dinsdag, mei 27, 2008

Adab adab berfatwa dan ber ijtihad

AHLAN WA SAHLAN

oleh. : syeikh bin baz, syeikh utsaimin -rahimahumullahu ta’ala-

Memberikan fatwa adalah tugas yang sangat berat , yang tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang, tapi disayangkan adanya fenomena yang tidak sedap dipandang, yaitukecerobohan atau ketergesa gesaansebagian pemula dalam menunut ilmu untuk memberikan fatwa dalam dalammasalah agama dan, dan mulai mengeluarkan perndapatnya sendiri, sedangkan para salafus sholeh saling menghindar dan mendahulukan ulama lain untuk memberikan fatwakarena wara’ nya , agar terhindar dari kesalahan dan dosa

1. Hukum tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dari kalangan masyarakat umum

Pertanyaan : Tatkala persoalan agama dikemukakan, masyarakat umum saling berlomba -jika mereka berada dalam satu majlis- untuk berfatwa dan mengemukakan pendapatnya dalam masalah tersebut pada umumnya tidak dengan ilmu. Apa komentarmu hai Syeikh yang mulia terhadap fonomena ini ? Apa ini termasuk dalam perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya ?

Jawaban : Sebagaimana yang diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara pada agama Allah tanpa dengan ilmu, karena Allah Ta’ala berfirman : Artinya : “katakanlah : “Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S.7;33).
Dan wajib bagi seseorang untuk wara’ dan takut terhadap perbuatan berbicara tentang Allah tanpa dengan ilmu. Permasalahan ini bukan termasuk urusan dunia, yang mana akal memiliki posisi didalamnya, kalau seandainya urursan itu merupakan permasalahan dunia, yang mana akal memiliki posisi di dalamnya, sepatutnya manusia itu berhati-hati, dan tidak terburu-buru.


Mungkin saja, jawaban yang ada pada dirinya, dijawab oleh orang lain. Maka dia bagaikan hakim di antara dua jawaban. Dan perkatannya menjadi kata pemutus (penutup). Betapa banyak manusia berbicara dengan pendapatnya, yakni selain dalam masalah–masalah agama, jika dia tidak terburu-buru dan mundur sedikit, tampak baginya kebenaran yang belum pernah terlintas di pikirannya – karena banyaknya pendapat yang didengarkan–.

Oleh karena ini, maka saya menasehati setiap orang, agar dia mampu menjadi orang yang paling terakhir berbicara, supaya dia bisa menjadi penengah di antara pendapat yang banyak. Dan supaya dia mendapatkan dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, pandangan yang belum jelas, sebelum mendengarkan pendapat-pendapat tadi. Ini hal-hal yang berhubungan dengan urusan dunia. Adapun yang berhubungan dengan urusan agama, seseorang sama sekali tidak boleh berbicara, kecuali dengan ilmu yang ia ketahui dari Kitab Allah dan sunnah Rasul-nya atau dari perkataan ahli ilmu (para ulama).

Dijawab oleh : Syeikh Ibnu ‘Utsaimin di kitab : ” Alfaazh wa mafaahim fi mizaanis Syari’ah ” hal : 44-46.

2 . Kapan perbedaan pendapat itu bisa diakui.

Pertanyaan : Kapan perbedaan dalam perkara agama baru diakui ? Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah atau pada tempat-tempat tertentu ? Kami mengharapkan penjelasannya.

Jawaban : Sebelumnya, ketahuilah sesungguhnya persilisihan ulama ummat Islam ini, apabila timbul dari hasil ijtihad, maka hal itu tidak membahayakan orang yang belum menemukan kebenaran. Karena Nabi bersabda :

Artinya : “Apabila seorang hakim memutuskan, lalu dia berijtihad dan dia benar (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia salah (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan satu pahala. ” (H.R. Bukhari di kitab ‘Itishom, no : 7352).

Akan tetapi barang siapa yang jelas baginya kebenaran, maka dia wajib untuk mengikuti kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya. Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama ummat Islam ini, tidak boleh dijadikan sebagai penyebab persilisihan hati, karena perselisihan hati itu menimbulkan kerusakkan-kerusakkan yang besar sekali, sebagaimana firman Allah :

Artinya : ” Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah . Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S.8;46).

Perbedaan yang diakui kalangan ulama – yang selalu dinukil dan sebut-sebut – adalah perbedaan yang mempunyai kedudukan dalam pandangan. Oleh karena ini, masyarakat umum wajib merujuk kepada ahli ilmu (ulama) seperti yang difirmankan Allah :

Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(Q.S.16;43).

Adapun pernyataan penanya : ” Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah ?

Kenyataannya bukan seperti itu, perbedaan kadang-kadang terdapat pada sebahagian masalah, dan sebahagian yang lain telah disepakati, tidak ada perbedaan - Alhamdulillah –. Akan tetapi pada sebahagian masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan ijtihad, atau sebahagian orang lebih mengetahui daripada yang lain dalam meneliti nas-nas Al Kitab dan Sunnah, dalam hal seperti inilah terdapat perbedaan. Adapun masalah –masalah pokok (pokok-pokok agama), maka perbedaan di dalamnya sedikit.

Fatwa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

3. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar.

Pertanyaan : Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar di kalangan kelompok kelompok dan golongan-golongan ?

Jawaban : Seorang muslim wajib untuk berpegang teguh kepada kebenaran yang ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul , dan dia harus mencintai dan memusuhi karena kebenaran itu. Setiap kelompok atau mazhab yang menyalahi kebenaran, seseorang harus berlepas diri dari kelompok atau mazhab itu, serta tidak menyetujuinya.
Agama Allah ini satu, agama yang jalan yang lurus, agama yang mengibadati Allah semata, dan mengikuti Rasul-Nya .

Maka setiap orang muslim wajib berpegang teguh dan konsisten kepada kebenaran ini. Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang telah dibawa oleh nabi-Nya Muhammad , serta mengikhlaskannya hanya untuk Allah. Dan tidak memalingkan sedikitpun dari bentuk ibadah kepada selain daripada Allah . Setiap mazhab yang menyelisihi hal itu, dan setiap kelompok yang tidak berpegang dengan keyakinan ini, harus dijauhi, dan berlepas diri darinya serta mengajak pengikutnya kepada kebenaran dengan argumen-argumen yang syar’i dan dengan lemah lembut serta memilih cara yang bermanfaat, dan memahamkan mereka akan kebenaran.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab ” Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawi’ah ” (5/157-158).

4. Hukum berijtihad di dalam Islam serta syarat-syarat orang yang berijtihad

Pertanyaan : Apa hukum berijtihad dalam Islam dan Apa syarat syarat orang yang berijtihad ?

Jawaban : Berijtihad dalam Islam adalah mengeluarkan kemampuan untuk mengetahui suatu hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil yang syar’i. Berijtihad ini wajib hukumnya atas orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Karena Allah I berfirman :

Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(Q.S.16;43).

Orang yang mampu untuk berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui kebenaran dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dia itu harus orang yang luas ilmunya, yang luas penelitiannya terhadap nas-nas syar’iyah, yang luas penelitiannya terhadap pokok pokok dasar yang perlu diperhatikan (usul fiqih), terhadap pendapat-pendapat ulama; supaya dia itu tidak jatuh ke sesuatu yang menyalahi hal yang di atas.

Karena sebagian dari manusia – penuntut-penuntut ilmu- yang belum mendapatkan ilmu kecuali sedikit sekali, sudah memposisikan dirinya sebagai orang yang berijtihad (mujtahid). Anda menemukannya beramal dengan hadits-hadits yang umum, sedangkan hadits hadits tersebut ada yang mentakhsisnya. Atau beramal dengan hadits-hadits yang mansukh (hukumnya terhapus) sedangkan dia tidak tahu yang menasikhnya (yang menghapusnya). Atau beramal dengan hadits-hadits di mana ulama telah sepakat bahwa
hadits-hadits itu bukan atas zhohirnya. Dia tidak mengetahui kesepakatan ulama. Orang yang seperti ini berada dalam bahaya yang besar.

Seorang yang berijtihad harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dali syar’iyah. Dia harus memiliki pengetahuan tentang usul fiqih (pokok dasar fiqh) apabila dia mengetahuinya, dia mampu mengambil hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Dan dia harus memiliki pengetahuan tentang kesepakatan ulama, agar dia tidak menyalahi kesepakatan mereka sedangkan dia tidak menyadarinya.

Apa bila syarat-syarat ini sudah lengkap pada dirinya, maka dia adalah mujtahid (orang yang boleh berijtihad).

Ijtihad itu bisa dirincikan; jika seseorang berijtihad dalam satu masalah dari beberapa masalah ilmiah, lalu dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama. Maka dia menjadi mujtahid dalam masalah tersebut.

Atau dalam sub bahasan tertentu seperti sub bahasan thoharah (bersuci), kemudian dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama, maka dia itu mujtahid dalam sub bahasan tersebut.

Fatwa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

5. Adab-adab dalam berbeda pendapat

Pertanyaan : Syeikh yang mulia, kebanyakan persilisihan yang terjadi di antara dua orang da’i yang berkecimpung di ladang dakwah yang mengakibatkan kepada kegagalan dan hilangnya kekuatan, kebanyakannya disebabkan oleh kebodohan tentang adap-adap persilisihan. Apakah anda bisa memberikan sepatah kata dalam masalah ini.?

Jawaban : ” Ya. Saya sarankan kepada seluruh saudaraku dari kalangan orang yang memiliki ilmu dan para da’i, untuk memilih cara yang baik, dan lemah lembut dalam berdakwah dan dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di waktu berdiskusi dan belajar.

Dan hendaklah ghairah dan sikap keras tidak membawanya untuk berkata perkataan yang tidak pantas dikatakan, yang bisa menyebabkan perpecahan, persilisihan, saling berbencian serta saling berjauhan. Akan tetapi seorang da’i, seorang guru dan seorang pembimbing harus memilih metode–metode yang bermanfaat, harus berlemah-lembut dalam ucapannya, supaya ucapannya itu diterima, dan supaya hati-hati tidak berjauhan, sebagaimana Allah firman :

Artinya : ” Maka disebabkan rahmat dari Alah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka . Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Q.S. 3;159)

Dan Allah berfirman kepada Musa dan Harun tatkala Allah mengutus mereka berdua ke Fir’aun :

Artinya : ” Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S 20;44).

Dan Allah berfirman :

Artinya : ” Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(Q.S.16:125).

Dan berfirman :

Artinya : ” Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zolim di antara mereka.”
(Q.S.29;46).

Dan Rasulullah bersabda :

Artinya : ” Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesutau kecuali menghiasinya, dan tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya” (H.R.Muslim, no:2594).

Dan bersabda :

Artinya : “Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh kebaikan.” (H.R. Muslim, no: 2592).

Maka seorang da’i dan guru harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan yang keras serta perpecahan di antara teman. Tujuan dakwah adalah menjelaskan kebenaran dan berambisi supaya dia menerimanya dan mendapatkan faidah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan (memamerkan) keilmuan anda dan menampakkan bahwa anda-lah orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan anda yang berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini, hanya Allah–lah yang mengetahui isi hati yang tersembunyi. Hanya saja tujuan dari dakwah itu adalah anda menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfa’at dari ucapanmu, maka anda harus
mencari faktor-faktor diterimanya dakwah. Dan anda harus menjauhi faktor-faktor tertolak dan tidak diterimanya dakwah itu.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab ” Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawi’ah “
(5/155-156).

6. Hukum berfatwa dan syarat-syarat menjadi mufti


Pertanyaan : Sudah banyak fatwa tersebar, sampai-sampai anak kecil (umurnya yang muda) berfatwa, maka kami mengharapkan penjelasan tentang syarat-syarat fatwa dan orang yang memberikan fatwa?
Jawaban : Para salaf –rahimahumullah- selalu saling tolak menolak untuk berfatwa, karena besarnya permasalahan dan tanggungjawab fatwa itu, serta karena takut kepada perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu (pengetahuan). Karena seorang yang memberikan fatwa itu adalah sebagai penyambung berita (hukum) dari Allah dan menerangkan tentang syari’at Allah.

Apabila dia berbicara tentang Allah tanpa ilmu (pengetahuan), maka dia telah terjerumus dalam suatu perbuatan, yang mana perbuatan itu adalah saudara kandung syirik. Dengarlah firman Allah :

Artinya : “katakanlah : “Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S.7;33).

Maka Allah menggandengkan perbuatan berkata tentang Allah (mengada-ada terhadap Allah) tanpa dengan ilmu, dengan perbuatan syirik. Dan Allah berfirman :

Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yagn kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabanya “. (Q.S.17;36).

Maka seseorang itu tidak pantas untuk terburu-buru dalam berfatwa, akan tetapi dia menunggu, berfikir dan merevisi (pendangannya). Apabila waktu sempit, maka lontarkanlah masalah itu kepada orang yang lebih berilmu darimu agar kamu selamat dari perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu.

Apabila Allah mengetahui dari niatmu, keikhlasan dan keinginan yang baik, maka kamu akan sampai juga ke tingkat yang kamu inginkan dengan fatwamu itu.
Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan mengangkatnya.
Orang yang berfatwa tanpa dengan ilmu, dia lebih sesat daripada orang yang bodoh. Karena orang bodoh berkata : “Saya tidak tahu”. Orang bodoh itu mengetahui kemampuan (ukuran) dirinya. Konsisten terhadap kejujuran. Adapun orang yang membandingkan dirinya dengan ulama-ulama ternama, bahkan mungkin dia mendahulukan dirinya daripada para ulama tersebut, maka dia sesat dan menyesatkan serta salah pada masalah-masalah yang diketahui oleh penuntut ilmu yang masih kecil, maka perbuatan ini kerusakannya berat dan bahayanya besar.

Dijawab oleh Syeikh Ibnu ‘Utsaimin di kitab ” Majmu’atu durus wa fatawal
haram makki ” (3/354-355).

7. Fatwa dan ijtihad.

Pertanyaan : Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan berfatwa?

Jawaban : Sesungguhnya berijtihad dalam masalah-masalah ilmiyah mempunyai syarat-syarat tertentu. Tidak setiap orang berhak untuk berfatwa dan berbicara dalam masalah –masalah ilmiyah itu kecuali dengan ilmu dan keahlian serta kemampuan untuk mengetahui dalil-dalil, kemampuan untuk mengetahui mana yang menjadi nas atau menjadi zhohir dari dalil dalil tersebut.

Dan (mengetahui) shohih dan dho’if; (mengetahui) nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (yang terhapus); (mengetahui) manthuq dan mafhum; (mengetahui) khas dan ‘aam; (mengetahui) muthlaq dan muqayat; (mengetahui) mujmal dan mubayin, dan harus mempunyai pengalaman yang panjang, dan mengetahui pembagian-pembagian fiqih dan tempat tempat pembahasan; mengetahui pendapat-pendapat ulama dan ahli fiqih serta hafal nas-nas atau memahaminya.

Tidak diragukan, sikap berani untuk berfatwa yang bukan dari ahlinya adalah dosa besar dan berbicara tanpa dengan ilmu, sungguh Allah telah mengancam perbuatan tersebut (berbicara tanpa dengan ilmu), dengan firman-Nya :

Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan tetrhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “. (Q.S.16;116).

Dan dalam satu hadits :

Artinya : “Barang siapa yang berfatwa tidak dengan selektif (berhati-hati) maka dosanya ditanggung oleh orang memberi fatwa” (H.R. Ahmad (2/321), Abu Dawud (3657) dan Ibnu Majah (53)).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru untuk berfatwa, dan janganlah dia berbicara dalam satu masalah kecuali setelah mengetahui sumbernya, dalilnya dan siapa orang yang telah pernah mengatakan itu sebelumnya. Maka apabila dia bukan ahlinya (orang yang berhak) untuk itu, semestinya dia memberikan busur panah kepada perautnya (serahkan pekarjaan itu kepada ahlinya). Dan hendaklah dia itu membatasi dirinya sesuai yang dia ketahui, dan melakukan apa yang dia dapatkan serta melanjutkan pendidikan dan mempelajari ilmu fiqih sampai mendapatkan kondisi, yang mana dia sudah berhak untuk berijtihad. Hanya Allah –lah yang menujukkan kepada kebenaran.

Sumber fatwa : “Allukluk almakkin min fatawa syeikh Ibnu Jibrin” hal :
72-73
.

Alih bahasa :
Abu Abdilah Muhammad Elvi bin Syamsi


jazakumullah

Geen opmerkingen: