maandag, juni 09, 2008

LANJUTAN KITAB FARAID 2

AHLAN WA SAHLAN

Penjelasan ayat-ayat waris

Setelah membaca ayat-ayat waris diatas, maka terdapat lima hukum bagian waris yang sudah ditetapkan Allah secara jelas di dalam Al-Qur’an, berikut dengan kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi, yaitu:

- Hukum bagian waris untuk anak

- Hukum bagian waris untuk orang tua

- Hukum bagian waris untuk suami atau istri

- Hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah

- Hukum bagian waris untuk saudara sekandung atau seayah

Untuk lebih jelasnya, saya sertakan diagram hubungan antara pewaris dan ahli waris sebagaimana yang sudah Al-Qur’an jelaskan pada gambar sebagai berikut:

Hukum Bagian Waris untuk Anak

Dari firman Allah yang artinya "bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya)" dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:

1. Apabila pewaris hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian. Atau bisa juga langsung menggunakan format bilangan pecahan, yaitu anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapatkan 1/3 bagian.

2. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian untuk anak perempuan. Dengan kata lain, pembagian seorang anak laki-laki diibaratkan/diumpamakan dengan dua orang anak perempuan, sehingga jika jumlah anak laki-laki ada 2 orang dan jumlah anak perempuan ada 4 orang, maka pewaris seakan-akan memiliki 8 orang anak perempuan, dimana jumlah 8 orang ini didapat dari:

(2 anak laki-laki x 2) + 4 anak perempuan = 8. Harap diperhatikan bahwa pada kondisi seperti ini tidak boleh menetapkan bahwa bagian anak laki-laki bersekutu di dalam 2/3 bagian dan bagian anak perempuan bersekutu di dalam 1/3 bagian, karena ketentuan ini hanya berlaku pada no.1 diatas, yaitu jika anak laki-laki dan anak perempuan masing-masing hanya berjumlah 1 orang saja.

3. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, dan selain itu terdapat juga ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah dan ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah mereka, bukan anak-anak dahulu yang diberi, karena Al-Qur’an telah menetapkan hak bagian mereka secara tetap. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada (setelah dibagikan kepada mereka), dibagikan kepada anak, yaitu dengan ketentuan bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian untuk anak perempuan.

4. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja, dengan jumlah anak perempuan lebih dari seorang, maka mereka mendapat 2/3 bagian, dimana mereka bersekutu di dalam 2/3 bagian tersebut, yakni dibagi sama rata sesuai dengan jumlah anak perempuan tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kalimat "fauqats-nataini" pada ayat 11 surat an-Nisaa’ ini bukanlah diartikan secara langsung “anak perempuan lebih dari dua”, melainkan “dua anak perempuan atau lebih”, hal ini merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang memberitahukan keputusan Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' ra. sebagaimana yang akan saya sampaikan pada bahasan setelah ini (silahkan lihat sub bab “Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris” di dalam bab ini). Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat “itsnataini” adalah “dua anak perempuan atau lebih”. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah “anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi hadits Rasulullah dan ijma' para ulama.

5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak perempuan saja, tanpa anak laki-laki, maka ia mendapatkan seperdua (1/2) bagian dari harta peninggalan pewaris.

6. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak laki-laki saja, maka anak tersebut mewarisi seluruh sisa harta peninggalan yang ada, tentunya setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah dan ibu. Namun jika bersama anak laki-laki tersebut tidak ada ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, maka ia mendapatkan seluruh harta warisan yang ada. Meskipun ayat yang ada tidak secara tegas menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat “bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” menunjukkan bahwa bagian seorang anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua harta”. Maka dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.

7. Adapun bagian untuk keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), maka jumlah bagian mereka adalah sama seperti anak, dengan syarat tidak ada anak pewaris yang masih hidup (misalnya meninggal terlebih dahulu) dan mereka harus berasal dari pokok yang laki-laki dengan tidak diselingi oleh pokok yang perempuan, misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup seluruh keturunan anak kandung, termasuk cucu, cicit dan seterusnya dengan syarat tidak ada ahli waris diatas mereka yang masih hidup, dan tidak terselingi oleh pokok yang perempuan. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma' para ulama.

Hukum Bagian Waris untuk Orang Tua

Dari firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:

1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila pewaris mempunyai keturunan. Keturunan ini mencakup anak dan keturunannya, yaitu keturunan dari anak yang laki-laki, yakni cucu, cicit dan seterusnya kebawah, asalkan pokok mereka tidak tercampur dengan unsur perempuan.

2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi pengertiannya adalah bahwa sisanya merupakan bagian ayah.

3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai beberapa saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara lebih dari satu orang (dua orang atau lebih), dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat seperenam bagian. Ini adalah pengertian dari ayat “jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam”. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb (penghalang).

4. Jika selain kedua orang tua, pewaris hanya mempunyai seorang saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara tersebut hanya satu orang saja, dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat sepertiga bagian. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu dua per tiga. Ini adalah pengertian dari ayat “jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” Adapun saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb (penghalang).

Hukum Bagian Waris untuk Suami atau Istri

Dari firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:

Untuk Suami:

1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan, maka suami mendapat bagian seperdua dari harta yang ditinggalkan istrinya.

2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan, maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Yang dimaksud keturunan istri di atas adalah semua anak istri, cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik berasal dari suami yang terakhir, maupun yang berasal dari suami-suami nya yang sebelumnya.

Untuk Istri:

1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai keturunan, maka bagian istri adalah seperempat.

2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai keturunan, maka istri mendapat bagian seperdelapan.

Yang dimaksud dengan keturunan suami di atas adalah semua anak suami, cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik yang berasal dari seluruh istri-istri nya, baik yang masih menjadi istrinya maupun yang sudah bercerai atau meninggal.

Hukum Bagian Waris untuk Saudara Seibu Lain Ayah

Dari firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris)." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:

1. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam. Harap diperhatikan, yang dimaksud dengan kalimat ini adalah bukan mempunyai dua orang saudara seibu, tapi hanya mempunyai satu orang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan, bagian mereka sama saja, yaitu 1/6 bagian.

2. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dengan jumlah dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, maka mereka mendapatkan satu per tiga (1/3) bagian secara bersekutu, yakni dibagi sama rata sesuai dengan jumlah saudara seibu tersebut. Dengan demikian, untuk saudara seibu tidak berlaku hukum “bagian untuk anak laki-laki sama dengan bagian untuk dua orang anak perempuan”. Dan dapat disimpulkan, bahwa untuk saudara seibu ini bagian warisnya tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.

Harap diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan diatas hanya dapat dilaksanakan jika pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Termasuk pula pokok dan cabang seterusnya, yaitu kakek, cucu perempuan dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya. Di dalam ilmu faraid kondisi seperti ini disebut juga kalalah, yaitu seseorang yang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun anak, atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Para ulama telah sepakat (ijma') bahwa kalalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya dari asy-Sya’bi, bahwasanya Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah ditanya mengenai kalalah, ia menjawab: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, kalalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak."

Ketika Umar bin Khattab berkuasa, ia berkata: “Aku malu untuk menyelisihi pendapat Abu Bakar (mengenai makna kalalah tersebut).” Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya, “Demikian pula yang dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas’ud, dan diriwayatkan dari beberapa orang dari Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit. Demikian pula pendapat asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Hasan, Qatadah, Jabir bin Zaid, dan al-Hakam. Begitu pula pendapat ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Kufah dan Basrah. Begitu juga pendapat Fuqaha Tujuh dan Imam Empat serta jumhur ulama salaf dan khalaf, bahkan sudah merupakan ijma’ para ulama.

Hukum Bagian Waris untuk Saudara Sekandung atau Seayah

Firman Allah SWT, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sebagaimana pada hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah, maka hukum bagian waris untuk saudara sekandung atau seayah diatas hanya dapat diterapkan jika terjadi kondisi kalalah, yaitu jika pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak, khususnya anak laki-laki. Jika pewaris mempunyai anak lelaki walaupun hanya seorang, maka sudah dapat dipastikan saudara sekandung atau seayah ini tidak mendapatkan warisan, karena anak laki-laki merupakan ahli waris yang dapat menghalangi hak waris saudara sekandung atau seayah, dimana ia akan mengambil seluruh sisa warisan yang ada setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang telah mendapatkan bagian tetap sebagaimana yang telah Al-Qur’an tetapkan ketentuannya secara pasti. Namun jika ia hanya mempunyai anak perempuan saja, baik seorang atau lebih, maka saudara sekandung atau seayah ini masih memungkinkan untuk mendapatkan hak waris secara ashabah (mendapat hak waris secara sisa). Dengan demikian, dari ayat diatas dapat disimpulkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Apabila pewaris mempunyai seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah dan mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka yang laki-laki mendapatkan 2/3 bagian, sedangkan 1/3 bagian lagi milik yang perempuan.

2. Apabila pewaris meninggalkan banyak saudara laki-laki sekandung atau seayah (dua orang atau lebih) dan banyak saudara perempuan sekandung atau seayah (dua orang atau lebih), maka ketentuannya adalah bagian waris untuk yang laki-laki adalah dua kali bagian waris untuk yang perempuan.

3. Apabila pewaris hanya mempunyai satu orang saudara perempuan sekandung ataupun seayah, maka ia mendapat seperdua harta peninggalan.

4. Apabila pewaris mempunyai dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung atau seayah, maka mereka mendapat dua per tiga bagian dibagi secara rata diantara mereka.

5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah, tanpa ada saudara perempuan sekandung atau seayah, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara laki-laki sekandungnya atau seayah. Apabila saudara laki-laki sekandung atau seayah nya banyak (dua orang atau lebih), maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala.

Harap diperhatikan bahwa saudara seayah tidak mendapatkan hak waris seandainya ada seorang atau lebih saudara sekandung, oleh karena itu kalimat-kalimat diatas menggunakan kata sambung “atau”. Jadi dengan kata lain, adanya saudara sekandung merupakan penghalang bagi saudara seayah untuk mendapatkan hak waris, kecuali untuk kondisi tertentu sebagaimana yang akan saya jelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Sumber Hukum dari Hadits Rasulullah

Selain dari Al-Qur’an, terdapat pula hadits yang menerangkan tentang hukum pembagian harta warisan ini. Hadits tersebut adalah:

Artinya: “Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kepada pihak) laki-laki yang lebih utama.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun yang dimaksud dengan “laki-laki yang lebih utama" pada hadits diatas adalah kerabat laki-laki yang terdekat kekerabatannya dengan pewaris, kemudian jika masih ada sisanya beralih ke kerabat laki-laki lain yang urutan kedekatannya setelah kerabat yang pertama, dan begitu seterusnya. Ada yang cukup menarik dari teks hadits diatas, yaitu pada akhir hadits diatas (lihatlah teks arab yang digaris bawahi dengan warna merah), yakni menggunakan kata dzakar (laki-laki) setelah kata rajul (seorang laki-laki). Penyebutan kata “dzakar” setelah penyebutan kata “rajul” tersebut merupakan penegasan yang menggantikan posisi pihak perempuan. Selain itu agar menghindari salah pengertian, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk laki-laki dewasa dan cukup umur saja. Sebab, janin dan bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan jika ia memang termasuk ahli waris.

Selain hadits diatas, terdapat pula hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan hukum waris ini. Agar lebih mudah memahaminya, Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan saya bahas berikut dengan contoh-contohnya.

Sumber Hukum dari Ijma’ para Sahabat dan Ulama

Para sahabat nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan tabi'it tabi'in (generasi setelah tabi'in), telah berijma’ atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid ini dan tiada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut.

Kalangan sahabat nabi yang terkenal dengan pengetahuan ilmu faraidnya ada empat. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah ibnu Mas'ud. Apa yang mereka sepakati atas sebuah masalah faraid, maka umat Islam akan menyetujuinya, kendatipun terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam satu masalah tertentu.

Imam Syafi’i dan sebagian ulama yang lainnya telah memilih mazhab Zaid bin Tsabit, karena sabda Rasulullah saw., “Zaid telah mengajarkan ilmu faraid kepada kalian.” Al-Qaffal berkata, “Pendapat Zaid bin Tsabit dalam masalah faraid tidak pernah diabaikan, bahkan semua pendapat-pendapatnya diterapkan. Hal ini berbeda dengan pendapat-pendapat yang diberikan oleh sahabat yang lain”. Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan saya sampaikan ijma’ para sahabat dan ulama tersebut berikut dengan contoh-contoh kasusnya.

Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris

Banyak riwayat yang mengisahkan tentang asbabun nuzul atau sebab musabab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya, sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta" Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu surat an-Nisaa' ayat 11. Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad itu dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara sekandung Sa'ad (paman kedua putri Sa’ad).

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.

Juga di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan, “Jabir bin Abdullah ra. mengatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya ketika ia sakit dan tidak sadarkan diri. Lalu orang-orang menuangkan bekas bekas air wudhu beliau kepadanya sehingga sadar. Kemudian ia katakan, “Ya Rasulullah! Yang akan mewarisi saya hanyalah kalalah.” Maka, turunlah ayat tentang waris (hukum kalalah), yakni surah An-Nisaa’ ayat 176.”

Jika kita menyimak hadits-hadits diatas, terdapat suatu gambaran nyata bagaimana sesungguhnya kondisi sistem waris sebelum Islam datang, yaitu pada masa Arab jahilliyah dahulu. Orang-orang Arab jahilliyah hanya mengenal sistem kewarisan yang diturunkan hanya kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan kemampuannya menunggang kuda, bertempur dimedan perang, dan meraih harta rampasan perang. Apabila pewaris tidak mempunyai anak lelaki dewasa, maka mereka memberikan kepada para kerabat lelaki yang terdekat dengan pewaris, seperti saudara laki-laki dewasa dari pewaris, paman pewaris, dan seterusnya, yang penting mereka adalah laki-laki dewasa. Dengan demikian, mereka tidak memberikan waris kepada kaum wanita dan laki-laki yang masih anak-anak. Selain itu mereka pun memberikan hak waris kepada anak angkat (anak yang diadopsi), dan kedudukan anak angkat oleh mereka dianggap sama dengan kedudukan anak kandung dalam hal pembagian harta waris.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. disebutkan, “Ketika masalah faraid (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat membencinya. Mereka berkata, 'Istri diberikan bagian warisan sebesar seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorang pun dari golongan mereka itu yang berperang demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang. Acuhkanlah pembicaraan ini, semoga saja Rasulullah saw. menjadi lupa atau bila kita mengatakannya, pastilah beliau akan mengubahnya.' Lalu sebagian dari mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kami harus memberikan seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya, sedang dirinya tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam peperangan? Kemudian kami memberi anak kecil harta waris pula, padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya?’ Orang-orang Arab di masa Jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan, kecuali kepada orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih besar dan seterusnya.” (Tafsir Ibnu Jarir, juz VIII, hlm.32)

Namun setelah Islam datang dan iman mereka semakin kuat, mereka dengan segera meninggalkan adat istiadat dan kebiasaan mereka mengenai sistem pembagian waris arab jahilliyah tersebut, dan mereka pun membatalkan atau meniadakan hak waris bagi anak angkat, karena Allah telah berfirman: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab – 4,5)

Maka kita patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah, yang telah menurunkan ketetapan dan peraturan sistem pembagian waris ini dengan sangat adil, sehingga kita mendapat petunjuk yang jelas bagaimana cara membagi harta waris yang Allah ridhai.

Rukun-rukun Waris

Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun waris ini tidak ada maka tidak akan terjadi pembagian warisan. Diantaranya adalah:

1. Adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.

2. Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

3. Adanya harta warisan, yaitu harta peninggalan milik pewaris yang ditinggalkan ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya, seperti uang, emas, perak, kendaraan bermotor, asuransi, komputer, peralatan elektronik, binatang ternak (seperti ayam, kambing, domba, sapi, kerbau, dan lain-lain), rumah, tanah, sawah, kebun, toko, perusahaan, dan segala sesuatu yang merupakan milik pewaris yang di dalamnya ada nilai materinya.

Hak-hak yang berkaitan dengan Pewaris

Dalam hal penggunaan harta warisan ini, terdapat beberapa hak yang harus ditunaikan terlebih dahulu berkaitan dengan hak-hak pewaris. Jika hak-hak ini sudah ditunakan, barulah sisa dari seluruh harta peninggalan pewaris tersebut dapat dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan (ijma’) para ulama. Hak-hak yang berkaitan dengan pewaris dan harta warisannya tersebut diantaranya adalah:

- Biaya untuk keperluan pemakaman pewaris

- Hutang pewaris

- Menunaikan wasiat pewaris

Biaya untuk Keperluan Pemakaman Pewaris

Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya tersebut dengan penggunaan yang sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak pula dikurang-kurangi. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya adalah: biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Segala keperluan tersebut bisa berbeda-beda biayanya, tergantung keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

Apabila pewaris tidak meninggalkan warisan, maka hendaknya biaya pemakamannya dipikul oleh keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu masih hidup, yaitu anak-anak dan kerabat lainnya yang mampu. Jika pewaris tidak mempunyai kerabat yang dapat menanggung biaya penguburannya, maka biaya itu dapat meminta ke kas RT, kas RW atau bahkan baitulmal (kas negara). Di tempat saya tinggal dahulu, terdapat satu kebijaksanaan dari pengurus RT dan para warganya, yaitu menyediakan biaya pengurusan jenazah dari awal sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir (tidak termasuk biaya untuk pembelian tanah makam). Kas RT ini sebenarnya merupakan dana yang di dapat dari iuran bulanan warga itu sendiri.

Hutang Pewaris

Hutang yang masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum hutangnya ditunaikan terlebih dahulu.

Berkaitan dengan hutang ini, terdapat hadits Rasulullah sebagai berikut, “Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada jenazah yang mempunyai tanggungan hutang dibawa kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, Apakah mayat ini meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya? Jika diberitahukan dia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau menshalatinya. Jika dia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau mengatakan kepada para sahabat, Shalatilah sahabatmu ini! Setelah Allah memberikan kemenangan berkali-kali kepada Rasulullah dalam pertempuran (sehingga banyak diperoleh harta rampasan perang), maka beliau bersabda, Aku lebih berhak terhadap orang-orang mu’min daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati dengan mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta tersebut milik ahli warisnya.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad)

Di dalam hadits yang lain disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Akan diampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali hutangnya (yang belum dibayar). (HR. Muslim)

Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat, yang masih mempunyai tanggungan hutang yang belum dilunasi, namun ia tidak meninggalkan harta warisan yang cukup untuk menutup hutangnya tersebut? Maka jika terjadi kondisi seperti ini, yaitu jumlah hutangnya tersebut lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta baitulmal (kas negara).

Di dalam suatu hadits disebutkan, “Seorang hamba muslim yang membayar hutang saudaranya, maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat.” (HR. Mashabih Assunnah)

Di dalam hadits lainnya disebutkan, “Berlakulah lunak dan saling mengasihi (dalam hal menagih hutang). Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak (yang menghutangkan) mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya (terhadap orang yang berhutang), pasti orang yang punya tuntutan atas haknya (yang menghutangkan) akan lari menjauhi orang yang dituntutnya (orang yang berhutang).” (HR. Bukhari)

Harap diperhatikan, bahwa hutang yang patut dibantu adalah hutang seseorang yang digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya, membeli pakaian untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia berada dalam kondisi yang kekurangan. Adapun hutang seseorang yang digunakan untuk perbuatan dosa, seperti seseorang yang berhutang untuk berjudi, membeli minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak perlu dibantu, dan bahkan tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk dan kondisi apapun. Wallahu’alam.

Menunaikan Wasiat Pewaris

Wasiat adalah permintaan pewaris terhadap ahli warisnya sebelum wafatnya. Wasiat ini sebenarnya tidak hanya berupa pesan yang sifatnya untuk membagikan sejumlah tertentu dari hartanya, namun ia bisa juga berbentuk pesan-pesan kebaikan yang diinginkan pewaris untuk ditunaikan oleh ahli warisnya.

Seorang muslim yang telah mengetahui ilmu faraid tentunya menginginkan ketika ia telah wafat, harta peninggalannya tersebut dapat dibagikan kepada ahli warisnya dengan benar sesuai dengan syariat (ketentuan) yang Allah turunkan. Juga terkadang mereka mempunyai keinginan tertentu sebelum wafatnya, diantaranya ia ingin seperbagian hartanya tersebut disedekahkan kepada fakir miskin, diinfakan di jalan Allah, disumbangkan untuk pembangunan masjid setempat, dibagikan kepada seseorang yang ia anggap telah berjasa kepadanya, dan lain sebagainya. Maka seluruh keinginannya tersebut dapat dituliskan di dalam suatu surat wasiat.

Penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah pewaris wafat. Jika ia mewasiatkan harta, maka yang paling didahulukan untuk diselesaikan adalah biaya keperluan pemakamannya, kemudian pembayaran hutangnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian hutang sebelum melaksanakan wasiat.

Wajib hukumnya menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Para ulama telah sepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah menetapkan bagian ahli waris di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., dari Abu Umamah ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh Allah telah memberikan hak (waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat (tambahan harta) bagi orang yang (telah) mendapatkan warisan’”. (HR. al-Khamsah, kecuali an-Nasa’i)

Adapun mengenai ayat “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah – 180), maka sesungguhnya ayat ini turun sebelum ayat-ayat waris. Maka setelah turun ayat-ayat waris, ditentukanlah batas-batas tertentu bagi para ahli waris sebagaimana yang sudah saya jelaskan pada sub bab “Penjelasan Ayat-ayat Waris” di atas. Oleh karena itu, setelah turun ayat-ayat waris, seseorang tidak boleh lagi berwasiat untuk membagikan sejumlah harta tertentu di luar haknya untuk para ahli warisnya. Adapun wasiat untuk selain ahli waris maka diperbolehkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Nabi dan tabi’in.

Terkecuali khusus untuk istri-istri dari pewaris, terdapat satu ayat yang menjelaskan hak mereka, yakni “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah – 240). Jadi para istri hendaknya diberi nafkah selama setahun penuh dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya, dimana semua itu harus sudah diwasiatkan oleh para suami yang telah kedatangan tanda-tanda maut. Nafkah setahun yang diwasiatkan ini adalah diluar harta warisan. Jika mereka (para istri pewaris) hendak pindah sendiri sebelum setahun (yakni setelah habis masa iddahnya [empat bulan sepuluh hari]), maka para wali atau ahli waris tidak berdosa membiarkan para istri itu untuk berbuat yang makruf, seperti misalnya menikah lagi dan lain sebagainya. Jadi tinggal selama setahun di rumah pewaris dan juga mendapatkan nafkahnya selama setahun merupakan hak bagi para istri yang ditinggal wafat suaminya.

Dalam berwasiat hendaknya ada saksi, sebagaimana diterangkan dalam ayat “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".” (Q.S. al-Maaidah – 106)

Juga di dalam suatu hadits disebutkan, “Dari Salim, dari Ibnu Umar ra. bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, ‘Seorang muslim yang memiliki sesuatu yang akan dia wasiatkan, hendaklah wasiat tersebut sudah tercatat padanya (selambat-lambatnya) tiga malam setelah berlangsungnya wasiat itu.’” Kata Abdullah bin Umar, Sejak saya mendengar sabda Rasulullah tersebut, maka tidak terlewat satu malam pun melainkan surat wasiat saya telah ada pada saya.” (HR. Muslim)

Berkata imam Syafi’i, “Tidak ada kehati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim, kecuali bila wasiatnya itu sudah tertulis dan selalu berada disisinya bila dia mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya akan menjemput. Sebab bila dia mati sedang wasiatnya belum tertulis dan tidak berada disisinya, maka mungkin wasiatnya tidak akan kesampaian (yakni tidak ada yang menunaikan, karena para ahli warisnya memang tidak ada yang tahu apa yang diinginkan oleh pewaris yang telah wafat tersebut)”.

Demikian pula, menunaikan wasiat hukumnya wajib bagi yang telah diamanahi atau dipercaya untuk menunaikan isi wasiat tersebut. Maka terhadap orang-orang yang merubah atau bahkan menelantarkan wasiat tersebut, maka sesungguhnya ia telah berdosa. Firman Allah di dalam Al-Qur’an: “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah – 181)

Namun jika ia merasa pewaris telah berlebih-lebihan dalam berwasiat, berat sebelah, pilih kasih dan tidak adil, misalnya berwasiat agar memberikan harta warisan seluruhnya kepada seseorang, atau mungkin isi wasiat tersebut menyuruh berbuat dosa dan pelanggaran, maka ahli waris boleh untuk tidak melaksanakan wasiatnya, karena memang Allah melarang perbuatan dosa dan karena batas maksimal pemberian harta warisan pada wasiat itu adalah sepertiga dari harta milik pewaris, itupun jika tidak ada protes dari salah satu ataupun seluruh ahli waris yang ada. Firman Allah: “(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah – 182).

Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya seorang lelaki dan seorang perempuan benar-benar telah beramal dan taat kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedangkan keduanya menyulitkan di dalam wasiatnya, maka keduanya wajib masuk neraka!" Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat (Q.S. an-Nisaa’ – 12): "Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun."

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: "Barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat (yang baik), maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah, mati dalam keadaan takwa dan syahid; dan mati dalam keadaan diampuni dosanya."

Batas maksimum wasiat adalah sepertiga dari harta waris, dan tidak boleh melebihinya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. telah menceritakan pengalamannya dengan Rasulullah seputar masalah batas maksimum wasiat yang diperbolehkan. Isinya adalah sebagai berikut: Sa’ad bin Abi Waqqash ra. mengatakan bahwa ia dijenguk oleh Rasulullah ketika Haji Wada’ karena ia sakit parah hampir mati. Ia katakan,”Ya Rasulullah! Anda lihat sendiri sakit saya yang parah ini, sedangkan saya tergolong orang yang berharta tetapi tidak ada yang mewarisi saya kecuali anak wanita saya. Bagaimana kalau saya sedekahkan dua pertiga harta saya?” Rasulullah menjawab, “Jangan. Ia tanyakan lagi, “Bagaimana kalau saya sedekahkan seperduanya? Beliau menjawab, Jangan. Sepertiga saja. Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh kau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada kau tinggalkan mereka dalam keadaan kepapaan (kemiskinan), lalu mereka meminta-minta kesana kemari. Tidakkah kau berikan infak hanya karena Allah melainkan kau diberi pahala karena infak tersebut, termasuk sesuap makanan yang kau berikan untuk makanan istrimu.” (HR. Muslim)

Juga di dalam hadits lainnya diceritakan, “Ibnu Abbas ra. mengatakan bahwa kalau orang-orang ingin mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat harta, maka yang demikian itu lebih baik, karena Rasulullah bersabda, Sepertiga saja maksimal, karena sepertiga itu sudah banyak.” (HR. Muslim)

Satu hal yang mesti diperhatikan adalah wasiat tidak sama dengan hibah (hadiah atau pemberian). Hibah menjadi milik orang yang dihibahkan pada saat itu juga. Sejak saat tersebut, orang yang memberikan hibah itu sudah berubah statusnya menjadi bukan lagi pemilik sesuatu yang dihibahkan tersebut, dan pemilik sesungguhnya menjadi orang yang diberi hibah tersebut. Orang yang sudah menghibahkan sesuatu kepada orang lain dilarang mengambil kembali hibahnya, apapun keadaannya. Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan, Umar ibnul Khattab ra. mengatakan bahwa ia telah menyedekahkan seekor kuda yang bagus untuk keperluan jihad fisabilillah, namun kemudian pemiliknya (yakni orang yang telah diberinya) menyia-nyiakan kuda itu. Lalu ia (Umar) menyangka bahwa pemiliknya (yakni orang yang telah diberinya) akan menjualnya dengan harga yang murah. Maka, hal itu ia tanyakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda, “Janganlah kau membelinya dan janganlah kau minta kembali sedekahmu, karena orang yang meminta kembali sedekahnya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” Juga di dalam hadits Muslim lainnya disebutkan, dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang meminta kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang muntah lalu dijilatinya kembali.”

Adapun wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat akan menjadi milik orang yang diwasiatkan dengan syarat jika orang yang berwasiat itu telah wafat, dan itupun perhitungannya setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-hutangnya, karena memang hutang harus lebih didahulukan pembayarannya daripada wasiat. Jadi jika seseorang berwasiat, “Berikanlah seperdelapan hartaku untuk pembangunan masjid itu!”. Maka seperdelapan itu dihitung dari hartanya setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-hutangnya, bukan dari pokok harta warisnya secara utuh. Setelah itu, baru sisanya diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Syarat-syarat Waris

Syarat-syarat waris ada tiga, diantaranya adalah:

1. Telah meninggalnya pewaris baik secara nyata maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal oleh hakim, karena setelah dinantikan hingga kurun waktu tertentu, tidak terdengar kabar mengenai hidup matinya). Hal ini sering terjadi pada saat datang bencana alam, tenggelamnya kapal di lautan, dan lain-lain.

2. Adanya ahli waris yang masih hidup secara nyata pada waktu pewaris meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris telah diketahui secara pasti, termasuk kedudukannya terhadap pewaris dan jumlah bagiannya masing-masing.

Sebab-sebab Mendapatkan Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris, diantaranya adalah:

1. Memiliki ikatan kekerabatan secara hakiki (yang ada ikatan nasab murni atau ikatan darah), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

2. Adanya ikatan pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah legal yang telah disahkan secara syar'i antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, seperti nikah mut’ah, kawin kontrak dan sebagainya tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Bagaimana bisa ada hak waris, sedangkan pernikahannya itu sendiri adalah tidak sah.

3. Al-Wala, yaitu terjadinya hubungan kekerabatan karena membebaskan budak. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia yang merdeka. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, dengan syarat budak itu sudah tidak memiliki satupun ahli waris, baik ahli waris berdasarkan ikatan kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Penggugur Hak Waris

Tidak semua ahli waris bisa mendapatkan harta warisan. Terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang menjadi gugur untuk mendapatkan harta warisan. Penggugur hak waris ini ada tiga, diantaranya adalah:

1. Budak. Seseorang yang berstatus sebagai budak (yang belum merdeka) tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai budak murni, budak yang akan dinyatakan merdeka seandainya tuannya meninggal, ataupun budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi bagaimanapun keadaannya, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik, terkecuali jika ia telah merdeka. Hadits Rasulullah saw, “Siapa yang menjual seorang hamba (budak) sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkannya (yakni membuat perjanjian dahulu dengan pembelinya supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya yang baru tersebut).” (HR. Ibnu Majah). Namun jika budak tersebut sudah benar-benar merdeka, misalnya karena dibebaskan oleh tuannya, maka barulah ia berhak untuk mendapatkan hak waris dan juga mewariskan, karena status dia sudah sebagai orang merdeka. Untuk di zaman kita sekarang ini, sudah banyak undang-undang di berbagai negara yang melarang perbudakan, oleh karena itu jarang sekali kita menemukan budak, atau mungkin sudah tidak ada sama sekali.

2. Pembunuhan. Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun." (HR Abu Daud). Juga di dalam hadits lainnya, Rasulullah bersabda, “Tidak ada hak bagi si pembunuh untuk mewarisi.” (HR Malik, Ahmad dan Ibnu Majah). Maka jika ada anak yang membunuh orang tuanya dengan jalan apapun karena ingin segera mendapatkan harta warisan, maka sesungguhnya ia telah berdosa besar, yakni dosa membunuh orang tua dan juga dosa mengambil harta warisan yang bukan merupakan haknya. Imam Malik memberi pengecualian untuk kasus pembunuhan yang tanpa disengaja, misal karena suami sedang memegang pisau yang hendak digunakan untuk menyembelih ternak, kemudian tiba-tiba istrinya jatuh terpeleset dan tepat mengenai pisau yang dibawa suaminya tersebut. Maka suami tersebut wajib membayar diyat kepada keluarga/wali istrinya, namun ia tetap mendapatkan waris dari harta milik istrinya tersebut (tidak termasuk dengan harta diyat-nya yang sudah ia berikan). Juga mengenai pembunuhan yang disengaja karena pembelaan diri, misal ia diserang dan terancam jiwanya, maka pembunuhan seperti ini tidak menghalangi hak warisan si pembunuhnya.

3. Berlainan agama. Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta warisan orang non muslim walapun ia adalah orang tua atau anak, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam." (HR Bukhari dan Muslim). Menurut pendapat syaikh Al-‘Utsaimin, khusus untuk orang munafik, jika ia terlihat jelas kemunafikannya, maka ia masuk ke dalam kategori orang kafir, sehingga ia tidak dapat saling waris-mewarisi bersama kerabatnya yang muslim. Namun jika kemunafikannya tidak terlihat secara zhahir, maka ia tetap dianggap sebagai seorang muslim. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang berkata “Tidak ada penghalang saling waris-mewarisi antara seorang muslim dengan seorang munafik. Sebab seorang munafik dihukumi muslim secara zhahir.” Ia juga berpendapat, seorang muslim dapat mewarisi harta dari kerabatnya yang murtad dan kafir dzimmi, yakni orang kafir yang tidak memerangi umat Islam dan agama Islam, dan hidup/tinggal di negeri kaum muslimin yang diikat dengan perjanjian untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan yang berlaku di negeri tersebut.

Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ijma’ para Ulama

Pada pembahasan sebelumnya, telah saya sampaikan bahwa ahli waris yang ditetapkan oleh Allah secara jelas di dalam Al-Qur’an adalah anak, orang tua, suami atau istri, saudara seibu, dan saudara sekandung atau saudara seayah. Namun para ulama telah menetapkan bahwa terdapat lima belas laki-laki dan sepuluh perempuan yang berhak untuk mendapatkan hak waris. Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang menyalahi ijma’ para ulama tersebut, karena mereka bersandar kepada dalil Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. Saya gambarkan diagram seluruh ahli waris tersebut sebagai berikut:

Ahli Waris Laki-laki

Terdapat 15 ahli waris laki-laki yang telah menjadi ijma’ para ulama, yaitu:

1. Anak laki-laki.

2. Cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Mencakup pula cicit laki-laki dari keturunan cucu laki-laki, dimana cucu laki-laki tersebut berasal dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula keturunan laki-laki yang seterusnya kebawah, yang penting mereka berasal dari pokok yang laki-laki yang tidak tercampuri unsur wanita.

3. Ayah.

4. Kakek sahih (bapak dari ayah) dan laki-laki generasi diatasnya yang tidak tercampuri unsur wanita.

5. Saudara laki-laki sekandung.

6. Saudara laki-laki seayah.

7. Saudara laki-laki seibu.

8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.

9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

10. Paman sekandung (saudara laki-laki sekandung ayah, baik adik maupun kakak ayah).

11. Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah, baik adik maupun kakak ayah).

12. Anak laki-laki dari paman sekandung.

13. Anak laki-laki dari paman seayah.

14. Suami.

15. Laki-laki yang memerdekakan budak, baik budak laki-laki maupun budak perempuan.

Ahli Waris Perempuan

Terdapat 10 ahli waris perempuan yang telah menjadi ijma’ para ulama, yaitu:

1. Anak perempuan.

2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Mencakup pula cicit perempuan dari keturunan cucu laki-laki, dimana cucu laki-laki tersebut berasal dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula keturunan perempuan yang seterusnya kebawah, yang penting mereka berasal dari pokok yang laki-laki yang tidak tercampuri unsur wanita.

3. Ibu.

4. Nenek (ibu dari ayah).

5. Nenek (ibu dari ibu). Nenek, baik ibu dari ayah maupun ibu dari ibu, semuanya bersekutu dalam satu bagian yang telah ditetapkan untuk mereka (dibagi sama rata), itupun apabila mereka mendapatkan hak waris, yakni tidak ada penghalang bagi hak waris mereka.

6. Saudara perempuan sekandung.

7. Saudara perempuan seayah.

8. Saudara perempuan seibu.

9. Istri.

10. Perempuan yang memerdekakan budak, baik budak laki-laki maupun budak perempuan.

Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan

Dalam menetapkan ahli waris laki-laki dan perempuan sebagaimana diatas, para ulama bersandar kepada dalil-dalil atau rujukan yang kuat, yaitu dari Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Berikut ini saya coba sampaikan dalil-dalilnya.

Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Laki-laki

Dalil-dalil yang memberikan hak waris kepada laki-laki yang berjumlah lima belas adalah firman Allah swt. dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Dalil-dalil tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Anak laki-laki, sebagaimana firman Allah, "Allah mewasiatkan (mensyariatkan) bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (an-Nisaa' [4]: 11).

Sedangkan cucu, cicit, dan keturunan di bawahnya, dikiaskan dengan anak laki-laki, seperti dalam firman-Nya, "Wahai anak Adam...", "Wahai Bani Israil...", dan lain sebagainya.

Sedangkan ayah, disebutkan dalam Al-Qur’an, "...dan untuk ibu-bapak, masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan..." (an-Nisaa' [4]: 11); dan firman-Nya, "...dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja)." (an-Nisaa' [4]: 11).

Adapun kakek, dia masuk dalam kata-kata ayah, sehingga secara implisit telah disebutkan oleh nash Al-Qur’an. Rasulullah saw. juga telah menganjurkan agar memberikan seperenam (1/6) kepada kakek. Hal ini didasarkan pada riwayat bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. kemudian berkata, "Cucu laki-laki dan cicit laki-laki ku meninggal dunia, lantas berapakah bagian harta waris yang ditinggalkannya untukku?" Rasulullah menjawab, “Kamu mendapatkan bagian seperenam.” Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah kakek (ayahnya ayah), buyut, dan generasi di atasnya. Bagian ini tidak termasuk kakek dari ibu (ayahnya ibu) karena kakek dari ibu termasuk golongan dzawil arham, yaitu para ahli waris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ashabah.

Adapun dalil untuk saudara sekandung dan saudara seayah, adalah firman Allah, "Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak..." (an-Nisaa' [4]:176) Adapun yang dimaksud saudara laki-laki pada ayat ini adalah saudara sekandung dan saudara seayah.

Adapun dalil saudara seibu, adalah firman Allah, "...Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..." (an-Nisaa' [4]: 12)

Adapun dalil yang menerangkan hak waris bagi anak laki-laki saudara sekandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman sekandung, dan anak laki-laki paman seayah, yakni hadits Nabi, "Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama."

Adapun dalil untuk hak waris suami, adalah firman Allah, "Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu..." (an-Nisaa' [41:12)

Dalil untuk hak waris orang yang memerdekakan budak, yakni sabda Nabi saw, "Hak wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak (nya)."

Demikianlah, berdasarkan dalil-dalil diatas, para ulama telah menetapkan bahwa lima belas laki-laki yang telah disebutkan di atas berhak mendapatkan harta yang diwariskan sesuai dengan bagian mereka masing-masing. Dalam hal ini, tidak ada seorang pun yang menyalahi ijma’ para ulama tersebut.

Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Perempuan

Dalil-dalil yang memberikan hak waris kepada perempuan yang berjumlah sepuluh adalah firman Allah swt. dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Dalil-dalil tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Anak perempuan, sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an, "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta...." (an-Nisaa' [4]: 11)

Sedangkan dalil hak waris untuk cucu dan cicit perempuan serta generasi di bawahnya, dikiaskan dengan anak perempuan, karena cucu dari seorang anak, ketika dia tidak ada, adalah seperti anak itu sendiri. Karenanya, semua laki-laki dianggap seperti seorang laki-laki, dan semua perempuan dianggap seperti seorang perempuan.

Adapun dalil hak waris untuk ibu, yaitu firman Allah swt., "...Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam..." (an-Nisaa' [4]: 11)

Adapun dalil hak waris untuk nenek dari jalur mana pun, yakni dari hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Qabishah bin Dzu'aib sebagai berikut: "Seorang nenek datang kepada Abu Bakar r.a. menanyakan hak warisnya, lalu Abu Bakar menjawab, 'Kamu tidak mempunyai hak sedikit pun menurut ketentuan Kitab Allah dan aku tidak tahu sedikit pun berapa hakmu di dalam Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kembalilah sampai aku menanyakan kepada seseorang.' Kemudian Abu Bakar menanyakan hal ini kepada Mughirah, lalu Mughirah bin Syu'bah menjawab, 'Aku pernah mengetahui bahwasanya Rasulullah saw. memberikan warisan kepada nenek sebesar seperenam.' Kemudian Abu Bakar bertanya kepadanya, 'Apakah ada orang lain bersama kamu pada waktu itu?' Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri seraya berucap seperti apa yang telah dikatakan oleh Mughirah bin Syu'bah. Setelah mendengar itu, Abu Bakar r.a. memutuskan bahwa seperenam menjadi hak si nenek. Lalu datanglah nenek yang lain kepada Umar r.a. menanyakan perihal bagian hak warisnya, lalu Umar berkata kepadanya, 'Kamu tidak mempunyai hak sedikit pun dalam Kitab Allah, tetapi hanya seperenam itulah. Namun, jika kamu berdua bersama-sama, seperenam itu untuk kamu berdua, dan siapa saja di antara kamu berdua yang menyendiri, maka seperenam itu untuknya.'" (HR al-Khamsah, kecuali an-Nasa'i dan hadits ini dianggap sahih oleh at-Tirmidzi). Ada riwayat lain dari Buraidah bahwa Rasulullah saw. menjadikan bagian seperenam untuk nenek, dengan syarat jika tidak ada ibu yang bersamanya.

Adapun dalil hak waris untuk saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah adalah firman Allah swt., "...Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya..." (an-Nisaa' [4]: 176)

Sedangkan saudara perempuan seibu, dalilnya adalah firman Allah swt., "...Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak; tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..." (an-Nisaa' [4]: 12)

Dalil hak waris untuk istri, yakni firman Allah swt., "…Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan..." (an-Nisaa' [4]: 12)

Sedangkan dalil untuk seorang perempuan yang membebaskan budak, sabda Nabi saw, "Hak wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak (nya)."

Demikianlah, para ulama telah bersepakat memberikan hak waris kepada sepuluh orang ahli waris perempuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tanpa seorang pun yang menyalahi ijma’ para ulama tersebut.

Pengelompokan Ahli Waris

Terdapat empat kelompok ahli waris, berikut ini adalah penjelasannya:

Kelompok Ashhabul Furudh

Yaitu kelompok ahli waris yang pertama kali diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma' secara tetap. Mereka berjumlah tujuh orang, yaitu:

1. Ibu

2. Saudara laki-laki seibu

3. Saudara perempuan seibu

4. Nenek dari ayah

5. Nenek dari ibu

6. Suami

7. Istri

Kelompok Ashabah

Yaitu kelompok ahli waris yang menerima sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Bahkan, jika ternyata tidak ada ashabul furudh serta ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan yang ada. Begitu juga, jika harta waris yang ada sudah habis dibagikan kepada ashabul furudh, maka merekapun tidak mendapat bagian. Mereka berjumlah dua belas, yaitu sepuluh dari kerabat yang merupakan kerabat pewaris berdasarkan silsilah keluarga dari garis laki-laki (nasab) dan dua lagi dari luar kerabat, yaitu karena ia yang telah memerdekakan pewaris jika status pewaris sebelumnya adalah sebagai budak dia.

Sepuluh ashabah yang merupakan kerabat laki-laki tersebut adalah:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah

3. Saudara laki-laki sekandung

4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

7. Paman sekandung

8. Paman seayah

9. Anak laki-laki dari paman sekandung

10. Anak laki-laki dari paman seayah

Sedangkan dua orang diluar kerabat adalah:

1. Laki-laki yang memerdekakan budak

2. Perempuan yang memerdekakan budak

Dari seluruh ashabah diatas, ada satu ashabah yang paling kuat, yaitu anak laki-laki. Walau banyaknya ashabul furudh yang merupakan ahli waris, maka anak laki-laki ini pasti mendapatkan bagian warisan, karena ia dapat menghalangi sejumlah ashabul furudh dan ashabah lainnya untuk mendapatkan bagian warisan.

Kelompok Ashhabul Furudh atau Ashabah

Yaitu kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu bisa menjadi ashhabul furudh atau bisa juga menjadi ashabah, hal itu tergantung dengan kondisi yang menjadi syarat utamanya. Mereka adalah:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya kebawah

3. Saudara perempuan sekandung

4. Saudara perempuan seayah

Mereka akan digolongkan kedalam kelompok ashhabul furudh, selama tidak ada saudara laki-laki mereka. Namun jika ada saudara laki-laki mereka, walaupun hanya berjumlah satu orang, maka mereka digolongkan ke dalam kelompok ashabah.

Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah

Yaitu kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu bisa menjadi ashhabul furudh, bisa juga menjadi ashabah, dan bisa juga sebagai gabungan dari keduanya, yaitu sebagai ashhabul furudh dan ashabah secara sekaligus dalam satu waktu, hal itu tergantung dengan kondisi yang menjadi syarat utamanya. Mereka adalah:

1. Ayah

2. Kakek (bapak dari ayah)

Hal ini terjadi karena semua ahli waris dari kelompok ashhabul furudh yang ada sudah menerima bagiannya, namun masih ada harta waris yang tersisa, sedangkan disana tidak ada ashabah yang lain, maka sisanya diberikan kepada kelompok ini.

Bentuk-bentuk Waris

Terdapat empat bentuk waris yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Hak waris secara fardh, yakni para ashhabul furudh yang mendapatkan bagian waris secara tetap, sebagaimana yang sudah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an secara jelas.

2. Hak waris secara ashabah, yakni mereka yang mendapatkan sisa waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh.

3. Hak waris secara tambahan, yaitu apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ashhabul furudh masih juga tersisa, sedangkan disana tidak ada ahli waris ashabah, maka sisanya diberikan kepada ashhabul furudh sesuai dengan bagian yang telah ditentukan, kecuali untuk suami atau istri. Hak waris secara tambahan ini disebut juga Ar-radd. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya. Kecuali bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim (dzawil arham), maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, baik dari kalangan ashhabul furudh, ashabah maupun dzawil arham, maka para istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, para istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.

4. Hak waris secara pertalian rahim. Bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula ashabah, maka para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan. Mereka disebut juga sebagai dzawil arham, misalnya paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan, kakek dari jalur ibu, dan lain-lain.

Penghalang Hak Waris (al-Hajb)

Al-hajb dalam bahasa Arab bermakna penghalang atau penggugur. Maka makna al-hajb menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang untuk mendapatkan warisan. Adapun pengertian al-hajb menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris lainnya untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

Mempelajari al-hajb dalam ilmu faraid sangat penting, sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Haram berfatwa dalam bidang ilmu faraid bagi yang tidak memahami al-hajb.” Perkataan sebagian ulama tersebut sesungguhnya sangat beralasan, karena jika kita tidak mengetahui al-hajb, bisa jadi seseorang yang semestinya berhak untuk mendapatkan warisan menjadi tidak mendapat warisan, dan bisa jadi orang yang semestinya tidak berhak mendapat warisan menjadi mendapat bagian warisan.

Macam-macam al-Hajb

Al-hajb terbagi dua, yaitu:

- Al-hajb bil washfi (berdasarkan sifatnya)

- Al-hajb bi asy-syakhshi (karena orang lain)

Al-hajb bil washfi berarti orang yang terkena hajb tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya, kafir atau murtad, serta budak. Maka hak waris untuk kelompok ini menjadi gugur atau terhalang. Al-hajb bil washfi di dalam kalangan ulama faraid dikenal pula dengan nama al-Hirman.

Sedangkan al-hajb bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hajb bi asy-syakhshi ini sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:

- Hajb Hirman, yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Harap diperhatikan bahwa hajb hirman tidak sama dengan al-Hirman (Al-hajb bil washfi) sebagaimana yang saya sebutkan diatas, kendatipun namanya sama.

- Hajb Nuqshan, yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Contohnya, suami terhalang mendapatkan bagian warisan, dari setengah (1/2) menjadi seperempat (1/4), karena adanya keturunan istri yang dapat mewarisi, baik keturunan tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan suami tersebut maupun dari suaminya yang terdahulu. Istri terhalang mendapatkan bagian warisan, dari seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena adanya keturunan suami yang dapat mewarisi, baik keturunan tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan istri tersebut maupun dengan istri-istrinya yang lain. Demikian pula ibu, ia terhalang mendapatkan bagian warisan, dari sepertiga (1/3) menjadi seperenam (1/6) karena adanya keturunan yang dapat mewarisi dan karena sebab berkumpulnya beberapa (dua orang atau lebih) saudara laki-laki atau saudara perempuan, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu. Contoh lainnya, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang dari mendapatkan bagian sebesar setengah (1/2) menjadi seperenam (1/6) karena adanya seorang anak perempuan kandung atau karena adanya cucu perempuan dari anak laki-laki lainnya yang lebih tinggi derajatnya, jika ia bukan anak perempuan kandung. Begitu pula, saudara perempuan seayah terhalang dari mendapatkan setengah (1/2) menjadi seperenam (1/6) karena adanya seorang saudara perempuan sekandung.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, dalam dunia faraid, apabila kata al-hajb disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hajb hirman.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hajb Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hajb hirman atau dengan kata lain tidak mungkin terhalang oleh ahli waris lainnya. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris bagaimanapun keadaannya. Keenam orang tersebut adalah:

1. Anak laki-laki

2. Anak perempuan

3. Ayah

4. Ibu

5. Suami

6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu dari keenam orang diatas, atau bahkan seluruhnya (terkecuali suami dan istri, karena mereka tidak mungkin berkumpul atau bersamaan dalam satu waktu), maka semuanya harus mendapatkan warisan, bagaimanapun keadaannya.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hajb Hirman

Adapun sederetan ahli waris yang dapat terkena hajb hirman ada sembilan belas orang, dua belas orang dari kalangan laki-laki dan tujuh orang dari kalangan perempuan. Hafalkan dan pahamilah daftar dan urutannya.

Ahli Waris dari Kalangan Laki-Laki yang Dapat Terkena Hajb Hirman Adalah:

1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ia terhalang hanya oleh anak laki-laki dari pewaris.

2. Kakek dan generasi diatasnya. Mereka terhalang oleh ayah.

3. Saudara laki-laki sekandung. Mereka terhalang oleh tiga orang, yaitu anak laki-laki dari pewaris, ayah, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ini adalah ijma’ para ulama.

4. Saudara laki-laki seayah. Mereka terhalang oleh empat orang, yaitu anak laki-laki dari pewaris, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, dan saudara laki-laki sekandung.

5. Saudara laki-laki seibu. Mereka terhalang oleh empat orang, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki maupun anak perempuan, dan cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Ini adalah ijma’ para ulama. Dengan demikian saudara laki-laki seibu tidak akan terhalang oleh saudara laki-laki sekandung ataupun saudara laki-laki seayah, dan tidak terhalang juga oleh adanya ibu.

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. Mereka terhalang oleh enam orang, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah.

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. Mereka terhalang oleh tujuh orang, yaitu enam orang yang menghalangi anak saudara sekandung sebagaimana yang telah disebutkan di atas (no.6) dan yang ketujuh adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, karena ia lebih kuat hubungannya dengan pewaris.

8. Paman sekandung. Dia terhalangi oleh delapan orang, yaitu tujuh orang yang menghalangi anak saudara seayah (no.7), dan yang kedelapan adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, karena ia juga lebih kuat hubungannya dengan pewaris.

9. Paman seayah. Dia terhalang oleh sembilan orang, yaitu delapan orang yang menghalangi paman sekandung (no.8), dan yang kesembilan adalah paman sekandung, karena hubungannya lebih kuat daripada paman seayah.

10. Anak laki-laki dari paman sekandung. Mereka terhalang oleh sepuluh orang, yaitu sembilan orang yang menghalangi paman seayah (no.9), dan yang kesepuluh adalah paman seayah karena sederajat dengan ayahnya dan lebih dekat.

11. Anak laki-laki dari paman seayah. Mereka terhalang oleh sebelas orang, yaitu sepuluh orang yang menghalangi anak laki-laki dari paman sekandung (no.10), dan yang kesebelas adalah anak laki-laki dari paman sekandung itu sendiri, karena hubungannya lebih kuat daripada anak laki-laki dari paman seayah.

12. Laki-laki yang memerdekakan budak. Menurut ijma para ulama, mereka terhalang oleh para ahli waris yang berdasarkan nasab (hubungan kekerabatan), karena nasab lebih kuat daripada orang yang memerdekakan budak. Juga di dalam nasab, ada hukum-hukum yang tidak ada pada orang yang memerdekakan budak, seperti hubungan mahram, kewajiban memberi nafkah, gugurnya hukum qishash, tidak berlakunya kesaksian, dan lain-lain.

Ahli Waris dari Kalangan Perempuan yang Dapat Terkena Hajb Hirman Adalah:

1. Cucu perempuan dari anak laki-laki. Mereka terhalang oleh anak laki-laki. Ia juga terhalang oleh dua anak perempuan atau lebih, karena bagian tetap anak perempuan adalah dua per tiga (2/3) dan itu tidak tersisa, kecuali jika cucu perempuan dari anak laki-laki itu bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka dalam hal ini ia akan ikut mendapatkan sisa setelah harta warisan sebanyak dua per tiga (2/3) bagian dibagikan kepada dua anak perempuan. Ketentuannya, laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian anak perempuan. Namun cucu perempuan dari anak laki-laki ini tidak dapat terhalang oleh satu orang anak perempuan saja, karena dalam hal ini ia menjadi penyempurna bagian anak perempuan, yakni dari 1/2 menjadi 2/3. Jadi jika pewaris hanya meninggalkan anak perempuan tunggal, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki lainnya, maka ia mendapatkan hak waris secara fardh, yakni 1/6 bagian, sebagai penyempurna bagian anak perempuan (2/3). Lebih detail tentang hal ini, Insya Allah akan saya jelaskan pada bab berikutnya dalam sub bab “Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam”.

2. Nenek dari ibu. Ia terhalang hanya oleh adanya ibu, karena tidak ada penghalang antara nenek dari ibu dan pewaris selain ibu. Oleh karena itu, ia tidak terhalang oleh ayah atau kakek.

3. Nenek dari ayah. Menurut ijma' para ulama, ia terhalang oleh ibu. Sebab, ibu lebih berhak dengan statusnya sebagai ibu dari pewaris dan ia juga lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Menurut jumhur ulama, nenek dari jalur ayah ini terhalang juga oleh ayah.

4. Saudara perempuan sekandung. Mereka terhalang oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan generasi dibawahnya.

5. Saudara perempuan seayah. Mereka terhalang oleh orang-orang yang menghalangi saudara perempuan sekandung, dan terhalang juga oleh saudara laki-laki sekandung dan oleh saudara perempuan sekandung, jika mereka menjadi ashabah. Saudara perempuan seayah juga terhalang oleh dua orang saudara perempuan sekandung, kecuali jika saudara perempuan seayah ini bersama saudara laki-laki seayah. Jika demikian, ia menjadi ashabah dan tidak terhalang. Jika ia bersama saudara laki-laki seayah tersebut, maka ia ikut mendapatkan sisa setelah bagian dua per tiga (2/3) untuk dua saudara perempuan sekandung. Ketentuannya, saudara laki-laki seayah mendapatkan bagian dua kali bagian saudara perempuan seayah. Namun saudara perempuan seayah ini tidak dapat terhalang oleh satu orang saudara perempuan sekandung, karena dalam hal ini ia menjadi penyempurna bagian saudara perempuan sekandung, dari 1/2 menjadi 2/3. Jadi jika pewaris hanya meninggalkan saudara perempuan sekandung tunggal, dan tidak ada saudara laki-laki sekandung lainnya, maka ia mendapatkan hak waris secara fardh, yakni 1/6 sebagai penyempurna bagian saudara perempuan sekandung (2/3). Lebih detail tentang hal ini, Insya Allah akan saya jelaskan pada bab berikutnya.

6. Saudara perempuan seibu. Mereka terhalang oleh ayah, kakek, anak laki-laki maupun anak perempuan, cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seluruh keturunan yang mewarisi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, saudara seibu tidak akan terhalang oleh saudara sekandung ataupun saudara seayah, dan tidak terhalang juga oleh adanya ibu.

7. Perempuan yang memerdekakan budak. Mereka terhalang oleh ahli waris yang berdasarkan nasab atau kekerabatan, karena nasab lebih kuat daripada seseorang yang memerdekakan budak.

Kaidah-Kaidah yang Berlaku dalam Hajb Hirman

Kaidah-kaidah yang berlaku pada hajb hirman ada lima, yaitu:

1. Setiap orang yang berhubungan dengan pewaris karena adanya perantara, maka penghalangnya adalah si perantara itu. Misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki akan terhalang oleh anak laki-laki, kakek akan terhalang oleh ayah, nenek terhalang oleh ibu, dan seterusnya. Kecuali anak dari ibu, ia mewarisi bersama perantara yang menghubungkannya, yaitu ibu. Ketentuan ini merupakan ijma’ para ulama.

2. Setiap orang yang jalur keturunannya lebih dekat dapat menghalangi orang yang jalurnya lebih jauh. Oleh karena itu, ayah dapat menghalangi saudara laki-laki atau saudara perempuan pewaris. Saudara-laki-laki atau saudara perempuan menghalangi paman. Anak menghalangi ayah dalam mewarisi dengan ashabah, karena dalam situasi seperti ini, ayah menjadi ashhabul furudh, dan ia mendapatkan seperenam (1/6).

3. Orang yang lebih dekat derajatnya (hubungannya) dengan pewaris menghalangi orang yang lebih jauh tali kekerabatannya, yaitu ketika kekuatan kekerabatan tidak lagi berfungsi. Contoh, seorang anak laki-laki dapat menghalangi cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, ayah dapat menghalangi kakek, ibu dapat menghalangi nenek, saudara dapat menghalangi anak saudara, dan paman dapat menghalangi anak paman, dan demikian seterusnya.

4. Orang yang paling kuat dalam kekerabatan dapat menghalangi orang yang lemah tingkat kekerabatannya. Misalnya, saudara kandung menghalangi saudara seayah. Anak saudara kandung menghalangi anak saudara seayah. Paman kandung menghalangi paman seayah, dan anak paman sekandung menghalangi anak paman seayah.

5. Tidak ada yang dapat menghalangi ushul (pokok), kecuali ushul pula, dan tidak ada yang dapat menghalangi furu' (cabang), kecuali furu' pula. Orang-orang yang berada secara menyamping dalam hubungan kekerabatan dapat dihalangi oleh ushul, furu', dan al-hawasyi (kerabat menyamping) yang hubungan kekerabatannya lebih dekat. Dengan demikian, tidak ada yang dapat menghalangi kakek, kecuali ayah, dan tidak ada yang dapat menghalangi nenek, kecuali ibu. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki tidak terhalang, kecuali oleh anak laki-laki. Saudara sekandung dihalangi oleh anak dan ayah. Saudara seayah dihalangi oleh anak, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara sekandung, dan demikian seterusnya.

Pengelompokan Hajb Hirman

Dengan merujuk pada penjelasan-penjelesan diatas, maka dapat disimpulkan, para ahli waris dalam hajb hirman dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Ahli waris yang bisa menghalangi dan tidak bisa terhalang, yaitu bapak, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.

2. Ahli waris yang tidak bisa menghalangi dan bisa terhalang, yaitu saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.

3. Ahli waris yang tidak bisa menghalangi dan tidak bisa terhalang, yaitu suami dan istri.

4. Ahli waris yang bisa menghalangi dan bisa pula terhalang, yaitu para ahli waris selain yang tersebut di atas.

Pembagi

Pembagi, yang dalam ilmu faraid lebih dikenal dengan sebutan pokok masalah atau asal masalah, adalah bilangan yang paling sedikit atau paling kecil yang bisa diambil dari seluruh bagian para ahli waris secara benar tanpa ada bilangan pecahan (desimal), dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan per­bedaan para ahli waris yang ada. Mengetahui pembagi merupakan suatu keharusan bagi kita yang akan mengkaji ilmu faraid, yakni agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Jika Anda telah memahami dasar-dasar matematika yang sudah saya sampaikan pada bab 2, insya Allah tidak akan sulit dalam menentukan pembagi ini. Ambilah kertas kosong, pensil dan penghapus, kemudian harap praktekan seluruh contoh-contoh yang ada dalam FaraidWeb ini, maka Insya Allah akan memudahkan dalam memahami dan mencari nilai pembagi ini.

Persoalan pembagi di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui nilai pembagi sehingga diperoleh nilai pembagi tanpa melalui pemecahan yang rumit dan angka-angka desimal. Kendatipun pada zaman kita ini sudah ada kalkulator elektronik maupun komputer, namun dalam menentukan nilai pembagi, sebaiknya tetap merujuk pada nilai pembagi yang bulat.

Untuk mengetahui pembagi, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari ashabah dari golongan laki-laki maka pembaginya dihitung per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pembaginya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pembaginya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah, “bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan”. Dengan demikian nilai pembaginya dihitung dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pembaginya berarti tujuh. Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pembaginya sebelas, dan demikian seterusnya.

Bila ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pembaginya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pembaginya dari dua. Sebab, bagian suami setengah dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah. Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam, maka pembaginya dari enam. Bila semuanya berhak sepertiga, maka pembaginya dari tiga. Bila semuanya seperempat atau seperdelapan, maka pembaginya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian, yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya, maka kita dapat memadukannya menggunakan metode operasi bilangan pecahan sebagaimana yang sudah saya bahas pada bab 2.

Namun, agar lebih mudahnya, marilah kita pelajari kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah-kaidah ini dibuat untuk mempermudah kita dalam memahami pembagi ketika ahli waris terdiri dari berbagai ashhabul furudh yang mempunyai bagian berbeda-beda.

Para ulama faraid membagi kaidah-kaidah tersebut menjadi dua bagian:

1. Bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

2. Bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pembaginya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari ashhabul furudh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pembaginya dari empat (4). Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para ashhabul furudh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8), atau hanya seperempat (1/4) dengan seperdelapan (1/8), maka pembaginya dari delapan (8).

Begitu juga apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang kedua saja (yakni 2/3, 1/3, 1/6), berarti pembaginya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari ashhabul furudh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pembaginya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka pembagi yang terbesar.

Namun jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara ashhabul furudh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pembaginya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:

· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh setengah (1/2) yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pembaginya dari enam (6).

· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pembaginya dari dua belas (12).

· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pembaginya dari dua puluh empat (24).

Maka setelah kita pahami kaidah-kaidah diatas, sesungguhnya semua itu sejalan dengan teori penjumlahan atau pengurangan bilangan pecahan pada dasar-dasar matematika yang sudah saya sampaikan pada bab 2. Selain itu, contoh-contoh soal yang sudah saya sampaikan pada FaraidWeb ini, didalamnya sudah memuat kaidah-kaidah diatas. Saya berpendapat bahwa Anda sebenarnya tidak perlu menghafal kaidah-kaidah diatas jika telah memahami dasar-dasar matematika untuk operasi bilangan pecahan ini.

Tashih

Tashih adalah suatu cara untuk menyamakan pembagi seluruh ahli waris agar setiap ahli waris dapat menerima bagiannya berdasarkan bilangan bulat yang pas dan tanpa sisa. Tashih umumnya dilakukan manakala ahli waris dalam satu kelompok berjumlah lebih dari satu orang. Inti dari tashih adalah agar masing-masing ahli waris mendapatkan bagian waris dari pembilangnya secara bulat atau pas, tanpa menghasilkan sisa. Karena itu pembagi yang ada dapat dikalikan dengan jumlah kepala setiap kelompok ahli waris, kemudian bagian waris yang baru ikut dikalikan pula dengan jumlah kepala setiap kelompok ahli waris.

Misalnya saja seseorang wafat dan meninggalkan ahli waris istri, anak perempuan, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Dalam kasus ini, istri mendapatkan seperdelapan (1/8), anak perempuan mendapatkan setengah (1/2), dan 2 saudara perempuan sekandung mendapatkan sisanya. Pembagi awal dalam kasus ini adalah 8. Dengan demikian, istri mendapatkan 1 bagian (1/8x8=1), anak perempuan mendapatkan 4 bagian (1/2x8=4), dan saudara perempuan sekandung mendapatkan 3 bagian (8-(1+4)=3). Dengan demikian, bagian sisa untuk 2 orang saudara perempuan sekandung tidak mungkin dapat dibagi sesuai dengan jumlah kepala, karena 3 tidak dapat dibagi 2 dengan hasil pas, tanpa sisa pecahan. Karena itu, kita harus membulatkan bagiannya agar setiap ahli waris mendapatkan bagian yang pas atau tidak ada pecahan yang tersisa, yakni dengan cara mengalikan pembagi awal dengan jumlah saudara perempuan sekandung, sehingga didapat pembagi akhir adalah 16 (8x2=16). Dengan demikian, istri mendapatkan 2 bagian (1/8x16=2), anak perempuan mendapatkan 8 bagian (1/2x16=8), dan saudara perempuan sekandung mendapatkan 6 bagian (16-(2+8)=6). Inilah yang disebut dengan tashih dalam ilmu faraid.

Contoh-contoh Soal dan Jawabannya

Contoh 1

Seseorang meninggal dunia dan mempunyai harta warisan setelah dikurangi dengan biaya pemakaman, pembayaran hutang dan penunaian wasiat adalah sebesar Rp.6.000.000,-. Ia hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Anak laki-laki

1

Anak perempuan

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan, oleh karena itu pewaris seakan-akan meninggalkan 3 orang anak perempuan.

Jadi anak laki-laki mendapatkan Rp.4.000.000,- dan anak perempuan Rp.2.000.000,-

Contoh 2

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Anak laki-laki

1

Saudara laki-laki sekandung

1

Ternyata pewaris tersebut wafat karena dibunuh oleh anak laki-lakinya tersebut. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Karena pembunuh tidak dapat mewarisi harta dari orang yang dibunuhnya, maka anak laki-lakinya tersebut menjadi terhalang untuk mendapatkan hak waris ayahnya, dan pewaris dianggap tidak memiliki anak laki-laki. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/4

Ia mendapatkan hak waris secara fardh

Anak laki-laki

-

Gugur, karena ia telah membunuh pewarisnya.

Saudara laki-laki sekandung

3/4

Ia mendapatkan hak waris secara ashabah (sisa setelah dibagikan kepada ashhabul furudh, yakni istri pewaris)

Contoh 3

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Anak laki-laki

1

Saudara laki-laki sekandung

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/8

Ia mendapatkan hak waris secara fardh

Anak laki-laki

7/8

Ia mendapatkan hak waris secara ashabah (sisa setelah dibagikan kepada ashhabul furudh, yakni istri pewaris)

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang, karena adanya anak laki-laki pewaris

Contoh 4

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Ayah

1

Ibu

1

Saudara laki-laki sekandung

2

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ibu

1/6

Ia mendapatkan hak waris secara fardh

Ayah

5/6

Ia mendapatkan hak waris secara ashabah (sisa setelah dibagikan kepada ashhabul furudh, yakni ibu pewaris)

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang, karena adanya ayah pewaris

Jika pada kasus di atas, saudara laki-laki sekandung hanya berjumlah satu orang, maka ibu akan mendapat 1/3 dan ayah 2/3.

Contoh 5

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1

Ayah

1

Anak laki-laki

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Kakek sahih (bapak dari ayah )

1

Saudara laki-laki sekandung

1

Saudara laki-laki seayah

1

Saudara laki-laki seibu

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu

1

Paman sekandung

1

Paman seayah

1

Anak laki-laki dari paman sekandung

1

Anak laki-laki dari paman seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Kakek sahih (bapak dari ayah )

-

Terhalang karena adanya ayah

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Paman sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Paman seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari paman sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari paman seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Jika seorang anak laki-laki berkumpul bersama ayah, maka anak laki-laki akan mendapatkan hak waris secara ashabah, sedangkan ayah secara fardh, begitu pula suami. Dalam ilmu faraid sudah dimaklumi bahwa ahli waris yang jalurnya lebih didahulukan adalah yang lebih kuat, dan ia akan menjadi penghalang (hijab) bagi ahli waris lainnya. Oleh karena itu, dengan adanya ayah dan anak laki-laki pewaris, maka ia merupakan penghalang para ahli waris yang berada pada tingkat kekerabatan dibawahnya.

Bagian anak laki-laki:

= 1 – Bagian suami – Bagian ayah

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

3/12

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

2/12

Mendapat hak waris secara fardh

Anak Laki-laki

7/12

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 6

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Ayah

1

Anak laki-laki

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Kakek sahih (bapak dari ayah)

1

Saudara laki-laki sekandung

1

Saudara laki-laki seayah

1

Saudara laki-laki seibu

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu

1

Paman sekandung

1

Paman seayah

1

Anak laki-laki dari paman sekandung

1

Anak laki-laki dari paman seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Kakek sahih (bapak dari ayah )

-

Terhalang karena adanya ayah

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Paman sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Paman seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari paman sekandung

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Anak laki-laki dari paman seayah

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki dan ayah

Bagian anak laki-laki:

= 1 – Bagian ayah

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

5/6

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 7

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1

Ayah

1

Ibu

1

Anak laki-laki

1

Anak perempuan

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Kakek sahih (bapak dari ayah )

1

Nenek (dari jalur ibu dan dari jalur ayah)

2

Saudara laki-laki sekandung

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara laki-laki seayah

1

Saudara perempuan seayah

1

Saudara laki-laki seibu

1

Saudara perempuan seibu

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

1

Paman sekandung

1

Paman seayah

1

Anak laki-laki dari paman sekandung

1

Anak laki-laki dari paman seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Anak perempuan

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Cucu perempuan dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Kakek sahih (bapak dari ayah )

-

Terhalang karena adanya ayah

Nenek (dari jalur ibu dan dari jalur ayah)

-

Terhalang karena adanya ibu

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan seibu

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Paman sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Paman seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari paman sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari paman seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Jika anak laki-laki bersamaan dengan anak perempuan, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka. Bagian anak laki-laki dan anak perempuan sebagai berikut:

= 1 – Bagian suami – Bagian ayah – Bagian ibu

Kemudian kita hitung juga jumlah anak laki-laki dan anak perempuannya sebagai berikut (jumlah anak laki-laki dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah anak perempuan):

= (Jumlah anak laki-laki x 2) + (Jumlah anak perempuan)

= (1 x 2) + 1

= 2 + 1

= 3

Kemudian pembilang dari bagian anak laki-laki dan anak perempuan diatas dibagi dengan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana diatas.

5 : 3 = 1 2/3

Perhatikanlah angka 1 2/3 diatas. Angka ini merupakan bilangan yang tidak bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan diatas (yakni 3). Caranya adalah sebagai berikut:

Perhatikanlah bagian anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana diatas. Nilai 15/36 ini adalah jumlah dari bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan, dimana bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Maka bagian anak laki-laki adalah 10/36 dan bagian anak perempuan adalah 5/36.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

9/36

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

6/36

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

6/36

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

10/36

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Anak perempuan

5/36

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Contoh 8

Selain cara yang saya sampaikan pada contoh sebelumnya, kita juga bisa melakukan tashih diawal perhitungan. Misalnya seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Ayah

1

Ibu

1

Anak laki-laki

1

Anak perempuan

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Kakek sahih (bapak dari ayah )

1

Nenek (dari jalur ibu dan dari jalur ayah)

2

Saudara laki-laki sekandung

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara laki-laki seayah

1

Saudara perempuan seayah

1

Saudara laki-laki seibu

1

Saudara perempuan seibu

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

1

Paman sekandung

1

Paman seayah

1

Anak laki-laki dari paman sekandung

1

Anak laki-laki dari paman seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1/8

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Anak perempuan

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Cucu perempuan dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya anak laki-laki

Kakek sahih (bapak dari ayah )

-

Terhalang karena adanya ayah

Nenek (dari jalur ibu dan dari jalur ayah)

-

Terhalang karena adanya ibu

Saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Saudara perempuan seibu

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Paman sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Paman seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari paman sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Anak laki-laki dari paman seayah

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Jika anak laki-laki bersamaan dengan anak perempuan, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka, kemudian dihitung berdasarkan jumlah orangnya (jumlah anak laki-laki dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah anak perempuan). Maka hasil penjumlahan tersebut harus dikalikan dengan pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris. Caranya adalah sebagai berikut:

Pertama-tama, kita hitung dahulu jumlah anak laki-laki dan anak perempuannya:

= (Jumlah anak laki-laki x 2) + (Jumlah anak perempuan)

= (1 x 2) + 1

= 2 + 1

= 3

Maka untuk mencari hak waris anak laki-laki dan anak perempuan adalah dengan mengalikan dahulu jumlah diatas dengan masing-masing pembilang dan pembagi setiap ahli waris, yakni metode tashih, namun metode ini berbeda dengan metode tashih pada contoh sebelumnya, karena pada contoh ini metode tashsih dilakukan diawal perhitungan. Caranya adalah sebagai berikut:

= 1 – Bagian istri – Bagian ayah – Bagian ibu

Perhatikanlah hasil diatas. Nilai 39/72 ini adalah jumlah dari bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan, dimana bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Maka bagian anak laki-laki adalah 26/72 dan bagian anak perempuan adalah 13/72.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

9/72

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

12/72

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

12/72

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

26/72

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Anak perempuan

13/72

Mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan

Contoh 9

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Anak perempuan

1

Ayah

1

Ibu

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:

Karena hasil diatas kurang dari 1, berarti ada sisa bagian sebesar 1/6 (didapat dari 6/6 – 5/6 = 1/6). Oleh karena itu, setelah semua ashhabul furudh mendapatkan bagiannya, maka sisa tersebut diberikan kepada ayah sebagai ashabah, karena memang disana tidak ada ashabah lainnya (silahkan lihat kembali sub bab “Pengelompokan Ahli Waris” pada no.4 (Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah). Sehingga bagian ayah adalah 1/6 + 1/6 = 2/6.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

3/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

2/6

Mendapat hak waris secara fardh dan ashabah

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Contoh 10

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Ayah

1

Nenek dari jalur ayah

1

Nenek dari jalur ibu

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ayah

Sisanya

Mendapat hak waris secara ashabah

Nenek dari jalur ayah

-

Menurut jumhur para ulama, ia terhalang oleh ayah.

Nenek dari jalur ibu

1/6

Sebagaimana yang telah saya terangkan pada sub bab al-Hajb, nenek dari jalur ibu hanya dapat terhalang oleh adanya ibu, dan ia tidak terhalang oleh adanya ayah.

Pada kasus diatas, ayah mendapatkan sisa dari seluruh warisan yang ada. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ayah

5/6

Mendapat hak waris secara ashabah

Nenek dari jalur ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Contoh 11

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1

Ibu

1

Anak perempuan

1

Saudara perempuan seayah

1

Saudara laki-laki seibu

1

Saudara perempuan seibu

1

Paman sekandung

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seayah

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya anak perempuan

Saudara perempuan seibu

-

Terhalang karena adanya anak perempuan

Paman sekandung

-

Terhalang karena adanya saudara perempuan seayah

Bagian saudara perempuan seayah adalah:

= 1 – Bagian suami – Bagian ibu – Bagian anak perempuan

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

3/12

Mendapat hak waris secara fardh

Ibu

2/12

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

6/12

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seayah

1/12

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 12

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara laki-laki seayah

1

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara laki-laki seayah

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

-

Terhalang karena adanya saudara laki-laki seayah

Bagian saudara laki-laki seayah adalah:

= 1 – Bagian istri – Bagian saudara perempuan sekandung

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

2/4

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara laki-laki seayah

1/4

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 13

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

4

Anak perempuan

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Nenek dari jalur ayah

1

Saudara laki-laki sekandung

5

Saudara laki-laki seayah

2

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/8

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1/6

Karena pewaris hanya meninggalkan anak perempuan tunggal, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki lainnya, maka ia mendapatkan hak waris secara fardh, yakni 1/6 sebagai penyempurna bagian anak perempuan (2/3). Lihat pembahasan “Ahli waris dari kalangan perempuan yang dapat terkena hajb hirman”.

Nenek dari jalur ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh. Lihat sub bab “Dalil-dalil yang menetapkan ahli waris perempuan”.

Saudara laki-laki sekandung

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung

Bagian saudara laki-laki sekandung adalah:

= 1 – Bagian istri – Bagian anak perempuan – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian nenek

Perhatikanlah hasil diatas. Bagian keempat istri adalah 3/24. Seandainya 3 ini dibagi 4, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Begitu pula dengan bagian saudara laki-laki sekandung (1/24). Seandainya 1 ini dibagi 5 maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan faktor kelipatan terkecil dari jumlah istri dan jumlah saudara laki-laki sekandung. Maka akan didapatkan faktor kelipatan terkecil dari 4 dan 5 adalah 20. Maka perhitungannya menjadi:

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

60/480

Mendapat hak waris secara fardh, dengan masing-masing istri mendapat 15/480

Anak perempuan

240/480

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu perempuan dari anak laki-laki

80/480

Mendapat hak waris secara fardh

Nenek dari jalur ayah

80/480

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara laki-laki sekandung

20/480

Mendapat hak waris secara ashabah, dengan masing-masing saudara laki-laki sekandung mendapat 4/480

Contoh 14

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Anak perempuan

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara laki-laki sekandung

1

Saudara perempuan seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki sekandung

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara perempuan seayah

-

Terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung

Jika saudara laki-laki sekandung bersamaan dengan saudara perempuan sekandung, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian saudara laki-laki sekandung sama dengan dua kali lipat bagian saudara perempuan sekandung. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka. Bagian saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung:

= 1 – Bagian anak perempuan

Kemudian kita hitung juga jumlah saudara laki-laki sekandung dan jumlah saudara perempuan sekandung sebagai berikut (jumlah saudara laki-laki sekandung dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah saudara perempuan sekandung):

= (Jumlah saudara laki-laki sekandung x 2) + (Jumlah saudara perempuan sekandung)

= (1 x 2) + 1

= 2 + 1

= 3

Kemudian pembilang dari bagian saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung diatas dibagi dengan jumlah saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung sebagaimana diatas.

1 : 3 = 1/3

Perhatikanlah angka 1/3 diatas. Angka ini merupakan bilangan yang tidak bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung. Caranya adalah sebagai berikut:

Perhatikanlah bagian saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung sebagaimana diatas. Nilai 3/6 ini adalah jumlah dari bagian saudara laki-laki sekandung dan bagian saudara perempuan sekandung, dimana bagian saudara laki-laki sekandung sama dengan dua kali lipat bagian saudara perempuan sekandung. Maka bagian saudara laki-laki sekandung adalah 2/6 dan bagian saudara perempuan sekandung adalah 1/6.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

3/6

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

1/6

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki sekandung

2/6

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 15

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Anak perempuan

2

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara perempuan seayah

1

Saudara perempuan seibu

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

2/3

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu perempuan dari anak laki-laki

-

Terhalang karena adanya dua anak perempuan

Saudara perempuan sekandung

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara perempuan seayah

-

Terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung

Saudara perempuan seibu

-

Terhalang karena adanya anak perempuan

Bagian saudara perempuan sekandung adalah:

= 1 – Bagian anak perempuan

Berhubung jumlah anak perempuan adalah dua, dan bagian mereka adalah 2/3, maka hasil tersebut tidak perlu di tashih, karena dua dapat dibagi dua, yaitu satu. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

2/3

Mendapat hak waris secara fardh, masing-masing mendapat 1/3 bagian

Saudara perempuan sekandung

1/3

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 16

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Ibu

1

Ayah

1

Kakek

1

Saudara perempuan sekandung

1

Saudara perempuan seibu

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Kakek

-

Terhalang karena adanya ayah

Saudara perempuan sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah

Saudara perempuan seibu

-

Terhalang karena adanya ayah

Bagian ayah adalah:

= 1 – Bagian ibu

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

5/6

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 17

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Saudara perempuan seibu

1

Saudara perempuan seayah

1

Anak laki-laki kafir (non muslim)

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Karena anak laki-laki tersebut kafir (non muslim) maka pewaris dianggap tidak memiliki anak laki-laki. Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seayah

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Anak laki-laki kafir (non muslim)

-

Terhalang karena ia bukan beragama Islam

Bagian saudara perempuan seayah adalah:

= 1 – Bagian istri – Bagian saudara perempuan seibu

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

3/12

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seibu

2/12

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan seayah

7/12

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 18

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Anak perempuan

2

Saudara perempuan sekandung

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/8

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

2/3

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

-

Terhalang karena adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki

Cucu perempuan dari anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Jika cucu laki-laki dari anak laki-laki bersamaan dengan cucu perempuan dari anak laki-laki, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian cucu perempuan dari anak laki-laki. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka. Bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki:

= 1 – Bagian Istri – Bagian Anak perempuan

Kemudian kita hitung juga jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai berikut (jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki):

= (Jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki x 2) + (Jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki)

= (1 x 2) + 1

= 2 + 1

= 3

Kemudian pembilang dari bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki diatas dibagi dengan jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki sebagaimana diatas.

5 : 3 = 1 2/3

Perhatikanlah angka 1 2/3 diatas. Angka ini merupakan bilangan yang tidak bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Caranya adalah sebagai berikut:

Perhatikanlah bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki sebagaimana diatas. Nilai 15/72 ini adalah jumlah dari bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki, dimana bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah 10/72 dan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki adalah 5/72.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

9/72

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

48/72

Mendapat hak waris secara fardh, masing-masing mendapat 24/72

Cucu perempuan dari anak laki-laki

5/72

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

10/72

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 19

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1

Ayah

1

Anak laki-laki

1

Nenek dari jalur ibu

1

Paman

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Nenek dari jalur ibu

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Paman

-

Terhalang karena adanya ayah dan anak laki-laki

Bagian anak laki-laki adalah:

= 1 – Bagian Suami – Bagian Ayah – Bagian Nenek dari jalur ibu

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

3/12

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

2/12

Mendapat hak waris secara fardh

Anak laki-laki

5/12

Mendapat hak waris secara ashabah

Nenek dari jalur ibu

2/12

Mendapat hak waris secara fardh

Contoh 20

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Istri

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Ayah

1

Kakek

1

Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Saudara laki-laki seibu

3

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

1/8

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Kakek

-

Terhalang karena adanya ayah

Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki seibu

-

Terhalang karena adanya ayah dan keturunan dari anak laki-laki

Bagian cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah:

= 1 – Bagian Istri – Bagian Cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian Ayah

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Istri

3/24

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu perempuan dari anak laki-laki

12/24

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

4/24

Mendapat hak waris secara fardh

Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki

5/24

Mendapat hak waris secara ashabah

Contoh 21

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Suami

1

Anak perempuan

1

Saudara perempuan sekandung

2

Saudara laki-laki seayah

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

1/4

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Saudara laki-laki seayah

-

Terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung

Bagian saudara sekandung adalah:

= 1 – Bagian Suami – Bagian Anak perempuan

Perhatikanlah hasil diatas. Bagian kedua saudara perempuan sekandung adalah 1/4. Seandainya 1 ini dibagi 2, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah saudara perempuan sekandung. Maka perhitungannya menjadi:

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Suami

2/8

Mendapat hak waris secara fardh

Anak perempuan

4/8

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

2/8

Mendapat hak waris secara ashabah, masing-masing mendapat 1/8

Contoh 22

Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

Ahli Waris

Jumlah

Anak perempuan

1

Saudara perempuan sekandung

1

Ayah

1

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

1

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1

Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?

Jawaban:

Table pembagian awalnya adalah:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

1/2

Mendapat hak waris secara fardh

Saudara perempuan sekandung

-

Terhalang karena adanya ayah dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Seandainya saja tidak ada ayah dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka saudara perempuan sekandung ini akan mendapatkan sisa (ashabah), sedangkan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat bagian 1/6.

Ayah

1/6

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu perempuan dari anak laki-laki

Sisa

Mendapat hak waris secara ashabah

Jika cucu laki-laki dari anak laki-laki bersamaan dengan cucu perempuan dari anak laki-laki, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian cucu perempuan dari anak laki-laki. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka. Bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki:

= 1 – Bagian Anak perempuan – Bagian Ayah

Kemudian kita hitung juga jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai berikut (jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki):

= (Jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki x 2) + (Jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki)

= (1 x 2) + 1

= 2 + 1

= 3

Kemudian pembilang dari bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki diatas dibagi dengan jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki sebagaimana diatas.

2 : 3 = 2/3

Perhatikanlah angka 2/3 diatas. Angka ini merupakan bilangan yang tidak bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Caranya adalah sebagai berikut:

Perhatikanlah bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki sebagaimana diatas. Nilai 6/18 ini adalah jumlah dari bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki, dimana bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah 4/18 dan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki adalah 2/18.

Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris

Bagian

Keterangan

Anak perempuan

9/18

Mendapat hak waris secara fardh

Ayah

3/18

Mendapat hak waris secara fardh

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

4/18

Mendapat hak waris secara ashabah

Cucu perempuan dari anak laki-laki

2/18

Mendapat hak waris secara ashabah


berlanjut

jazakumullah

Geen opmerkingen: