undang pada msa Umar. Ini semua bukanlah termasuk bid’ah dalam syari’at, karena termasuk pada kaidah-kaidah syari’at, akan tetapi hal ini benar jika dikatakan sebagai bid’ah secara bahasa. Karena itulah Umar-rodhiallohu anhu- menamakan bid’ah berkumpulnya manusia pada saat sholat taraweh/qiyam Ramadhan dengan satu Imam, Belia berkata ketika melihat hal demikian,”Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah.”, yang beliau maksud bid’ah disini adlah bid’ah secara bahasa bukan secara syariat [Lihat : Muaqif Ahlus Sunnah wal jama’ah Min Ahlil Ahwa Wal Bida’ Juz 1 hal 90-93]


Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,


” barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan dari perkara/urusan kami, maka tertolak.”[HR Muslim]. Dalam riwayat lain beliau bersabda,” barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan kami ini yang bukan berasal darinya, maka tertolak.” {HR Bukhori & Muslim].


Awal muncul dan lahirnya bid’ah-bid’ah adalah pada masa kurun kedua dan para Shohabat rodliallohu anhum masih hidup, sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu fatwa 10/354,”Ketahuilah bahwa keumuman bid’ah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu dan ibadah terjadi pada umat ini pada masa akhir-akhir kekhilafahan khulafaur rashidin, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam haditsnya,”


“Barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rashidin sesudahku…” {HR Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi, Ahmad, Al hakim, Baihaqi dan Ibnu Hibban dari jalan Khalid bin Mi’dan}[Syaikh Salim Al Hilali mengomentari hadits ini :” Hadits Shahih.” Lihat Al Itishom juz 1 hal 64]


Bid’ah yang pertama yang terjadi dan nampak adalah bid’ah qadariyah, bid’ah Irja’ (mur’jiah) dan Bid’ah tasyayyu’ (Syiah) serta Khawarij. Inilah bid’ah-bid’ah yang muncul pada kurun kedua ketika para Shohabat rodliallohu anhum masih hidup. Sungguh para Shohabat rodliallohu anhum mengingkari pelaku-pelaku bid’ah tersebut. Setelah itu muncul bid’ah I’tizal (mu’tazilah) yang mengakibatkan fitnah di kalangan kaum muslimin hingga perselisihan pendapat dan pemikiran menjurus kepada hawa nafsu dan bid’ah berikutnya. Ditengah semaraknya fitnah ini, muncul lagi suatu bid’ah yakni tasawwuf dan bid’ah membangun bangunan diatas kubur. Hal ini terjadi setelah berlalunya kurun yang utama {lihat : Al Bid’ah Ta’rifuha Anwa’uha Ahkamuha, Syaikh Al Fauzan hal 11-12}. Demikianlah, kaum muslimin terus dirongrong oleh bid’ah dans etiap kali bertambah masa dan zaman bertambah pula bid’ah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas-radliallohu anhu- :


“Tidak ada suatu tahun, kecuali akan nyata padanya satu bid’ah dan akan mati satu Sunnah, hingga nyatalah bid’ah-bid’ah dan matinya sunnah-sunnah.” (Riwayat At Thabrani dan Ibnu Wadlah di dalam Al Bida’).


Demikianlahselanjutnya dari waktu ke waktu, setiap kali hidup satu bid’ah ketika itu pula akan mati satu sunnah. Akan tetapi kebid’ahan tidak akan muncul kecuali dengan sebab-sebab yang melahirkan bid’ah tersebut. Oleh karena itu sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menghindari bid’ah dan sebab-sebab yang membawa kepadanya.


Sebab Munculnya Bid’ah


Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan selamat dari terjatuh pada bid’ah dan kesesatan. Alloh Azza wa Jalla berfirman:


“Dan bahwa (yang Kami perintahkan)ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan ini mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” [QS Al An’am 153].


Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam telah menjelaskan pengertian ayat ini didalam haditsnya yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radliallohu anhu dan dikeluarkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim dan yang lainnya, ia berkata:” Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam membuat suatu garis bagi kami dan beliau bersabda,” Inilah jalan Alloh” Kemudian beliau membuat garis-garis dikanan dan kirinya dan bersabda,” Ini adalah jalan-jalan dimana pada setiap jalan ini ada setan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat pada QS Al An’am 153.


Maka barangsiapa yang berpaling dari Al Kitab dan As-Sunnah, ia akan terseret ke jalan-jalan yang sesat dan bid’ah-bid’ah yang diada-adakan.


Suatu hal yang tidak tersembunyi lagi bagi seorang yang berakal bahwa setiap perkara yang baru terjadi tentu ada sebabnya yang dapat diketahui benar atau tidaknya, apabila kita benar-benar memperhatikannya. Adapun munculnya kebid’ahan pada masyarakat muslim yang telah tegak padanya aqidah as shahihah yang diambil dari Al Qur’an dan As-Sunnah, bukanlah perkara yag biasa. Tetapi munculnya kebid’ahan adalah suatu perkara yang ganjil dan asing yang butuh kepada keterangan utnuk mengetahui sebab-sebabnya (lihat: Syarh Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Imam Al Lalikai Jilid 1, juz 1/37.), Diantara sebab munculnya bid’ah yakni:


1. Bodoh/tidak berilmu tentang hukum-hukum agama dan sumber-sumbernya


Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan apa yang digabungkan pada keduanya yakni ijma’. Setiap kali zaman terus berjalan dan manusia bertambah jauh dari ilmu yang haq, maka semakin sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana yang Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam sabdakan :


“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu/mengambil ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hambaNya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama’, sehingga apabila tidak da lagi dimuka bumi ini seorang yang berilmu manusia akan mengambil tokoh-tokoh yang mana apabila mereka ditanya mereka akan berfatwa tanpa ilmu, Mereka sesat dan menyesatkan.” [HR Bukhori, Muslim, Lihat : Jami’u bayan Al Ilmi wa fadlihi, Imam Ibnu Abdul Barr, 1/180]


Maka tidak ada yang mampu menentang dan melawan bid’ah, kecuali ilmu dan ahli ilmu yakni ulama’.Apabila ilmu dan ulama sudah tiada lagi, maka bid;ah akan merebak dan mendapat kesempatan dan berpeluang besar untuk muncul dan berjaya serta menebarkan tokoh-tokohnya untuk menyeret umat ke pintu kesesatan.


2. Mengikuti hawa nafsu dalam masalah hukum


Yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sumber segalanya dengan menyeret/membawa dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah untuk mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini adalah perusakan terhadap syariat dan tujuannya. Mengikuti hawa nafsu adalah penyimpangan dari jalan yang lurus, barangsiapa yang menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah berarti ia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana yang Alloh Azza wa Jalla firmankan:


“maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mengikuti petunjuk dari Allah sedikitpun..” (QS Al Qoshosh 50)


“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (sesembahan)nya. Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan penutup atas penglihatannya, maka siapakah yang akan memberikan petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)…{QS Al Jatsiyah 23}


Berbuat bid’ah dengan hawa nafsu adalah dosa besar disisi Allah, berapa banyak syariat Islam yang shahih yang telah diselewengkan oleh hawa nafsu berapa banyak pula manusia jatuh ke dalam jurang dan lembah kesesatan karena hawa nafsunya.


3. Fanatik buta terhadap pemikiran-pemikiran orang tertentu


Fanatik buta terhadap pemikiran orang-orang tertentu akan memisahkan antara seorang manusia dari dalil dan mengenal al haq, Allah berfirman:


“dan apabila dikatakan kepada mereka:’Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, Mereka menjawab,’(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami…’[QS Al Baqarah 170]


Inilah keadaan orang-orang yang fanatik buta di zaman sekarang ini, yang mayoritas terdiri atas pengikut sebagian madzab-madzab, sufiyyah dan quburriyin, yang jika mereka diseru untuk mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah mereka menolaknya. Dan mereka menolak apa-apa yang menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujjah dengan madzab-madzab, Syaikh-syaikh, kiai-kiai, bapak-napak dan kakek mereka. Ini adalah pintu dari sekian banyak pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.


4. Ghuluw (berlebih-lebihan)


Yaitu berlebih-lebihan dalam agama, seperti halnya bid’ah Khawarij dan Syiah. Khawarij, merka ghuluw dalam memahami ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat roja’ (pengharapan), janji pengampunan dan taubat, sebagaimana Alloh Azza wa Jalla berfirman:


“Sesunggunya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)ini, bagi siapapun yang dikehendaki-Nya…” (An Nisa 48, 116)


Sedangkan Syi’ah, mereka berbuat ghuluw hingga mereka mengangkat imam-imam mereka pada derajat kenabian bahkan derajat uluhiyyah (ketuhanan). Wal ‘Iyyadzu billah.


5. Tasyabuh dengan kaum kafir


Tasyabuh (menyerupai) kaum kafir adalah sebab yang paling menonjol terjatuhnya seseorang ke dalam bid’ah, sebagaimana riwayat tentang adanya seorang shohabat yang baru masuk Islam (ketika fathul makkah-red) kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dia meminta utnuk menjadikan suatu tempat digantungkannya senjata-senjata mereka dan mereka tinggal padanya, hal ini karena dia melihat kaum musyrikin biasa mengantungkan senjata perang mereka di atas pohon (dzatul anwath) , maka ketika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mendengar permintaan ini, maka beliau berkata,” Allahu Akbar !, Ini adalah suatu perbuatan orang-orang sebelum kalian, sebagaimana yang dikatakan bani Israil kepada Musa,”…bani Israil berkata:’Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka memeliki beberapa ilah.” (QS Al Araf 138). Kemudian Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,”Sungguh, kalian akan melakukan sunnah (perbuatan orang-orang) sebelum kalian .”


Pada hadits tersebut Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menjelaskan bahwa penyerupaan dengan orang-orang kafir adalah penyebab utama yang menjadikan bani israil dan sebagian shohabat yang baru masuk islam tersebut meminta permintaan yang sangat hina ini kepada nabinya, taitu menjadikan bagi mereka sesembahan yang mereka beribadah kepadanya dan bertabaruk (mencari berkah padanya).


Hal ini pula yang terjadi saatz aman sekarang ini, karena kebanyakan msulimin yang bodoh dengan agamanya berbuat taqlid mengikuti kaum kafir pada amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti perayaan-perayaan ulang tahun, maulid, dan mengadakan hari-hari untuk amalan-amalan khusus dan perayaan serta peringatan hari-hari yang dianggap bersejarah menurut anggapan mereka dan dinggap sebagai amalan ibadah seperti peringatan mauled nabi, nuzulul qur’an, isra mi’raj, haul kematian ulama/kyai/tokoh seperti halnya perbuatan yang dilakukan kaum kafir.


6. Menolak Bid’ah dengan bid’ah yang semisalnya atau yang lebih rusak darinya


Contohnya yakni kaum murji’ah, mu’tazilah, musyabihah dan Jahmiyyah


Kaum Murji’ah memulai bid’ahnya dalam mensikapi orang-orang khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radliallohu anhu dan orang-orang yang bersmanya. Mereka berkata :” Kita tidak menghukumi mereka dan kita kembalikan urusnnya kepda Alloh Azza wa Jalla .” Hingga akhirnya mereka sampai pada pendapat bahwa maksiat tidak me-mudharat-kan/membahayakan iman, sebagaimana tidak berfaedah ketaatan bersama kekufuran. Al Baghdadi berkata;” mereka dinamakan mur’jiah karena mereka memisahkan antara amal dan keimanan.” [Lihat Al farqu bainal Firaq 202]


Kemudian muncul pula Mu’tazilah dengan bid’ahnya yaitu mereka mengatakan,”Al manzilatu bainal manzilataini.”, sebagaimana perkataan pemimpin mu’tazilah yakni Wasil bin Atha’ pada seorang penanya yang melemparkan pertanyaan di majelis Imam Hasan Al basri-rahimahullah- dan menyebutkan sikap khawarij dan murji’ah terhadap seseorang pelaku dosa besar. Kemudian orang tersebut meminta keterangan tentang keyakinan yang benar dalam mensikapi pelaku dosa besar kepada imam Hasan al Basri, akan tetapi tiba-tiba Wasil bin Atha’ yang juga hadir dalam majelis itu mendahului menjawab bahwa pelaku dosa besar berda dalam posisi diantara dua kedudukan. Dan ini adalah menolak dan membantah bid’ah dengan bid’ah baru, karena jawaban al manzilatu baina manzilataini ini tidak dikenal dalam Islam baik oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ,para Shohabat rodliallohu anhum dan tabi’in-rahimakumullah-.


Adapun musyabihah, mereka membantah perbuatan-perbuatan penafi’ (peniadaan) sifat dari kalangan jahmiyah yang berada di dalam satu negeri dengan mereka (yakni kota Balkh) tempat Jahm bin Shafwan menampaknya pemikiran sesatnya dalam meniadakan/mengingkari sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla. Maka Muqotil bin Sulaiman membantahnya dengan berlebih-lebihan sampai kepada penyerupaan Alloh Azza wa Jalla dengan makhlukNya, Ia ingin membantah suatu bid’ah namun ia malah membuat bid’ah baru yang tidak kalah rusaknya dari bid’ah yang dibantahnya.


Sedangkan jahmiyah, mereka menolak bid’ah qadariyah (yang meniadakan taqdir Allah) dengan bid’ah lainnya , yaitu dengan menyatakan al-jabr. Sebagaimana qadariyah yang mengira bahwa hamba adalah pencipta amalan mereka sendiri dan Allah yang menciptakan hamba tersebut. Maka Jahm menolak bid’ah ini dan membantahnya dengan bertolak belakang dengannya yaitu Allah dalah pencipta dan yang mengadakan, sedangkan hamba dipaksa dalam perbuatannya, tidak ada kemampuan dan tidak ada ikhtiyar (pilihan) bagi seorang hamba dalam beramal, bahkan hamba seperti pelepan kurma yang dihembus angin kesana kemari. Ini adalah menolak bid’ah denagn bid’ah yang tidak kalah sesatnya dengan yang ditolak karena bid’ah ini berujung pada peniadaan pembebanan syariat terhadap manusia.



Definisi Ahlul Bid’ah


Setelah kta pahami pendapat par ulama tentang definisi bid’ah, maka perlu dibahas siapakah yang dikatakan ahlul bid’ah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menghukumi seseorang sebagai ahlul bid’ah. Karena ini adalah suatu perkara yang amat sangat penting yang harus diketahui, karena dengan mengetahui siapa ahlul bid’ah kita dapat mensikapi mereka sebagaimana yang dicontohkan oleh Salafush Shalih.


Telah ada nash-nash dalil dan perkataan yang menunjukkan pencelaan terhadap ahlul bid’ah, serat kewajiban untuk mengindari dan memperingatkan manusia dari mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:” Bid’ah yang dengannya seseorang dianggap sebabagi ahlul ahwa’ ialah bid’ah yang sudah dikenal di kalangan ahlul ilmu tentang penyelisihannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah seperti bid;ah khawarij, rafidhah, qadariyyah, murji’ah.”{lihat : majmu fatawa 35/414).


Definisi tentang ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah ini sangat tepat, ditinjau dari dua segi :


1. Hawa/ahwa adalah lawan dari mengikuti nash, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla ,”maka jika mereka tidak menyambut (ajakanmu),ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka)..” [QS AL Qoshosh 50]. Dan firman Nya,”Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka..[QS Asy Syuro 15].


Allah telah menjadikan mengikuti hawa nafsu sebagai lawan dari mengikuti perintahNya. Tatkala orang-orang yang mengikuti dan melaksanakan perintah Allah adalah orang-orang yang mengikuti Al Quran dan As Sunnah,maka orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang menyelisihi keduanya. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu taimiyah, akan tetapi beliau rahimahullah menegaskan bahwa penyelisihan yang dapat menyebabkan pelakunya menjadi ahlul bid’ah adalah penyelisihan yang terjadi pada suatu masalah yang sudah masyhur (terkenal) dikalangan ulama bahwa yang demikian menyelisihi Al Qur’an danAs Sunnah. Ini perlu ditekankan karena ada juga beberapa perkara yang mendetail yang tersembunyi dari sebagian manusia bahwa masalah ini menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah. Maka barangsiapa yang terjerumus kedalam masalah ini tidaklah ia dianggap sebagai pengikut hawa nafsu, tetapi ia adalah mujtahid, karena ijtihadnya yang salah sehingga ia terjatuh pada masalah tersebut. Orang yang demikian keluar dari kategori ahlul bid’ah.


2. Membuat bid’ah pada suatu perkara yang sudah terkenal bahwa hal tersebut adalah menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah terjadi kecuali didorong oleh haw nafsu, Maka barangsiapa yang berbuat demikian ia termasuk dari kategori ahlul ahwa’.


Dari definisi tersebut maka dpat disimpulkan bahwa Ahlul bid’ah adalah sebutan bagi orang yang kebid’ahannya termasuk dari perkara-perkara yang sudah terkenal di kalangan ulama tentang penyelisihannya dari Al Qur’an dan As Sunnah, bukan pada masalah-masalah yang mendetail yang tersembunyi dari sebagian manusia. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini antara orang yang berilmu maupun orang awwam. Ini adalah hukum di dunia. Adapun kelak di akherat seorang mubtadi’ disisi Allah adalah mubtadi’ yang batinnya sengaja melakukan perbuatan bid’ah, adapun mereka yang tidak sengaja maka Allah Maha pengampun. Hal ini karena kita membangun hukum didunia ini dengan berdasarkan apa yang nampak dari kita karena kita tidak tahu apa yang ada di dalam batin seseorang, adapun di akherat Allah kelak yang akan membalas apa yang disembunyikan hati-hati mereka [lihat: Muaqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Hawa wal Bida’, Syaikh Dr Ar Ruhaili hal 118]


Dari sinilah wajib atas setiap penuntut ilmu dan para da’I yang sibuk membimbing ummat, para pengajar dan yang lainnya untuk memantapkan perkara pokok yang besar ini terhadap kaum muslimin, maka janganlah ia menghukumi seorang muslim dengan kekufuran, kefasikan, atau kebid’ahan, kecuali atas apa-apa yang sudah jelas dan pasti dari perkara tersebut (secara dhahir-red).


Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu kelak akan dimintai pertangungjawbannya.”{QS Al Isra 36}


Sesungguhnya menghukumi manusia dengan semata-mata prasangka dan hawa nafsu tanpa ada bukti nyata dari perkataan manusia tersebut adalah termasuk berkata tentang Allah tanpa ilmu.



Allahu ta’ala ‘alam bi shawab.



Oleh Ustadz Abu Nu’aim Muhammad Faishal Jamil, dalam Salafy edisi XI/Jumadil Akhir 1417 H , dilarang keras menghkopi kecuali menyertakan wwwl al-aisar.com sebagai sumbernya.



mohon ma'af apabila tidak berkenanjazakumullah

Geen opmerkingen: