vrijdag, maart 28, 2008

Kedudukan Niat Dalam Amal

AHLAN WA SAHLAN


- Penjelasan Hadits Arbain Pertama



بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين

، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ

: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسْولِهِ،

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

"Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju." (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, "Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما الأعمال بالنيات, hadits 'Aisyah من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد, dan hadits An Nu'man bin Basyir الحلال بين والحرام بين." Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah 'Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits 'Aisyah di atas.

Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa 'Alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya"

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau إنما الأعمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.

Seperti firman Allah,

لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

"Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya." (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)

إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى

"Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi." (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa jalla.

Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.


Sabda Nabi shallallahu 'Alaihi wa sallam "

فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Setiap Orang Akan Mendapatkan Ganjaran Sesuai Dengan Apa Yang Diniatkannya"

Di dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] mengandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya. Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang salih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang rusak dan buruk. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)

Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az Zumar: 3)

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

"Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim nomor 5300)

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terletak di rukun yang satu namun tidak di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya' atau sum'ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

من صلى يرائي فقد أشرك، ومن صام يرائي فقد أشرك، ومن تصدق يرائي فقد أشرك

"Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya' maka dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya' dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya' hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya' model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

"Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An NIsaa': 142)

Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya' atau sum'ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

Kondisi pertama,

orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian menujukan ibadah tersebut kepada makhluk.

Kondisi kedua,

seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian membaguskan ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya' dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan Syirik Ashghar-wal 'iyadzu billah.

Kondisi ketiga,

seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah Ta'ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

تلك عاجل بشرى المؤمن

"Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak menginginkannya." (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal

Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan." (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)

Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

من قتل قتيلا فله سلبه

"Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)

Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.

Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah 'Azza wa Jalla,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." (QS. Huud: 15)

Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.

Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa' (الفاء)dalam sabda beliau فمن كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (الهجرة) bermakna meninggalkan (الترك). Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrahnya tersebut. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid'ahan dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.

Kedua, golongan yang berhijrah karena motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, [Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju]. Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah karena ingin mendapatkan harta atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrah yang dia lakukan tidak mendatangkan pahala baginya dan terkadang dia memperoleh dosa.

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

1 opmerking:

Anoniem zei

assalamu alaikum
semoga bermanfaat dan tetap jaya